Hasil Kopi dan SIklus Hara Mineral dari

Hasil kopi
dan24(1),
siklus1hara
Pelita Perkebunan
2008,
—21 mineral dari pola tanam kopi dengan beberapa spesies tanaman kayu industri

Hasil Kopi dan Siklus Hara Mineral dari Pola Tanam Kopi dengan
Beberapa Spesies Tanaman Kayu Industri
Coffee Yield and Mineral Cycle in Intercropping of Coffea canephora and Some
Species of Timber Shade Trees
A. Adi Prawoto
Ringkasan
Kebun kopi yang dirancang dengan pola agroforestri menggunakan
sejumlah spesies tanaman penaung diharapkan mampu menjaga keberlanjutan
usahatani kopi oleh makin kondusifnya kondisi lingkungan kebun. Pola tanam
tersebut juga penting untuk mengantisipasi isue eko-label dan meningkatnya green
consumerism. Penelitian pola tanam kopi Robusta dengan sejumlah spesies kayu
industi telah dilakukan di KP. Kaliwining (45 m dpl. Tipe iklim D. Schmidt Ferguson).
Penelitian dirancang secara split plot dengan main plot spesies penaung yaitu
jati, sengon laut, sengon varietas Solomon, mindi, waru gunung dan lamtoro sebagai

kontrol. Sebagai sub plot adalah klon kopi, yaitu BP 409, BP 534, BP 936 dan
BP 939. Setiap petak perlakuan diuji pada areal 0,25 ha. Variabel pengamatan meliputi
hasil kopi umur 3, 4, dan 5 tahun, rendemen, kadar lengas daun relatif (KLR)
pada musim kemarau, pertumbuhan tanaman industri, biomassa serasah, kandungan
hara di dalam serasah dan iklim mikro kebun. Hasil kopi umur 4 dan 5 tahun yang
diusahakan dengan tanaman mindi dan waru konsisten lebih rendah daripada
yang diusahakan dengan lamtoro. Hasil kopi yang diusahakan dengan tanaman
jati, sengon dan sengon varietas Solomon, tidak berbeda dengan kontrol. Pada
umur tersebut, pengaruh klon terhadap hasil kopi belum konsisten, namun ada
kecenderungan hasil BP 939 paling tinggi sebaliknya BP 936 paling rendah.
Rendemen kopi tidak terpengaruh oleh spesies tanaman penaung dan pola
tanamnya, tetapi terpengaruh oleh klon. Rendemen BP 936 paling rendah dibandingkan BP 939, BP 534 dan BP 409. Dibandingkan penaung lamtoro, semua
spesies tanaman kayu industri dan pola tanamnya menyebabkan persaingan lengas
dan laju evapotranspirasi kopi lebih kuat, tercermin dari harkat KLR lebih rendah.
Pertumbuhan sengon laut (Paraserianthes falcataria) paling cepat, sebaliknya
tanaman waru gunung (Hibiscus macrophyllus) paling lambat, laju pertumbuhan
tanaman jati relatif sama dengan mindi. Selama satu tahun pengamatan, total bobot
serasah waru gunung paling berat, disusul serasah jati dan sengon Solomon.
Hasil serasah paling sedikit dari tanaman mindi. Mendasarkan pada bobot serasah
serta kandungan hara mineral di dalamnya, waru gunung berpotensi mengembalikan hara makro dan mikro ke tanah paling banyak, disusul lamtoro, sengon

varietas Solomon, jati, mindi dan sengon laut yang paling sedikit. Disebabkan
oleh perlakuan pemupukan anorganik yang intensif, peran siklus nutrisi tersebut
terhadap hasil kopi tidak berkorelasi linier.
1) Peneliti (Researcher); Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman No. 90, Jember.

1

Prawoto

Summary
Agroforestry system of coffee plantation using several timber species as
shade trees is expected could sustain coffee farming system due to the favourable
agro-ecological condition. This farming concept is also important to anticipate eco-label and improvement of green consumerism issue. A study of Coffea
canephora planting pattern using Tectona grandis, Paraserianthes falcataria,
P. falcataria var. Solomon, Melia azedarach, Hibiscus macrophyllus and Leucaena
sp., has been conducted in Kaliwining experimental station (45 m a.s.l and D
of rainfall type according to Schmidt & Ferguson), during 2002 to 2008. The
treatments were arranged in split plot, those timber species and the planting
pattern (9 treatment) were used as the main plot, and coffee clones (BP 409,
BP 534, BP 936 dan BP 939) as the sub plot. Each plot was planted in 0.25

hectare. The measured variables were berry yield at 3, 4 and 5 year old; berry
outturn, relative water content (RWC) of coffee leaves during dry season; microclimate, growth of the shade trees; yearly biomass of the litter; and mineral
content of the litters. The result showed that berry yield at 4 and 5 year old of
coffee-M. azedarach and coffee-Hibiscus sp. treatment were consistently lower
than the control (coffee-Leucaena sp.), meanwhile the yield of coffee-T. grandis,
coffee-P. falcataria treatment were not significantly different to the control. Until there age, effect of coffee clones were still not consistent, but yield of BP
939 tended to be the highest and BP 936 the lowest. The outturn of coffee berry
was not influenced by shade species and their planting pattern, but the effect
of clones was significant. Outturm of BP 936 was the lowest and significantly different with the others. In comparison with Leucaena sp., all of shade species and
their planting pattern compete more for water consumption and improve evapotranspiration of coffee leaves. RWC inside those shade trees were lower than
that under Leucaena sp. The growth of P. falcataria grow was fastest, but Hibiscus sp. was the slowest. At 5 year old, stem diameter were 22.7 cm and 14.0 cm
for P. falcataria and Hibiscus sp. respectively. During one year observation,
total litter biomass of Hibiscus was highest, followed by T. grandis then P.
falcataria var. Solomon, and the lightest was M. azedarach litter. Based on the
total litter biomass and their nutrient content, Hibiscus sp. showed the highest potency to supply macro and micronutrient to the soil followed by Leucaena
sp. P. falcataria var. Solomon, T. grandis, M. azedarach and the lowest one was
P. falcataria. However, the role of those nutrient cycle on coffee bean yield was
not linear, because of the inorganic fertilizer applicaion is very intensive.
Key words :


