Publication | INDOHUN INDOHUN News No

INDOHUN
NUM BE R 1 4

NE WS

O C TO BER 2017

Health and Beyond
IM P ROVI NG HE ALT H FO RAA L L P EO P L E WO RL DWI D E

Editorial Team
Tim Redaksi
E D I TO R/ PE N Y U NTING

Samuel Josafat Olam
Alexandra Tatgyana Suatan
Alessa Fahira
E D I TO R/D E S I G NER

Amita Paramal Dini
CO N T RI B U TO R/ KONTRIBU TOR


Ayunita Khairunnisa
Vania Chrisiawanto

H OW TO CO N T R I BU T E

nco@indohun.org

Be the irst to know about our aciviies and iniiaives.
Jadilah orang pertama yang mengetahui akivitas dan ide baru kami.
WEBSITE
www.indohun.org
FAC E B OOK
Indonesia One Health University Network
I N S TAG RAM
@indohun.id
T W I T T ER
@Indohun
I N D O H U N N AT I O N A L CO OR D I NAT I NG OFFI C E
Kampus Baru Universitas Indonesia

Faculty of Public Health, G Building 3rd Floor, Room 316
Depok, West Java, Indonesia 16424
021-29302084/ 0812-8145-0949

This newsleter is made possible by the generous support of the American people through the United States Agency for Internaional Development
(USAID). The contents are the responsibility of One Health Workforce implemening partners and do not necessarily relect the views of USAID or the
United States Government.
Surat kabar ini dapat terwujud dengan bantuan warga Amerika melalui United States Agency for Internaional Development (USAID).
Isi merupakan tanggung jawab mitra pelaksana One Health Workforce dan idak mereleksikan visi USAID maupun Pemerintah Amerika Serikat.

2

Content
Datar Isi
O C TO B E R 2017 • N U M B E R 1 4 • I ND OHU N NEWS

WELCOME

5 | Leter from the Coordinator
ACT IVITY


6 | From Life Styles to Life Values
“This is my irst ime going out of my hometown and seing foot on another island,” said Miranda. [...]

11 | Transforming One Health Workforce into Global Health Advocates

That aternoon in a conference room, thirty young people sat around some tables as they [...]

20 | One Health Approaches in Combaing Zoonoic
Diseases
Zoonoic disease is currently a major issue in
Indonesia, paricularly its high incidence of [...]

S TORY

24 | Learning from the Neighbour
“It was a bright sunny day when Putu Cri [...]
28 | Regional Training of Trainers: One Health
Problem Based Book
“The act of collaboraion between mulisectoral

health professionals is the essence of [...]

SU RGE

16 | Facing the Threat of Bioterrorism
In 1918, over 500,000 Americans were killed during
the Spanish lu epidemics, which is [...]

31 |

3

OPPORT U NI T Y

4

WE LCOM E

Leter from the Coordinator
Surat dari Koordinator


Selamat datang di edisi terbaru INDOHUN News.
Seperi biasa, edisi ini dan edisi-edisi berikutnya,
akan diisi dengan berbagai hal menarik yang
terjadi di INDOHUN dan lembaga mitra. Kami juga
membagikan kesempatan dan informasi yang Anda
perlukan untuk menjadi tenaga kerja One Health
yang lebih baik.
Surat kabar ini diisi dengan ide-ide baru dan
arikel inspiraif, membawa cerita dari kegiatan
INDOHUN yang melibatkan fakultas dan
mahasiswa.
Kami berusaha untuk membuat konten yang
sesuai dengan tema, tetapi kami juga berusaha
untuk terbuka terhadap siapapun yang ingin
berkontribusi. Dengan diterbitkannya edisi ini,
kami mengundang seluruh anggota INDOHUN
untuk mengajukan arikel untuk edisi selanjutnya.
Dengan hormat, kami membawakan hasil kerja
keras orang-orang yang sudah begitu berkomitmen

untuk surat kabar ini, dan kami senang karena
Anda menikmai surat kabar ini.

Welcome to the latest ediion of the INDOHUN
News. As always, this issue and all those that
follow, will highlight some great things going on at
INDOHUN and its partner organizaions. We also
share opportuniies and informaion you need to be a
beter One Health workforce.
The newsleter is formed by new ideas and
inspiring aricles, telling the stories of INDOHUN
programs that involve faculty and students.
While we have tried to organize the content
according to themes, we also tried not to place
restricions on what people wanted to contribute.
With the release of this issue, we are inviing all
INDOHUN members to submit your ideas on topics
to be covered in the next issue.
We are honored to share the work of so many
commited and thoughful people, and we are happy

that you enjoy reading this newsleter.
Prof. Wiku Adisasmito
INDOHUN Coordinator

Prof. Wiku Adisasmito
Koordinator INDOHUN

5

INDO HUN .ORG

From Life Styles to Life Values
Dari Gaya Hidup ke Nilai Hidup
BY/O L E H A L E XA N D RA TATGYA N A S UATAN, SAMU E L J OSAFAT OLAM

“This is my irst ime going out of my hometown and
seing foot on another island,” said Miranda.
Miranda, currently a public health student at
Mulawarman University, East Kalimantan, is one of
the 56 paricipants of Global Health True Leaders

2.0 Training (GHTL 2.0). As the name implies, GHTL
2.0 is the new generaion of Global Health True
Leaders training designed for future leaders that are
sill in their undergraduate educaion. The training
welcomed third year students and above, including
those undergoing professional internship in medicine,
veterinary medicine, nursing, and others.
For Miranda, the training was a completely new

“Ini kali pertamaku keluar dari kotaku dan
menginjakkan kaki di pulau yang lain,” ujar
Miranda.
Miranda, mahasiswa kesehatan masyarakat
yang berasal dari Universitas Mulawarman,
Kalimantan Timur, adalah salah satu dari 56
peserta pelaihan Global Health True Leaders 2.0
(GHTL 2.0). Sesuai dengan namanya, GHTL 2.0
atau GHTL generasi baru ditujukan untuk calon
pemimpin masa depan yang masih mengemban
pendidikan di bangku kuliah. Kebanyakan dari

mereka adalah mahasiswa semester 5 hingga
mahasiswa profesi yang sedang mengejar

6

ACTIV I T Y

experience that taught her things she had never
learned in school. The training consists of four
days of in-class sessions and three days of ield
work and outdoor aciviies. Topics were delivered
in accordance to INDOHUN Global Health True
Leaders training module, designed to help students
understand the basic principles in facing global
threats such as emerging outbreaks and pandemics.
Throughout the training, paricipants learned
about global health issues and challenges, infecious
disease management, epidemiology, and risk analysis.
They were also trained to develop a set sot skills in
leadership, communicaion, behaviour modiicaion,

