pluralisme dan titik temu agama

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bila mencermati kehidupan manusia sehari-hari khususnya di Indonesia
ini tidak akan pernah lepas dari keragaman dan kebinekaan (pluralitas). Sehingga
pluralisme identik dengan kehidupan manusia itu sendiri. Tidak ada kehidupan
yang tidak plural dan sebaliknya tidak akan pernah ada pluralisme tanpa adanya
kehidupan. Yang artinya keduanya mengandung unsur dinamika, interaksi, aktif
dan hidup.1 Secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal,
kepelbagaian atau banyak. Oleh sebab itu suatu hal yang dikatan plural senantiasa
terdiri dari beberapa hal yang berbeda tentunya.2
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita
adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah
kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam
kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan
terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme
yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan
pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan
ideologis, ekonomis, sosial-politik, agamis dan lainnya, manusia menjalani

kehidupan yang bersifat pluralitas secara alamiah, tanpa begitu banyak
mempertimbangkan sampai pada tingkat "benar tidaknya" realitas pluralitas yang
menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Baru ketika manusia dengan berbagai
kepentingannya (organisasi, politik, agama, budaya dan lainnya) mulai
mengangkat isu pluralitas pada puncak kesadaran mereka dan menjadikannya
sebagai pusat perhatian. Maka pluralitas yang semula bersiat wajar, alamiah
berubah menjadi hal yang sangat penting dan terkadang terasa sensitif.
Melihat kondisi yang sangat majemuk seperti ini, bisa dikatakan bahwa
masyarakat Indonesia sebenarnya menyimpan potensi konflik yang cukup tinggi.3
1

Th. Sumartana (Ed.). Pluralisme, Konflik dan Perdamaian . (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2002), 93.
Ibid., 7.
3
M. Dimyati Huda, Pluralisme Dalam Beragama . (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), 19.
2

1

Hal itu dapat diketahui dari realitas dan fakta yang pernah terjadi di Indonesia ini

yang banyak meletuskan konflik atas nama agama, yang menjadikan masyarakat
merasa tegang, takut, gelisah, tidak aman, dan saling curiga. Konflik dan
kerusuhan yang terjadi di masyarakat yang diusung dengan isu agama, selalu
membuat orang terkesima. Terkadang mereka tercengang melihat fenomena
seperti itu, begitu ganaskah agama yang seharusnya menjadi dasar pijakan hidup
manusia namun justru menjadi pemicu terjadinya penindasan, kekerasan dan
bahkan pembantaian. Apakah demikian hakekat agama yang dianut manusia?4
Diantara faktor yang menjadikan agama sebagai pemicu konflik ialah cara
masyarakat yang beragama berorientasi ―kedalam‖ sebagai pemahaman yang
dangkal atas apa yang dipandang memiliki nilai absolut (religion of authority).5
Dapat dibayangkan ketika semua potensi, fanatisme, dan emosi dalam
beragama masyarakat diarahkan sedemikian rupa hanya untuk melakukan tindak
kekerasan atas nama agama, anak bangsa yang biasanya hidup damai
berdampingan baik ketika kerja di kantor, di kampus, di sekolah, di pasar
misalnya, mereka akan berbalik arah menjadi saling curiga dan bermusuhan.
Mereka yang keseharianya adalah saudara, akan berubah menjadi beringas dan
sadis.6 Tentunya ―moment-moment‖ penting itu tidak akan terjadi atau setidaknya
dapat dieliminir jika masyarakat Indonesia memahami pluralitas yang ada. Maka
dari itu, untuk menjaga keharmonisan hubungan antar agama di Indonesia yang
penuh dengan kemajemukan itu, pemahaman atas pluralisme agama perlu digugah

kembali.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pluralisme dan titik temu agama-agama yang terjadi di Indonesia?
2. Bagaimana prinsip dan etika pluralisme yang ditawarkan Al-Qur‘an?
3. Mengapa pemahaman keagamaan perlu untuk di-refresh?

4

Abdurrahman Wahdi, et.al, Dialog: Kritik & Identitas Agama . (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2004),
V.
5
Ngainun Na‘im. Teologi Kerukunan: mencari titik temu dalam keragaman . (Yogyakarta: Teras,
2011),159.
6
Abdurrahman Wahid. Dialog ., Ibid.

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. PLURALISME AGAMA
Realitas itu majemuk dan tak terbatas. Tidak ada dua hal yang ada di dunia
ini yang sama persis (kembar identik). Sama halnya dengan keyakinan dan agama
yang dianut manusia. Agama merupakan hal yang paling prinsip bagi kehidupan
manusia, sehingga banyaknya agama adalah sebanyak manusia itu sendiri. Akan
tetapi jika agama itu dilembagakan dalam bentuk komunitas tentu tidak akan
sebanyak jumlah manusia yang ada. Sebagaimana perkataan Paulus II yang
dikutip oleh Syafa‘tun Elmirzanah, sebagai berikut; ―Agama itu banyak dan
bermacam-macam. Semuanya merefleksikan keinginan manusia baik itu laki-laki
maupun perempuan sepanjang abad untuk masuk dalam perjumpaan dengan
Wujud yang Absolut (Tuhan).‖7
Fenomena pluralisme ini dapat muncul karena beberapa hal yang melatar
belakangi, diantaranya: Pertama , ketika Tuhan mewahyukan dan menampakkan
dirinya, hal ini dilakukan dalam konteks, situasi historis, serta bahasa dan budaya
tertentu. Kedua , komunitas manusia akan menerima dan menginterpretasikan dan
mengekspresikan wahyu tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi yang menjadi
akar budaya tertentu. Ketiga, wahyu tersebut memerlukan interpretasi secara terus
menerus menurut situasi historis dan konteks yang berbeda-beda serta berubahubah. Dan yang keempat, merupakan sumber terdalam dari adanya pluralisme ini

adalah merupakan kehendak Tuhan sendiri dalam mengomunikasikan dengan
banyak

cara.