Coffea canephora, Tectona grandis, Paraserianthes falcataria, Melia azedarach,
Hibiscus macrophyllus, yield, outturn, litter, mineral cycle.

PENDAHULUAN
Sejak dekade 1990-an produktivitas tanaman
kopi pada sebagian besar lahan perkebunan
menunjukkan kecenderungan terus menurun.

2

Kerusakan lahan dan lingkungan yang
berdampak pada penurunan daya dukung
lahan, antara lain disebabkan oleh pola
eksploitasi lingkungan yang sangat intensif
tanpa memperhatikan kaidah-kaidah

Hasil kopi dan siklus hara mineral dari pola tanam kopi dengan beberapa spesies tanaman kayu industri

ekologis. Model pengusahaan kayu dengan
sistem yang terbarukan dengan memasukkannya dalam sistem pengusahaan perkebunan menjadi alternatif yang menarik untuk

dikaji. Hal ini sejalan dengan kebijakan
pembangunan perkebunan pola konservasi
yang relevan dengan perubahan ekologis dan
perkembangan pasar.
Perkebunan kopi yang dikelola secara
standar, telah memenuhi kaidah konservasi
sumber daya alam (SDA) seperti yang dinyatakan FAO (Untung, 1999). Keberadaan
penaung yang meneruskan cahaya 70—80%
sangat penting untuk menjamin umur
produktif yang panjang serta tingkat
produktivitas kopi yang tinggi (Maestri &
Barros, 1977). Diversifikasi yang melibatkan
banyak spesies dengan habitus yang beragam,
mampu menjaga kelestarian lingkungan biotik
maupun abiotik kebun. Sistem agrisillvikultur
seperti itu dinyatakan sebagai salah satu
bentuk agroforestri sederhana (De Foresta
& Michon, 1997).
Agroforestri pada dasarnya adalah pola
pertanaman yang memanfaatkan intensitas

sinar matahari yang ‘berlapis-lapis‘ dan tanah
untuk meningkatkan produktivitas lahan.
Pola tanam agroforestri sendiri tidak sekedar
untuk meningkatkan produktivitas lahan,
tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan
dan mencegah penurunan kesuburan tanah
melalui mekanisme alami. Tanaman kayu
industri yang berumur panjang diharapkan
mampu memompa zat-zat hara (nutrient) di
lapisan tanah yang dalam, kemudian
mentransfernya ke permukaan tanah melalui
luruhnya biomassa (Budiadi, 2005). Selain
itu, konsep pola agroforestri pada dasarnya
secara perlahan mampu menekan emisi

karbon dan efek rumah kaca karena kopi
dan tanaman penaung merupakan carbon
sink yang baik. Kebijakan beberapa produsen
kopi di Amerika Tengah yang mengikuti
kesepakatan Kyoto mengenai carbon sequestration, memperoleh bonus dari CO2 yang

dapat diserapnya setelah merubah pola tanam
kopi monokultur menjadi pola agroforestri
(Vaas & Hermand, 2002).
Kopi merupakan tanaman yang secara
alami tumbuh di bawah naungan, tetapi yang
diusahakan tanpa penaung sering memberikan hasil yang lebih tinggi selama diimbangi dengan input agrokimia yang tinggi.
Namun, mengingat harga kopi yang berfluktuatif dan kondisi lingkungan yang
cenderung makin marjinal, hasil evaluasi
ekonomis dan ekologis menunjukkan bahwa
usahatani kopi dengan pola tersebut berpotensi mencemari air tanah dan makin
mahal.
Keberadaan tanaman penaung khususnya dari famili Leguminosae, meningkatkan
kesuburan tanah (bahan organik dan siklus
hara), dan lebih menjamin keberlanjutan
usahatani kopi. Pada lingkungan yang
kur ang optimum, tanaman penaung
berfungsi menurunkan penyinaran matahari
yang berlebih dan menyangga suhu udara
dan kelembaban r elatif yang dapat
berpengaruh negatif terhadap fisiologis

tanaman kopi. Tanaman penaung memegang
peranan penting bagi pekebun kopi di
Amerika Tengah oleh dampaknya terhadap
sumber daya lingkungan seperti konservasi
biodiversitas, konservasi tanah dan kualitas
air, serta sebagai preservasi karbon (Vaast
et al. , 2008). Spesies tanaman yang banyak
digunakan adalah suku Leguminosae seperti

3

Prawoto

Erythrina spp. dan Inga spp. yang secara
periodik dipangkas. Memang, spesies kayu
industri jarang digunakan di kebun kopi di
kawasan tersebut walaupun diakui bahwa
hasil kayu sangat membantu keragaman
sumber pendapatan pekebun.