collaboraion, advocacy, culture, trust, values, ethics,
and many more.
GHTL 2.0 developed the awareness that every
human being, including Miranda herself, has a role in
facing future global issues and challenges, so we need
to take acive paricipaion in shaping naional and
global health policies and other aciviies to solve the
problems.
Being asked about the in-class sessions, Miranda
shared her posiive impressions on the topics
delivered by Prof. dr. Adik Wibowo, MPH, DrPH
on the pinciples of social communicaion. Miranda
gained a valuable experience when she, as a imid
introvert, was pushed beyond her boundaries to

gelar dokter atau dokter hewan atau ners dan
sebagainya.
GHTL 2.0 mengajarkan banyak hal yang
sebelumnya idak pernah didapai oleh Miranda
di bangku pendidikan formalnya. Pelaihan

dimulai dari pelajaran di dalam kelas yang
menghabiskan 4 hari dari total 7 hari pelaihan.
Materi yang disampaikan para pelaih di dalam
kelas menggunakan sebuah modul yang mencakup
semua topik mengenai konsep One Health. Modul
ini didesain untuk membantu para peserta yang
masih duduk di bangku kuliah untuk memahami
berbagai prinsip dasar untuk mengahadapi
ancaman global seperi wabah yang sewaktuwaktu bisa menyerang.
Dalam pelaihan ini, para peserta secara khusus
belajar mengenai tantangan kesehatan global,
manajemen penyakit infeksi, serta epidemioogi
dan analisis risiko. Peserta juga mendapat materi
tentang budaya, kepercayaan, nilai, dan eika,
nilai kehidupan pemimpin sejai, komunikasi,
pengembangan perilaku, kolaborasi, advokasi dan
kebijakan, dan lain-lain.
GHTL 2.0 membangun kesadaran bahwa seiap
manusia, termasuk Miranda, memiliki peran dalam
menghadapi isu-isu global dan tantangan masa
depan, sehingga kita perlu akif terlibat dalam

7

INDO HUN .ORG

pengambilan kebijakan-kebijakan kesehatan dan
berbagai upaya pemecahan masalah di sekitar kita.
Ditanya mengenai pengalamannya mengikui
kegiatan di kelas, Miranda bercerita bahwa
nilai-nilai tentang Komunikasi Sosial yang
disampaikan seorang pelaih, Prof. dr. Adik
Wibowo, MPH, DrPH, berhasil membuka
pemikirannya. Miranda menghargai pengalaman
bekerja bersama rekan-rekan yang idak ia kenal
sebelumnya untuk berpikir cepat dan cerdas
dalam waktu terbatas. Sedangkan peserta
lain yang bernama Dylan menyatakan bahwa
salah satu hal paling menarik yang ia dapatkan
adalah pengetahuan mengenai advokasi,
bagaimana berbicara dengan baik, sistemais, dan
meyakinkan. “Sulit sekali menjawab pertanyaan
yang idak terduga dari lawan bicara kita dan
mencoba merancang beberapa skenario saat
bertemu dengan pemangku kepeningan bisa
terasa melelahkan.”
Dylan, yang masih kuliah di Jurusan Farmasi
Insitut Teknologi Bandung, mengatakan
bahwa kegiatan di dalam kelas sangat dinamis.
Mulai dari memperhaikan pelajaran teori yang
disampaikan para pelaih, tertantang untuk terus
mengangkat tangan hendak menjawab keika
ada pertanyaan yang dilontarkan oleh pelaih,

conidently speak for her team in a role play. “It was
a challenging yet interesing experience to work
together with a group of new friends in a short ime,
to think fast and smart.” Another paricipant named
Dylan shared his interesing experience of being
trained in advocacy skills, how to speak well, in a
systemaic and convincing manner. He explained, “It
was so hard to answer unexpected quesions and also
so iring to make several scenarios of what we will do
when meeing the stakeholder.”
Dylan, currently studying at the Faculty of
Pharmacy, Bandung Insitute of Technology,
considered the in-class sessions very dynamic. He
learned a lot from atending lectures delivered by
expert trainers, being challenged with mind provoking
quesions, working together in groups to discuss
and solve the exercise problems given at the end
of every lecture, and having fun in games and ice
breakers prepared by the commitee in-between
the classes. In this new generaion of Global Health
True Leaders training, many topics were delivered
using entertaining and engaging visual aids, such as
videos. One video made a lasing impression to Dylan.
That was on the Ebola outbreak in Africa, which
showcased the real-life example of how a complex
problem can be solved with the involvement of many
sectors. He understood that, “Working in a team

8

ACTIV I T Y

berdiskusi mengerjakan laihan-laihan kelompok
yang langsung diberikan oleh pelaih di akhir
sesi ajar mereka, sampai mengikui ice breaking
yang disisipkan paniia di tengah-tengah kegiatan
kelas yang cukup menguras otak. Materi pun
idak hanya disampaikan dengan slides, tetapi
juga menggunakan video. Salah satu yang paling
berkesan menurut Dylan adalah video kasus Ebola
di Afrika karena membuka pandangannya bahwa
beberapa persoalan baru bisa dipecahkan dengan
keterlibatan banyak orang. “Keika kita bekerja
di dalam im memang kita idak bisa secepat saat
kita bekerja sendiri, namun kita bisa mengatasi
permasalahan yang lebih rumit.”
Beban pelaihan yang cukup berat cukup
mereleksikan bagaimana beratnya menjadi
pemimpin masa depan dengan tantangan
kesehatan yang semakin kompleks. Belum lagi
ditambah dengan tugas-tugas kelompok yang
harus dikerjakan di luar jam pelajaran. Ditambah
pula dengan tugas angkatan yang juga harus
dikerjakan di luar jam pelajaran dan overlap
dengan tugas kelompok. Terkadang, beban yang
terlalu banyak ini membuat peserta jenuh. Akan
tetapi, dengan sungguh-sungguh menerapkan
prinsip kolaborasi dari pendekatan One Health dan
saling memberi dukungan antar anggota kelompok,
semua tugas dapat diselesaikan dengan baik.
Metode belajar yang selalu berujung kepada
diskusi dan kolaborasi sungguh membantu para
peserta keika melaksanakan kegiatan live-in
di desa Gondosuli. Live-in adalah salah satu
rangkaian GHTL 2.0, di mana para peserta inggal
dan berakivitas bersama dengan warga desa.
Kolaborasi dan kerja sama di Desa ini sungguh
sangat kental, apalagi dengan mata pencaharian
warganya yang sebagian besar hidup sebagai
petani. Para peserta sungguh mendapatkan
manfaat nyata dari hasil kerja sama keika bertani.
Mereka juga melihat secara langsung betapa
disiplinnya para petani yang seiap hari bangun
dini hari untuk merawat sayuran yang selama ini
didapatkan dengan mudah oleh peserta.
Tidak berheni sampai di situ, pengalaman
inggal di desa ini membuat para peserta
merasakan hidup sederhana yang jauh dari gaya
hidup mereka sebagai mahasiswa muda, di mana

