Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Percobaan Pencurian Dengan Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Anak

11

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat modern yang kompleks sebagai produk kemajuan teknologi,
komunikasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial
pada masyarakat, mulai dari berubahnya pola hidup masyarakat yang serba instan
dan serba ada. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern
itu tidaklah mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi terhadap arus globalisasi ini
dapat menyebabkan berbagai macam-macam konflik ditengah-tengah masyarakat,
mulai dari kesulitan beradaptasi atau menyesuaikan gaya hidup dengan
perkembangan jaman yang terus mengalami peningkatan, konflik baik itu konflik
internal dalam jiwa atau batin sendiri, maupun konflik eksternal. Sehingga
memaksa sebagian orang melakukan berbagai penyimpangan sosial, tindak pidana
dami mendapatkan kesenangan semata dengan mengambil hak milik orang lain
dengan tanpa hak dengan cara melawan hukum.
Perilaku masyarakat modern dalam perkembangannya sangat mudah
terpengaruhi, terkhusus terhadap perikalu anak-anak remaja yang condong
berprilaku labil, sehingga banyak anak-anak remaja yang melakukan tindak
pidana seperti mencuri dll, sehingga berujung pada proses peradilan dan

menjalani hukuman dipenjara, tentu hal itu sangat merugikan tumbuh kembang
anak. Kejahatan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh sesorang yang

Universitas Sumatera Utara

12

melanggar ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan terhadap
pelakunya dikenakan sanksi pidana. 1
Berkaitan dengan masalah mengapa manusia melakukan perbuatan
melanggar hukum merupakan hal yang tidak kalah penting, dalam artian sebabsebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana diterapkan,
sehingga saat ini mestipun perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan pidana,
pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban terakhir dalam memberantas
kejahatan, pada pandangan ini tidaklah benar karena persoalannya bukan saja
pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum yang
profesional akan tetapi ada hal lain yang penting diperhatikan adalah adanya
faktor motif timbulnya pelanggaran-pelanggaran hukum. Sampai saat ini belum
dapat diberikan jawaban yang memuaskan mengapa orang melakukan kejahatan
tertentu dan mengapa masih ada orang melakukan kejahatan yang sama setelah
pelakunya dipidana mati.

Berbicara mengapa orang melakukan kejahatan menurut Mordjono
Reksodiputro, bahwa keadaan pengetahuan kriminologi dewasa ini belum sampai
untuk memungkinkan untuk dengan tegas menentukan sebab-sebab orang
melakukan pelanggaran norma (hukum). Tingkat pengetahuan kriminologi
dewasa ini masih dalam tarap mencari melalui penelitian dan penyusunan teori.
Aliran kriminologi klasik mencoba mencari jawaban tentang sebab
musabab seperti faktor ekonomi, biologi dan sebagainya. Aliran ini melihat
kejahatan dalam konteks mengkonstruksikan kejahatan sosial yang bertalian
1

Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, (Yogyakarta,
Genta Publishing : 2014) hal. 23

Universitas Sumatera Utara

13

dengan si penjahat, bukan saja dalam hubungan dengan realis pelanggaran
terhadap undang-undang, melainkan juga dalam hubungan dengan realis
pelanggaran terhadap undang-undang itu sendiri. Ini berarti bahwa perlu dilihat

pula bagaimana pengaruh lembaga-lembaga hukum didalam realis kehidupan
sosial penjahat sendiri, serta juga pandangan masyarakat terhadap kejahatan itu.
Kriminologi dalam kepustakaan terdapat beberapa faktor yang amat sering
dihubungkan dengan kejahatan faktor ini perlu kita periksa dengan hati-hati,
karena faktor-faktor ini belum sepenuhnya terbukti mempunyai sebab akibat
dengan kejahatan dan lagi pula sebagaimana dikatakan diatas yang diterima
sebagai dalam atas kemungkina untuk dicari oleh kriminologi hanya faktor-faktor
yang necessary but not sufficient sebagai sebab kejahatan yaitu faktor-faktor yang
selalu merupakan sebab dari suatu akibat/kejahatan bersama-sama dengan faktor
lain.
Faktor-faktor yang penting untuk diperhatikan adalah.
1. Teori ekologis (Shaw dan Mckey); kepadatan penduduk dan mobilitas
sosial (horizonal dan vertikal) kota dan pedesaan; urbanisasi dan
urbanisme; delinquency areas dan perumahan; distribusi menurut umur
dan kelamin;
2. Teori konflik kebudayaan (Selli); masalah suku, agama, kelompok
minoritas;
3. Teori ekonomi (Bonger); pengaruh kemiskinan dan kemakmuran;
4. Teori differential association (misalnya Sutherland); pengaruh media
massa;

5. Teori Anomie dan subculture; perbedaan nilai dan norma antara
“middleclass” dan “lower class” ketegangan yang timbul karena
keterbatasannya kesempatan untuk mencapai tujuan. 2
Faktor-faktor terjadinya kejahatan yang telah diuraikan tersebut, salah
satunya yaitu faktor kemiskinan, yang mana dengan faktor kemiskinan ini dapat
menyebabkan orang memaksa untuk melakukan sesuatu kejahatan pencurian demi
untuk menyambug hidup, saat ini kejahatan pencurian sangat marak baik itu
dikota maupun dipedesaan dengan cara ataupun modus yang sangat berpariasi.
2

