Fiqih Muamalah Rukun dan Syarat Jual Bel

FIQIH MUAMALAH
RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI DALAM ISLAM
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fiqih Mu’amalah
Dosen Pengampu : Imam Mustafa, S.H.I, M.S.I

Disusun Oleh :
Diah Ayu Wulandari : 1502100172

Kelas C
PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO
TP 2016/2017

RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
A. Pendahuluan
Jual beli (bisnis) dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan setiap
waktu oleh semua manusia. Tetapi jual beli yang benar menurut hukum Islam belum
tentu semua orang muslim melaksanakannya. Bahkan ada pula yang tidak tahu sama
sekali tentang ketentutanketentuan yang di tetapkan oleh hukum Islam dalam hal jual

beli (bisnis). Jual beli merupakan transaksi yang dilakukan oleh pihak penjual dan
pembeli atas suatu barang dan jasa yang menjadi objek transaksi jual beli. Akad jual
beli dapa diaplikasikan dalam pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah.
Pembiayaan yang menggunakan akad jual beli dikembangkan di bank syariah dalam
tiga jenis pembiayaan, yaitu pembiayaan murabahah, istishna, dan salam.
Islam sebagai agama telah diyakini oleh umat manusia hampir separuh dari
penduduk bumi, di mana mereka meyakini adanya Tuhan yang esa dengan
mentauhidkan Allah swt. Sebagai Tuhan yang tidak beranak dan tidak diperanakan
serta tidak membutuhkan bantuan dari makhluknya dan dapat

melakukan

kekuasaannya tanpa adanya campur tangan dari yang selainNya. Oleh Karena itu,
umat Islam kemudian melakukan ritual untuk menghambakan diri kepada Allah
sebagai kewajiban spiritual agar dapat masuk kedalam golongan orang yang saleh. Di
sisi lain Islam sebagai suatu norma moral, pada tatanan bermasyarakat dalam
pranata sosial terkadang terlepas dari pola pikir dan pola tindak umatnya. Islam masih
dianggap sebuah ajaran yang hanya mengajarkan dan bahkan memerintahkan
umatnya untuk beribadah secara vertikal belaka, belum masuk ke dalam relung hati
kaum muslimin untuk dilaksanakan secara kaffah dalam segala lini kehidupan, yang

bukan hanya spiritual namun aktual sosial kemasyarakatan atau bermuamalah.
B. Rukun Jual Beli
Sebagai salah satu bentuk transaksi, dalam jurnal beli harus ada beberapa hal
agar akadnya dianggap sah dan mengikat. Beberapa hal tersebut disebut sebagai
rukun. Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa rukun jual beli hanya satu, yaitu ijab.

2

Menurut mereka hal yang paling prinsip dalam jual beli adalah saling reela yang
diwujudkan dengan kerelaan untuk saling memberikan barang. Maka jika telah terjadi
ijab, di situ jual beli telang dianggap berlangsung. Tentunya dengan adanya ijab, pasti
ditemukan hal-hal yang tekait dengannya,seperti para pihak yang berakad, objek jual
beli dan nilai tukarnya.1
Pengertian rukun adalah sesuatu yang merupakan unsur pokok pada sesuatu,
dan tidak terwujud jika ia tidak ada. Misalnya, penjual dan pembeli merupakan unsure
yang harus ada dalam jual beli.2
Menurut Mazhab Hanafi rukun jual beli hanya ijab dan Kabul. Menurut ulama
mazhab Hanafi yang menjadi rukun jual beli hanyalah kerelaan antara kedua belah
pihak untuk berjual beli. Ada dua indicator yang menunjukkan kerelaan dari kedua
belah pihak, yaitu dalam bentuk perkataan (ijāb dan qabūl) dan dalam bentuk

perbuatan, yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).3 Jika
penjual dan pembeli tidak ada atau hanya salah satu pihak yang ada, jual beli tidak
mungkin terwujud. Adapun rukun-rukun jual beli adalah sebagai berikut :
a. Ada Penjual
Penjual adalah pihak yang memiliki objek barang yang akan diperjualbelikan.
Dalam transaksi perbankan syariah, maka pihak penjualnya adalah bank syariah
b. Ada Pembeli
Pembeli merupakan pihak yang ingin memperoleh barang yang di harapkan,
dengan membayar sejumlah uang tertentu kepda penjual. Pembeli dalam aplikasi
bank syariah adalah nasabah.
c. Objek Jual Beli
Merupakan barang yang akan digunakan sebagai objek transaksi jual beli.
Objek ini harus ada fisiknya.
1

