PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR:05/PID./2014/PT.TK.)

(1)

Kalsum Sari Asih

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH

ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR:05/PID./2014/PT.TK.) Oleh

Kalsum Sari Asih

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibat hilangnya nyawa orang lain adalah salah satu masalah yang serius di kalangan masyarakat, terlebih jika pelakunya adalah anak-anak yang usianya masih sangat muda, perkebangan jasmani, rohani, dan sosialnya belum sempurna, dalam bertindak belum didasarkan atas pertimbangan yang matang (labil), dan mudah terpengaruh oleh lingkungan pergaulan. Anak sebagai pelaku tindak pidana juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sama halnya dalam kasus pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh Merza Yuhanda, seorang anak berusia 15 tahun yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Kota Bumi dengan Nomor: 400/Pid.b/Anak/2013/PN.KB dan naik banding di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dengan Nomor:05/Pid./2014/PT.TK. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain serta apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan.

Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Penentuan narasumber dalam penelitian ini meliputi Pejabat Peradilan pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Hakim Pengadilan Negeri Kota Bumi, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung serta Dosen/ Akademisi Fakultas Hukum Bagian Pidana Universitas Lampung. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan studi lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode editing, sistematisasi dan interpretasi.

Pertanggungjawaban pidana bagi anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain terbukti secara sah dan bersalah melanggar Pasal 365 ayat (3) KUHP, dan oleh majelis hakim dijatuhi tindakan berupa penjatuhan pidana pokok dalam bentuk penjara selama 6 (enam) tahun, karena memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana, pencurian oleh anak yang berusia 15 tahun tersebut tidak bisa diberikan diversi karena ancaman pada Pasal 365 tersebut di atas 7 tahun. Faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain terdiri dari


(2)

masyarakat, terdakwa dan kepentingan korban, hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi pelaku, berdasarkan pendekatan keilmuan, pendekatan pengalaman, tuntutan jaksa dan alat bukti

Saran dalam penelitian ini yaitu Hakim dalam memutus suatu perkara yang ditangannginya agar tidak keliru dan bersungguh-sungguh, karena dikhawatirkan merugikan salah satu pihak yang sedang berperkara di pengadilan.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan, Anak.


(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH

ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR:05/PID./2014/PT.TK.)

Oleh

Kalsum Sari Asih

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(Skripsi)

Oleh

Kalsum Sari Asih

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana .... 16

1. Pengertian Tindak Pidana ... 16

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 17

B. Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan ... 20

C. Pengertian Anak dan Undang-undang yang Mengatur Tentang Anak ... 22

1. Pengertian Anak ... 22

2. Undang-undang yang Mengatur Tentang Anak ... 23

D. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 30

E. Dasar Pertimbangan Hakim ... 33

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 37

C. Penentuan Narasumber ... 38


(8)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Perkara Nomor:05/Pid./2014/PT.TK ... 41 B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Sebagai Pelaku

Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Pada Putusan

Nomor:05/Pid./2014/PT.TK. ... 45 C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap

Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang

(Studi Kasus Putusan Nomor:05/Pid./2014/PT.TK.) ... 51

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 64 B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

MOTO

TIDAK PANTAS BAGI ORANG YANG BODOH ITU MENDIAMKAN KEBODOHANNYA DAN

TIDAK PANTAS PULA ORANG YANG BERILMU MENDIAMKAN ILMUNYA

(H.R ATH-THABRANI)

KESABARAN ITU TIADA BATAS,

DIKATAKAN MENCAPAI BATAS KETIKA KITA MULAI MENYERAH

YAKIN, USAHA, SEMANGAT DAN BERDO A (PENULIS)

AKULAH PENENTU NASIBKU, AKULAH SANG NAHKODA JIWAKU

(WILLIAM ERNEST HENRY)

HAL PALING MENYENANGKAN DI DUNIA ADALAH MELAKUKAN SESUATU, DIMANA ORANG MENGATAKAN KAMU TIDAK BISA.


(10)

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesempatan sehingga dapat ku selesaikan

sebuah karya ilmiah ini dan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang selalu kita harapkan Syafaatnya di

hari akhir kelak. Aku persembahkan karya ini kepada: Kedua orang tua yang selalu mencintai, menyayangi,

mendo akan dan mendidikku:

Ngatori dan Marsini

Serta untuk adikku yang senantiasa memberikan dukungan kepada ku dengan kasih sayang yang tulus, serta seluruh

keluarga yang melengkapi hari-hariku:

Riki Junaidi

Untuk sahabat dan teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan dukungan dan motivasi serta menemaniku

dalam suka dan duka dalam mencapai keberhasilanku. Almamater Universitas Lampung


(11)

RIWAYAT HIDUP

Kalsum Sari Asih dilahirkan di Desa Sidosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, pada tanggal 02 April 1993, anak pertama dari dua bersaudara pasangan dari Bapak Ngatori dan Ibu Marsini.

Pendidikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sidosari yang diselesaikan pada Tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Hidayah Sukajaya Rajabasa yang diselesaikan pada Tahun 2008, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah 2 Bandarlampung yang diselesaikan pada Tahun 2011.

Pada tahun yang sama peneliti terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung Melalui Jalur Penerimaan Mahasiswa Perluasan Akses Pendidikan (PMPAP). Peneliti mengikuti program Kuliah Kerja Nyata periode 2014 mulai tanggal 11 Agustus 2014 sampai dengan 18 September 2014 di Desa Way Gelam, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lampung Selatan.


(12)

Alhamdulillahirobbilalamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan melantunkan nama-Mu yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul:

“Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan

Kekerasan yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan Nomor:05/Pid./2014/PT.TK)”.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(13)

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Ibu Hj. Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

5. Ibu Hj. Firganefi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya juga kepada penulis untuk memberikan bimbingan, arahan serta dukungan sehingga dapat terselesaikannya Skripsi ini.

6. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan masukan dan dukungan sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

7. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I, yang telah memberikan masukan serta saran sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

8. Bapak Budi Riski H, S.H., M.,H., selaku Dosen Pembahas II, yang telah memberikan masukan serta saran dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Ibu Rini Fathonah selaku Pembimbing Akademik yang telah memberi bimbingan akademik, bantuan dan saran kepada penulis selama ini.

10. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih telah memberikan


(14)

11. Bapak Indra Lasman Karim, S.H., Bapak Nasaruddin, S.H., Bapak Parman, S.H., dan seluruh staf yang telah meluangkan Waktunya untuk

memberikan arahan, dukungan dan do’a pada saat penulis melakukan

reseach.

12. Teristimewa untuk Mamak dan Bapak, Marsini dan Ngatori. Terimakasih

atas semua pengorbanan, dukungan serta do’a yang tulus disetiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku. I LOVE YOU.

13. Adiku Riki Junaidi dan semua saudaraku tercinta, terimakasih atas dukungannya.

14. Teman-teman seperjuangan yang paling istimewa, Emilia Sari, Elsa Stella Nova, Lasmaida Manik, Ernawati Sihombing, Tika Dolok, Nurul, Novi, Tina, Yulia, Mimin Elsha, Mbak Yessi, Kodri Ubaidillah dan yang lainnya. Terimakasih banyak atas dukungan, keceriaan, dan kebersamaan kalian selama 4 tahun terakhir di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

15. Teman-teman KKN di Desa Way Gelam Kecamatan Candi Puro Kab. Lampung Selatan, Luluk Jazila Issa, M. Iqbal Imadudin, Istiyana, Wilyan Pratama. Terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama proses KKN berlangsung.


(15)

16. MAHUSA UNILA, Terimakasih atas didikan dan dukungan Mahusa selama ini. Angkatan 29 Mahusa Unila, Boleng, Lempem, my beloved sister Ceti Penelope, Balung, dan Gomes. Terimakasih atas keceriaan, kekonyolan serta kerjasamanya selama ini. Serta seluruh Senior dan adik-adik yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terimakasih dan tetap semangat. SALAM LESTARI!!!!!!!!!

17.Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi yang tidak penulis sebutkan satu-persatu.

18. Almamaterku tercinta Universitas Lampung, terimakasih.

Wassalamualaikum, Wr.Wb

Bandar Lampung, Agustus 2015


(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi di masyarakat adalah pencurian. Dimana melihat keadaan masyarakat sekarang ini sangat memungkinkan orang untuk mencari jalan pintas dengan mencuri. Dari media-media massa dan media elektronik menunjukkan bahwa seringnya terjadi kejahatan pencurian dengan berbagai jenisnya dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup yang tidak tercukupi. Dengan berkembangnya tindak pidana pencurian maka berkembang pula bentuk-bentuk lain dari pencurian. Salah satunya yang sering dilakukan adalah tindak pidana pencurian dengan kekerasan.

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain adalah salah satu masalah yang sering muncul dikalangan masyarakat, perbuatan tersebut sangat bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarkat yaitu norma agama dan adat-istiadat, sekaligus bertentangan dengan norma ketentuan hukum pidana dan melanggar hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup.

Pasal 365KUHP menentukanbahwa:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal.


(17)

2

(2) tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendirinatau peserta lainnya atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.

(3) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:

1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.

2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. 3. Jika masuk ketempat melakukan kejahatan dengan merusak atau

memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

(4) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Berkaitan dengan pelaku tindak pidana tersebut adalah anak, maka berlakulah Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menerangkan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

Anak pelaku tindak pidana juga harus mempertangungjawabkan atas perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan

teorekenbaarheid atau criminal responsbility yang mejurus kepada pemidanaan pelaku dengan meksud untuk menentukan seseorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.1

Pertanggungjawaban pidana anak tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada hukum materiil seperti yang diatur dalam KUHP, karena KUHP tersebut ketentuan hukumnya bersifat konvensional yang mengacu kepada kepentingan hukum kolonial Belanda, tetapi juga karena perilaku dan peradaban manusia

1

Amir Ilyas,Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rengkang Education: Yogyakarta dan Pukap Indonesia, 2012, hlm.73.


(18)

sudah sedemikian kompleks bahkan perkembangannya jauh lebih cepat dari peraturan yang ada.2

Syarat penjatuhan pidana dalam teori hukum pidana dan praktik hukum pidana yangmerujuk pada ajaran dualistis meliputi, syarat objektif yaitu tindak pidana yang menunjuk padapelanggaran terhadap perbuatan yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangansebagai perbuatan terlarang dan tercela, syarat subjektif yakni adanyapertanggungjawaban pidana yang dinilai dari adanya kemampuan bertanggung jawab, adanyakesalahan yang terdiri dari kesengajaan (dolus) dan atau kelalaian (culpa), dan tidak ada alasanpemaaf. Adapun 3 (tiga) unsur dari pertanggungjawaban pidana adalah sebagai berikut :Pertama, adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat (unsur mampu bertanggung jawab). Kedua,hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus)atau kealpaan (culpa) ini disebut bentuk-bentuk kesalahan (unsur kesalahan). Ketiga,tidak adaalasan penghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Pertimbangan hakim tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimpulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.3

2

Bunadi Hidayat,Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, Bandung: P.T.Alumni, 2010, hlm. 49. 3

Ahmad Rifai,Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.94.


(19)

4

Hakim dalam menjatuhan pidanaterhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:4

1. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya.

2. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari.

3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya.

4. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.

Proses penjatuhan putusan yang dilakukan hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan.Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus meyakini apakahseorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak, dengan tetap berpedomanpada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari perbuatan yang dilakukan olehpelaku pidana. Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakimakan menjatuhkan keputusan, yang dinamakan dengan putusan hakim, pernyataanhakim yang merupakan sebagai pernyataan pejabat negara yang diberi wewenanguntuk putusan itu. Jadi putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan padaketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani.5

Ada beberapa faktor kenapa orang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan, salah satu diantaranya adalah perasaan dendam dan iri. Pelaku tindak pidana tersebut bahkan tidak lagi mengenal batas usia, baik orang dewasa maupun anak-anak yang belum cukup umur. Sama halnya dengan tindak pidana yang telah

4

Ibid. Hlm. 111. 5

Bambang Sutiyoso,Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia,Yogyakarta: UII Press, 2010, hlm.95.