Marlina, Hukum Panitensier (Bandung, Refika Aditama : 2011) hal. 117-118

Universitas Sumatera Utara

14

Sebagian negara berkembang, perekonomian akan menjadi salah satu
perhatian yang akan terus ditingkatkan. Namun umumnya, masyarakat kita berada
digolongan tingkat ekonomi menengah kebawah. Hal ini tentu saja menjadi
sebuah pemicu adanya kesenjangan yang tak dapat dihentikan lagi. 3

Pengaturan tentang delik pencurian dalam hukum pidana Indonesia diatur
dalam bab tersendiri dalam buku kedua kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tentang kejahatan, yaitu pada bab XXII tentang pencurian. Pasal 362,
menjelaskan secara umum bahwa yang dimaksud dengan pencurian adalah suatu
tindakan mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain
dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum.
Pencurian yang terjadi tersebut tidak semua bagian dari pencurian itu
terselesaikan dengan sempurna, bukan karena kehendak dari pelaku semata, tetapi
karerna adanya penghalang yang datang dari luar diri si pelaku sehingga
pencurian tidak dapat selesai, yang mana hal itu disebut Percobaan (poging).
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang Aturan
Umum, bab IV pasal 53 dan 54 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan
Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
1. Mencoba melakukan kejahatan pidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri;
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi
sepertiga;

3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun;
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54

3

Surianingsih, Intisari Kuliah Ilmu Budaya Dasar,( Medan: 2013) hal. 27

Universitas Sumatera Utara

15

Mencoba melakukan pelanggaran tindak pidana. 4
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk
melakukan penulisan tindak pidana percobaan pencurian dengan kekerasan yang
dilakuan oleh anak dengan judul skripsi “PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA

DALAM


TINDAK

PIDANA

PERCOBAAN

PENCURIAN

DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI
PUTUSAN NOMOR. 01/PID.SUS ANAK/2016/PN.PMS)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis
merumuskan permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana percobaan pencurian
dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak ?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana percobaan
pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak dalam Putusan
Pengadilan


Negeri

Pematang

Siantar

Nomor.

01/Pid.Sus

Anak/2016/PN.PMS ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah
yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu
hukum di Indonesia. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas
adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan tentang tindak pidana percobaan
4

Muhammad Ekaputra, Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan (Medan, USU Press :

2009) hal. 1

Universitas Sumatera Utara

16

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana
percobaan pencurian yang dilakukan oleh anak.
Adapun manfaat penulisan skripsi ini terdiri dari manfaat secara teoritis
dan secara praktis sebagai berikut:
1. Manfaat secara teoritis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan
masukan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pidana, sekaligus
pengetahuan tentang Tindak Pidana Percobaan Pencurian yang dilakukan
oleh Anak, selain itu diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat secara praktis
Memberikan sumbangan pemikiran yang moderat, serta memberikan
informasi kepada praktisi, akademisi, aparat penegak hukum, legislator,
dan seluruh kalangan masyarakat tentang pengaturan tindak pidana

percobaan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari penulis sendiri
serta berdasarkan masukan dari berbagai pihak yang membantu dalam penulisan
ini. Sepanjang yang telah ditelusuri di lingkungan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, penulisan tentang Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak
Pidana Percobaan Pencurian Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor.
01/Pid.Sus Anak/2016/PN.PMS) adalah bersih dari Plagiat dan belum pernah
ditulis oleh penulis lain sebelumnya. Dan apabila ada ditemukan dikemudian hari

Universitas Sumatera Utara

17

judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum
skripsi ini dibuat maka hal tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban
dikemudian hari.
E. Tinjauan Kepustakaan
1.


Pertanggungjawaban Pidana

a.

Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Konsep pertanggungjawaban itu merupakan konsep sentral yang dikenal

dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan
sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak
mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam
dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act not makeaperson
guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada dua
syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan
lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikaf batin
jahat/tercela (mens rea).
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara objektif yang ada memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan
pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah
asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana
jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan
seseorang

dikatakan

mempunyai

kesalahan

menyangkut

masalah

pertanggungjawaban pidana. Pengertian pertanggungjawaban pidana adalah

Universitas Sumatera Utara

18

pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya,
yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya
merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi
terhadap pelanggaran atas kesepakatan suatu perbuatan tertentu.
Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila
orang itu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat
melawan hukum. Meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat
penjatuhan pidana, untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan
pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau
bersalah. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau
jika

dilihat

dari

sudut

perbuatannya,

perbuatannya

baru

dapat

dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kesalahan
merupakan suatu hal yang sangat penting dalam hal untuk memidana seseorang,
tanpa adanya itu maka pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Hukum
pidana mengenal adanya asas “tiada pidana tanpa adanya kesalahan (green starf
zonder schuld). Asas kesalahan ini merupakan hal yang sangat fundamental dalam
hukum pidana, demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan
menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana. 5
Van Hamel, mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah suatu
keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam kematangan
untuk:
1. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri;
2. Menyadari bahwa perbuatan itu dibenarkan atau dilarang oleh
masyarakat;
5

Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta,Sinar Grafika : 2015), hal. 155-157

Universitas Sumatera Utara

19

3. Menentukan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu. Jadi, dapat
disimpulkan, bahwa toerekeningsvatbaarheid mengandung pengertian
kemampuan atau kecakapan.
Simon mengatakan, toerekeningsvatbaarheid dapat dipandang sebagai
keadaan psikis sedemikian rupa, sehingga si pembuat atau pelaku mampu untuk
menginsyafi atau mengetahui, bahwa perbuatannya adalah melanggar hukum dan
sesuai keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. 6
Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar,
dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle). Dahulu dijalankan atas
pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu dari H.R. 1916 Nederland, hal itu
ditiadakan. Juga bagi delik-delik jenis overtrengen, berlakunya asas tanpa
kesalahan, tak mungkin dipidana. 7
Roeslan

Saleh

mengatakan

bahwa

dalam

hal

kemampuan

bertanggungjawab ada dua faktor, yaitu akal dan kehendak, dengan akal atau daya
pikir, orang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan
perbuatan yang tidak diperbolehkan. Kehendak atau kemauan, atau keinginan
orang tersebut dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan
yang tidak diperbolehkan. Lebih lanjut Roeslan Saleh menjelaskan, bahwa adanya
kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor. Akal atau pikiran
tersebut seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan atau
tidak diperbolehkan, sedangkan faktor kehendak bukan faktor yang menentukan
mampu bertanggungjawab, melainkan salah satu faktor dalam hal untuk
menentukan kesalahan, karena faktor kehendak adalah tergantung dan kelanjutan
6

Martiman Prodjohamidjojo, memahami dasar-dasar hukum pidana Indonesia (Jakarta,
Pradnya Paramita : 1997) hal. 33
7
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta,Rineka Cipta : 2002) hal. 153

Universitas Sumatera Utara

20

dari faktor akal, lagi pula kemampuan bertanggungjawab hanya salah satu dari
kesalahan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pendapat para pakar hukum pidana
tersebut diatas, yaitu:
1. Pertanggungjawaban atau kesalahan dalam arti luas (schuld in riumezin)
mempunyai tiga bidang, yaitu :
a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan
(toerekeningsvatbaarheid);
b. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan
dengan perbuatannya :
1. Perbuatan yang ada kesengajaan, atau
2. Perbuatan yang lalai atau kurang hati-hati atau keapaan (culpa
schuld in enge zin)
c. Tidak ada alasan penghapusan pertanggungjawaban pidana pembuat
(anasir toerekenbaarheid).
2. Kelasahan dalam arti sempit (schuld in enge zin) mempunyai bentuk,
yaitu:
a. Kesengajaan (dolos)
b. Kealpaan (culpos) 8
b.

Kemampuan Bertanggung Jawab
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin

yang normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan
hal-hal yang baik dan buruk, atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu
mampu untuk menentukan kehendaknya. Faktor kehendak danakal, yaitu faktor
yang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan, sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya
dengan keinsyafan atas suatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.

8

Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, hal.34-35

Universitas Sumatera Utara

21

Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal
pembuat. Akal dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang
bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika
melakukan tindak pidana. Pembuat dalam hal dapat dipertanggungjawabkan
karena akalnya yang sehat dapat membimbing kehendaknya untuk menyesuaikan
dengan yang ditentukan oleh hukum. Padanya diharapkan untuk selalu berbuat
sesuai dengan ketentuan hukum.
Pembuat dapat dipertanggungjawabkan dalam hal ini berarti pembuat
memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat adanya asas “tiada
pertanggungjawaban

pidana

tanpa

kesalahan”

maka

pembuat

dapat

dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Keadaan batin pembuat yang
normal atau akalnya dapat membeda-bedakan yang boleh dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan, atau mampu bertanggungjawab, merupakan suatu yang
berada diluar pengertian kesalahan. Mampu bertanggungjawab adalah syarat
kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Terhadap
subjek

hukum

manusia

mampu

bertanggungjawab

merupakan

unsur

pertanggungjawaban pidana, sekaligus sebagai syarat kesalahan.
Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa kebanyakan undang-undang
merumuskan syarat kesalahan secara negatif. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan
bertanggungjawab, yang mengatur ialah kebalikannya, yaitu kemampuan tidak

Universitas Sumatera Utara

22

bertanggungjawab. Sebagaimana halnya dengan ketentuan pasal 44 KUHP yang
berbunyi:
1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya
(gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit, tidak
dipidana;
2. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya
orang itu dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan. 9
Rumusan pasal 44 KUHP tersebut sebagai sebab tidak dapat dihukumnya
terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan karena:
a. Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan akal disini
ialah kekuatan pikiran, kecerdasan pikiran. Teks bahasa Belandanya
memakai kata: verstandelijke. Kalau teks KUHP Negeri Belanda
memakai kata: gees vermogens, sempurna akalnya itu misalnya idiot,
imbicil, buta-tuli dan bisu mulai lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai
kanak.
b. Sakit berobah akalnya. Ziekelijke storing der verstandelijkevermogens.
Yang dapat masuk pengertian ini misalnya: sakit gila, manie, hysterie,
epilepsie, melancholie dan bermacam-macam penyakit jiwa lainlainnya. 10
Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi
pidana. Berarti ketika ditemukan tanda seseorang tidak mampu bertanggungjawab
dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum
9