Imam Mustafa, Fiqih Muamalah Kontemporer,(Jakarta:Rajawali Pers, 2016) hal 25
Siti Mujiatun,”Jual Beli dalam Perspektif Islam: Salam dan Istishna”, dalam Jurnal RISET
AKUNTANSI DAN BISNIS Volume 13 No.2 Tahun 2013 Edisi September, hal 205
3
M. Ali Hasan sebagaimana dikutip oleh Syaifullah M.S , “Berbagai Macam Transaksi Dalam

Islam”, dalam jurnal studia Islamika, Vol. 11, No. 2, Desember 2014: (371-387) hal 376
2

3

d. Harga
Setiap transaksi jual beli harus disebutkan dengan jelas harga jual yang
disepakati antara penjual dan pembeli
e. Ijab kabul (serah terima) antara penjual dan pembeli
Merupakan kesepakatan penyerahanbarang dan penerimaan barang yang
diperjual belikan. Ijab Kabul harus di sampaikan secara jelas atau dituliskan untuk
ditandatangani oleh penjual dan pembeli.4
Sedangkan menurut jumhur ulama rukun jual beli itu ada empat yaitu para
pihak yang bertransaksi(penjual dan pembeli),sigat (lafal ijab dan kabul), barang
yang di perjualbelikan, dan nilai tukar pengganti barang.5
Pertama, Akad (ijab qobul), pengertian akad menurut bahasa adalah ikatan
yang ada diantara ujung suatu barang. Sedangkan menurut istilah ahli fiqh ijab qabul
menurut cara yang disyariatkan sehingga tampak akibatnya. Mengucapkan dalam
akad merupakan salah satu cara lain yang dapat ditempuh dalam mengadakan
akad, tetapi ada juga dengan cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk

berakad para ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad
diantaranya:
1) Dengan cara tulisan, misalnya, ketika dua orang yang terjadi transaksi jual
beli yang berjauhan maka ijab qabul dengan cara tulisan (kitbah).
2) Dengan cara isyarat, bagi orang yang tidak dapat melakukan akad jual beli
dengan cara ucapan atau tulisan, maka boleh menggunakan isyarat.
3) Dengan cara ta’ahi (saling memberi), misalnya, seseorang melakukan
pemberian kepada orang lain, dan orang yang diberi tersebut memberikan
imbalan kepada orang yang memberinya tanpa ditentukan besar imbalan.
4) Dengan cara lisan al-hal, menurut sebagian ulama mengatakan, apabila
seseorang meninggalkan barang-barang dihadapan orang lain kemudian
orang itu pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja
4

Ismail, Perbankan Syariah,(Jakarta: Kencana, 2011), hal 136-137
Sobhirin, “Jual Beli Dalam Pandangan Islam”,dalam Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 3,
No. 2, Edisi Desember 2015 hal 246

5


4

hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan
barang titipan dengan jalan dalalah al hal.
Dengan demikian akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli
belum dikatakan sah sebelum ijab dan qobul dilakukan sebab ijab qabul
menunjukkan kerelaan (keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan atau
tulis. Ijab qabul dalam bentuk perkataan atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling
memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang). Pada dasarnya akad dapat
dilakukan dengan lisan langsung tetapi bila orang bisu maka ijab qobul tersabut
dapat dilakukan dengan surat menyurat yang pada intinya mengandung ijab qobul. 6
Kedua, orang yang berakad (subjek), dua pihak terdiri dari bai’(penjual) dan
mustari (pembeli). Disebut juga aqid, yaitu orang yang melakukan akad dalam jual
beli, dalam jual beli tidak mungkin terjadi tanpa adanya orang yang melakukannya,
dan orang yang melakukan harus:
1) Beragama Islam, syarat orang yang melakukan jual beli adalah orang Islam,
dan ini disyaratkan bagi pembeli saja dalam benda-benda tertentu.
2) Berakal, yang dimaksud dengan orang yang berakal disini adalah orang yang
dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik baginya. Maka orang
gila atau bodoh tidak sah jual belinya, sekalipun miliknya sendiri.