Barang

kali

dapat

dikatakan

bahwa

agama

adalah

keanekaragamannya jalan untuk menuju kepada satu titik yang sama, ―Tuhan‖.8

Menurut Prof. Fauzan Saleh Ph.D., pluraisme agama secara longgar dapat
didefinisikan sebagai bentuk hubungan yang damai antara agama-agama yang
tengah berkembang disuatu wilayah tertentu.9 Kemudian Nurcholish Madjid
memaknai pluralisme agama sebagai suatu sistem nilai yang memandang secara
Syafa‘atun Elmirzanah, ―Pluralisme, Antara Cita dan Fakta‖ dalam Th. Sumartana (Ed.). Pluralisme,
Konflik dan Perdamaian . (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2002), 107.
8
Ibid.,109.
9
Fauzan Saleh. Kajian Filsafat Tentang Keberadaan Tuhan dan Pluralisme Agama. (Kediri: STAIN
Kediri Press, 2011), 173.

7

3

positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai sebuah
kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. 10 Sedangkan
Alwi Shihab memberikan batasan dan catatan mengenai pluralisme agama sebagai
berikut: pertama , pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan adanya

kemajemukan, tetapi juga keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan
tersebut. Maka dari itu, dengan pluralisme ini tiap pemeluk agama tidak hanya
dituntut mengakui eksistensi dan hak agama yang lain, akan tetapi juga ikut
terlibat dalam memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya pola
kehidupan yang harmonis dalam kebinekaan.
Kedua ,

pluralisme

harus

dibedakan

dengan

kosmopiltanisme.

Kosmopolitanisme ini merujuk kepada suatu realitas, yang di dalamnya terdapat
keanekaragaman agama, keyakinan, ras dan bangsa, hidup secara berdampingan
di suatu lokasi. Namun tidak terjadi interaksi positif antar penduduk lokasi

tersebut, khususnya dalam persoalan agama. Ketiga , konsep pluralisme tidak
dapat disamakan dengan konsep relativisme11. Seorang yang menganut paham
relativisme ini akan selalu berasumsi bahwa hal-hal yang dianggap suatu
kebenaran atau nilai akan ditentukan oleh pandangan hidup serta pola berpikir
seseorang atau masyarakat tertentu. Implikasinya jika paham ini diproyeksikan
dalam ranah doktrin agama tentu mereka akan berpandangan bahwa doktrin
semua agama adalah sama. Keempat, pluralisme bukanlah sinkretisme, yang
artinya mencampuradukkan ajaran agama yang satu dengan ajaran agama yang
lain, sehingga terciptalah ajaran baru yang melahirkan agama baru.12
Akan tetapi disisi yang lain, sebaik apa pun konsep dan rumusan tentang
pluralisme agama dan sekuat apapun argumen yang diutarakan untuk
membenarkanya, ternyata di Indonesia masih banyak orang dan kalangan yang
belum bisa dan tidak setuju dengan adanya wacana pluralisme agama.13 MUI
(Majlis Ulama Indonesia) salah satunya, yang dengan tegas telah menfatwakan
10

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban , (Jakarta: Paramadina, 1992), LXXV.
Sebagaimana diketahui, bahwa konsep relativisme ini bermula pada sekitar abad ke-5 SM. Yakni
pada masa Protagoras yang merupakan sofis Yunani. Konsep ini menerangkan bahwa kebenaran, dan
kebaikan bersifat relatif, tergantung pada setiap individu, keadaan setempat atau institusi sosial dan

agama. Karena itu konsep ini tidak mengenal kebenaran absolut. Lihat Alwi Sihab, Islam Inklusif,
(Jakarta: Mizan, 1999), 42.
12
Alwi Sihab, Islam Inklusif, (Jakarta: Mizan, 1999), 41-42.
13
Fauzan Saleh, Kajian Filsafat., 212.

11

4

bahwa pluralisme , liberalisme dan sekulerisme agama adalah haram. Dalam
fatwa tersebut MUI menyatakan bahwa ―Pluralisme agama adalah suatu paham
yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relatif, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain
salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan
masuk dan hidup berdampingan di surga‖. Diantara ayat-ayat Al-Qur‘an yang
digunakan penguat argumen mereka adalah, ―Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,

dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi‖. (QS. Al-Imram 3 : 85).
―Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam..‖ (QS. AlImran 3 : 19). Disamping itu mereka juga menggunakan hadits nabi, ―Imam
Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah Shallahu
Alaihi Wa Salllam :―Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada
seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari
umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku
bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.‖ (HR. Muslim). Ketetapan ini
ditetapkan di Jakarta tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M14.
Setelah mengetahui adanya pertarungan wacana yang begitu dahsyat
tentang pluralisme agama, tentu ada orang-orang yang pro dan kontra baik pada
sisi penggagas pluralisme agama maupun dari sisi penentang adanya pluralisme
agama itu sendiri. Maka dari itu, siapa pun boleh untuk memihak kepada salah
satu yang dianggap sesuai dengan keyakinanya, ataupun tidak memihak pada
keduanya pun juga tidak menjadi persoalan. Mengingat bahwa agama merupakan
persoalan individu dan yang paling prinsip bagi kehidupan manusia.
B. TITIK TEMU AGAMA-AGAMA
Secara historis perjumpaan Islam dengan agama-agama lain sudah
berlangsung sejak masa Nabi Muhammad saw. Islam lahir pada masa agama
Yahudi dan Nasrani. Oleh karenanya dalam membentuk tatanan sosial di
Madinah, Nabi tidak pernah meninggalkan kedua kelompok ini. Justru beliau

mengakomodir kepentingan kaum Yahudi dan Nasrani tersebut dan kemudian
Media Islam,
―Fatwa MUI-Pluralisme/Islam Liberal Sesat‖, (online), (http://mediaislam.or.id/2007/09/27/fatwa-mui-pluralismeislam-liberal-sesat/. Diakses pada 22 September 2012).
14