(20)

memperoleh kekuatan hukum tetap di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Tanjung Karang sebagaimana tertuang dalam putusan Nomor : 05/Pid./2014/PT.TK, dalam putusan tersebut terdakwa yang bernama Merza Yuhanda dinyatakan terbukti secara sah dan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain” sebagaimana diatur dalam Pasal 365 KUHP dan dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) tahun.

Sebelum dijatuhi Putusan Nomor : 05/Pid./2014/PT.TK, terdakwa telah di Putus di Pengadilan Negri Kotabumi atas tindak pidana yang telah diperbuat. Dalam Putusan Nomor : 400/Pid.b/Anak/2013/PN.KB, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Pecurian dengan kekerasan

mengakibatkan mati”dan menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa berupa menyerahkan terdakwa tersebut kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan permintaan banding terhadap putusan Pengadilan Negri Kotabumi karena Pengadilan Negri Kotabumi dianggap sudah salah dalam menerapkan hukuman terhadap terdakwa, dimana dampak dari penjatuhan hukuman seperti itu tidak hanya meninggalkan luka yang mendalam kepada keluarga korban, tetapi juga akan menghantui rasa ketakutan masyarakat umum terhadap perbuatan terdakwa tersebut karena dimungkinkan perbuatan sekejam itu akan terulang lagi ditengah masyarakat.

Hakim tingkat banding menilai penjatuhan tindakan terhadap terdakwa tersebut sangat ringan jika dibandingkan dengan perbutan terdakwa yang telah merencanakan membunuh korban Abdul Wahab Bin Muhammad Nur yang


(21)

6

berteman dengan terdakwa. Sehingga penjatuhan pidana tersebut tidak memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, karena tidak sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Pengadilan Tinggi Tanjung Karang menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kejahatan Pencurian dengan Kekerasan Mengakibatkan Mati dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih mendalammengenai pertanggungjawaban pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan dan menuangkan dalam judul

penelitian “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan Nomor:05/Pid./2014/Pt.Tk.)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. BagaimanakahPertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain (Studi Kasus Putusan Nomor:05/Pid./2014/PT.TK.)?


(22)

2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dalam Putusan Nomor:05/Pid./2014/PT.TK?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan yang Dilakukan Oleh Anak dan Dasar Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Putusan terhadap pelaku Pencurian

dengan kekerasan sebagaimana terdapat dalam Putusan

Nomor:05/Pid./2014/PT.TK. sedangkan ruang lingkup tempat penelitian yaitu pada wilayah hukum Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Pengadilan Negeri Kotabumi tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas tentang :

a. Pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelakutindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain (Studi Kasus Putusan Nomor:05/Pid./2014/PT.TK.).

b. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Tindak

Pidana Pencurian dengan Kekerasan dalam Putusan


(23)

8

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta sebagai bahan masukan bagi pengembangan ilmu hukum dengan mengungkapkan secara objektif tentangkenyataan-kenyataan yang terjadi di dalam pelaksanaan pemidanaan terhadap anak serta penjatuhan pidana terhadap anak.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis, untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pelaksanaan koordinasi penegak hukum oleh hakim memberikan penjatuhan pidana, khususnya terhadap anak di bawah umur.

D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan dari suatu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.

Menurut hukum adat seseorang dikatakan belum dewasa apabila seseorang itu belummenikah dan belum terlepas dari tanggungjawab orang tua.Batas umur seseorang belum atau sudah dewasa (minderjarig), apabila ia belum berumur 15 (lima belas) tahun kecuali apabila sebelumnya itu sudah memperlihatkan telah


(24)

matang untuk bersetubuh (geslachtssrijp) tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan) tahun.6

Pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Mampu Bertanggungjawab

Kemampuan bertanggung jawab (dalam arti kesalahan) ditetapkanoleh hubungan kausal (sebab akibat) antara penyimpangan jiwa terdakwa dandelik. Untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.

2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.7

Pertama adalah faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.

2. Kesalahan

a. Kesengajaan (dolus)

Petunjuk tentang arti kesengajaan dapat diketahui dari WvT (Meorie van Toelichting), yang memberi arti kesengajaan sebagai : “menghendaki dan mengethui”. Dengan demikian, sengaja dapat diartikan menghendaki dan

6

Maidin gultom,perlindungan hukum terhadap anak, Bandug: Rafika Aditaa, 2008, hlm.31. 7


(25)

10

mengetahui apa yang dilakukan. Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori yang berkaitan dengan dengan kesengajaan sebagai berikut:8

1) Teori kehendak (Wilstheorie)

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

2) Teori pengetahuan atau Membayangkan (Voorstel-lingtheorie)

Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya; orang tidak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkan.

b. Kealpaan (culpa)

Menurut Van Hamel, kealpaan mengandung dua syarat, yaitu:9

1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaiana diharuskan oleh hukum. 2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Kealpaan seseorang itu harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau psychis. Maksudnya adalah tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguhnya, maka haruskah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran sikapbatin orang pada umumnya, apabila ada dalam situasi yang sama dengan si pembuat. Yang harus memegang ukuran normatif dari kealpaan adalah haki. Hakimlah yang harus menilai suatu perbuatan in corcreto dengan ukuran norma penghati-hati atau penduga-duga, dengan memperhitungkan di dalam segala keadaan dan keadaan pribadi si pembuat.

8

Diah Gustiniati dan Budi Rizki H,Asas-asas dan Pemidanaan di Indonesia, Bandar Lampung: Justice Publisher, 2014, hlm. 121

9


(26)

3. Tidak Ada Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsground ini manyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responbility, alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal.