Tanaman sengon (Paraserianthes
falcataria) merupakan tanaman suku Leguminosae yang tumbuh cepat, toleran tanah
marginal, tajuknya meneruskan cahaya difus
dan kayunya bernilai tinggi (Heyne, 1987).
Oleh sifatnya tersebut tanaman ini berpeluang
baik digunakan untuk penaung kopi serta
konservasi lingkungan di kebun.
Jati (Tectona grandis) dapat tumbuh baik
pada deviasi lingkungan yang lebar, mulai
dari dataran rendah sampai ketinggian 800
m dpl. dan dari curah hujan kurang dari 900
mm/th sampai 3.800 mm/th, dari temperatur
minimum 14OC sampai maksimum 41OC
(Salleh, 2001). Jati menghendaki areal yang
terbuka namun masih toleran pada penyinaran
75—95%. Hasil penelitian siklus hara hutan
jati umur 20 tahun di India menunjukkan
bahwa 64—76% unsur hara dalam biomasa
tanaman jati dikembalikan lagi ke dalam
tanah (Salleh, 2001). Di Malaysia, jati

diusahakan dengan tanaman karet, kakao dan
kelapa sawit (Bacilieri et al., 1998).
Mindi (Melia azedarach), akhir-akhir
ini banyak diusahakan pekebun di Jawa
Timur sebagai penghasil kayu di samping
untuk konservasi lingkungan. Pertumbuhannya cepat, tajuknya meneruskan cahaya difus
dan daunnya untuk sementara kurang disukai
ternak (Heyne, 1987). Peluangnya digunakan
sebagai penaung kopi belum diketahui,
demikian pula dampaknya pada perubahan
sifat fisiko-kimia tanah yang terjadi serta

4

nilai pendapatan yang dapat diperoleh
pekebun.
Lamtoro (Leucaena sp.) yang ditanam
rapat dengan jarak antara baris  satu meter,
mampu menghasilkan pupuk hijau sebanyak
120 ton/ha/tahun, sehingga dapat menyumbang 1.000 kg nitrogen, 200 kg asam fosfat

dan 800 kg potasium, berturut-turut setara
dengan 50 kg ammonium sulfat, 50 kg super fosfat dan 50 kg potasium muriate.
Fiksasi N atmosfer menambah kesuburan
tanah, murah dan tidak mengganggu lingkungan (Padmowijoto, 2004).
Minat pekebun kopi menggunakan
tanaman penaung akhir-akhir ini meningkat
disebabkan oleh harga kopi dunia berfluktuasi dan kecenderungan meningkatnya green
consumerism. Di Kostarika, 88% pekebun
mengusahakan lebih banyak spesies di dalam
kebun kopi, khususnya spesies tanaman buah
(Albertin & Nair, 2004). Tulisan ini menyampaikan hasil kajian agroekologis dari
budidaya tanaman kopi produktif muda
yang diusahakan dengan tanaman sengon,
mindi, jati, dan waru gunung yang dirancang dengan sejumlah pola tanam.

BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di KP Kaliwining (45 m dpl. tipe iklim D menurut
klasifikasi Schmidt & Ferguson) menggunakan kopi Robusta (Coffea canephora).
Penelitian dengan rancangan split plot, setiap
petak main plot perlakuan diuji pada areal
0, 25 ha. Perlakuan sebagai main plot
adalah :
1. Kopi–Jati (Tectona grandis):
Jati (3 m x 2,5m) x 18 m (pagar ganda).

Hasil kopi dan siklus hara mineral dari pola tanam kopi dengan beberapa spesies tanaman kayu industri

2. Kopi–Sengon laut (Paraserianthes falcataria):
(a) Sengon (3 m x 2,5 m) x 12 m ( pagar
ganda).
(b) Sengon 6 m x 2,5 m (pagar tunggal).
3. Kopi– Sengon (Paraserianthes falcataria)
varietas Solomon :
(a) Sengon pagar ganda (3 m x 5 m) x
25 m.
(b) Sengon empat baris (3 m x 5 m x
5 m) x 25m.
4. Kopi–Mindi (Melia azedarach):
(a)Mindi pagar ganda (3 m x 5m) x 25m.
(b)Mindi empat baris (3 m x 5 m x 5
m) x 25m.
5. Kopi–Waru Gunung (Hibiscus macrophyllus) :
Waru gunung ditanam empat baris
(3m x 5m x 5m) x 25m.
6. Kontrol :
Kopi-Lamtoro ( Leucaena sp. ) jarak
tanam 3 m x 2,5 m.
Sebagai sub plot adalah klon kopi, yaitu
BP 409, BP 534, BP 936 dan BP 939. Dalam
tulisan ini tanaman kopi berumur 5 tahun,
dan tanaman industri berumur 6 tahun.
Pemeliharaan tanaman kopi sesuai baku
teknis, tanaman jati disiwing pada bulan
Januari/Februari, tanaman lamtoro ditokok
(topping).

Hasil kopi diamati dengan cara taksasi
buah yang dilakukan pada bulan Mei/Juni
dilanjutkan dengan pengamatan rendemen.
Jumlah sampel setiap sub perlakuan 10
tanaman. Perkembangan hasil kopi pada
umur 3, 4 dan 5 tahun disajikan di sini.
Data hasil kopi dan rendemen biji dianalisis
dengan program SAS 9.1 Sintaks.
Pengamatan hasil kopi dilakukan pada
tanaman umur 3, 4 dan 5 tahun, atau pada
tahun 2005 sampai 2007. Data curah hujan
pada tiga tahun tersebut tertera dalam Tabel 1.
Pada pertengahan musim kemarau (September) diamati kadar lengas daun relatif
(KLR) kopi dengan rumus berikut:
KLR = (BB-BK)/(BJ-BK) x 100%
KLR : Kadar lengas daun relatif (%),
BB : Bobot basah sampel daun (g),
BJ : Bobot jenuh sampel daun (g),
BK : Bobot kering sampel daun (g).
Pertumbuhan lilit (keliling) batang
tanaman industri diamati pada batas 1 m di
atas permukaan tanah. Setiap spesies dipilih
20 tanaman secara acak. Tingkat penaungan
tanaman penaung diamati pada musim hujan
menggunakan alat Densiometer. Setiap pola
tanam dipilih 20 tanaman contoh dan diamati
tingkat penaungan pada keempat arah mata
angin. Selain tingkat penaungan, pada
musim kemarau diamati tingkat kerontokan
daun. Variabel kualitatif ini mencerminkan
persentase daun yang rontok dengan kisaran
0–100%. Tingkat kerontokan dinyatakan