5

mengajak mereka dalam kerjasama dan hidup berdampingan secara harmonis.
Dalam sejarah langkah Nabi ini dikenal hingga saat ini sebagai ―Piagam
Madinah‖.15
Lain dari pada itu, seorang mistikus yang bernama Fritchof Schuon yang
telah berganti nama Muhammad Isa Nurrudin semenjak ia menjadi Muslim,
dengan sungguh-sungguh mencari titik temu agama-agama itu dengan membawa
konsep eksoterik dan esoterik. Sebagaimana perkataan Schoun yang pernah
dikutip oleh Huston Smith, ―Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, kita
tidak akan menyebutnya dengan nama yang sama „agama‟. Bila tidak ada
perbedaaan diantaranya, kita pun tidak akan menyebutnya dengan kata majemuk

„agama-agama‟.‖ Menurut Schoun, titik persamaan antara agama-agama itu
terletak pada sisi esoterik-nya (hakikat), dan letak perbedaannya terletak pada
aspek eksoterik (bentuk luar, syari‘at).16
Untuk lebih jelasnya dalam memahami konsep esoterik dan eksoterik yang
ditawarkan oleh Schuon dapat digambarkan dalam sebuah diagram berikut.17


ESOTERIK

KONGHUCU

BUDDHA

HINDU

ISLAM

NASRANI

YAHUDI

EKSOTERIK

MANUSIA

Jika pemahaman manusia akan keanekaragaman agama hanya dilihat dari
sisi eksoterik-nya saja sudah barang tentu yang didapati hanyalah perbedaan
belaka, karena sudah sangat jelas sekali bahwa penerapan syari‘at tiap-tiap agama
berbeda. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur‘an QS. Al-Maidah (5): 48.

15

Dimyati Huda, Pluralisme., 23.
Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan , (Jakarta: Prenada, 2011), 72.
17
Agama dapat dilihat dari aspek esoterik (dimensi hakikat) dan dari sisi eksoterik (dimensi syari‘at).

16

6

―Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu‖.18
Namun apabila manusia mau untuk mencoba naik pada level yang lebih
tinggi, yakni pemahaman pada aspek esoterik, ia akan dengan segera mendapati
titik temu (kalimatun sawa )19 yang sangat mengesankan. Inilah sebetulnya yang
dilihat oleh para pemikir muslim pada saat menggagas titik temu agama-agama,
yaitu pada konsep monoteisme (Ke-esaan Tuhan) dan kepercayaan kepada yang
Ultimate. Sebagai konsekuensi logis dari konsep ini Islam mengajarkan kesatuan

wahyu, kenabian, dan agama.20
Dalam keyakinan umat muslim, seluruh isi Al-Qur‘an adalah ―Kalam
Tuhan‖, tidak ada campur tangan manusia sedikit pun. Bahkan tidak hanya itu,
Islam juga mengajarkan bahwa isi dari Kitab Suci sebelum al-Qur‘an (Torah,
Zabur dan Injil) dan juga kitab-kitab yang lain adalah merupakan pesan Tuhan
untuk manusia.
Di dalam al-Qur‘an terdapat ayat-ayat yang bisa dianalogikan dengan The
Ten Commandement-nya Nabi Musa as21. Ayat-ayat tersebut ialah:
Depag RI, al-Qur‟an Dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), 92.
Mengenai titik temu agama-agama yang dinamakan kalimatun sawa , diterangkan dalam Al-Qur‘an
Surat Ali-Imran 3: 64. ―Katakanlah: ‗Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah
dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian
yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka:
Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)‘.
20
Syahrin Harahap, Teologi.,73.
21
(The Ten Commandements) adalah sepuluh ajaran pokok dalam Yahudi yang isinya sebagai berikut:
1) Aku adalah Tuhanmu, yang telah membawamu keluar dari Mesir, keluar dari rumah perhambaan.
Jangan ada Tuhan bagimu selain Aku. 2) Janganlah membuat patung menyerupai apapun untuk
disembah. 3) Janganlah sebut-sebut nama Tuhanmu dengan salah, karena Tuhan tidak akan memaafkan
siapapun yang menyebut nama-Nya dengan salah. 4) Ingatlah hari sabtu disebabkan kesuciannya, enam
hari kamu bekerja dan membuat urusanmu. Maka pada hari ketujuh, janganlah kamu membuat
18

19

7

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi,
dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang
yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu;
bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka
(ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di
bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan
Maha Terpuji. (QS. Al-Nisa 5 :131 )
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama22 dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi
orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya
dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya). (QS. Al-Syuura 42: 13)
Menurut Nurcholish Madjid atau yang biasa disapa dengan Cak Nur, ayatayat di atas menegaskan bahwa perintah itu sama untuk pengikut Nabi
Muhammad saw, dan mereka yang menerima Kitab Suci sebelum datangnya AlQur‘an. Yang inti dari pesan itu ialah perintah untuk ber-taqwa 23 kepada Allah.24
Disamping konsep kesatuan wahyu yang masih ada hubungannya dengan
konsep pluralisme agama adalah keyakinan pada konsep kesatuan Nubuwwah
(kenabian). Dalam ajaran Islam bahwa iman kepada Nabi dan Rasul merupakan
fondasi dari keimanan dalam Islam itu sendiri. Al-Qur‘an mengajarkan pada kita
(umat Muslim) untuk tidak memebeda-bedakan mereka satu sama lain. Hal itu
tertera di dalam (QS. Al-Baqarah 1: 136) .