Menurut Mackenzei dalam bukunya Ahmad Rifai, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapatdipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatuperkara, yaitu sebagai berikut:10

1. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disin adalah keseimbangan antarasyarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentinagan pihak-pihak yangtesangkut atau berakitan dengan perkara, yaitu anatara lain seperti adanyakeseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dankepentingan korban.

2. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan darihakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengankeadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihatkeadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan senidipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan olehinstink atau intuisi dari pada penegtahuan dari hakim.

3. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidanaharus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannyadengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusanhakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalammemutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instinksemata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasankeilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunyadalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalamanyang dimilikinya, seorang hakim dapat

10


(27)

12

mengetahui bagaimana dampak dari putusanyang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korbanmaupun masyarakat. 5. TeoriRatio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yangmempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yangdisengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan denganpokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan,serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untukmenegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

Pasal 183 KUHAP menentukan bahwa:

Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Pasal184 KUHAP menentukan bahwa: (1) Alat bukti yang sah ialah :

a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa;

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Peran hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


(28)

mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat”.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pegamatan dalam penelitian. 11 Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana.12

b. Tindak pidana (Strafbaar feit)menurut Moeljatno dalam bukunya Tri Andrisman adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.13

c. Pencurian adalah Barangsiapa mengambil barng sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana paling lama lima tahun dan atau denda paling banyak enam puluh rupiah ( Pasal 362 tentang pencurian KUHP ).

d. Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai

11

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia: Press Jakarta, 1983, hlm.121.

12

Tri Andrisman,Hukum Pidana. Buku Ajar Universitas Lampung, 2009, hlm. 94. 13Ibid,


(29)

14

kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang.14

e. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang dalam kandungan (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002). Sementara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak adalah orang yangdalam perkara anak nakal telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

E. Sistematika Penulisan

Agar skripsi ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul skripsi, maka dalam sub bab ini penulis akan membuat sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan menguraikan gambaran umum mengenai penulisan hukum yang mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan dan sistematika penulisan hukum, pendekatan masalah sumber dan jenis data, lokasi penelitian, penentuan populasi dari sempel, metode pengumpulan data dan pengolahan data, serta analisis data.

14

https://asiaaudiovisualra09gunawanwibisono.wordpress.com/2009/07/05/pengertian-kekerasan/, diakses pada 22 Februari 2015


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai menjelaskan teori-teori yang berhubungan dengan judul. Pada bab II memberikan penjelasan mengenai tinjauan umum tentang kejahatan, dan tinjauan umum tentangpemidanaan terhadap anak.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini mengemukakan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam melakukan penelitian, meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, lokasi penelitian, penentuan narasumber, metode pengumpulan data dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan pembahasan terhadap permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini dengan menggunakan data yang diperoleh dilapangan baik berupa data primer maupun data sekunder yang menyajikan hasil penelitian disertai dengan pembahasan mengenai tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan penutup yang merupakan kesimpulan tentang hal-hal yang telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu, guna menjawab permasalahan yang telah diajukan. Dalam bab ini diberikan juga sumbangan pemikiran berupa saran-saran terhadap permasalahan dalam penulisan ini.


(31)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan dengan yang dimaksud strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam kamus hukum pembatasan delik tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).”1

Tindak pidana yang dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeitdan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan

1


(32)

suatu undang- undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana.2

Pada umumnya tindak pidana disinonimkan dengan delik , yang berasaldari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman disebut delict,dan dalam bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Besar BahasaIndonesia menggunakan istilah delik yaitu perbuatan yang dapatdikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undangtindak pidana.3

Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” yaituperbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum, laranganmana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,bagi barang siapa yang berupa pidana tertentu.

Sedangkan Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenaipengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yangoleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yangdilarang.4

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut Lamintang5

,unsur delik terdiri atas dua macam, yakniunsur subjektif dan unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur subjektifadalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubunganpada diri si pelaku dan termasuk didalamnya segala sesuatu yangterkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud dengan unsurobjektif adalah unsur yuang ada hubungannya dengan

2

Amir Ilyas,Op.Cit., hlm. 20. 3

Teguh Prasetyo,Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 47. 4

Mahrus Ali,Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 97-98. 5


(33)

18

keadaan-keadaan,yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu harusdilakukan.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindakan itu adalah sebagai berikut: a. Kesengajaan atau ketidaksengaajan (dolusatauculpa) b. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan ataupoging.

c. Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdaptmisalnya di dalam kejahatan pencurian, penipuan,pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad,seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhanmenurut Pasal 340 KUHPidana. e. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalamrumusan tindak

pidana menurut Pasal 308 KUHPidana.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut: a. Sifat melawan hukum atauwederrechtelijkheid

b. Kualitas dari si pelaku. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Menurut simon, seorang penganut aliran monistis dalam merumuskan pengertian tindak pidana, ia memberikan unsurunsur tindak pidana sebagai berikut:6

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan.

2. Diancam dengan pidana. 3. Melawan hukum.

4. Dilakukan dengan kesalahan dan orang yang mampu bertanggungjawab.

6

Tri Andrisman,Asas-Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung: Universitas Lampung. 20111. hlm. 72 .


(34)

Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan hukumobjektif atau subjektif bergantung dari bunyi redaksi rumusan tindakpidana yang bersangkutan. Unsur yang bersifat objektif adalah semuaunsur yang berada di luar keadaan batin manusia atau si pembuat, yaknisemua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaantertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan objek tindakpidana. Sementara itu, unsur yang bersifat subjektif adalah semua unsuryang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya.7

Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) hukuman dibedakan menjadi dua, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Pengaturan ini terdapat dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:

a. Pidana Pokok 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan. b. Pidana Tabahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim.

Pengaturan mengenai hukuman tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa

7

Adami Chazawi,Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. hlm.83.


(35)

20

hukuman tambahan tersebut terbatas pada 3 bentuk di atas saja. Pada prinsipnya memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan dari sesuatu hal yang pokok.

B. Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan itu telah diatur dalam Pasal 365 KUHP, yangrumusannya sebagai berikut:8

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhdap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.