Madrus Ali, Op.cit, hal. 171-172
R. Soesili, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentarkomentarnya lengkap pasal demi-pasal,(Politeia, Bogor : 1988) hal.60-61
10

Universitas Sumatera Utara

23

pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini. Seseorang
itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak
pula perlu diperiksa apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan
penghapusan kesalahan dalam dirinya, sementara itu dalam hal kurang dapat
dipertanggungjawabkan hanya berakibat pengurangan pidana, tetapi tidak
dimaksud untuk penghapusan pidana. Persoalan lainnya apakah terhadap orang
yang kurang mampu dapat dipertanggungjawabkan itu, proses hukumnya
diteruskan sehingga diselidiki mengenai bentuk kesalahan dan ketiadaan alasan
penghapusan kesalahan. 11
2.

Percobaan Pencurian dengan Kekerasan dalam KUHP

a.

Pengertian Percobaan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita telah membuat percobaan

untuk melakukan kejahatan atau pogingtot misdrijf itu sebagai suatu perbuatan
yang terlarang dan telah mengancam pelakunya dengan suatu hukuman. 12
Pompe mengatakan bahwa mencoba adalah berusaha tanpa hasil. Makna
mencoba dapat ditemukan dalam baahsa sehari-hari. Kalau syarat-syarat tersebut
ada, timbullah perbuatan pidana baru meskipun dalam bentuk delik tidak selesai,
tetapi dapat dipidana. Pemberian nama untuk percobaan oleh Pompe, yaitu bentuk
perwujudan dari perbutan pidana sebab deliknya timbul, menampakkan diri, tetapi
dalam bentuk yang belum selesai. 13

11

Madrus Ali, Op.cit, hal. 173-174
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, Citra Aditya
Bakti : 1997) hal. 535
13
D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, (Bandung, Citra Aditya
Bakti : 2011) hal. 201
12

Universitas Sumatera Utara

24

Umumnya kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu
tujuan, yang mana pada akhirnya tidak atau belum tercapai.
Percobaan menurut Hukum Pidana adalah suatu pengertian teknik yang
agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya ialah,
bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan maka sudah tetap,
bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak tercapai. Unsur belum tercapai tidak ada,
dan maka dari itu tidak menjadi persoalan. 14
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang Aturan
Umum, bab IV pasal 53 dan 54 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan
Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
1. Mencoba melakukan kejahatan pidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri;
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi
sepertiga;
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun;
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tindak pidana. 15
Syarat dipidananya pembuat percobaan kejahatan telah diterangkan diatas
bahwa apa yang dirumuskan pada pasal 53 (1) bukanlah defenisi atau arti yuridis
dari percobaan kejahatan, tetapi rumusan yang memuat tentang syarat-syarat
kapankah melakukan percobaan kejahatan dapat dipidana, syarat-syarat itu ialah:
1. Adanya niat (voornemen);
14

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, Eresco :
1986) hal. 97
15
Muhammad Ekaputra, Abul Khair, , Op.cit, hal. 1

Universitas Sumatera Utara

25

2. Adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering);
3. Pelaksanaanya tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri.
Undang-undang sendiri tidak menjelaskan secara sempurna perihal tiga
syarat tersebut. Pembentuk undang-undang menyerahkan pada praktik hukum.
Oleh sebab itu, tidak heran memudian tentang 3 syarat itu telah menimbulkan
banyak pendapat, sebagaimana nanti terlihat seperti yang akan diutarakan
dibelakang. 16
1.

Adanya niat
Percobaan tindak pidana yang diancam pidana hanyalah percobaan

melakukan kejahatan saja. Dalam pasal 53 ayat (1) KUHP dikatakan bahwa,
mencoba melakukan kejahatan (misdrijf) dipidana. Dalam pasal 54 KUHP juga
ditegaskan bahwa mencoba melakukan pelanggaran (Belanda: overtrending) tidak
dipidana.
Mengenai cakupan dari niat (Belanda: voornemen) pada umumnya para
ahli hukum pidana sependapat bahwa hal ini mencakup semua bentuk
kesengajaan, yaitu meliputi:
1. Sengaja sebagai maksud (Belanda: opzet als oogmerk);
2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian/keharusan; dan
3. Sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan atau dolus eventualis.
Adanya permulaan pelaksanaan yang menyatakan niat

16

Adami Chazawi, Percobaan dan Penyertaan Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta,
Rajagrafindo Persada : 2005) hal. 7

Universitas Sumatera Utara

26

Tidak seorang pun dapat dipidana hanya semata-mata karena adanya niat
saja. Hukum pidana tidak mengenal adanya cogitationis poenam nemo patitur,
yaitu tidak seorang pun dapat dipidananya atas apa yang semata-mata hanya ada
dalam pikirannya.
Wujud suatu sikap fisik tertentu harus diwujudkan keluar, karenanya salah
satu syarat dari percobaan tindak pidana adalah bahwa telah adanya permulaan
pelaksanaan.
2.