pekerjaan apapun, termasuk anak-anakmu, hamba-hambamu baik laki-laki maupun perempuan,
binatang kamu, orang yang tinggal bersamamu. 5) Hormatilah bapak dan ibumu agar hari-harimu
(umur) dan hidupmu di dunia ini menjadi panjang sebagai anugerah Tuhan kepadamu. 6) Janganlah
membunuh. 7) Janganlah berzina. 8) janganlah mencuri. 9) jangan bersaksi palsu. 10) Jangan tamak
terhadap rumah kerabatmu, jangan inginkan istri kerabatmu, jangan hambanya, jangan kerbaunya atau
keledainya dan apa saja yang dimiliki oleh kerabatmu. Lihat Burhanudin Daya , Agama Yahudi,
(Yogyakarta: Bagus Arafah, 1982), 163.
22
Yang dimaksud: agama di sini ialah meng-Esakan Allah s.w.t., beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan larangan-Nya.
23
Taqwa disini tidak sekedar taqwa sebagaimana banyak ditafsirkan orang dengan arti ‖takut kepada
Tuhan‖, akan tetapi penekanannya lebih pada soal ―kesadaran ketuhanan‖ yaitu kesadaran bahwa Tuhan
selalu hadir dalam kehidupan manusia sehari-hari.
24
Budhi Munawar Rachman, ―Kesatuan Transendental Dalam Teologi: Perspektif Islam Kesamaan
Agama-agama‖, dalam Abdurrahman Wahid, et.al. Dialog: Kritik Dan Identitas, (Yogyakarta:
DIAN/Interfidei, 2004), 136-137.

8

―Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada
Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang
diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak
cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa
yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan Kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya".
Ayat diatas menunjukkan bahwa pada esensinya para Nabi itu membawa
risalah (pesan) yang sama dan dari Tuhan yang sama pula. Mereka adalah
bersaudara, bukan karena mereka bersaudara berasal dari keturunan yang sama
melainkan karena mereka membawa risalah dari Tuhan yang sama, agama
kedamaian yang lebih mengutamakan kepasrahan dan ketundukan kepada Tuhan
Semesta Alam. Islam juga mengakui titik temu dalam agama-agama khususnya
agama ‗samawi‘ itu terletak pada hal yang esensial, yakni keyakinan pada Tuhan
Yang Maha Esa sebagai landasan untuk hidup bersama. Hal ini bisa dilihat pada
Ayat Al-Qur‘an Surat Ali Imran 3: 63.25
Maka kemudian, Ka‘bah dalam kerangka konsep kesatuan Nubuwwah,
merupakan simbol daripada kesatuan kenabian itu sendiri. Ia melambangkan
himpunan para Nabi yang diutus dari zaman kezaman diberbagai tempat diseluruh
bagian muka bumi ini, yang puncaknya adalah kedatangan Nabi Muhammad saw,
yang di situ Ia berperan sebagai khatamu al-nabiyyin. Hal itu dapat ditarik dari
perkataan Nabi26:
―sesungguhnya perumpamaan aku dengan para Nabi sebelumku
adalah ibarat seseorang yang membangun sebuah gedung. Ia
bangun gedung itu dengan baik dan indah kecuali kurang sebuah
batu bata disalah satu pojok gedung itu. Lalu orang-orang
mengitari gedung itu sambil mengaguminya, ‗mengapa kau
tinggal satu batu bata lagi‘. Maka akulah batu bata itu, akulah
penutup para Nabi.‖ (Al-Hadits)
Setelah itu, Islam juga mengajarkan kesatuan agama, sebab agama
‗samawi‘ khususnya diyakini datang dari wahyu Tuhan yang sama. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam QS. Asyura 42: 13. Disamping titik temu agama pada
konsep kesatuan wahyu, kenabian dan agama, Islam juga mengajarkan
25

Kemudian jika mereka berpaling (dari kebenaran), Maka sesunguhnya Allah Maha mengetahui orang
orang yang berbuat kerusakan.
26
Djohan Effendi, ―Kemusliman Dan Kemajemukan Agama‖, dalam Abdurrahman Wahdi, et.al,
Dialog: Kritik & Identitas Agama . (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2004), 63-64.

9

universalisme27 prinsip-prinsip moralitas, seperti keharusan menegakkan keadilan,
bermusyawarah, menolong orang yang lemah dan larangan melakukan perbuatan
yang dapat mendatangkan bencana bagi masyarakat.
Dalam hal ini Marcel A. Borsard memberikan komentarnya yang cukup
mengesankan tentang prinsip-prinsip moralitas yang diajarkan Islam28:
―Islam mengajarkan universalitas prinsip-prinsip moral. Prinsip
moral Islam ini memperkuat hubungan antar anggota
masyarakat, mempersatukan perasaan yang merupakan dasar
kebajikan universal dan mempersatukan kaidah-kaidah yang
memaksa, yang sangat perlu bagi kehidupan kolektif.‖
C. ETIKA PLURALISME DALAM AL-QUR’AN
Secara normatif di dalam Al-Qur‘an terdapat ayat-ayat yang isinya
mengarah pada nilai-nilai dan etika pluralisme,29 diantaranya: ―Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal‖.30 Ayat ini dapat dipahami bahwa

sebagai konsep pluralisme universal dalam ajaran Islam.
Sejalan dengan itu, Al-Qur‘an juga sudah memberikan prinsip kebebasan
dan toleransi beragama, hal itu senada dengan firman Tuhan: ―Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut31
dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui.32 Selain itu Tuhan juga telah berfirman ―Dan Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.