2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:

a. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, diberjalan,

b. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu c. Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau emanjat

atau dengan memakia anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

d. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

8

Andi Hamzah,Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.77.


(36)

3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

4) Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertaipula oleh salahsatu hal yang diterangkan dalam nomor 1 dan 3.

Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHPidanasesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yangterdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang, ataupun bukan merupakan suatusamenloopdarikejahatan pencurian dengan kejagatan pemakaian kekerasan terhadaporang.

Pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP, yang pada intinya memiliki unsur : 1. Maksud untuk “mempersiapkan pencurian”, yaitu perbuatan kekerasan

atau ancaman kekerasan yang mendahului pengambilan barang. Misalnya : mengikat penjaga rumah, memukul dan lain-lain.

2. Maksud untuk “mempermudah pencurian”, yaitu pengambilan barang

dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Misalnya : menodong agar diam, tidak bergerak, sedangkan si pencuri lain mengambil barang-barang dalam rumah.9

Pencurian dengan kekerasan bukanlah merupakan gabungandalam artian gabungan antara tindak pidana pencurian dengan tindakpidana kekerasan maupun 9

M. Sudradjat Bassar,Tindak -tindak Pidana tertentu Di Dalam KUHP, Bandung: Remaja Karva,1986, hlm.71.


(37)

22

ancaman kekerasan, kekerasan dalam hal inimerupakan keadaan yang berkualifikasi, maksudnya adalah kekerasanadalah suatu keadaan yang mengubah kualifikasi pencurian biasa menjadipencurian dengan kekerasan. Dengan demikian unsur-unsurnya dikatakansama dengan Pasal 362 KUHPidana ditambahkan unsur kekerasan atauancaman kekerasan.

C. Pengertian Anak dan Undang-Undang yang Mengatur Tentang Anak

1. Pengertian Anak

Secara umum, kita ketahui yang dimaksud dengan anak yaitu orang yang masih belum dewasa atau masih belum kawin. Terdapat beberapa pengertian tentanganak menurut Peraturan Perundan-undangan dan para ahli.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, penjelasan tentang anak terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang berada dalam kandungan. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat (3) Anak adalah anak yang telah berumur 12 (duabelas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Nomor: 1/PUU-VII/2010, Tanggal 24 Februari 2011, Terhadap Pengadilan Anak Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa frase 8 tahun dalam pasal 1 angka 1, pasal 4 ayat (1) dan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak


(38)

bertentangan dengan UUD 1945, sehingga MK memutuskan batas minimal usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun.

Sedangkan pembatasan pengertian anak menurut beberapa ahli yakni sebagai berikut:

Menurut Sugiri sebagai mana yang dikutip dalam buku karya Maidi Gultom mengatakan bahwa:

“selama di tubuhnya masih berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, anak

itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan belas) tahun untuk wanita dan 21 (dua puluh) tahun untuk laki-laki.”10

Pada penulisan skripsi ini penulis memberikan batasan pengertian anak yakni seseorang telah mencapai usia 8 (delapan) tahun dan belum 18 (delapan belas) tahun serta belum kawin.

2. Undang-Undang yang Mengatur Tentang Anak

a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anakjo

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Terdapat beberapa perubahan dan perkembangan, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah disahkan oleh Presiden bersama DPR pada akhir bulan juli 2012 lalu dibanding dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

10

Maidin Gultom,Perlindungan Hukum Terhadap AnakCetakan Kedua, Bandung: P.T.Refika Aditama, 2010, hlm.32.


(39)

24

Tujuannya adalah untuk semakin efektifnya perlindungan anak dalam sistem peradilan demi terwujudnya Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (integrated criminal justice system) atau juga bisa jadi pemunduran terhadap nilai-nilai yang telah ada sebelumnya.

Pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat perubahan-perubahan dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, diantaranya :

1. Definisi anak

Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat definisi Anak dan Anak Nakal.

“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum

pernah kawin.”

Anak Nakal adalah :

a. anak yang melakukan tindak pidana; atau

b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum

lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.”

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pengertian anak diperluas lagi, dan cenderung kepada penggunaan anak dalam sistem peradilan, yaitu Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana, dan Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana, hal ini juga tidak


(40)

terlepas dengan adanya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sehingga mempengaruhi definisi anak dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Lembaga yang Mengatur Tentang Anak

Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tidak disebutkan secara rinci tentang lembaga-lembaga apa saja yang terdapat dalam SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak). Tetapi dalam perkembangannya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat lembaga-lembaga antara lain : Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).

a. Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya.

b. Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung. c. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat

LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.

3. Asas-asas

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak menyebut secara khusus bahwa pengadilan anak didasarkan atas asas-asas apa saja, tetapi dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak hal tersebut tertuang dalam Pasal 2 yang berbunyi:


(41)

26

“Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:

a. pelindungan; b. keadilan;

c. nondiskriminasi;

d. kepentingan terbaik bagi Anak; e. penghargaan terhadap pendapat Anak;

f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak; g. pembinaan dan pembimbingan Anak;

h. proporsional;

i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan j. penghindaran pembalasan.

4. Sanksi pidana

undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maupun Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memuat sanksi pidana, baik pokok maupun tambahan, antara lain :

Undang-undangNo. 3 Tahun 1997 Undang-undang No. 11 Tahun 2012

Pidana Pokok Pidana Pokok

a. pidana penjara; b. pidana kurungan; c. pidana denda; atau d. pidana pengawasan.

a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: 1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan.

c. pelatihan kerja;

d.pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara.

Pidana Tambahan Pidana Tambahan

a. perampasan barang-barang tertentu dan atau

b. pembayaran ganti rugi.

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat.