3) Dengan kehendaknya sendiri, yang dimaksud dengan kehendaknya sendiri
yaitu bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli tidak dipaksa.
4) Baligh, baligh atau telah dewasa dalam hukum Islam batasan menjadi
seorang dewasa bagi laki-laki adalah apabila sudah bermimpi atau berumur
15 tahun dan bagi perempuan adalah sesudah haid.
5) Keduanya tidak mubazir, yang dimaksud dengan keduanya tidak mubazir
yaitu para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut
bukanlah manusia yang boros (mubazir).7

6
7

Sobhirin, “Jual Beli.…,hal 247
Sobhirin, “Jual Beli….,hal 248-249

5

Ketiga, ma’kud ‘alaih (objek) yaitu barang menjadi objek jual beli atau yang
menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli.8 Barang yang dijadikan sebagai objek
jual beli ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Bersih barangnya, maksudnya yaitu barang yang diperjual belikan bukanlah
benda yang dikualifikasikan kedalam benda najis atau termasuk barang yang
digolongkan diharamkan.
2) Dapat dimanfaatkan, maksudnya yaitu barang yang diperjual belikan harus
ada manfaatnya sehingga tidak boleh memperjual belikan barang-barang
yang tidak bermanfaat.
3) Milik orang yang melakukan aqad, maksudnya bahwa orang yang melakukan
perjanjian jual beli atas sesuatu barang adalah pilihan sah barang tersebut
dan atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut. Dengan
demikian jual beli barang yang dilakukan oleh yang bukan pemilik atau
berhak berdasarkan kuasa si pemilik dipandang sebagai perjanjian yang
batal
4) Mengetahui, maksudnya adalah barang yang diperjual belikan dapat
diketahui oleh penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya,
sifatnya dan harganya. Sehingga tidak terjadi kekecewaan diantara kedua
belah pihak.
5) Barang yang di akadkan ada ditangan, maksudnya adalah perjanjian jual beli
atas sesuatu barang yang belum ditangan (tidak berada dalam kekuasaan
penjual) adalah dilarang, sebab bisa jadi barang sudah rusak atau tidak
dapat diserahkan sebagaimana telah diperjanjikan

6) Mampu menyerahkan, maksudnya adalah keadaan barang haruslah dapat
diserah terimakan. Jual beli barang tidak dapat diserah terimakan, karena
apabila barang tersebut tidak dapat diserah terimakan, kemungkinan akan
terjadi penipuan atau menimbulkan kekecewaan pada salah satu pihak. 9
Chairuman dan Suhwardi, 1996, sebagaimana dikutip oleh Sobhirin , “Jual Beli Dalam
Pandangan Islam”,dalam jurnal studia Islamika, Vol. 11, No. 2, Desember 2014: (371-387)
hal
9
Syaifullah M.S, “Etika Jual Beli Dalam Islam”, dalam Jurnal Studia Islamika Vol. 11, No. 2,
Desember 2014, (371-387) hal 378

8

6

Keempat, ada nilai tukar pengganti barang, nilai tukar pengganti barang,
yaitu sesuatu yang memenuhi tiga syarat; bisa menyimpan nilai (store of value), bisa
menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan alat
tukar (medium of exchange).10 Suci, najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan
uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang/bangkai yang belum disamak. 11

C.

Syarat Jual Beli
Pengertian syarat adalah sesuatu yang bukan merupakan unsur pokok tetapi

adalah unsur yang harus ada di dalamnya. Jika ia tidak ada, maka perbuatan
tersebut dipandang tidak sah. Misalnya; suka sama suka merupakan salah satu
syarat sahnya jual beli. Jika unsur suka sama suka tidak ada, jual beli tidak sah
menurut hukum.12 Syarat-syarat jual beli ada empat macam, yaitu syarat
terpenuhinya akad (syurut al-in ‘iqad), syarat sah (syurut al-nafadz), syarat sah
(syurut al-sihhah), dan syarat mengikat (syurut al-luzum). Adanya syarat-syarat ini di
maksudkan untuk menjamin bahwa jual beli yang dilakukan akan membawa
kebaikan bagi kedua belah pihak dan tidak ada yang dirugikan. 13
Syarat, menurut terminology para fuqaha seperti diformulasikan Muhammad
Khudlari Bek, ialah sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan (mengakibatkan)
tidak adanya hukum itu sendiri. Hikmah dari ketiadaan syarat itu berakibat pula
meniadakan hikmah hukum atau sebab hukum. Dalam syari’ah, rukun, dan syarat
sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Definisi syarat berkaitan
dengan sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada
di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada. 14


Sobhirin, “Jual Beli….,hal 249
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Bandung, 1990), hal 263
12
Siti Mujiatun,”Jual Beli….,hal 205
13
Imam Mustafa, Fiqih Muamalah Kontemporer,(Jakarta:Rajawali Pers, 2016) hal 25
14
Sobhirin, “Jual Beli Dalam Pandangan Islam”,dalam Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 3,
No. 2, Edisi Desember 2015 hal 245-246
10