27

Secara sederhana kata Universal itu dapat diartikan dengan sesuatu yang mendunia. Jika ajaran Islam
memiliki nilai universal, itu artinya ajaran Islam cocok dan sesuai dengan kehidupan manusia dan dapat
diterima oleh semua manusia di dunia. Lihat Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan , (Jakarta: Prenada,
2011), 28.
28
Harahap, Teologi., 74-75.
29
Huda, Pluralisme., 22.
30
QS. Al-Hujurat 49: 13.
31
Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
32
QS. Al-Baqarah 2: 256.

10

Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orangorang yang beriman semuanya ?‖33

Disamping ayat-ayat tersebut Tuhan juga sudah mempertegas pada
manusia, bahwa Tuhan memberikan kebebasan untuk beriman kepada-Nya atau
pun inkar kepada-Nya. Hal itu dapat digali dari firman-Nya: ―Dan Katakanlah,
„Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, Maka Barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia
kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka,
yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya
mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat
yang paling jelek.‖34 Dan juga terdapat dalam Surat Al-Kafirun 109: 6, yang

isinya sebagai berikut: ―untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
―Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin35 siapa saja diantara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah36, hari kemudian dan beramal saleh37, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.‖38
Ayat di atas menunjukkan bahwa Al-Qur‘an menerima pluralitas agama,
bahkan merupakan salah satu doktrin penting, serta menegaskan kesatuan iman39.
Pluralisme merupakan kebijakan Tuhan yang berlaku dalam sejarah40. Hal itu

33

QS. Yunus 10: 99.
QS. Al-Kahfi 18: 29.
35
Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang
menyembah bintang atau dewa-dewa.
36
Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah
Termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang
saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.
37
Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan
agama atau tidak.
38
QS. Al-Baqarah 2 : 62.
39
Kesatuan bukanlah keseragaman. Dengan demikian ,sekalipun berada dalam kesatuan iman, tetapi
agama dalam realitasnya berbeda-beda, karena kondisi sosial, budaya dan bahasa dimana agama tertentu
diturunkan. Penegasan ini juga berarti menunjukkan adanya kepercayaan yang satu, yakni keyakinan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yang mencuptakan langit dan bumi besserta isinya dan yang
mengajarkan kebaikan pada segenap umat manusia.
40
Syafa‘atun Elmirzanah, ―Pluralisme, Konflik Dan Perdamaian, Perspektif Agama-Agama‖ dalam Th.
Sumartana (Ed.). Pluralisme, Konflik dan Perdamaian . (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2002),17-18.
34

11

termaktub dalam QS. Ar-Ruum 30: 22.41 Dan QS. Yunus 10: 19. ―Manusia
dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih 42. kalau tidaklah
karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu 43, pastilah telah
diberi keputusan di antara mereka 44, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.”
Mengenai kepelbagaian komunitas, Al-Qur‟an menyebutkan bahwa “untuk tiap-

tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang”45 “dan
tiap-tiap umat ada kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya ‖46 dan ayat

ini langsung diikuti dengan perintah fastabiqu al-khairat (berlomba-lomba dalam
kebaikan).47
Maka dari itu, jikalau pluralisme ditinjau dari ayat-ayat Al-Qur‘an,
merupakan ajaran dalam Islam itu sendiri. Dimana Islam merupakan agama
Universal yang mengedepankan ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan Sang
Pencipta. Ajaran Islam bukan hanya untuk segelintir orang yang sudah mengaku
dirinya ―muslim‖, akan tetapi Islam adalah ―rahmatan lil „alamin‖. Sejalan
dengan itu, nilai-nilai sosial yang diajarkan Islam pun juga berlaku universal,
umat Islam harus bisa bekerja sama dengan umat manusia yang lain, hal itu
tentunya dalam kerja sama yang konstruktif. Misalnya, meretas kemiskinan,
kesenjangan, ketidak-adilan dan kebodohan.

41

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang mengetahui.
42
Maksudnya: manusia pada mulanya hidup rukun, bersatu dalam satu agama, sebagai satu keluarga.
tetapi setelah mereka berkembang biak dan setelah kepentingan mereka berlain-lain, timbullah berbagai
kepercayaan yang menimbulkan perpecahan. oleh karena itu Allah mengutus Rasul yang membawa
wahyu dan untuk memberi petunjuk kepada mereka. baca ayat 213 surat Al-Baqarah.
43
Ketetapan Allah itu ialah bahwa, perselisihan manusia di dunia itu akan diputuskan di akhirat.
44
Maksudnya: diberi keputusan di dunia.
45
QS. Al-Maaidah 5: 48.
46
QS. Al-Baqarah 2: 148. ―dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah
akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu‖
47
Syafa‘atun Elmirzanah, ―Pluralisme, Konflik Dan Perdamaian, Perspektif Agama-Agama‖ dalam Th.
Sumartana (Ed.). Pluralisme, Konflik dan Perdamaian . (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2002), 19.