(42)

5. Ketentuan pidana11

6. Diversi dan Keadilan Restoratif

Tidak adanya pengaturan secara jelas alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi. Dalam upaya diversi ini Lembaga Kepolisian dapat menggunakan kewenangan diskresioner yang dimilikinya. Antara lain tidak menahan anak, tetapi menetapkan suatu tindakan berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya atau menyerahkannya kepada negara. Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan karena lembaga penuntutan tidak memiliki kewenangan diskresioner. Sedangkan pada tingkatan pengadilan diversi terbatas pada tindakan pengadilan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Untuk itu perlu adanya pengaturan tentang upaya diversi secara jelas baik pada tingkat kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan sebagaimana halnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Sehingga aparat kepolisian tidak menggunakannya kewenangannya itu sekehendak hatinya, tetapi berlandaskan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Kemudian dalam pelaksanaan proses peradilan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 belum mengutamakan pendekatan hukum dengan keadilan Restoratif, sama halnya dengan pendekatan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 yang mengutamakan pendekatan keadila restorative.

11

Heri Setiawan, “Sistem Peradilan Pidana Anak, Perbandingan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”, http://herisetiawan22.blogspot.com/2012/12/sistem-peradilan-pidana-anak.html. diakses pada 17 Maret 2015.


(43)

28

7. Jangka waktu atau masa penangkapan danpenahanan

Tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak nakal. Dalam prakteknya penangkapan terhadap anak nakal disamakan dengan orang dewasa. Yang membedakan hanya jangka waktu penahanan terhadap anak lebih singkat dari orang dewasa. Perlunya pengaturan secara jelas terhadap penangkapan dan penahanan terhadap anak agar lebih memberikan perlindungan yang maksimal terhadap anak dan terhindar dari perlakuan-perlakuan yang salah dari aparat penegak hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Pasal 81 ayat (2) telah menetapkan bahwapidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ncaman pidana orang dewasa.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002. Penyelenggaraan undang-undang ini berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi:

a. Non Diskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik untuk anak;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya; d. Penghargaan terhadap anak.

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari


(44)

kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera (Pasal 3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 memuat 20 hak anak dan keawajiban anak. Karena anak adalah subyek hukum yang kepadanya melekat hak dan kewajiban yang harus dijamin pelaksanaannya. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur tentang Hak dan Kewajiban Anak yang tertuang dalam Pasal 4 hingga Pasal 19.

c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Anak dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpamembeda-bedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial.

Pasal 2 menentukan bahwa:

(1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

(2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna.

(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

(4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.


(45)

30

Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi yang dilakukan oleh Pemerintah dan atau masyarakat.

D. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.

Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tiada Pidana tanpa kesalahan" (Geen Straf Zonder Schuld) untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan.Kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.

Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana.


(46)

Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana, unsur tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana harus terpenuhi.

Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan obyektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subyektif yang terdiri dari kemampuan bertanggungjawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).

Pasal 44, 48, dan Pasal 49 ayat (2) KUHP menentukan bahwa tidak semua orang yang telah melakukan tindak pidana dapat dipidana, hal ini terkait dengan alasan pemaaf dan alasan pembenar. Alasan pemaaf yaitu suatu alasan tidak dapat dipidananya seseorang dikarenakan keadaan orang tersebut secara hukum dimaafkan. Alasan pembenar yaitu tidak dapat dipidananya seseorang yang telah melakukan tindak pidana dikarenakan ada undang-undang yang mengatur bahwa perbuatan tersebut dibenarkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 48, 49 ayat (1), 50 dan 51 KUHP.

Pasal 44 KUHP menentukan bahwa:

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjwabkan kepedanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepda pelakunya karenapertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang dimasukan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentun dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negri.

Pasal 48 KUHP menentukan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.


(47)

32

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tidak dipidana. Asas

yang tidak tertulis : “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan tentu

dasar daripada dipidananya si pembuat.

Dilihat dari sudut terjadinya satu tindakan yang terlarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakannya apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau

rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk orang itu dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Moeljatno, seseorang harus bertanggungjawab secara sendiri atau bersama orang lain, karena kesengajaan atau kelalaian secara aktif atau pasif dilakukan dalam wujud perbuatan melawan hukum, baik dalam tahap pelaksanaan maupun dalam tahap percobaan. Pendapat para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:12

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang benar, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.

12


(48)

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Pertanggungjawaban pidana tidak hanya menyangkut soal hukum semata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Van Hemel menyatakan bahwa pertanggungjawaban yaitu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk:13

1. Memahami arti dan akibat perbuatan sendiri

2. Memahami bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat.

3. Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.

Pertanggungjawaban pidana adalah pengertian kesalahan yang luas, yang tidak boleh dicampuradukan dengan yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP. Pasal 44 KUHP merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan dari kemampuan bertanggungjawab. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan melawan hukum.

E. Dasar Pertimbangan Hakim

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yangdiberi wewenang oleh undang-undang untuk 13

P.A.F. Lamintang,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. hlm.108.


(49)

34

mengadili. Kemudian kata “mengadili”sebagai rangakain tindakan hakim untuk

menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara danmenjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.

Menurut Ahmad Rifai, hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggungjawabkan putusnnya.14

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat.15

Putusan hakim haruslah berisi alasan-alasan dan pertimbanga-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Dimana dalam pertimbangan-pertimbangan itudapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan yang diambil. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus 14

Ahmad Rifai.Op.Cit., hlm.94. 15Ibid


(50)

meyakini apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak, dengan tetap berpedoman pada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pidana.


(51)

✁6

III. METODE PENELITIAN

Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas, diperlukan data dan informasi yang relevan terhadap judul dan perumusan masalah serta identifikasi masalah, untuk itu agar diperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

A. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini penulis melakukan dua hal pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan penulis dalam usaha mencari kebenaran dengan melihat asas-asas yang terdapat dalam berbagai peraturan undang-undang terutama yang berhubungan dengan Putusan Pengadilan Nomor:05/Pid./2014/Pt.Tk, yang berlokasi di wilayah hukum Pengadilan Negeri KotaBumi dan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang tentang Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkn Orang Mati.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris yaitu menelaah hukum sebagai pola perilaku yang ditunjukkan pada penerapan peraturan hukum. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi-informasi di lapangan yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan Tindak Pidana


(52)

Pencurian dengan Kekerasan yang Mengakibatkn Orang Mati tersebut. Penggunaan kedua macam pendekatan tersebut dilakukan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas danbenar terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian guna penulisan skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan. Sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.1 Data primer dalam penulisan ini diperoleh dari pengamatan atau wawancara dengan para responden, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan masalah skripsi ini.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

1

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press. 2006. Hlm. 15 .