means we cannot go as fast as working alone but we
could cover much wider range and slowly tackle the
challenges.”
The ight training schedule, as well as the amount
of tasks and homework one need to complete during
the training set an example to the students on how
diicult it is to be future global health leaders, with
all the complex challenges within the health system.
Paricipants were given individual and group tasks to
work on, someimes to the point where they got really
exhausted and depleted. However, in those situaions,
they learned to apply the strategies of working
collaboraively and provide support to each other, so
they can complete all the tasks together.
Implemening teaching and learning methods
that lead to discussion and collaboraion is one of
the most important strategies of GHTL 2.0. This was
shown to be very helpful when the paricipants had
their two-night stay in Gondosuli village. There, they
lived together with the locals and joined them in their
daily aciviies. With a majority of people working as
farmers, collaboraion and team work are inseparable

9

INDO HUN .ORG

from the lives of people in Gondosuli. From them,
GHTL 2.0 paricipants learned about the beneits
of working together and the exemplary discipline
required from the farmers to produce our foods that
we oten take for granted.
Not only that, the experience of living in a
village taught the paricipants about modesty and
sustainable living, away from the modern lifestyles
and technology. The ease of communicaions using
smartphones and laptops was not a common
thing in the village. And being there, paricipants
like Miranda and Dylan learned to improve faceto-face conversaions, and understand the values
of communicaions and togetherness. That kind
of experience is exactly what GHTL 2.0 wants to
ofer to the younger generaions, many of them are
millennials who live in the urban environment.
The many life values taught during the training
has made GHTL 2.0 an unforgetable experience.
A supporive environment for collaboraion was
palpable as the training reached its end, when
paricipants conducted their community intervenion
aciviies. They successfully worked across disciplines
in the area of human, animal, and environmental
health with great eiciency.
Miranda, who had promised to herself not to stay
in her comfort zone, successfully proved that courage
will pay with a good result. Not only she discovered
new places and friends, she also found valuable life
values for herself.
GHTL 2.0 is a story of change. It is a story about
young people transforming into true leaders by
changing their minds, shiting their focus from life
styles to life values.

kebanyakan sudah dimajakan oleh kemajuan
teknologi. Menggunakan telepon pintar dan laptop
adalah hal yang mudah untuk mereka lakukan.
Sementara di sini, di desa ini, Miranda, Dylan,
dan peserta lainnya sungguh belajar peningnya
berkomunikasi secara langsung dan bekerja
sama. Tanpa melalui telepon, tetapi melalui tatap
muka. Sejainya nilai ini sudah hampir musnah
ditelan gaya hidup milenial dan sulit dilakukan
oleh masyarakat urban dan anak-anak “zaman
sekarang”.
Banyaknya nilai kehidupan yang diterima
oleh para peserta, membuat sisa hari pelaihan
semakin berkesan. Suasana kolaborasi yang sangat
kental mulai terasa, terutama keika para peserta
mengadakan kegiatan sosial. Kolaborasi antar
peserta tanpa menyalahi kode eik masing-masing
program studi sungguh memberikan manfaat yang
besar terhadap penggunaan waktu yang efekif
dan eisien.
Miranda yang awalnya bertekad agar
dirinya idak akan terkungkung di dalam zona
nyaman telah membukikan bahwa keberanian
membuahkan hasil yang manis. Tidak hanya
berhasil keluar dari kota tempat Ia inggal selama
ini, Miranda juga berhasil mendapatkan banyak
pelajaran hidup yang berharga. Begitu pula yang
dirasakan oleh mahasiswa-mahasiswa lain selama
mengikui pelaihan GHTL 2.0.
Metamorfosis sempurna seorang mahasiswa
untuk menjadi pemimpin sejai dimulai dari
mengubah nilai kehidupan yang semu menjadi nilai
kehidupan yang sejai. Dari yang awalnya hanya
berfokus untuk meningkatkan gaya hidup, menjadi
berfokus untuk meningkatkan nilai kehidupan.
Dari gaya hidup menjadi nilai hidup. Inilah
GHTL 2.0.

10

ACTIV I T Y

Transforming One Health Workforce
into Global Health Advocates
Mendidik Tenaga One Health Menjadi Advokat Kesehatan Global
BY/O L E H A M I TA PARAMAL DINI

Siang hari di ruang konferensi, iga puluh pemuda
duduk mengelilingi meja untuk membahas
iga belas agenda rapat. Meja-meja tersebut
ditempelkan satu sama lain tanpa celah sehingga
membentuk persegi panjang yang berlubang di
tengahnya. Mikrofon, miniatur bendera, dan papan
nama negara-negara anggota ASEAN diletakkan
secara rapi di atas meja, tepat di depan peserta
rapat yang mewakili Sekretariat ASEAN dan
Negara Anggota.
Salah satu peserta, yang bernama Adelina

That aternoon in a conference room, thirty young
people sat around some tables as they discussed
thirteen meeing agenda. The tables were placed
together to form hollow rectangular without any gaps.
Table top microphones, miniature lags, and acrylic
name plates of ASEAN Member States were nicely set
in front of the paricipants who represented ASEAN
Secretariat and Member States.
One of the atendees, named Adelina Kusuma
Wardhani, took a seat with a desk name plate “Chair”.
There was no lag on her table but within her reach,