5

Prawoto

100% apabila semua daun rontok. Variabel
lingkungan yang lain adalah iklim mikro.
Data iklim mikro kebun (suhu, kelembaban
udara, intensitas penyinaran matahari)
diamati pukul 12.00 pada musim hujan dan
kemarau.
Variabel siklus nutrisi dicerminkan dari
sumbangan hara mineral di dalam serasah
daun/ranting tanaman penaung yang secara
potensial dapat kembali ke lahan. Sampel
serasah daun/ranting tanaman penaung dikumpulkan dengan jaring (paranet) yang
dipasang di bawah tanaman, dan data bobot
basah serta bobot kering diamati sebulan
sekali. Hijauan yang diperoleh dari penyiwingan cabang-cabang tanaman jati dan
pemenggalan tanaman lamtoro yang dilakukan pada awal hujan juga dicatat. Analisis
hara mineral yang terkandung di dalam
sampel serasah dilakukan di Laboratorium
Tanah dan Jar ingan Tanaman Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia menggunakan metode baku.

Tabel 1. Curah hujan di lokasi penelitian, mm
Table 1. Rainfall data in experimental site, mm

Bulan (Month)

2005

2006

2007

Januari (January)

123

212

147

Februari (February)

146

190

237

Maret (March)

294

218

415

April (April )

268

283

245

21

145

137

Mei (May)
Juni (June)

66

4

77

Juli (July)

65

7

15

Augustus (August)

13

1

3

Septembet (September)

21

0

0

Oktober (October)

101

0

97

November (November)

99

83

253

Desember (December)

467

383

516

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Kopi dan Rendemen
Pengaruh pola tanam sejumlah spesies
tanaman kayu industri sebagai penaung
terhadap hasil buah kopi, tertera dalam
Gambar 1. Tampak bahwa hasil kopi meningkat seiring dengan meningkatnya umur
tanaman, tetapi pada umur 4 tahun (2007)
hasil kopi pada sebagian perlakuan penaung,
turun dibandingkan hasil umur 3 tahun.
Pada umur 3 tahun, hasil tertinggi diperoleh
dari pola tanam kopi-sengon pagar tunggal.
Pada umur 4 tahun hasil tertinggi dicapai
pada pola tanam kopi-lamtoro yang tidak
berbeda nyata dengan hasil kopi dengan pola
tanam kopi-sengon, kopi-sengon varietas
Solomon, dan kopi-jati. Pada umur 4 tahun
tersebut, hasil kopi paling rendah diperoleh
dari pola tanam kopi-mindi 4 baris. Pada
umur 5, hasil kopi tertinggi diperoleh dari
perlakuan kopi-jati dan hasil paling rendah
dari perlakuan kopi-waru gunung. Hasil ini
berbeda dengan penelitian Romero-Alvarado
et al. (2002) di Meksiko, bahwa tanaman
penaung Inga latibracteata tidak berpengaruh terhadap hasil biji kopi dan nutrisi
dalam tanah. Dinyatakan bahwa keuntungan
yang dapat dirasakan pekebun dari penggunaan Inga latibracteata tersebut sebagai
penaung adalah menekan pertumbuhan
gulma, sehingga menghemat biaya pengendalian.
Sebagai penyebab hasil kopi yang
cenderung rendah pada umur 4 tahun dibandingkan umur 3 tahun adalah karena
kondisi cuaca yang kurang mendukung
untuk menopang pembungaan dan pembuahan hasil kopi umur 4 tahun. Bulan

Hasil kopi dan siklus hara mineral dari pola tanam kopi dengan beberapa spesies tanaman kayu industri

1800
1600
Hasil, glondong/pohon)
Yield, berries/tree

1400
1200
1000
800
600
400
200
0
T. grandis
P. falc,n
Jati
Sengo
1 rows
tunggal

P. falc.n
Sengo
2 row
ganda

P
. falc.
Var P
. falc.
Var M indi-2
M.
M.
So
lo mo
So
lo mo
M indi-4
Solomon
Solomon
azedarach azedarach
n-2
n-4
2 rows
4 rows
2 rows
4 rows

33-th
th(yr)

44-th
th(yr)

Hibiscus
Leucaena
Waru
Lamto
ro
sp.
sp.

55-th
th(yr)

Gambar 1. Pengaruh jenis dan pola tanam tanaman penaung terhadap hasil kopi pada umur 3, 4 dan 5
tahun (butir/pohon). Data disajikan sebagai rerata + simpangan baku.
Figure 1.