(53)

38

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

b. Bahan hukum sekunder, yaitu putusan hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor:05/Pid./2014/Pt.Tk, Putusan pada Pengadilan Negeri Kotabumi Nomor:400/Pid.b/Anak/2013/PN.KB,serta bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti undang-undang, literatur-literatur, makalah-makalah, dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan hukum tersier, yaitu kamus-kamus yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

C. Penentuan Narasumber

Narasuber adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Dalam penelitian ini yang menjadi narasumber yaitu Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Hakim Pengadilan Negeri Kota Bumi, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung dan Dosen bagian Hukum Pidana Universitas Lampung. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dari narasumber yang telah dipilih sebagai sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh narasumber.


(54)

Metode penentuan narasumber yang akan diteliti yaitu menggunakan metode

Purposive Sampling, yaitu penarikan narasumber yang dilakukan berdasarkan penunjukan yang sesuai dengan wewenang atau kedudukan sampel. Adapun narasumberdalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pejabat Peradilan pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang = 1 orang

b. Hakim Pengadilan Negeri Kota Bumi = 1 orang

c. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung = 1 orang

d. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung = 1 orang

Jumlah = 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data ditentukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh dataprimer. Studi lapangan ini dilakukan dengan metode wawancara terpimpin, yaitu dengan mengajukan pertanyaan kepada para responden yang telah ditentukan dimana pertanyaan tersebut telah disiapkan terlebih dahulu.

b. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, dengan studi kepustakaan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil penelitian, yang


(55)

40

dilakukan dengn cara membaca, mengutip dan menelaah bahan-bahan hukum dan literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan yang akan dibahas.

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari data sekunder maupun data primer kemudian dilakukan metode sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan penulisan yang akan dibahas

b. Sistematisasi, yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis.

c. Interpensi, yaitu mehubungkan, membandingkan, dan menguraikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian, untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan.

E. Analisis Data

Data yang sudah terkumpul dan tersusun secara sistematis kemudian dianalisis dengan metode kualitatif, yaitu mengungkapkan dan memahami kebenaran masalah dan pembahasan dengan menafsirkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, lalu data tersebut diuraikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara terperinci, sistematis dan analisis sehingga akan mempermudah dalam penarikan suatu kesimpulan.


(56)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh peneliti, hasil penelitian serta pembahasan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak (Studi Kasus Putusan Nomor:05/Pid./2014/Pt.Tk.), maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terdiri 3 (tiga) unsur, yaitu kemampuan untuk bertanggungjawab, adanya kesalahan dan tidak adanya alasan pemaaf dan pembenar. Terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor:05/Pid./2014/PT.TK yaitu menyatakan Merza Yuhanda terbukti secara sah dan bersalah karena perbuatannya melanggar Pasal 365 ayat (3) KUHP dan memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, dan oleh majelis hakim dijatuhi pidana penjara 6 (enam) tahun setelah sebelumnya majelis hakim pada Pengadilan Negeri Kota Bumi menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa berupa menyerahkan terdakwa tersebut kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Selain itu juga bahwa terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani sehingga terdakwa dianggap dapat mempertanggungjawabkan


(57)

65

tindak pidana yang telah dilakukannya, menetapkan bahwa lamanya terdakwa sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap dikurangi seluruhnya.

2. Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak sebagai pelaku pencurian dengan kekerasan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor:05/Pid./2014/PT.TK terdiri dari beberapa aspek yaitu berdasarkan keseimbangan demi kepentingan masyarakat, terdakwa dan kepentingan korban, penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi pelaku, berdasarkan pendekatan keilmuan, pendekatan pengalaman, tuntutan jaksa dan alat bukti. Pada undang-undang Nomor 11 tahun 2012, tuntutan pidana bagi anak adalah ½ (satu per dua) dari orang dewasa, hakim menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan karena mengakibatkan korban mati, yang sebelumnya telah diputus oleh

Pengadilan Negeri KotaBumi dengan

Nomor:400/Pid.b/Anak/2013/PN.KB, memutus pelaku sebagai anak negara.

B. Saran

1. Diharapkan untuk selalu mengutamakan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur secara khusus untuk menjadi landasan dan pedoman bagi pelaksanaan keadilan secara Restoratif secara umum supaya dalam perkara anak yang berhadapan dengan hukum penanganannya dapat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


(58)

2. Hakim dalam memutus suatu perkara yang ditangannginya agar tidak keliru dan bersungguh-sungguh dalam memutus perkara dikemudian hari, karena dikhawatirkan merugikan salah satu pihak yang sedang berperkara di pengadilan.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

A. LITERATUR

Andrisman, Tri. 2011. Asas-asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia. Bandar Lampung: Univesitas Lampung.

Ali, Mahrus .2011.Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika

Bassar, M. Sudradjat.1986. Tindak -tindak Pidana tertentu Di Dalam KUHP. Bandung :Remaja Karva.

Chazawi, Adami. 2002.Pengantar Hukum Pidana Bag 1,Jakarta: Grafindo. . 2010,Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers.

Gultom, Maidin.2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandug : Rafika Aditaa.

. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Cetakan Kedua. Bandung: P.T.Refika Aditama.

Gustiniati, Diah dan Budi Rizki. 2014. Azas-Azas Hukum Pidana dan Pemidanaan Di Indonesia. Bandar Lampung: Justice Publisher.

Hamzah, Andi. 2010. Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Jakarta:Sinar Grafika

Hidayat, Bunadi. 2010. Pemidanaan Anak Di Bawah Umur. Bandung: P.T.Alumni.