11

INDO HUN .ORG

Kusuma Wardhani, menduduki kursi di sebuah
meja panjang dengan papan nama bertuliskan
“Chair”. Di atas mejanya idak ada bendera, tetapi
ada palu sidang yang sering terlihat di rapat level
inggi. Bendera-bendera besar berdiri rapi di
belakangnya, mewakili Sekretariat ASEAN dan
Negara Anggota ASEAN yang hadir dalam rapat
tersebut. Adelina, yang hari itu ditunjuk sebagai
pimpinan rapat, tampak serius saat mendengarkan
pernyataan salah satu peserta rapat. Mereka
sedang mendiskusikan masalah kesehatan
saat iba-iba muncul sebuah video pada layar
besar di samping Adelina. Setelah video selesai
ditayangkan, Ketua Delegasi Thailand keluar ruang
rapat untuk memberikan pernyataan kepada media
terkait situasi dalam video tersebut.
Rapat tersebut merupakan simulasi ASEAN
Senior Oicials’ Emergency Meeing yang
dilaksanakan sebagai bagian dari pelaihan
Global Health Diplomacy. Pelaihan ini diciptakan
untuk meningkatkan kemampuan diplomasi para
tenaga kerja bidang kesehatan dan mahasiswa
pascasarjana. “Indonesia membutuhkan anakanak muda yang siap mewakili negara ini untuk
membangun kerjasama level internasional,
terutama di bidang kesehatan. Untuk membuat

there was a wooden gavel, similar to the one that is
used in meeings of a deliberaive assembly. Huge
lags were arranged behind the chairwoman’s seat,
represening ASEAN and its member states that
atended the meeing. Adelina, who occupied the
central sit, put on a serious face while listening to a
statement from one of the meeing atendees. They
were discussing about a health issue when suddenly
a breaking news video popped up on huge screens
beside Adelina. Ater the video has ended, Head
Delegates of Thailand went out of the room to give
press conference on the situaion in the news.
The meeing was actually a simulaion of ASEAN
Senior Oicials’ Emergency Meeing that was held
as a part of Global Health Diplomacy training. This
training was designed to improve diplomacy skills of
One Health workforce and postgraduate students.
“Indonesia needs young generaion who is ready
to represent this country in building internaional
level of collaboraion, especially in the health sector.
Developing health policy cannot only use your
knowledge about health but you have to be able
to negoiate and make an efecive decision,” said
Prof. Wiku Adisasmito, professor in health policy at
Universitas Indonesia who also serves as Coordinator
of Indonesia One Health University Network

12

ACTIV I T Y

kebijakan kesehatan, idak cukup dengan
ilmu kesehatan, tetapi Anda juga harus bisa
bernegosiasi dan membuat keputusan dengan
cepat,” ujar Prof. Wiku Adisasmito, profesor bidang
kebijakan kesehatan di Universitas Indonesia yang
juga menjabat sebagai Koordinator Indonesia One
Health University Network (INDOHUN).
Munculnya masalah kesehatan baru seperi
tuberkulosis resisten obat menjadi pemicu bagi
INDOHUN untuk mengumpulkan prakisi muda
dalam pelaihan ini. Bekerja sama dengan Diklat
Sesparlu Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, mereka belajar untuk menyusun
peraturan terkait penggunaan anibioik,
pelayanan kesehatan, kerja sama pemerintahswasta, dan bioterorisme. Dalam simulasi rapat,
peserta menghasilkan rancangan kesepakatan
untuk menyelesaikan masalah-masalah kesehatan
dan keamanan di wilayah ASEAN.
Walaupun mayoritas peserta idak memiliki
pengalaman dalam diplomasi, rapat idak
dijalankan dengan asal-asalan. Peserta idak serta
merta dijebloskan dalam simulasi rapat. Sejak dua
hari sebelumnya, mereka telah dibekali materi oleh
diplomat dan dosen. Salah satu pembicara adalah
Prof. Makarim Wibisono yang pernah menjabat
sebagai Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan

(INDOHUN).
New health problems such as mulidrug-resistant
tuberculosis (MDR-TB) have emerged and become a
trigger for INDOHUN to gather young praciioners
in this training. Collaboraing with Senior Diplomaic
Course of Ministry of Foreign Afairs (Sesparlu
Kementerian Luar Negeri), they learned to develop
a policy on anibioic, healthcare, public-private
partnership, and bioterrorism. During meeing
simulaion, paricipants delivered a drat resoluion to
solve health and security problems in ASEAN.
Although a lot of paricipants did not have any
past experience in diplomacy, it does not mean
they conducted the meeing simulaion carelessly.
They were not instantly thrown in the meeing. Two
days prior to simulaion, they have learned from ten
diplomats and lecturers. One of the trainers was Prof.
Makarim Wibisono who once became Indonesian
Ambassador to the United Naions. He gave an
explanaion of the instrument of health diplomacy.
His session was equipped with the other sessions,
such as a session on how to write a resoluion
and make diplomaic speeches with Andhika
Chrisnayudhanto, Director of Regional Cooperaion
and Mulilateral Deputy III The Naional Agency for
Combaing Terrorism. Odo Manuhutu, Director of
Sesparlu, also explained how to develop negoiaion

11

INDO HUN .ORG

Bangsa-Bangsa. Ia menjelaskan tentang instrumen
yang digunakan dalam diplomasi kesehatan. Sesi
lainnya dibawakan oleh Andhika Chrisnayudhanto,
Direktur Kerjasama Regional dan Mulilateral
Kedepuian III BNPT, mengajarkan peserta untuk
menyusun resolusi dan pidato diplomaik. Odo
Manuhutu, Direktur Sesparlu, juga menjelaskan
bagaimana cara menyusun strategi dan sikap
negosiasi, serta cara mempengaruhi orang lain.
Namun tetap saja, Adelina mengaku bingung
saat pertama kali ditugaskan menjadi pimpinan
rapat. Ia idak familiar dengan isilah diplomasi
karena tumbuh dalam lingkungan sains. Selama
menjadi pimpinan rapat, ia juga harus fokus
mendengarkan dan menyimpulkan seiap argumen,
sembari memasikan rapat berjalan tepat waktu
sesuai agenda. Setelah mengeri dinamika rapat
dan mendapat nasihat dari salah satu pembicara,
Artauli Tobing (yang pernah menjabat sebagai
Duta Besar Indonesia untuk Vietnam), ia mulai bisa
mengarahkan rapat. “Bu Artauli Tobing sempat
bilang pada saya bahwa menjadi pimpinan rapat
itu merupakan suatu laihan, sebuah proses. Harus
mengasah insing untuk menjadi orang yang bisa
mengambil keputusan dan pintar mengatur waktu.”
Dulu saat Adelina masih kuliah di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, ia kurang

manner and strategy as well as social inluencing and
cultural competence.
But sill, Adelina was quite confused when she
was assigned as chairwoman. She was unfamiliar
with diplomaic terms as she grew up learning the
applicaion of science. Moreover, being a chairwoman
means she had to focus on listening and concluding
every arguments, while ensuring the meeing was on
schedule. Ater she grasped the low of the meeing
and received advices from one of the trainers, Artauli
Tobing (who was Former Indonesian Ambassador
to Vietnam), Adelina could manage the meeing.
“Ms. Artauli Tobing once said to me that being a
chairwoman was an exercise, a process. We have to
sharpen our insinct to be a more decisive person and
beter at ime management.”
When Adelina was studying at the Faculty of
Medicine Universitas Indonesia, she did not get much
exposure to global health issues. She used to think
that the issue had no direct implicaions on her life.
As ime passed, she realized that global health is a
crucial topic and it requires good negoiaion skill
to embrace the topic as well as work in that area.
Medical school taught her human anatomy, but
possibly not diplomacy. That is why she is willing to
take 5 days of work to atend the Global Health
Diplomacy training.