Adanya permulaan pelaksanaan
Sebagaimana diketahui dalam hal percobaaan kejahatan, terdapat dua

ajaran yang saling berhadapan, yaitu ajaran subjektif dan objektif yang berbeda
pokok pangkal dalam memandang hal permulaan pelaksanaan. Perbedaan ini
disebabkan karena ukuran yang digunakan adalah berbeda. Ajaran subjektif
bertitik tolak dari ukuran batin si pembuat, sedangkan ajaran objektif bertitik tolak
dari sudut wujud perbuatannya. Patutnya dipidana terhadap pencoba kejahatan
menurut pandangan subjektif, adalah terletak pada niat jahat orang itu yang dinilai
telah mengancam kepentingan hukum yang dilindungi. Sebaliknya menurut ajaran
objektif, patutnya dipidana pencoba kejahatan karena wujud permulaan
pelaksanaan itu telah dinilai mengancam kepentingan hukum yang dilindungi
undang-undang. 17
Pengertian permulaan pelaksanaan jika dilihat dari sudut proses atau tata
urutan adalah berada diantara perbuatan persiapan dengan perbuatan pelaksanaan,

17

Ibid, hal. 17

Universitas Sumatera Utara

27

atau dengan kata lain perbuatan pelaksanaan itu harus dimulai dengan permulaan
pelaksanaan.
Pokok pangkal yang menjadi persoalan yang banyak dibicarakan oleh
para ahli hukum adalah hal tentang persoalan apakah permulaan pelaksanaan dari
niat (subjektif) ataukah permulaan pelaksanaan dari kejahatan (objektif). Menurut
Moeljatno untuk membedakan antara perbuatan persiapan dengan permulaan
biasanya dihubungkan dengan alasan dapat dipidananya percobaan melakukan
kejahatan, menurut pandangan subjektif adalah terletak pada sikap batin yang
jahat dari orang itu yang dinilai telah mengancam atau membahayakan
kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang sedangkan menurut
pandangan yang objektif adalah letak pada sifat perbuatan orang itu yang dinilai
telah mengancam atau membahayakan kepentingan hukum yang dilindungi. 18
Penganut teori percobaan objektif dan teori percobaan subjektif berbeda
pendapat tentang apakah pelaksanaan niat atau pelaksanaan kejahatan. Menurut
penganut teori percobaan objektif, pelaksanaan yang dimaksud dalam pasal 53
ayat (1) KUHP adalah pelaksanaan kejahatan, sedangkan penganut teori
percobaan subjektif, pelaksanaan yang dimaksudkan disitu adalah pelaksanaan
niat. 19
3.

Pelaksanaannya tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri
Pelaksanaan tidak selesai bukan disebabkan kehendaknya pelaku adalah

ketika melaksaksanaan itu tidak terselesaikan dengan sempura bukan karena
18

Ibid, hal. 21
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta, Rajawali
Pers : 2013) hal. 204-206
19

Universitas Sumatera Utara

28

kehendak pelaku namun adanya faktor-faktor lain yang menyebabkan tindak
pidana tersebut tidak selesai dilaksanakan. 20
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menyebutkan bahwa, yang tidak selesai itu
adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan ketentuan dalam
undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari kejahatan
menurut rumusannya. Niat petindak atau pelaku untuk melaksanakan kejahatan
tertentu yang sudah dinyatakan dengan tindakannya terhenti sebelum sempurna
tejadi kejahatan itu. Melakukan tindakan untuk merugikan sesuatu kepentingan
hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana itu terhenti sebelum
terjadi kerugian yang sesuai dengan perumusan undang-undang.
Keadaan diluar kehendak pelaku maksudnya adalah, setiap keadaan baik
badaniah (fisik) maupun rohaniah (psikis) yang datangnya dari luar yang
menghalangi atau menyebabkan tidak sempurna terselesaikan kejahatan itu. 21
Tidak selesainya pelaksanaan menyebabkan perbuatan merupakan suatu
percobaan, tidak selesainya pelaksanaan sehingga perbuatan itu diklasifikasi
sebagai percobaan.
Tidak selesainya pelaksanaan itu dapat terjadi karena berbagai sebab, baik
oleh sebab yang diluar kehendak si pelaku maupun oleh kehendak dari pelaku
sendiri. 22

20

Muhammad Ekaputra, Abul Khair, Op.cit, hal. 25
Ibid, hal. 26
22
Frans Maramis, Op.cit, hal. 209

21

Universitas Sumatera Utara

29

Pelaku Percobaan kejahatan dibebankan tanggung jawab pidana yang lebih
ringan dari pada pelaku kejahatan selesai. Dasar pertimbangan pidana ini sudah
barang tentu bukan berdasarkan ajaran subjektif, tetapi oleh ajaran objektif.
Menurut ajaran objektif, patutlah diperingan atau diringankan pidana
pidana bagi pelaku percobaan kejahatan, karena kejahatan itu tidak terjadi,
pembuatnya dan atau apa yang diinginkannya tidaklah terjadi, yang artinya secara
objektif belumlah ada kepentingan hukum yang benar-benar terlanggar, sekedar
baru mengancam kepentingan hukum tertentu. Menurut ketentuan pasal 53 ayat
(2) KUHP menyatakan bahwa maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,
dalam hal percobaan dikurangi sepertiganya.
b.

Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu “strafbaar feit). 23 Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang
dimaksud dengan strafbaar

feit didalam KUHP maupun diluar KUHP, oleh

karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu,
yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana
penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung didalamnya.
Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan
apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tindak. 24
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan defenisi
terhadap istilah tindak pidana atau strafbaar feit. Karenanya, para penulis hukum

23

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Medan, USU Press : 2014) hal :

24

Ibid, hal. 77

76

Universitas Sumatera Utara

30

pidana telah memberikan pendapat mereka masing-masing untuk menjelaskan
tentang arti dari istilah tersebut.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan
yang pelakunya seharusnya dipidana. 25
Beberapa defenisi lainnya tentang tindak pidana, antara lain
a. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
b. Menurut D. Simons, tindak pidana (strafbaar feit) adalah kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum,
yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggungjawab (eene strafbaar gestelde onrechtmatige, met
schduld in verband staaande handeling van een toerekeningsvatbaar
person).
c. Menurut G.A. van Hamel, sebagaimana yang diterjemahkan oleh
Moeljatno,

strafbaar

feit

adalah

kelakuan

orang

(menselijke

gedraging)yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum,
yang patut dipidana (strafwarding) dan dilakukan dengan kesalahan.
Moeljatno merupakan ahli hukum pidana yang memiliki pandangan yang
berbeda dengan penulis-penulis lain tentang defenisi tindak pidana. Moeljatno
menggunakan istilah perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana
hanya mencakup perbuatan saja, sebagaimana dikatakannya bahwa perbuatan
pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu dilarang dengan

25

Frans Maramis, Opcit, hal : 57

Universitas Sumatera Utara

31

ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Menurut pandang Moeljatno, unsur
pelaku dan hal-hal yang berkenaan dengannya seperti kesalahan dan mampu
bertanggungjawab, tidak boleh dimasukkan kedalam defenisi perbuatan pidana,
melainkan

merupakan

bagian

dari

unsur

yang

lain,

yaitu

unsur

pertanggungjawaban pidana. 26
Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah
tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung
dan dasar untuk pemberian pidana. Van Hattun dalam Sudarto, tidak menyetujui
untuk memberikan defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus dapat
meliputi pengertian berbuat dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu tetap akan
kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas.
Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya
ada asas legalitas (pasal 1 KUHP) yang merupakan landasan yuridis untuk
menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana
(strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tidak dijelaskan.
Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak
pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana. 27
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian dari tindak pidana
(strafbaarfeit), menurut para ahli yang dapat digolongkan menganut pandangan
(aliran) dualistis:
1. Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit (defenisi menurut hukum
positif) itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu tindakan yang
menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan
26
27

Ibid, hal. 58-89
Muhammad Ekaputra, Op.cit, hal. 78

Universitas Sumatera Utara

32

yang dapat dihukum. Pompe mengatakan, bahwa menurut teori (defenisi
menurut teori) strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan
hukum, yang dilakukan dengan kesalahan dan ancaman pidana. Dalam
hukum positif, sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan
(schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaar feit).
Untuk menjatuhkan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, akan
tetapi selain itu harus ada orang yang daapat dipidana.
2. Menurut H.B. Vos, strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang
diancam pidana oleh undang-undang.
3. Menurut R. Tresna, peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang
atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan
tindakan penghukuman. Tidak ada persamaan pendapat dikalangan para
ahli tentang syarat-syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai
peristiwa pidana, oleh karena itu R. Tresna menyatakan, dapat diambil
sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat-syarat
berikut ini:
a. Harus ada suatu perbuatan manusia;
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam
ketentuan hukum;
c. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, yaitu orangnya
harus dapat dipertanggungjawabkan;
d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;
e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam
undang-undang. 28
Selain aliran dualistis tersebut ada pandangan lain yang disebut dengan
aliran monistis (monisme) yaitu pandangan yang tidak memisahkan antara
perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya (pertanggungjawaban).
Berikut ini akan dikemukakan pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli
hukum yang digolongkan menganut pandangan monistis, yaitu:
1. Simon dalam P.A.F. Lamintang, merumuskan strafbaar feit sebagai suatu
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
dengan tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum. 29
2. Wirjono Projodikoro, menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
28
29

Ibid, hal. 84-85
Ibid, hal. 86-87

Universitas Sumatera Utara

33

3. J.E Jonkers dalam Bambang Poernomo telah memberikan defenisi
strafbaar feit menjadi dua pengertian:
a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu
kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang;
b. Defenisi panjang atau yang lebih mendalam memberikan pengertian
strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan (wederrechttelijk)
berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan. Menurut Jonkers sifat melawan hukum
dipandang sebagia unsur yang tersembunyi dari tiap peristiwa pidana,
namun tidak adanya kemampuan untuk dapat dipertanggungjawabkan
menurut alasan umum untuk dibebaskan dari pidana. Kesengajaan atau
kesalahan selalu merupakan unsur dari kejahatan. Berdasarkan hal ini
ternyata defenisi tindak pidana yang panjang itu terlalu luas dan selain
menyebutkan mengenai peristiwa pidana juga menyebutkan tentang
pribadi si pembuat. Menurut Jonkers hal ini tidaklah merupakan
keberatan yang terlampau besar, karena kita selalu meninjau peristiwa
pidana dalam hubungannya dengan si pembuat.
4. J. Baumaan dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan
perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan
dilakukan dengan kesalahan. 30
c.