Effect of planting system and shade tree species on the berry yield per tree at the age of 3, 4,
and 5 year old. Data presented in average ± standard deviation.

kering yang panjang pada tahun 2006 (Tabel
1) menyebabkan banyak bunga kopi stadium
lilin yang seharusnya mekar pada bulan November oleh rangsangan air hujan, men-jadi
kering. Kerusakan bunga kopi tersebut
berdampak pada penurunan hasil tahun 2007
(umur 4 tahun).
Hasil uji lanjut produksi kopi umur 4
dan 5 tahun tidak menunjukkan interaksi
antara jenis tanaman penaung dengan klon
kopi. Tampak dari Tabel 2 bahwa pengaruh
spesies tanaman penaung terhadap hasil kopi
belum konsisten. Pada umur 4 tahun, hasil
tertinggi diperoleh dari kopi berpenaung
lamtoro dan pada umur 5 tahun hasil
tertinggi dari perlakuan kopi berpenaung jati
dengan model pagar ganda. Walaupun
demikian sudah terlihat hasil yang cenderung
konsisten, bahwa tanaman mindi dan waru
gunung dengan pola tanam seperti tersebut

dalam perlakuan, kurang tepat digunakan
sebagai penaung tanaman kopi Robusta, hasil
kopi selalu pada ranking bawah dibandingkan
perlakuan yang lain. Diduga sebagai penyebabnya karena dua alasan yang berbeda,
yaitu tanaman mindi menunjukkan tingkat
kerontokan daun yang tinggi selama musim
kemarau, sebaliknya tanaman waru menunjukkan tingkat penaungan yang terlalu
berat. Hasil pengamatan tingkat penaungan
pada musim hujan menggunakan alat
Densiometer menunjukkan bahwa tanaman
waru terlalu rindang dengan tingkat penaungan sekitar 73%, jauh di atas penaungan
lamtoro sekitar 49% (Gambar 2). Tingkat
penaungan yang terlau minimum (di bawah
mindi) dan terlalu berat (di bawah waru),
berdampak pada metabolisme yang lebih
lambat, hasil fotosintesis bersih rendah dan
akhirnya hasil kopi juga rendah. Secara

7

Prawoto

Tabel 2.

Pengaruh pola tanam dan klon terhadap rerata hasil kopi pada umur 4 dan 5 tahun

Table 2.

Influece of planting pattern and clones on the berry yield per tree at 4 and 5 year old

Perlakuan
Treatment

Hasil, glondong/pohon (Yield, cherry/tree)
4 tahun (Year)

5 tahun (Year)

1,219.0 a

Petak Utama (Main Plot)

Kopi – Jati ganda (Coffee – T. grandis double rows)

440.1 bc

Kopi - Sengon tunggal (Coffee – P. falcataria single row)

479.8 ab

902.2 bc

Kopi - Sengon ganda (Coffee – P. falcataria double rows)

470. 4 b

723.8 cd

Kopi - Solomon-2 (Coffee – P. falcataria var. Solomon 2 rows)

469. 6 b

1,024.0 ab

Kopi - Solomon-4 (Coffee – P. falcataria var. Solomon 4 rows)

291.4 de

688.0 cd

Kopi - Mindi-2 (Coffee – M. azedarach 2 rows)

338.7 cd

364.4 ef

Kopi - Mindi-4 (Coffee – M. azedarach 4 rows)

99.5 f

316.8 ef

Kopi – Waru (Coffee – H. macrophyllus)

211.3 ef

259.1 f

Kopi - Lamtoro (Coffee – Leucaena sp.)

603.5 a

869.7 bcd

BP 534

432.3 a

618.1 bc

BP 939

365.9 ab

1,040.0 a

BP 409

377.0 ab

753. 4 b

BP 936

337. 8 b

551.4 c

Anak Petak (Sub Plot)

Catatan (Notes): Data dalm kolom dan petak yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
menurut uji HSD (Data in the same coloumn and plug followed by the same letter is not significantly
different according to HSD 5%).

fisiologis, perangkat fotosintesis tanaman
kopi menunjukkan plastisitas yang rendah
terhadap perubahan pencahayaan. Daun kopi
dilaporkan menunjukkan laju fotosintesis
sangat rendah (kurang dari 2,5 mol/cm2/
detik), penghambatan fotosintesis kronis
pada bulan kering dan dingin (Agustus) yang
diikuti kehilangan klorofil yang drastis.
Dibandingkan daun kopi yang ternaung, daun
yang tanpa penaung menunjukkan konsentrasi klorofil lebih rendah, transfer elektron
lebih lambat dibandingkan yang dengan
tanaman penaung (Chaves et al. , 2008).
Kurang optimumnya fungsi penaungan
ini juga tampak dari variabel iklim mikro
kebun (suhu, kelembaban relatif dan intensitas penyinaran matahari) khususnya pada
musim kemarau (Tabel 3). Tampak bahwa

8

penyinaran matahari yang sampai tajuk
tanaman kopi berpenaung tanaman mindi
paling tinggi (33–37% terhadap penyinaran
langsung) yang berdampak pada suhu
lingkungan juga paling tinggi (sekitar 37OC)
jauh di atas suhu perlakuan kontrol (34,3OC).
Sebaliknya, tanaman waru meneruskan
cahaya hanya 9,17% terhadap penyinaran
langsung yang mengindikasikan tingkat
penaungan yang berat. Kondisi iklim mikro
yang tercipta dari kedua perlakuan tersebut
kurang optimum untuk mendukung hasil
kopi sebab tingkat penaungan yang optimum
dilaporkan berkisar 20—30% dari penyinaran
langsung (Maestri & Barros, 1977; Wrigley,
1988). Di daerah tropika, fungsi tanaman
penaung memang lebih diutamakan untuk
mengurangi intensitas sinar matahari yang
berlebih pada musim kemarau, sebaliknya