14

ACTIV I T Y

Ivan Limanjaya, who recently completed a
master’s in Psychiatry from Cardif University,
agreed on her statement, “As a medical workforce,
the majority of educaion that I got only focus on
the clinical knowledge and skill. Communicaion
and diplomacy were not the main topics.” Ivan oten
feel awkward when giving informaion to paients in
hospital and community health center (puskesmas).
On the irst day of the Global Health Diplomacy
training, he was an awkward man but he was more
daring to make an argument since the third day.
Surprisingly, he was assigned as chairman on the last
day of meeing simulaion.
On the other hand, Meuthika Noor Fitriyana who
oten works with community in the ield, had some
diicult imes iing herself into the training as it had
formal ambience with all the aire, seaing, and table
manner. Her adaptaion skill helped her to be able to
follow the training. She was more than happy that the
training successfully engaged her to acively speak
because of the good discussions. What she obtained
during the training could be applied to her job.
Prior to training, paricipants had to read and
explore a lot of informaion about the country that
they represented. Those informaion helped them to
make arguments, write press releases, and handle
the media during press conference. Ater joining the
Global Health Diplomacy training, some paricipants
admited that they started to shit their perspecives
on diplomat. They understood how Indonesian
diplomats ight for their rights in the internaional
forum, especially in the health forum. Any reading
materials, negoiaion strategies, diplomaic terms,
and how to create a drat resoluion; now they know.

terpapar dengan isu kesehatan global. Saat itu ia
merasa isu tersebut idak berdampak langsung
pada kehidupannya. Namun akhirnya ia sadar
bahwa kesehatan global adalah isu pening dan
membutuhkan kemampuan negosiasi untuk
memahami topik tersebut. Sekolah kedokteran
mengajarkan anatomi manusia tetapi mungkin
idak mengajarkan diplomasi. Itulah alasan Adelina
rela mengambil 5 hari cui kerja untuk mengikui
pelaihan Global Health Diplomacy.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ivan
Limanjaya, yang baru saja menyelesaikan kuliah
pascasarjana Jurusan Psikiatri di Cardif University,
“Sebagai seorang tenaga medis, kebanyakan
pendidikan yang saya terima sebelumnya memiliki
fokus utama pada keterampilan dan pengetahuan
klinis. Komunikasi dan diplomasi idak jadi
topik utama.” Ivan sering merasa canggung saat
memberikan penyuluhan di rumah sakit dan
puskesmas. Saat hari pertama pelaihan pun, ia
masih canggung. Namun memasuki hari keiga, ia
lebih berani menyampaikan argumennya, bahkan
ia ditunjuk menjadi pimpinan rapat pada hari
terakhir simulasi.
Sementara itu, Meuthika Noor Fitriyana
yang sering bekerja di lapangan dan bertemu
masyarakat, justru kebingungan saat harus
bersikap formal selama pelaihan ini. Namun
kemampuan adaptasinya membantu ia untuk bisa
mengikui pelaihan dengan baik. Menurutnya,
diskusi-diskusi dalam kegiatan ini sangat seru
sehingga mau idak mau ia akif berpendapat.
Ilmu dan pengalaman dari pelaihan ini dapat ia
terapkan dalam pekerjaannya.
Sebelum mengikui pelaihan, peserta wajib
membaca dan mengeksplorasi informasi terkait
negara yang mereka wakili. Informasi tersebut
berguna untuk menyusun argumen, menulis
press release, dan menghadapi media dalam press
conference. Setelah mengikui pelaihan Global
Health Diplomacy, beberapa peserta mengaku
bahwa perspekifnya terhadap diplomat mulai
berubah. Mereka mengeri bagaimana diplomat
Indonesia memperjuangkan hak-hak kesehatan
dalam forum internasional. Mulai dari bahan
bacaan, strategi negosiasi, isilah diplomasi, hingga
cara menyusun rancangan resolusi; kini mereka
mengeri.
15

INDO HUN .ORG

Facing the Threat of Bioterrorism
Menghadapi Ancaman Bioterorisme
BY/O L E H VA N I A C H RI S T I AWANTO, ALE SSA FAHIRA

“Bioterrorists could one day kill hundreds of millions
of people in an atack more deadly than nuclear war.”
—Bill Gates

“Suatu hari nani, bioteroris mampu membunuh
ratusan juta manusia hanya dengan satu serangan
yang lebih memaikan daripada perang nuklir.”
—Bill Gates

Bioterrorism: An Introducion
In 1918, over 500.000 Americans were killed during
the Spanish lu epidemics, which is higher than the
Americans that were killed in all wars fought in the
20th century. This threat has shited the tradiional
deiniion of naional security to not only address
the protecion of a state from physical threats, but
also modern and sophisicated threats—including
pandemic and biological threats.
Biological emergency such as bioterrorism and
pandemics pose complex threats to industry and
government agencies. This issue is serious, reinforced
by the fact of the availability of advanced technology
and its capability to be used for producing serious
biological weapons in the future.
The US Centers for Disease Control and
Prevenion (CDC) deines bioterrorism atack as “the
deliberate release of viruses, bacteria, or other germs
(agents) used to cause illness or death in people,
animal, or plants”. The tendency of such weapon to be
used by terrorist groups is high. The reason of which
is because it acts as a slow and silent killer that at a
certain ime may disperse in a range wider than of an
explosive device and have a muliplicaive efect. One
of the well-known case of bioterrorism is the anthrax
leter atack that occurred in 2001 in the U.S.