Unsur-unsur Tindak Pidana
Sudarto menyebutkan, bahwa unsur-unsur delik yang sudah tetap adalah

sifat melawan hukum dan kesalahan, namun menurutnya belum lengkap. Virj
menambahkan satu unsur lagi untuk dapat dikatakan sebagai delik, yaitu unsur het
subsiciele yang merupakan semacam kerusakan dalam ketertiban hukum (deuk in
derechtsorde).Pidana pada setiap peristiwa

menimbulkan kegoncangan

(kegelisahan) didalam masyarakat yang mana dengan kegoncangan itu akan
menimbulkan bahaya. Menurut Virj kegelisahan masyarakat itu ditimbulkan oleh:
1. Hasrat pelaku tindak pidana untuk melakukan kembali perbuatan tersebut;
2. Keinginan membalas dari pihak korban;
3. Adanya keinginan orang-orang yang dekat dengan si pelaku untuk meniru
berbuat jahat;
4. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah untuk menjamin keamanan, jika
semua hal diatas tidak ada, maka ada alasan untuk mengenyampingkan
hukum. 31
30

Ibid, hal. 86-88

Universitas Sumatera Utara

34

H.B. Vos, sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Poernomo,
mengemukakan bahwa dalam suatu tindak pidana dimungkinkan ada beberapa
unsur (elemen), yaitu:
1. Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak
berbuat (een doen of nalaten);
2. Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delict selesai. Elemen
akibat ini dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan. Rumusan undangundang kadang-kadang elemen akibat tidak dipentingkan didalam delict
formil, akan tetapi kadang-kadang elemen akibat dinyatakan dengan tegas
yang terpisah dari perbuatannya seperti didalam delict materiel;
3. Elemen subjektif yaitu kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata
sengaja (opzet) atau alpa (culpa);
4. Elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid);
5. dan sederetan elemen-elemen lain menurut rumusan undang-undang, dan
dibedakan menjadi segi objektif misalnya didalam pasal 160 diperlukan
elemen dimuka umum (in het openbaar) dan segi subjektif misalnya pasal
340 diperlukan unsur direncanakan lebih dahulu (voorbedachtedaad). 32
d.

Pengertian Pencurian
Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan

dalam pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk
pokoknya yang berbunyi:
“Barang siapa mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian
milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling
banyak Rp. 900,00”
Lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsur-unsur yakni
sebagai berikut:
1. Unsur-unsur objektif, terdiri dari:
a. Perbuatan mengambil.
31
32

Ibid, hal. 107
Frans Maramis, Op.cit, hal. 68-69

Universitas Sumatera Utara

35

b. Objeknya suatu benda.
c. Unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda
tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
2. Unsur-unsur subjektif, terdiri dari:
a. Adanya maksud.
b. Yang ditujukan untuk memiliki.
c. Dengan melawan hukum.
Suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian
apabila terdapat semua unsur tersebut diatas sebagaimana akan dijelaskan berikut
ini;
1. Unsur-unsur objektif
a. Unsur perbuatan mengambil (wegnemen)
Adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan
bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu
tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan
otot yang disengaja yang pada umumnya menggunakan jari-jari dan tangan yang
kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan
mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ketempat lain atau kedalam
kekuasaannya. Sebagaimana dalam banyak tulisan, aktifitas tangan dan jari-jari
sebagaimana tersebut diatas bukanlah merupakan syarat dari adanya perbuatan
mengambil. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan

Universitas Sumatera Utara

36

aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam
kekuasaannya. 33
b. Suatu barang
Segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang (manusia tidak
masuk manusia), misalnya uang, baju, kalung dsb. Pengertian barang dalam hal
ini masuk pula daya listrik dan gas, meskipun tidak berwujud, akan tetapi
dialirkan dikawat ataau pipa. Barang ini tidak perlu bernilai ekonomis. Perbuatan
mengambil beberapa helai rambut wanita (untuk kenang-kenangan) tidak dengan
izin wanita itu, masuk pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya.
c. Barang itu seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. 34
Sebagai unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri
atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur
maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil diri petindak sudah
terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan
sebagai miliknya. Maksud memiliki melawan hukum atau maksud memiliki itu
ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan
perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda
orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. 35

33

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda (Malang, Bayumedia : 2003) hal.

5-6
34

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentar
lengkap pasal demi pasal, (Bandung, Karya Nusantara : 1988) hal. 250
35
http://kukuhtirtas.blogspot.co.id/2012/02/pengertian-tindak-pidana-pencurian.html?m=1
diakses pada : jum’at, 17 Maret 2017 pukul 20.33 WIB

Universitas Sumatera Utara

37

e.