(60)

Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Marpaung, Leden. 2009. Asas Teori Praktik Hukum Pidana. Cetakan ketujuh. Jakarta:, Sinar Grafika.

Moeljatno, 1987.Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: PT Bina Aksara. , 2003.Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Prasetyo, Teguh. 2011. Hukum Pidana. Cetakan Kedua. Jakarta: P.T. Raja Grafindo.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

Saleh, Ruslan. 1982. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia: Press Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 2006. Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”.Jakarta: Rajawali Pers.

Sudarsono. 2007.Kamus Hukum, Cetakan Kelima, Jakarta: P.T.Rineka Cipta. Sutiyoso, Bambang. 2010. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di


(61)

B. UNDANG-UNDANG

Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004joUndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

C. WEBSITE

https://asiaaudiovisualra09gunawanwibisono.wordpress.com/2009/07/05/pengerti an-kekerasan/, diakses pada 22 Februari 2015

Syarif, “Pertanggungjawaban Pidana” https://syarifblackdolphin. wordpress.com/ 2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana/, diakses pada 01 Maret 2015

Heri Setiawan, “Sistem Peradilan Pidana Anak, Perbandingan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Dengan Undang-Undang No. 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”,

http://herisetiawan22.blogspot.com/2012/12/sistem-peradilan-pidana-anak.html. diakses pada 17 Maret 2015.


(1)

64

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh peneliti, hasil penelitian serta pembahasan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak (Studi Kasus Putusan Nomor:05/Pid./2014/Pt.Tk.), maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terdiri 3 (tiga) unsur, yaitu kemampuan untuk bertanggungjawab, adanya kesalahan dan tidak adanya alasan pemaaf dan pembenar. Terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor:05/Pid./2014/PT.TK yaitu menyatakan Merza Yuhanda terbukti secara sah dan bersalah karena perbuatannya melanggar Pasal 365 ayat (3) KUHP dan memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, dan oleh majelis hakim dijatuhi pidana penjara 6 (enam) tahun setelah sebelumnya majelis hakim pada Pengadilan Negeri Kota Bumi menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa berupa menyerahkan terdakwa tersebut kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Selain itu juga bahwa terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani sehingga terdakwa dianggap dapat mempertanggungjawabkan


(2)

65

tindak pidana yang telah dilakukannya, menetapkan bahwa lamanya terdakwa sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap dikurangi seluruhnya.

2. Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak sebagai pelaku pencurian dengan kekerasan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor:05/Pid./2014/PT.TK terdiri dari beberapa aspek yaitu berdasarkan keseimbangan demi kepentingan masyarakat, terdakwa dan kepentingan korban, penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi pelaku, berdasarkan pendekatan keilmuan, pendekatan pengalaman, tuntutan jaksa dan alat bukti. Pada undang-undang Nomor 11 tahun 2012, tuntutan pidana bagi anak adalah ½ (satu per dua) dari orang dewasa, hakim menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan karena mengakibatkan korban mati, yang sebelumnya telah diputus oleh

Pengadilan Negeri KotaBumi dengan

Nomor:400/Pid.b/Anak/2013/PN.KB, memutus pelaku sebagai anak negara.

B. Saran

1. Diharapkan untuk selalu mengutamakan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur secara khusus untuk menjadi landasan dan pedoman bagi pelaksanaan keadilan secara Restoratif secara umum supaya dalam perkara anak yang berhadapan dengan hukum penanganannya dapat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


(3)

66

2. Hakim dalam memutus suatu perkara yang ditangannginya agar tidak keliru dan bersungguh-sungguh dalam memutus perkara dikemudian hari, karena dikhawatirkan merugikan salah satu pihak yang sedang berperkara di pengadilan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. LITERATUR

Andrisman, Tri. 2011. Asas-asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia. Bandar Lampung: Univesitas Lampung.

Ali, Mahrus .2011.Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika

Bassar, M. Sudradjat.1986. Tindak -tindak Pidana tertentu Di Dalam KUHP. Bandung :Remaja Karva.

Chazawi, Adami. 2002.Pengantar Hukum Pidana Bag 1,Jakarta: Grafindo. . 2010,Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers.

Gultom, Maidin.2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandug : Rafika Aditaa.

. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Cetakan Kedua. Bandung: P.T.Refika Aditama.

Gustiniati, Diah dan Budi Rizki. 2014. Azas-Azas Hukum Pidana dan Pemidanaan Di Indonesia. Bandar Lampung: Justice Publisher.

Hamzah, Andi. 2010. Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Jakarta:Sinar Grafika

Hidayat, Bunadi. 2010. Pemidanaan Anak Di Bawah Umur. Bandung: P.T.Alumni.


(5)

Ilyas, Amir. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana.Yogyakarta: Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia.

Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Marpaung, Leden. 2009. Asas Teori Praktik Hukum Pidana. Cetakan ketujuh. Jakarta:, Sinar Grafika.

Moeljatno, 1987.Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: PT Bina Aksara. , 2003.Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Prasetyo, Teguh. 2011. Hukum Pidana. Cetakan Kedua. Jakarta: P.T. Raja Grafindo.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

Saleh, Ruslan. 1982. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia: Press Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 2006. Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”.Jakarta: Rajawali Pers.

Sudarsono. 2007.Kamus Hukum, Cetakan Kelima, Jakarta: P.T.Rineka Cipta. Sutiyoso, Bambang. 2010. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di


(6)

B. UNDANG-UNDANG

Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004joUndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

C. WEBSITE

https://asiaaudiovisualra09gunawanwibisono.wordpress.com/2009/07/05/pengerti an-kekerasan/, diakses pada 22 Februari 2015

Syarif, “Pertanggungjawaban Pidana” https://syarifblackdolphin. wordpress.com/ 2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana/, diakses pada 01 Maret 2015

Heri Setiawan, “Sistem Peradilan Pidana Anak, Perbandingan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”, http://herisetiawan22.blogspot.com/2012/12/sistem-peradilan-pidana-anak.html. diakses pada 17 Maret 2015.