Bioterorisme: Sebuah Pengenalan
Pada tahun 1918, lebih dari 500.000 orang
Amerika meninggal akibat epidemi lu Spanyol,
lebih banyak dibandingkan total kemaian orang
Amerika akibat perang yang terjadi di abad
ke-20. Ancaman ini menggeser pemahaman awal
mengenai pengamanan nasional untuk idak
hanya membahas mengenai pengamanan nasional
terhadap ancaman isik, tetapi juga ancaman
pandemi yang bersifat biologis.
Kegawatdaruratan biologis seperi
bioterorisme dan pandemi menjadi suatu ancaman
kompleks tersendiri terhadap industri dan
pemerintah terkait. Isu ini menjadi serius, ditambah
dengan kenyataan bahwa teknologi berkembang
pesat dan kapabilitas terbentuknya senjata biologis
di masa depan nani juga inggi.
US Centers for Disease Control and Prevenion
(CDC) mendeinisikan bioterorisme sebagai
“pelepasan virus, bakteri, atau agen lainnya
untuk menyebabkan penyakit dan kemaian pada
manusia, binatang, dan tanaman”. Kecenderungan
senjata biologis untuk digunakan oleh kelompok
teroris sebenarnya inggi. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan senjata biologis sebagai pembunuh
diam-diam yang dapat menyebar perlahan dengan
jangkauan manusia yang lebih luas, terutama
apabila dibandingkan dengan peledak dan jenis

Bioterrorism: Towards the Creaion of Pandemics
The use of biological agents as weapons may disrupt

16

SURGE

larger urban populaions. For example, if an anthrax
atack took place in a crowded place such as an
internaional airport, the cases would likely be widely
distributed across naion or internaionally. Biological
agents may include pathogens and toxin. Yet,
diferent from toxin that may require certain amounts
to pose signiicant threats to larger populaions,
pathogens (viable living organism) are able to
reproduce and thereater impact larger populaion
even with a small amount. The primary biological
agents to be of concern include: anthrax, plague
and ricin. It has been esimated that an aerosol
distribuion of Plague or Anthrax over Washington,
DC, may lead to the death of 1–3 million people.
Facing Bioterrorism: Learning from the United
States
The increase use of biological agents as weapons
comes with an increase demand for a country to be
able to asses, manage and communicate the risks of
bioterrorism properly.
Risk assessment includes the necessary steps
in monitoring and surveillance. Epidemiological
invesigaion following a certain conirmed case of
biological exposure must be done to predict future
risk of pandemics. Assessment of the locaion and

senjata lainnya. Salah satu kejadian bioterorisme
yang tercatat oleh sejarah adalah serangan dalam
bentuk surat berisi spora antraks (anthrax leter
atack) yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun
2001.
Bioterorisme: Awal Mula Terjadinya Pandemi
Penggunaan senjata biologis dapat mengganggu
populasi urban yang lebih luas. Sebagai contoh,
apabila serangan antraks terjadi di tempat yang
ramai seperi bandara internasional, agen ini
dapat tersebar luas dari satu negara ke lainnya.
Sebenarnya, yang termasuk sebagai agen biologi
dalam kasus ini adalah patogen (organisme hidup)
dan toksin. Namun, berbeda dari toksin yang
membutuhkan kadar tertentu untuk menjadi
ancaman yang berari terhadap populasi, patogen
dapat membelah diri sehingga naninya dapat
mempengaruhi populasi yang lebih luas, walaupun
pada awalnya hanya muncul dari jumlah yang
lebih sedikit. Agen biologis primer yang dinilai
sebagai ancaman termasuk: antraks, pes, dan
risin. Telah diesimasikan bahwa distribusi aerosol
dari penyakit pes maupun antraks terhadap
Washington, DC, dapat menyebabkan kemaian
pada 1-3 juta manusia.

Major areas of concern related to a bioterrorism threat, as stated by Oliver Grundmann in his aricle “The current state of
bioterrorist atack surveillance and preparedness in the US”.

INDO HUN .ORG

group of the populaion (poliicians, scienist, or
general populaion) targets must also be done.
A balance, though, has to be created between
invesigaing and informing to prevent public distress.
Costs, vaccine and treatment availability, impacts
towards economic and casualty risks should also be
determined and listed as part of the assessment.
Risk management remains the central focus
in facing the threat of bioterrorism. The US has
allocated $856 million which include $507 million
for research and development and $348 million for
procurement to the Department of Defense, following
the anthrax leters in 2002 and in the year of 2006,
$460 million to establish a naional preparedness and
response network among hospitals in collaboraion
with the CDC.
Some of the response plan include: (1) the training
of hospital staf to be able to recognize and respond
for certain potenial biological agent and prevent the
disseminaion of the biological agent exposure and
contaminaion, (2) building a statewide response
to create rapid communicaion between exposed
individuals, governor state, federal agencies and
medical unit and (3) building a strategic stockpiling
of vaccines and other respecive medicaions that
can be provided to health assistants and related
individuals for a lesser ime to an afected area—
which is commonly in the US, will only need less than
24 hours.
Risk communicaion is a crucial area which
involves rapid traicking between police, emergencyresponse force, public health department oicials
to achieve opimize response ime and potenial
containment of the outbreak. Creaing a system of
rapid communicaion would then directly reduce
morbidity and mortality caused by bioterrorism.
Given those strategies and issues, naional
governments cannot close their eyes towards
“biosafety” and “biosecurity”. As the threat of
bioterrorist acions must involve several components
in the healthcare system, it is essenial for health
professionals such as physicians, public health
personnel, nurses, pharmacists, veterinarians, and
environmental experts be included as an integral part
to prevent bioterrorism in the future.
The internaional coordinaion to prevent
pandemics and bioterrorism has led to what is called