12

D. MENYEGARKAN KEMBALI PEMAHAMAN AGAMA
Mengawali pembahasan dalam permasalahan penyegaran pamahaman
keagamaan, disini penulis akan banyak mengutip dari pemikiran-pemikiran tokoh
pembaharu Islam di Indonesia, atau yang sering disebut-sebut banyak orang
sebagai kaum liberal. Diantaranya ialah Ulil Abshar Abdalla, Nurcholish Madjid
dan Abdurrahman Wahid. Mungkin terasa aneh ketika membahas bab ini harus
merujuk pada pemikiran mereka. Menurut hemat penulis, hal itu disebabkan
karena mereka-merekalah yang selama ini banyak menyuarakan penyegaran
dalam beragama. Dimana pemikiran-pemikiran mereka banyak melawan arus
dominan yang ada dikalangan ―ulama‖ yang katanya pewaris para nabi.
Dalam pandangan Ulil Abshar Abdalla, Islam bukanlah sebuah monumen
mati yang dipahat pada abad ketujuh masehi, yang kemudian dianggap ―patung‖
yang tak boleh disentuh oleh tangan sejarah. Islam adalah organisme yang
―hidup‖ yang mengharuskan untuk berkembang. Yang artinya bahwa pemikiran
dalam Islam tidak boleh membeku terutama dalam soal penafsiran teks dasar
agama (Al-Qur‘an). Menurutnya hal itu sangat membahayakan bagi kemajuan
Islam. Setidaknya beliau menawarkan beberapa konsep untuk menuju kearah
Islam yang lebih maju.48 Pertama , penafsiran Islam yang non-literal, substansial,
kontekstual, dan sesuai dengan peradaban manusia yang sedang dan terus
berubah. Kedua , penafsiran Islam yang dapat memisahkan antara mana yang
merupakan hasil dari kebudayaan setempat dan mana yang merupakan nilai
fundamental. Umat Islam harus bisa membedakan mana yang benar-benar ajaran
Islam dan mana yang mendapat pengaruh budaya Arab. Diantara aspek-aspek
Islam yang merupakan hasil dari konteks Arab ialah seperti: jilbab, potong tangan,
qishash, rajam, memelihara jenggot, jubah. Kesemuanya itu tidak perlu dan tidak
wajib untuk diikuti. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang menjadi
fundamen atas praktik-praktik itu semua.
Ketiga , umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai

―masyarakat‖ yang terpisah dari umat yang lain. Meskipun sebagai sebuah
komunitas, tentu umat Islam meyakini bahwa mereka adalah umat terbaik (khair
al-ummah). Yang pada akhirnya perasaan semacam ini akan menumbuhkan sikap
Ulil Abshar Abdalla, ―Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam‖ dalam Abdurrahman Wahid, et.al.
Islam Liberal & Fundamental: Sebuah Pertarunga n Wacana , (Yogyakarta: eLSAQ, 2007), 7-8.
48

13

eksklusif dalam beragama.49 Seharusnya semua manusia harus bisa bersatu
dengan manusia yang lain. Karena semua manusia itu adalah saudara universal
yang dipersatukan dengan kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai
yang sejalan dengan Islam. Keempat, dibutuhkannya kejelasan struktur sosial
yang dengan jelas memisahkan mana ranah politik dan mana yang agama. Agama
adalah urusan individu, sementara pengaturan kehidupan publik adalah hasil dari
kesepakatan demokrasi.50
Melihat apa yang telah disampaikan oleh Ulil, masyarakat beragama dapat
mengetahui, bahwa bukan dogma, kulit muka, institusi dan ritus agama yang
harus diutamakan dalam beragama dewasa ini. Akan tetapi yang lebih penting
adalah bagaiamana umat manusia melihat agama sebagai bentuk-bentuk
pengalaman kemanusiaan. Dalam konteks agama-agama, model keberagamaan
umat yang lebih mengedepankan praktik-praktik ritual dan sikap eksklusif itu
akan menambah ruwet keadaan. Keyakinan pemeluk suatu agama akan terus
berubah menjadi bentuk keberingasan untuk menyerang orang lain yang tidak
sepaham dengan dirinya.51
Umat beragama hendaknya mengembangkan pemahaman bahwa suatu
penafsiran atas wahyu Tuhan bukanlah merupakn satu-satunya kebenaran
(absolut), akan tetapi adanya kesadaran bahwa nilai kebenaran itu datangnya bisa
dari manapun. Sehingga tidak menutup kemungkinan, bahwa kebenaran bisa
datang dari luar agama yang dianutnya.52 Nurcholis Madjid. Ia mengemukakan
ketidaksetujuannya dengan absolutisme, karena absolutisme adalah pangkal dari
segala permusuhan. Ia mengatakan:
―Petunjuk konkret lain untuk memelihara ukhuwah adalah tidak
dibenarkannya sama sekali suatu kelompok dari kalangan orangorang beriman untuk memandang rendah atau kurang menghargai
kelompok lainnya, sebab siapa tahu mereka yang dipandang rendah
itu lebih baik daripada mereka yang memandang rendah. Ini
mengajajarkan kita –dalam pergaulan dengan sesama manusia,

49

Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, terj. Khairon Nahdiyyin, (Yogyakarta: LKIS,
2007), V: vii.
50
Ulil Abshar Abdalla, ―Menyegarkan., 9.
51
Beny Susetyo Pr, ―Menyegarkan Kembali Pemahaman Agama‖, dalam Abdurrahman Wahid, et.al.
Islam Liberal & Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana , (Yogyakarta: eLSAQ, 2007), 33.
52
Ulil Abshar Abdalla, ―Menyegarkan., 11.