11

7

Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak
sah untuk diperjulbelikan. Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni
kedua belah pihak memiliki sesuatu yan diserahkan kepadanya dengan adanya
ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.15 Empat rukun jual beli tersebut,
memuat beberapa syarat yang harus di penuhi dalam jual beli (bisnis), yaitu :
1. Syarat orang yang berakad Ulama fiqih sepakat, bahwa orang yang
melakukan transaksi jual beli harus memenuhi syarat-syarat :

 Berakal. Dengan syarat tersebut maka anak kecil yang belum berakal
tidak boleh melakukan transaksi jual beli, dan jika telah terjadi
transaksinya tidak sah. Jumhur ulama berpendapat, bahwa orang yang
melakukan transaksi jual beli itu harus telah akil baliqh dan berakal.
Apabila orang yang bertransaksi itu masih mumayyiz, maka transaksi
jual beli itu tidak sah. Sekalipun mendapat izin dari walinya.

 Orang yang melakukan transaksi itu, adalah orang yang berbeda.
Maksud dari syarat tersebut adalah bahwa seorang tidak boleh menjadi
pembeli dan penjual pada waktu yang bersamaan.

 Tidak dalam keadaan terpaksa ketika melakukan akad. Karena karena
adanya kerelaan dari kdua belah pihak merupakan salah satu rukun jual
beli. Jika terdapat paksaan, maka akadnya dipandang tidak sah atau
batal menurut Jumhur Ulama. Sedangkan menurut Hanafiyah, sah
akadnya ketika dalam keadan terpaksa jika diizinkan, tetapi bila tidak
diizinkan, maka tidak sah akadnya.16
2. Syarat yang terkait dengan ijāb dan qabūl. Ulama fiqih sepakat bahwa
urusan utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli.
Kerelaan ini dapat terlihat pada saat transaksi berlangsung. Oleh karena itu,
ijāb qabūl harus diungkapkan dengan jelas sehingga tidak terjadi penipuan
dan dengan ijab Kabul dapat mengikat kedua belah pihak. Apabila ijāb-qabūl
Nizaruddin, Fiqih Mu’amalah, (Yogyakarta : Idea Press, 2013) hal 91
Ali bin’Abbas al-Hukmiy, sebagaimana dikutip oleh Enang Hidayat dalam buku, “Fiqih Jual
Beli”, (Bandung:Remaja Rosdakarya,2015) hal 18

15

16

8

telah diucapkan dalam transaksi, secara otamatis kepemilikan barang dan
uang telah berpindah tangan. Ulama fiqih menjelaskan bahwa syarat dari
ijāb-qabūl adalah sebagai berikut :

 Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah
penjual menyatakan ijab atau sebaliknya.

 Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul.
Masalah ijab qabul ini para ulama berbeda pendapat diantaranya sebagai
berikut :
1) Madzhab Syafi’i
Syarat sighat menurut madzhab syafi’i:
a) Berhadap-hadapan, pembeli dan penjual harus menunjukkan sighat
akadnya kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya yakni
harus sesuai dengan orang yang dituju
b) Ditujukan pada seluruh badan yang akad. Tidak sah jika berkata,
“Saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu”
c) Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab. Orang yang
mengucapkan qabul haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh
orang yang mengucapkan ijab kecuali bila diwakilkan.
d) Harus menyebut barang dan harga, ketika mengucapkan shighat
harus disertai niat (maksud)
e) Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna, jika seseorang yang
melakukan transaksi itu gila sebelum mengucapkan ,jual beli yang di
lakukannya batal.
f) Ijab qabul tidak terpisah, antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi
oleh waktu yang terlalu lama yang menggambarkan adanya
penolakan dari salah satu pihak.
g) Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain.
h) Tidak berubah lafazh
i)

Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna

9

j)

Tidak dikaitkan dengan sesuatu, akad tidak boleh dikaitkan dengan
sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad dan akad tiak
dikaitkan dengan waktu.