Menghadapi Bioterorisme: Belajar dari Amerika
Serikat
Kecenderungan peningkatan penggunaan agen
biologis sebagai senjata harus diikui dengan
peningkatan tuntutan sebuah negara untuk dapat
menilai, mengelola, dan menyampaikan segala
risiko dari bioterorisme secara benar.
Penilaian risiko merupakan tahap yang
mencakup semua hal yang diperlukan untuk
pemantauan dan surveilans. Invesigasi
epidemiologi harus dilakukan setelah ditemukan
adanya kasus akibat paparan dari agen biologis
untuk melihat adanya risiko terjadinya pandemi
di masa depan. Peninjauan terhadap lokasi dan
kelompok dari populasi target (seperi poliisi,
ilmuwan, atau populasi umum) juga harus
dilakukan. Semua program surveilans ini harus
didampingi dengan adanya komunikasi yang
baik dari pemerintah atau insitusi terkait untuk
mencegah terjadinya kepanikan publik. Biaya,
ketersediaan dan keterjangkauan vaksin, dampak
terhadap kondisi ekonomi, serta risiko adanya
korban juga perlu dinilai pada tahap ini.
Manajemen risiko merupakan fokus utama
dalam menghadapi ancaman bioterorisme. Setelah
terjadinya perisiwa anthrax leter atack di tahun
2002, Amerika Serikat telah mengalokasikan dana
sebesar $856 juta yang mencakup $507 juta untuk
studi dan riset, serta $348 juta untuk Departemen
Pertahanan, dan pada tahun 2006, $460 juta
untuk mendirikan jaringan komunikasi nasional
untuk kesiapsiagaan terjadinya bioterorisme
dengan bekerjasama dengan CDC.
Beberapa rancangan yang termasuk dalam
program tersebut adalah: (1) pelaihan staf rumah
sakit untuk dapat mendeteksi dan merespon
terhadap adanya potensi agen biologis dan
mencegah terjadinya penyebaran lebih lanjut, (2)
membangun sistem penanganan bioterorisme yang
baik dengan adanya kolaborasi dan komunikasi
yang cepat dari individu, unit medis, pemerintah
setempat dan agen federal yang terpapar, dan
(3) membangun rancangan strategis terhadap
penyediaan serta alokasi vaksin dan alat kesehatan
lainnya untuk mempermudah akses bagi petugas
kesehatan, baik dari segi waktu maupun wilayah.
Komunikasi risiko merupakan lingkup

18

SURGE

yang krusial dalam penanganan bioterorisme.
Jalur komunikasi yang dimaksud mencakup
pemberitahuan yang cepat antara polisi, petugas
tanggap darurat, dan ahli dari departemen
kesehatan masyarakat untuk mencapai waktu yang
opimal dalam merespon wabah. Pembentukan
sistem yang mempercepat komunikasi antarpetugas yang berwenang akan secara langsung
berdampak pada penurunan angka kesakitan dan
kemaian yang disebabkan oleh bioterorisme.
Maka dari itu, pemerintah idak dapat
mengesampingkan isu mengenai bioterorisme
karena komponen terpening dalam penanganan
bioterorisme mencakup kerjasama yang kuat
dari berbagai unit dan komponen masyarakat.
Koordinasi internasional dalam pencegahan
pandemi dan bioterorisme merupakan bagian dari
Global Health Security Agenda (GHSA). GHSA
menyadari peningnya pendekatan mulilateral
dan mulisektoral untuk memperkuat kemampuan
global dan nasional untuk mencegah, mendeteksi,
dan menanggapi ancaman penyakit menular yang
merupakan bagian dari ancaman bioterorisme.

the Global Health Security Agenda (GHSA). GHSA
acknowledges the essenial need for a mulilateral
and muli-sectoral approach to strengthen both the
global and naional capaciies to prevent, detect,
and respond to infecious disease threats whether
it is naturally occurring, deliberate, or accidental—
capaciies that are once established would relieve the
devastaing efects of bioterrorism events.
References:
1. Chrisian M. Biowarfare and Bioterrorism. Criical
Care Clinics. 2013;29(3):717-756.
2. McKinley, W., Wesley, G.C., Sprang, M. V.
and Troutman, A. (2017). Educaing Health
Professionals to Respond to Bioterrorism. [online]
NCBI. Available at: htps://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pmc/aricles/PMC2569986/ [Accessed 11 Jul.
2017]
3. Middlebury Insitute of Internaional Studies at
Monterey. (2017). Terrorism, Bioterrorism, and
Pandemics | Middlebury Insitute of Internaional
Studies at Monterey. [online] Available at: htp://
www.miis.edu/academics/short/execuiveeducaion/opions/terrorism [Accessed 11 Jul.
2017]
4. Farmer, B. (2017). Bioterrorism could kill more
people than nuclear war, Bill Gates to warn world
leaders. [online] The Telegraph. Available at:
htp://www.telegraph.co.uk/news/2017/02/17/
biological-terrorism-could-kill-people-nuclearatacks-bill/ [Accessed 11 Jul. 2017]
5. Rebmann, T. (n.d.). Infecious Disease Disasters:
Bioterrorism, Emerging Infecions, and Pandemics.
APIC Text of Infecion Control and Epidemiology.
Available at: htps://apic.org/Resource_/
TinyMceFileManager/Topic-speciic/47901_
CH120_R1.pdf
6. Chrisian MD. Biowarfare and bioterrorism.
Criical care clinics. 2013 Jul 1;29(3):717-56.
7. Grundmann O. The current state of bioterrorist
atack surveillance and preparedness in the
US. Risk Management and Healthcare Policy.
2014:177.

19

INDO HUN .ORG

One Health Approaches in
Combaing Zoonoic Diseases
Pendekatan One Health dalam Menangani Penyakit Zoonoik
BY/O L E H AY UN I TA K H A I RU NNISA, ALE SSA FAHIRA

Penyakit zoonoik merupakan sebuah masalah
besar di Indonesia, terutama karena ingginya
insiden penyakit zoonoik, seperi rabies, anthrax,
brucellosis, dan lain-lain. Pemerintah Republik
Indonesia telah memprioritaskan beberapa
penyakit zoonoik untuk ditangani, yaitu avian
inluenza, rabies, anthrax, Japanese encheplalithis,
salmonellosis, leptospirosis, bovine tuberculosis,
toxoplasmosis, brucellosis, paratubercullosis,
echinococosis, taeniasis, scabies, dan trichinellosis.
Melihat peningnya penyakit zoonoik untuk

Zoonoic disease is currently a major issue in
Indonesia, paricularly its high incidence of zoonoic
diseases such as rabies, anthrax, brucellosis,
and more. Zoonoses that are prioriized by the
Government of Indonesia, are avian inluenza, rabies,
anthrax, Japanese encheplalithis, salmonellosis,
leptospirosis, bovine tuberculosis, toxoplasmosis,
brucellosis, paratubercullosis, echinococosis,
taeniasis, scabies, dan trichinellosis. Understanding
the importance of managing this issue, Indonesia has
already had regular prevenion and control program