14

khususnya sesama kalangan yang percaya kepada Tuhan—tidak
melakukan absolutisme, suatu pangkal dari segala permusuhan.‖53
Amat konyol umat manusia bertikai hanya karena perbedaan ―baju‖ yang
dipakai, sementara mereka lupa dengan inti ―memakai baju‖ itu sendiri, yaitu
untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Agama
hanyalah sebuah baju, sarana, wasilah atau alat untuk menuju pada tujuan yang
inti, yaitu Tuhan.54 Jika manusia mau untuk memahami bahwa agama itu ―baju‖,
tentu mereka akan bisa menerima perbedaan yang ada. Kita tahu, pola baju orangorang di Jawa dan di Arab jauh berbeda, hal itu disebabkan karena banyak faktor,
diantaranya ialah iklim yang ada, selain itu juga dipengaruhi budaya setempat.
Yang terjadi dengan agama pun tidak jauh dari itu. Bahwa agama yang lahir di
Arab sudah barang tentu memiliki perbedaan dengan agama yang muncul di Jawa.
Akan tetapi mempertentangkan perbedaan agama bukanlah hal yang penting saat
ini, dan juga tidak ada gunanya.
Maka kemudian, yang lebih penting ialah bagaimana agama bisa menjadi
problem solver atas terjadinya ketidakadilan. Islam mengutamakan nilai keadilan

yang sesungguhnya. Bagaimana nilai-nilai keadilan benar-benar dapat ditegakkan
dimuka bumi ini, terutama dalam bidang politik dan ekonomi.55 Mahmud Syaltut,
seorang ulama al-Azhar menerangkan bahwa perintah Al-Qur‘an untuk
menegakkan keadilan dimuka bumi ini adalah berlaku universal, tanpa adanya
diskriminasi satu sama lain. Keadilan tidak hanya berlaku untuk satu golongan
tertentu, sebab prinsip keadilan merupakan perintah Tuhan yang berlaku objektif.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan mesti mendapatkan keadilan yang sama
baik laki-laki maupun perempuan, umat Islam maupun non-Islam.56
Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat jika disebut sebagai ―proses‖
untuk selalu tunduk dan pasrah kepada Tuhan dari pada sekedar sebuah ―lembaga
agama‖ yang sudah mati, beku, jumud dan mengungkung kebebasan. Mengenai

53

Paragraf itu merupakan komentar Nurcholish Madjid yang dicantumkan dalam buku Atas Nama
Agama . Lihat Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik,
(Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), 259.
54
Ulil Abshar Abdalla, ―Menyegarkan., 12.
55
Ibid.
56
Buddhy Munawar Rachman, Argumen Islam Untuk Liberalisme; Islam Progresif dan Perkembangan
Diskursusnya , (Jakarta: PT Grasindo, 2010), 129.

15

ayat Al-Qur.an yang terdapat dalam QS. Ali-Imran 3: 19 ―Inna al-diina „ind allah
al-islam‖ Ulil menerjemahkan ayat tersebut dengan ―sesungguhnya jalan religious

yang benar adalah proses yang tak pernah selesai menuju ketundukan (kepada
Tuhan Yang Maha Benar)‖57
Disamping itu, Al-Qur‘an telah menyatakan ―Telah kusempurnakan bagi
kalian agama kalian hari ini,‖ (QS. Al-Maidah 5: 3). ―dan masuklah ke dalam
Islam (kedamaian) secara menyeluruh‖. Ketika memahami ayat-ayat diatas secara
tekstual tentu yang terbesit dalam benak adalah bahwa pintu ijtihad dan kebebasn
berpikir sudah tidak ada lagi. Namun Abdurrahman Wahid menginterpretasikan
ayat tersebut dengan ―terwujudnya prinsip-prinsip kebenaran dalam Islam,
bukannya perincian kebenaran dalam Islam‖.58 Maka dari itu, ajaran Islam
sebagaimana yang sudah termaktub dalam Al-Qur‘an, harus terus menerus
ditafsirkan sesuai dengan perkembangan masyarakat diberbagai tempat dan masa.
Ini bukan berarti mencocok-cocokkan ajaran Islam secara oportunistik dengan
perkembangan situasi, hali ini dikarenakan perkembangan dan tuntutan zaman dan
kekhasan lokalitas yang secara objektif terus berkembang.
Keharusan ini muncul karena masalah sederhana yang azasi, yakni
masyarakat manusia niscaya menghadapi aneka masalah dengan segenap
karakteristik masalah-masalah tersebut, baik yang timbul dari nalurinya untuk
menghindari keburukan yang mungkin menimpanya maupun justeru guna
mengejar kebaikan demi keberlangsungan hidupnya, secara pribadi maupun
kelompok.59

Ulil Abshar Abdalla, ―Menyegarkan., 15.
Abdurrahman Wahid, ―Ulil Abshar Abdalla Dengan Liberalismenya‖ dalam Abdurrahman Wahid,
et.al. Islam Liberal & Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana , (Yogyakarta: eLSAQ, 2007), 309.
59
Hamid Basyaib, ―Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam‖ dalam Abdurrahman Wahid, et.al. Islam
Liberal & Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana , (Yogyakarta: eLSAQ, 2007), 39-40.

57
58

16

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kini tibalah saatnya untuk menarik benang merah dari pembahasan
―pluralisme dan titik temu agama-agama‖. Secara sederhana pluralisme
merupakan keniscayaan dalam kehidupan di dunia ini. Hal itu sebenarna lebih
tepat jika dikatakan sebagai sunnatullah (kepastian Tuhan). Karena Tuhan sendiri
yang dengan kuasanya menciptakan keanekaragaman. Hal itu pun juga terjadi
dalam permasalahan keyakinan dan agama manusia. Agama itu banyak sebanyak
manusia itu sendiri sebenarnya, hal itu disebabkan karena setiap manusia tentu
akan

menginterpretasikan

pemahaman

keagamaannya

sesuai

dengan

kemampuannya. Akan tetapi jika agama yang dimaksud adalah agama yang sudah
terlembagakan dalam sebuah komunitas, sudah barang tentu agam itu tidak
sebanyak manusia yang ada.
Mengenai titik temu agama-agama (kalimatun sawa ), Schuon meyakini
bahwa semua agama itu memiliki persamaan disamping juga memiliki perbedaan.
Persamaan agama-agama itu terdapat pada dimensi esoteik, yaitu aspek hakikat
dari semua agama, yaitu untuk menuju kepada satu titik yang sama, ―Tuhan Sang
Maha segalanya‖. Dan letak perbedaan dari agama-agama hanyalah pada aspek
eksoterik, yaitu bentuk luar ataupun syari‘at yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

―Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal‖ (QS. Al-

Hujurat 49: 13). Ayat ini penegasan dan pengajaran pada manusia, bahwa
pluralitas (kemajemukan) adalah merupakan kebijakan Tuhan. Ayat tersebut
menyatakan bahwa manusia yang paling mulia disisi Tuhan adalah orang yang
paling taqwa dan disitu berlaku universal, tidak sebatas umat Muslim saja. Maka
dari itu, jikalau pluralisme ditinjau dari ayat-ayat Al-Qur‘an, merupakan ajaran
dalam Islam itu sendiri. Dimana Islam merupakan agama Universal yang

17

mengedepankan ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan Sang Pencipta. Ajaran
Islam bukan hanya untuk segelintir orang yang sudah mengaku dirinya ―muslim‖,
akan tetapi Islam adalah ―rahmatan lil „alamin‖. Sejalan dengan itu, nilai-nilai
sosial yang diajarkan Islam pun juga berlaku universal, umat Islam harus bisa
bekerja sama dengan umat manusia yang lain, hal itu tentunya dalam kerja sama
yang konstruktif. Misalnya, meretas kemiskinan, kesenjangan, ketidak-adilan dan
kebodohan.
Islam bukanlah sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ketujuh
masehi, yang kemudian dianggap ―patung‖ yang tak boleh disentuh oleh tangan
sejarah. Islam adalah organisme yang ―hidup‖ yang mengharuskan untuk
berkembang. Yang artinya bahwa pemikiran dalam Islam tidak boleh membeku
terutama dalam soal penafsiran teks dasar agama (Al-Qur‘an). Dalam beragama
yang lebih dikedepankan adalah bagaimana agama itu bisa menjadi problem
solver untuk mengatasi ketidakadilan, penindasan, kesenjangan dan kebodohan.

Pemahanman pada agama tidak boleh berhenti dan membeku begitu saja, Kitab
suci sebagai sumber informasi yang telah disediakan Tuhan harus selalu ditafsiri
dan disesuaikan dengan perkembangan zaman dan masa.
B. SARAN (REKOMENDASI)
Untuk menjaga keharmonisan dalam beragama, khususnya di Indonesia
yang memiliki banyak keanekaragaman terlebih dalam soal agama dan keyakinan.
Sudah barang tentu pemahaman atas fenomena realitas pluralisme ini harus benarbenar dipahami dan ditancapkan dalam sanubari oleh semua umat beragama,
terlebih Mahasiswa Perbandingan Agama yang notabenenya sebagai ―juru
damai‖. Karena jika manusia dalam beragama selalu bersikap ekslusif dan fanatik
(tertutup), sudah dapat dipastikan pertikaian dan peperangan yang ―berjubahkan‖
agama akan banyak terjadi. Karena sikap ekslusif dan absolutisme inilah yang
selama ini menjadikan manusia berani melakukan penindasan atas nama agama
dan bahkan dengan bangga diri bisa membunuh puluhan, ratusan hingga ribuan
nyawa manusia yang tidak bersalah. Seperti dilakukan oleh para ―teroris‖ yang
beberapa tahun silam meledakkan dirinya dengan bom rakitan di Bali. Maka dari
itu, sudah saatnya manusia yang beragama bersikap dewasa dalam menyikapi
adanya perbedaan ini, sebagai keniscayaan dan menjadi kehendak Tuhan.

18

DAFTAR PUSTAKA
Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, terj. Khairon Nahdiyyin,
Yogyakarta: LKIS, 2007.
Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik,
Bandung : Pustaka Hidayah, 1998.
Daya, Burhanudin. Agama Yahudi, Yogyakarta: Bagus Arafah, 1982.
Depag RI, al-Qur‟an Dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2005.
Harahap, Syahrin. Teologi Kerukunan, Jakarta: Prenada, 2011.
Huda, M. Dimyati. Pluralisme Dalam Beragama . Kediri: STAIN Kediri Press,
2009.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.
Media

Islam,

―Fatwa MUI-Pluralisme/Islam

Liberal

Sesat‖,

(online),

(http://media-islam.or.id/2007/09/27/fatwa-mui-pluralismeislam-liberalsesat/. Diakses pada 22 September 2012).
Na‘im, Ngainun. Teologi Kerukunan: mencari titik temu dalam keragaman .
Yogyakarta: Teras, 2011.
Rachman, Buddhy Munawar. Argumen Islam Untuk Liberalisme; Islam Progresif
dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: PT Grasindo, 2010.

Saleh, Fauzan. Kajian Filsafat Tentang Keberadaan Tuhan dan Pluralisme
Agama. Kediri: STAIN Kediri Press, 2011.

Sihab, Alwi. Islam Inklusif, Jakarta: Mizan, 1999.
Sumartana, Th. (Ed.). Pluralisme, Konflik dan Perdamaian. Yogyakarta:
DIAN/Interfidei, 2002.
Wahid, Abdurrahman. et.al. Dialog:

Kritik Dan Identitas, Yogyakarta:

DIAN/Interfidei, 2004.
Wahid, Abdurrahman. et.al. Islam Liberal & Fundamental: Sebuah Pertarungan
Wacana , Yogyakarta: eLSAQ, 2007.

19