2) Madzhab Hambali, syarat shighat ada 3 yaitu :
a) Berada di tempat yang sama
b) Tidak terpisah, antara ijab dan qabul tidak terdapat pemisah yang
menggambarkan adanya penolakan.
c) Tidak diikatkan dengan sesuatu, akad tiak boleh dikaitkan dengan
sesuatu yang tidak berhubungan dengan akad.
3) Imam Malik berpendapat, syarat shighat ada 2 , yaitu :
a) Tempat akad harus bersatu
b) Pengucapan ijab qabul tidak terpisah, diantara ijab dan qabul tidak
boleh ada pemisah yang mengandung unsure penolakan dari salah
satu aqid secara adat.
4) Madzhab Hanafi, syarat shighat :
a) Qabul harus sesuai dengan ijab
b) Ijab dan qabul harus bersatu, yakni berhubungan antara ijab dan
qabul walaupun teempatnya tidak bersatu.17
3. Syarat yang diperjual belikan. Syarat yang diperjualbelikan, adalah sebagai
berikut :

 Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual
menyatakan sanggup untuk mengadakan barang itu.

 Barang tersebut dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
Oleh karena itu keluar dari syarat ini adalah menjual khamar, bangkai
haram untuk diperjualbelikan, karena tidak bermanfaat bagi manusia
dalam pandangan syara’. Tidak sah18 menjual belikan barang najis
atau barang haram seperti darah, bangkai dan daging babi. Karena
barang-barang tersebut menurut syariat tidak bisa digunakan
17
18

Nizaruddin, Fiqih Mu’amalah…,hal 93-94
Abdullah Al-Mushlih, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2004) hal 90

10

 Milik seseorang. Maksudnya adalah barang yang belum milik
seseorang tidak boleh menjadi objek jual beli, seperti menjual ikan
yang masih di laut, emas yang masih dalam tanah, karena keduanya
belum menjadi milik penjual.

 Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, atau pada waktu yang
telah disepakat.

 Obyek transaksi dapat diketahui dengan dua cara;
1. Barang dilihat langsung pada saat akad atau beberapa saat
sebelumnya yang diperkirakan barang tersebut tidak berubah dalam
jangka waktu itu.
2. Spesifikasi barang dijelaskan dengan sejelas-jelasnya seakan-akan
orang yang mendengar melihat barang tersebut.

 Harga harus jelas saat transaksi. Maka tidak sah jual-beli dimana penjual
mengatakan "Aku jual mobil ini kepadamu dengan harga yang akan kita
sepakati nantinya". Berdasarkan Hadist di atas yang melarang jual beli
gharar.19

4. Syarat nilai tukar (harga barang), Nilai tukar suatu barang merupakan salah
satu unsur terpenting. Yang pada zaman sekarang disebut dengan uang.
Ulama fiqih memberikan penjelasan bahwa syarat nilai tukar adalah sebagai
berikut:

 Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.

 Dapat diserahkan pada saat waktu transaksi, sekalipun secara hukum
seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila barang
dibayar kemudian (berhutang), maka waktu pembayarannya harus
jelas waktunya.

 Jika jual beli itu dilakukan dengan cara barter, maka barang yang
dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara’ seperti
babi dan khamar.

Yusuf Al Subaily, “Pengantar fiqh muamalat dan aplikasinya dalam ekonomi modern”,
dalam jurnal materi Fiqh Perbankan Syariah, hal 8
19

11

Syarat uang menurut Imam Al-Ghazali ada 3, yaitu :
1. Penyimpanan nilai (store of value), yaitu uang harus bisa mempunyai
nilai atau harga yang tetap (stabil)
2. Satuan perhtiungan/timbangan (Unit of Account), yaitu uang harus bisa
berfungsi sebagai satuan perhitungan atau timbangan (Unit of Account)
untuk menimbang atau menilai suatu barang atau jasa.
3. Alat tukar (Medium of Exchange), yaitu uang harus bisa berfungsi
sebagai alat tukar untuk melakukan transaksi perdagangan barang atau
jasa.20

20

Nizaruddin, Fiqih Mu’amalah…,hal100

12

DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Enang, dalam buku,

“Fiqih

Jual Beli”,

Bandung:

Remaja

Rosdakarya, 2015.
Ismail, Perbankan Syariah,Jakarta: Kencana, 2011.
Mujiatun, Siti, ”Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Salam Dan Istishna”, Dalam
Jurnal Riset Akuntansi Dan Bisnis Volume 13 No.2 Tahun 2013 Edisi September
Mushlih, Abdullah, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq,
2004.
Mustafa, Imam, Fiqih Muamalah Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Nizaruddin, Fiqih Mu’amalah, Yogyakarta : Idea Press, 2013
Sobhirin, “Jual Beli Dalam Pandangan Islam”,dalam Jurnal Bisnis dan
Manajemen, Vol. 3, No. 2, Edisi Desember 2015
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Bandung, 1990.
Syaifullah, “Etika Jual Beli Dalam Islam”, dalam Jurnal Studia Islamika Vol.
11, No. 2, Desember 2014, (371-387)

13