Pencurian dengan kekerasan
Pencurian dengan kekerasan dalam istilah awamadalah pencurian dengan

kekerasan yang sering disebut perampokan. Pencurian dengan kekerasan yang ada
dalam pasal 365 KUHP, yaitu menggunakan upaya kekerasan dan atau ancaman
kekerasan, maksudnya adalah untuk mempersiapkan, memudahkan pelaksanaan
pencurian dan seterusnya. Artinya kekerasan atau ancaman kekerasan itu
mempunyai peranan atau hubungan terhadap kejahatan pokok (pencurian).
Arti melakukan kekerasan adalah menggunakan tenaga atau kekeuatan
jasmani sekuat mungkin secara tidak sah, misalnya dengan cara memukul dengan
tangan, atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan lain-lain
yang menyebabkan orang yang terkena tindakan kekerasan itu merasa sakit.
Pencurian dengan kekerasan diatur dalam KUHP pasal 365 ayat (1)
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahunpencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri
sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
Kasus pencurian bisa di sebut pencurian dengan kekerasan bila sudah
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Memaksa orang lain dengan ancaman atau dengan kekerasan
2. Supaya orang itu memberikan sesuatu barang yang sama sekali atau
sebagian milik orang itu atau milik orang lain
3. Supaya orang itu membuat utang atau menghapus utang

Universitas Sumatera Utara

38

4. Dengan maksud agar menguntungkan dirinya sendiri atau diri orang lain
dengan melawan hukum
Arti memaksa adalah melakukan tekanan pada barang yang sedemikian
rupa, sehingga orang itu mau melakukan sesuatu yang berlawanan dengan
kehendaknya sendiri.
Arti barang adalah sesuatu benda yang berwujud seperti uang, pakaian,
perhiasan dan sebagainya termasuk juga binatang dan benda-benda yang tidak
berwujud misalnya alitan listrik dll.
Arti melakukan kekerasan adalah menggunakan tenaga atau kekuatan
jasmani sekuat mungkin secara tidak sah, misalnya dengan cara memukul dengan
tangan, atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dll yang
menyebabkan orang yang terkena tindakan kekerasan itu merasa sakit.
Pencurian dengan kekerasan di atur dalam Undang-Undang Hukun Pidana
(KUHP) dalam pasal 365 yang menyebutkan di antaranya:
1.

Diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun,
pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau
ancaman

kekerasan,

terhadap

orang,

dengan

maksud

untuk

mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap
tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya,
atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya;
2.

Diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun;

Universitas Sumatera Utara

39

1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah
atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan atau dalam
kereta api atau trem yang sedang berjalan;
2. Jika peruatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. Jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau
memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau
pakaian jabatan palsu;
4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat;
3.

Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun;

4.

Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh tahun) tahun, jika
perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua
orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang
diterangkan dalam no. 1 dan 3.

3.

Tinjauan Umum tentang Anak

a.

Pengertian Anak
Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. 36Anak adalah manusia yang masih kecil, misalnya berusia 6 tahun,

36

Pasal 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Universitas Sumatera Utara

40

usia 6 tahun disini masih bersifat umum, yang belum mempunyai makna yang
dapat dikaitkan dengan tanggung jawab yuridis. 37
Pengertian anak dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai
orang yang belum dewasa (minderjaring/personunder age), orang yang dibawah
umur/keadaan dibawah umur (minderjaringheid/inferiority) atau kerap juga
disebut

sebagai

anak

yang

dibawah

pengawasan

wali

(minderjarige)

ondervoordij). Bertitik tolak pada aspek tersebut diatas ternyata hukum positif
Indonesia (ius constitutum/iusoperatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum
yang baku dan berlaku universal untuk ketentuan kriteria batasan umur bagi
seorang anak. 38
b.

Pengertian perlindungan anak
Sebagai negara yang pancasilais, serta menjunjung tinggi nilai-nilai

kebangsaan dan kemanusiaan, Indonesia banyak memiliki banyak peraturan yang
secara tegas memberikan upaya perlindungan anak. 39
Terkait dengan anak yang bermasalah dengan hukum, lahirlah UndangUndang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dengan segala
kelemahannya telah banyak mengundang perhatian publik, sehingga sehingga
pada tahun 2011-2012 ini dibahas RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang
disahkan di DPR pada 3 Juli 2012, yang kemudian menjadi Undang-Undang No.
11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012. 40

37

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak dibawah Umur, (Bandung, P.T Alumni : 2010) hal.

55
38

Lilik Mulyadi, Peradilan Anak di Indonesia (Teori, Praktek dan Permasalahannya),
(Bandung, Mandar Maju : 2005) hal. 3
39
M. Nasir Djamil, Anak bukan untuk dihukum, (Jakarta, Sinar Grafika : 2015) hal. 27
40
Ibid, hal. 28

Universitas Sumatera Utara

41

Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti
sepanjang sejarah kehidupan, karena anak , karena anak adalah generasi penerus
bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai
subjek pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa
depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia
berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia
Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 41
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan
tolak ukur peradapan bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan dengan sesuai
kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu
tindakan hukum yang berakibat hukum. Perlunya ada jaminan hukum bagi
kegiatan perlindungan anak. Kepastian perlindungan hukum perlu diusahan demi
kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang
membawa akibat negatif

yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan

perlindungan anak. 42
Pasal 2 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dan telah dirubah menjadi Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, bahwa menyebutkan penyelenggaraan perlin