Hasil kopi dan siklus hara mineral dari pola tanam kopi dengan beberapa spesies tanaman kayu industri

di daerah sub tropis untuk mencegah
kerusakan akibat radiative frost (Caramori
et al. , 1996).
Hasil penelitian di Brazil menunjukkan
kecenderungan yang sama, bahwa kopi yang
diusahakan secara agroforestri khususnya
spesies yang tidak memungkinkan untuk
dilakukan pemangkasan, produksinya lebih
rendah daripada yang penaungnya memungkinkan untuk dipangkas. Hasil kopi dengan
penaung hanya 515 kg/ha sementara yang
diusahakan monokultur mencapai 2443 kg/
ha (Campanha et al., 2004). Pertumbuhan
cabang kopi yang diusahakan secar a
agroforestri lebih sedikit, jumlah daun lebih
sedikit, jumlah cabang produktif lebih sedikit
dan hasil biji kopi lebih rendah daripada yang
diusahakan monokultur.
Selain pengaruh dari spesies penaung,
populasi tanaman penaung berdampak
terhadap hasil kopi. Dalam penelitian
perbedaan populasi tersebut tampak dari pola
tanam dari pagar tunggal ke pagar ganda
dan dari pola pagar 2 baris ke pagar 4 baris.
Di antara pagar yang cukup lebar jaraknya,
ditanami lamtoro yang fungsinya sebagai
penaung paling optimum. Hasil penelitian
menunjukkan terjadi penurunan hasil kopi
dengan makin meningkatnya populasi
tanaman industri (Tabel 2). Penelitian di
Brazil Selatan menggunakan Grevillea robusta dengan populasi 26, 34, 48, 71, dan
119 tanaman per hektar menunjukkan bahwa
pada populasi penaung 26, 34, dan 48
tanaman/ha tidak terjadi penurunan produksi
kopi, tetapi pada populasi 71 dan 119
tanaman /ha, terjadi penurunan hasil kopi
yang signi-fikan (Baggio et al. , 1997).
Peningkatan populasi Cordia alliodora dari

100 tanaman/ha menjadi 260 tanaman/ha
dilaporkan menurunkan hasil kopi dari 2.300
kg/ ha menjadi 1. 700 kg/ ha (Vaast &
Harmand, 2002).
Pada musim kemarau, variabel penaung
yang berpengaruh terhadap hasil kopi adalah
tingkat kerontokan daun. Hasil pengamatan
lapangan menunjukkan bahwa fungsi penaungan tanaman lamtoro tidak terganggu
selama musim kemarau, sebaliknya pada
tanaman mindi, fungsi penaungan minimum
karena tingkat kerontokan daunnya mencapai
sekitar 90%. Tanaman jati juga merontokkan
daun selama musim kemarau, tetapi karena
di antara pagar ganda ditanami lamtoro,
maka fungsi penaungannya masih lebih baik.
Fungsi penaungan tanaman lamtoro paling
stabil, persentase daun rontok selama musim
kemarau sangat sedikit (sekitar 10%).
Kondisi yang relatif sama dengan lamtoro
adalah tanaman sengon, tingkat kerontokan
daun pada musim kemarau sekitar 20%
(Gambar 4). Kelemahan dari tanaman
sengon adalah tidak memungkinkan dilakukan pemangkasan dan risiko kerusakan
tanaman kopi ketika memanen hasil kayunya.
Namun, risiko kerusakan tanaman kopi pada
saat tanaman kayu industri dipanen, pernah
diamati di Kostarika. Disimpulkan bahwa
risiko kerusakan akibat penebangan dan
pengangkutan hasil kayu bukanlah penghalang untuk tidak menggunakan kayu
industri sebagai penaung tanaman kopi
karena nilai hasil kayu Cordia alliodora
sebagai tanaman penaung lebih tinggi (US$
66/m3) daripada kerusakan kopi yang dapat
diakibatkannya (Somarriba, 1992).
Dari pembahasan variabel hasil kopi
tersebut dapat disimpulkan bahwa tanaman

9

Prawoto

Tabel 3. Iklim mikro pada beberapa pola tanam kopi
Table 3. Microclimate in some coffee agroforestry system

Musim hujan (Rainy season)
Suhu
Temp., OC

Perlakuan
Treatment

Kopi – Jati (Coffee – T. grandis)

33.3

Musim kemarau (Dry season)

RH (%)

Int.
cahaya
Light
int.,
%
langsung,
direct,

Suhu
Temp.,
O
C

RH (%)

Int.
cahaya
Light
int.,
%
langsung,
direct,

60.7

11.00

33.58

55.3

16.26

Kopi-Sengon (Coffee-P. falcataria):
- Pagar ganda (Double rows)

35.0

58.0

10.65

32.5

56.8

23.33

- Pagar tunggal (Single row)

34.7

57.7

9.35

31.5

60.6

16.67

- 2 baris (2 rows)

33.7

62.0

11.96

35.8

56.0

25.00

- 4 baris (4 rows)

34.7

53.7

9.93

36.1

54.7

20.00

- 2 baris (2 rows)

34.5

53.3

16.96

37.0

50.2

36.67

- 4 baris (4 rows)

34.7

56.0

16.52

36.5

52.4

32.50

Kopi-Solomon (Coffee-P. falcataria var. Solomon):

Kopi-Mindi (Coffee-M. azedarach):

Kopi – Waru (Coffee-Hibiscus sp. )

35.3

54.7

7.53

 31.2

 57.8

9.17

Kontrol (Kopi-Lamtoro)

33.7

55.7

9.71

34.3

53.3

24.17

Control (Coffee-Leucaena sp. )

80
60
50
40
30
20

Gambar 2. Tingkat penaungan pada musim hujan, dalam rerata + simpangan baku.
Figure 2. Shading intensity during rainy season, as average + standard deviation.