20

INDO HUN .ORG

ditangani, Indonesia telah memiliki program
pencegahan dan kontrol penyakit zoonoik yang
diimplementasikan pada ingkat nasional, provinsi,
serta kota dan kabupaten.
Penanganan penyakit zoonoik memerlukan
kerja sama berbagai sektor. Tidak hanya
Kementerian Kesehatan, tetapi kementerian lain
seperi Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
serta Kementerian Pertanian, bersama-sama
bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah
zoonosis. Maka dari itu, kolaborasi antar-insitusi
dengan penerapan konsep One Health menjadi
pening untuk menyelesaikan masalah zoonosis di
Indonesia.
Indonesia One Health University Network
(INDOHUN) telah mengadakan pelaihan
mengenai manajemen penyakit zoonoik
menggunakan pendekatan One Health sebagai
upaya untuk membantu menyelesaikan masalah
tersebut. Pelaihan ini didukung oleh USAID
melalui One Health Workforce Project dan telah
dilaksanakan dari tanggal 11 hingga 15 September
2017 di Hotel Noormans, Semarang.
Pelaihan berfokus untuk meningkatkan
kemampuan peserta dalam melakukan manajemen
penyakit zoonoik. Materi yang diberikan
membahas penyakit zoonoik di Indonesia, aturan

implemented by all departments in naional, province,
and district level.
Zoonosis is a wicked problem that needs to be
solved by involving several sectors. Not only the
Department of Health, but other departments, such
as Department of Environment and Forestry as well
as Department of Agriculture, are responsible for
tackling the problem. For that reason, uilizaion of
One Health approach in the collaboraion with other
insituions is an important factor in solving zoonoic
disease problems in Indonesia.
Holding a training on Zoonoic Disease
Management Using One Health Approach, is one
way to answer this problem. The training was
held by Indonesia One Health University Network
(INDOHUN) and was kindly supported by USAID One
Health Workforce Project. It was held on September
11-15, 2017 in Noormans Hotel, Semarang.
This training was focused in hard skills to
manage zoonoic disease by using One Health
approach. The materials given were; overview of
zoonosis in Indonesia, policies regarding control
and prevenion of zoonoic disease, collaboraion in
controlling zoonosis, One Health concept, analysis
and interpretaion of surveillance data, and outbreak
invesigaion. Aside from lectures, there are also
exercises to improve comprehensive thinking,

21

INDO HUN .ORG

terkait pencegahan dan kontrol penyakit zoonoik,
kolaborasi untuk mengontrol penyakit zoonoik,
konsep One Health, analisis dan interpretasi
dari data hasil surveilans, dan invesigasi wabah.
Di luar dari pemberian materi, peserta juga
belajar langsung di lapangan untuk memperoleh
pandangan yang holisik terhadap keadaan asli dan
mengasah kemampuan berpikir sistemaik melalui
kerjasama dengan sesama peserta.
Salah satu peserta, yaitu Ibu Eva yang berasal
dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, Jawa
Tengah, pada awalnya idak terlalu tertarik untuk
mengikui pelaihan ini. Di kantornya, idak
terdapat divisi yang membahas mengenai penyakit
zoonoik. Namun pelaihan ini menyadarkan Ibu
Eva bahwa penyakit zoonoik adalah salah satu
masalah yang krusial yang harus ditangani. Dengan
itu, Ibu Eva berharap dapatmeningkatkan kondisi
kesehatan di Kabupaten Sragen, terutama terkait
penyakit zoonoik.
Melalui pelaihan ini, Ibu Eva akhirnya
mengetahui sektor mana saja yang bisa ia ajak
kerjasama untuk menangani penyakit zoonoik. Ia
juga menyebutkan bahwa dirinya terkadang idak
puas dengan usaha-usaha yang telah dilakukannya
untuk menanggulangi masalah zoonois. Namun
Ibu Eva paham bahwa keterlibatan tenaga
kesehatan lingkungan merupakan komponen
pening untuk menanggulangi penyakit zoonoik.
“Saya setelah pelaihan ini akan mengajukan
pembentukan pokja (kelompok kerja) im
penanggulangan zoonosis di tempat saya (Dinas
Kesehatan Kabupaten Sragen). Karena selama ini
hanya ada pokja HIV dan tuberkulosis.”
Ibu Eva juga menyatakan bahwa pelaihan
mengenai penyakit zoonoik seperi ini pening
untuk diikui oleh petugas kesehatan. Bapak
Ilham, salah satu peserta yang berasal dari
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, juga
menyatakan hal yang sama. Pelaihan ini terbuki
meningkatkan kolaborasi dan membuka pikiran
yang lebih luas terkait penanganan suatu masalah
melalui kolaborasi dan pendekatan yang lebih
komprehensif. Sebagai bagian dari pelaihan,
terdapat kegiatan lapangan yang secara lebih
lanjut menyadarkan peserta bahwa masalah
zoonosis masih menjadi masalah yang terlantar.

including exercise of muli-sectoral collaboraion
which involve systemaic thinking and collaboraive
efort.
One of the paricipants, Ms. Eva, was barely
interested in atending the training. She originated
from the Health Oice of Sragen District, Central
Java, where there are no zoonosis division in her
oice. Through the training, she was inally convinced
that the management of zoonoic diseases is a crucial
mater. Thus, by atending the training, she hopes
she can bring improvement in the health condiion of
Sragen, especially in zoonoic diseases.
According to Ms. Eva, she was able to recognize
important stakeholders that are willing to improve
aciviies related to zoonoic disease. In addiion,
she was not saisied with her past atempts in
managing this issue. However, now that she knows
the importance of involving the environmental
health oicials in the mater of zoonoic diseases,
she hopes her future plans will be more successful
if she collaborates with more insituions. “Ater this
training, I will propose to establish the working group
to tackle zoonoic diseases in my oice (Health Oice
of Sragen District). At the moment we only have
working groups focusing on HIV and tuberculosis,” she
promised.
Ms. Eva also said that it was necessary for
health-related oicials to be trained in this issue.
Another paricipant, Mr. Ilham who came from
the Provincial Health Oice of Central Java, also
thought that it was necessary for health-related
oicials to be trained with zoonosis knowledge and
its management. This training was proved to help
them collaborate beter and to be more open-minded.
Besides, in this training there was also a ield trip
showing them the reality that zoonoic diseases are
sill being neglected. In the end of the training, there
was a presentaion from representaives of each
health district oicial to show the condiions of each
district.
Knowing Indonesia has high prevalence of
zoonoic diseases, it was important for us to
enhance our capaciies in managing the crisis. One
of the instructors, drh. Pudjianto, Ph.D. who works
as a Senior Veterinary Oicer at the Ministry of
Agriculture said, “It was a thoughful idea to put
zoonoic as part of crisis management. I hope in the

22

ACTIV I T Y

future, zoonosis will be seen as a crisis and it would
be considered serious not only from health aspects,
but also from disaster crisis management (known as
Badan Nasional Penanggulangan