10

Leaucaena sp.

Hibiscus sp.

h4

M. azedarach

h2

M. azedarach

ar.

n4
P. falc. Var

ar.

n2
P. falc. Var

P. falcataria 1

a2

0

P. falcataria 2

10
dis
T. Grandis

Penaungan (Shading), %

70

Hasil kopi dan siklus hara mineral dari pola tanam kopi dengan beberapa spesies tanaman kayu industri

Daun rontok (Falling leaves), %

140
120
100
80
60
40
20
0
P. falcataria

M. azedarach

T. grandis

H. macrophyllus

Leucaena sp.

Gambar 3. Persentase kerontokan daun pada musim kemarau. Garis vertikal menunjukkan simpangan
baku.
Percentage of falling leaves during dry season. Vertical linear indicate standard deviation.

Hasil, gld/phn (Yield, berry/tree)

Figure 3.

1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
BP 534

BP 939

3 th (yr )

BP 409

4 th (yr )

BP 936

5 th (yr )

Gambar 4. Pengaruh klon terhadap hasil kopi pada umur 3, 4 dan 5 tahun. Garis vertikal menunjukkan
simpangan baku.
Figure 4. Effect of coffee clone on the cherry yield per tree at 3, 4, and 5 year old. Vertical linear
indicate standard deviation.

jati, sengon laut dan sengon varietas Solomon
dengan pola tanam yang tepat, dapat digunakan sebagai penaung tanaman kopi. Pola
tanam dimaksud adalah dengan pola pagar
ganda dan di antara “pagar” yang jaraknya
cukup lebar tersebut digunakan tanaman
lamtoro sebagai penaung. Di lain pihak,

tanaman mindi dan waru gunung kurang tepat
sebagai penaung kopi. Tanaman mindi
merontokkan daun selama kemarau dan
tanaman waru berisiko memberikan tingkat
penaungan terlalu berat oleh morfologi daun
yang lebat.

11

Prawoto

Tabel 4. Pengaruh faktor tunggal terhadap rendemen kopi hasil panen umur 4 tahun
Table 4. Effect of single factor on outturn of coffee yield at 4 year old

Perlakuan
Treatment

Rendemen pada umur 4 th, %
Outturn at 4 year old, %

Petak Utama (Main Plot)
Kopi – Jati ganda (Coffee – T. grandis double rows)

19.91 ab

Kopi - Sengon tunggal (Coffee – P. falcataria single row)

21.79 a

Kopi - Sengon ganda (Coffee – P. falcataria double rows)

20.55 ab

Kopi - Solomon-2 (Coffee – P. falcataria var. Solomon 2 rows)

19.18 b

Kopi - Solomon-4 (Coffee – P. falcataria var. Solomon 4 rows)

21.27 ab

Kopi - Mindi-2 (Coffee – M. azedarach 2 rows)

19.96 ab

Kopi - Mindi-4 (Coffee – M. azedarach 4 rows)

20.21 ab

Kopi – Waru (Coffee – H. macrophyllus)

20.15 ab

Kopi - Lamtoro (Coffee – Leucaena sp.)

20.59 ab

Anak Petak (Sub Plot)

BP 534

21.43 a

BP 939

20.21 a

BP 409

20.69 a

BP 936

18.39 b

Catatan (Notes): Data yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda pada taraf 5% menurut uji BNT (Data followed by the
same letter was not significanrly different at 5% level according to BNT).

Dari pengaruh klon kopi, belum menunjukkan hasil yang konsisten. Pada umur
4 tahun, hasil kopi berkisar pada 38–432
butir/tanaman dan BP 936 paling rendah dan
berbeda nyata dengan hasil klon BP 409,
BP 936 dan BP 534. Pada umur 5 tahun,
hasil kopi berkisar pada 551–1040 butir/
tanaman dan klon BP 939 menunjukkan hasil
tertinggi dan berbeda nyata dengan ketiga
klon yang lain. Hasil buah ini masih belum
optimum mengingat tanamannya masih muda
sehingga berbeda dengan potensi yang
tertera dalam laporan usulan pelepasan klonklon unggul tersebut yakni lebih dari 3 ton/
ha/tahun (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia, 2003).

12

Variabel yang berkaitan dengan hasil
kopi adalah tingkat rendemen. Dari Tabel
4 tampak bahwa spesies dan pola tanam
tanaman penaung industri dan juga klon kopi
berpengaruh terhadap rendemen kopi hasil
panen umur 4 tahun. Rendemen kopi tertinggi diperoleh dari perlakuan penaung
sengon pagar tunggal yang berbeda nyata
dengan perlakuan penaung tanaman jati, dan
Solomon pagar ganda. Percobaan di Guatemala, Honduras dan Kostarika menunjukkan bahwa tanaman penaung menyebabkan kualitas biji kopi lebih baik, baik dalam
komposisi biokimianya termasuk unsur
kafein, lemak dan kandungan asam klorogenik, kualitas fisik biji seperti ukuran biji,

Hasil kopi dan siklus hara mineral dari pola tanam kopi dengan beberapa spesies tanaman kayu industri

rendemen, serta kualitas organoleptik-nya
(Avelino et al. , 2001; Guyot et al. , 1996;
Muschler, 1998; Vaast et a l. , 2002).
Penelitian pada Coffea arabica L. var.
Caturra & Catimor 5175 yang ditanam di
dataran rendah sehingga kondisinya kurang
optimum untuk Arabika, bobot buah meningkat nyata jika populasi penaung
Erythrina poeppigiana meningkat dari 0%
menjadi 80% . Per sentase biji besar
meningkat dari 49% dan 43% pada tanpa
penaung menjadi 69% and 72% di bawah
penaung tetap berturut-turut untuk varietas
Caturra dan Catimor. Penaungan dilaporkan
memacu pengisian biji dan pemasakan buah
kopi lebih lambat tetapi lebih seimbang,
sehingga kualitas bijinya lebih baik dibandingkan yang tanpa penaung (Muschler,
2001).
Tingkat rendemen kopi lazimnya dipengaruhi oleh tingkat kelebatan buah dan
kesehatan tanaman, sementara kedua variabel
tersebut terpengaruh oleh tingkat persaingan
air dan har a miner al dengan tanaman
penaung. Seperti dilaporkan Kanten et al.
(2005) bahwa perbedaan spesies tanaman
penaung menyebabkan tingkat kompetisi yang
berdampak pada hasil dan kualitas biji kopi.
Spesies Terminalia ivorensis berpotensi
sebagai kompetitor penyerapan air dan hara
mineral lebih kuat dari pada Eucalyptus
deglupta yang tampak dari sebaran akar
serabutnya yang lebih intensif.
Adanya pengaruh klon kopi terhadap
rendemen, diduga merupakan faktor genetis.
Dalam penelitian ini BP 936 menunjukkan

hasil dan rendemen paling rendah dibandingkan BP 939, BP 534 dan BP 409.

Kadar Lengas Daun Relatif
Tanaman kayu industri yang diamati
dalam penelitian ini bersaing air lebih berat
daripada lamtoro. Kadar lengas daun relatif
daun kopi (KLR) pada musim kemarau yang
secara tidak langsung mencerminkan tingkat
kompetisi tersebut, lebih rendah dari pada
kontrol. Dari Gambar 5 terlihat bahwa KLR
daun kopi berpenaung lamtoro tertinggi
(86%) dan berbeda nyata dengan semua
perlakuan yang lain kecuali sengon pagar
tunggal dan waru gunung. KLR paling
r endah ter jadi pada per lakuan kopi
ber penaung mindi pagar ganda yakni
70,65%. Di samping variabel KLR menyatakan tingkat kompetisi serapan air, juga mencerminkan laju mekanisme yang menyebabkan kehilangan lengas, yaitu proses evaporasi
dan transpirasi. Tanaman mindi yang tingkat
kerontokan daunnya tinggi selama kemarau,
menyebabkan suhu yang diterima tajuk
tanaman kopi tinggi dan mengakibatkan
evapotranspirasi yang berlebih sehingga
sampai 79,90% (BP 409).
Berkaitan dengan kompetisi air di antara
tanaman penaung dengan tanaman kopi,
penelitian di Kostarika membandingkan kopi
tanpa penaung dan kopi yang diusahakan
dengan tiga spesies tanaman penaung yaitu
Eucalyptus deglupta, Terminalia ivorensis
dan tanaman legume Erythrina poeppigiana.
Kopi yang diusahakan tanpa penaung me-

13

Prawoto

100

Lengas daun relatif (RWC), %

90
80
70
60
50
40
30
20
10

Leaucaena sp.

Hibiscus sp.

M. azedarach
4 rows

M. azedarach
2 rows

P. falc. Var
Solomon 4 rows

P. falc. Var
Solomon 2 rows

P. falc. 2 row

P. falc, 1 rows

T. Grandis

0

Gambar 5. Kadar lengas daun relatif musim kemarau (September), dalam rerata ± simpangan baku.
Figure 5. Relative water content of coffee leaf during dry season, September, as average ± standart
deviation.

nunjukkan laju transpirasinya lebih cepat
daripada yang diusahakan dengan penaung
yang mengindikasikan kopi mengalami
cekaman lingkungan lebih kuat. Meskipun
demikian, konsumsi air harian tanaman kopi
per hektar umumnya lebih tinggi di bawah
naungan daripada tanpa naungan yang
disebabkan oleh pertumbuhan vegetatif kopi
yang lebih kuat. Estimasi laju total
transpirasi kopi dan tanaman penaung adalah
20—250% lebih tinggi daripada kopi tanpa
penaung. Edeglupta merupakan spesies
penaung yang optimum karena fungsi
penaungannya sepanjang tahun lebih stabil
daripada T. ivorensis dan E. poeppigiana
yang menggugurkan daun selama musim
kemarau yang tegas (Rudi & Philippe,
2006).

14

Pertumbuhan Tanaman Penaung
Pertumbuhan lilit batang sengon laut
paling cepat, pada umur 5 tahun, diameter
tanaman sengon laut mencapai sekitar
22,7 cm (Gambar 6). Sementara itu tanaman
waru tumbuh paling lambat dan berbeda
nyata dibandingkan sengon laut. Laju
pertumbuhan tanaman jati relatif sama dengan
tanaman mindi. Hasil penelitian di Ghana
juga menunjukkan hal yang sama bahwa
pada umur 4 tahun, pertumbuhan beberapa
varietas sengon (Albizia adenocephala, A.
guachapele, A. niopoides, A. plurijuga, A.
saman dan A. tomentosa) sangat menjanjikan
dengan tinggi 12, 2–14,5 m dan diameter
batang 12–22,4 cm (Anim-Kwapong, 2003).

Hasil kopi dan siklus hara mineral dari pola tanam kopi dengan beberapa spesies tanaman kayu industri

Lilit batang (Stem girth), cm

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
T. grandis

P. falc.-1

P. falc.Var

P. falc.-2

3-th
3-th (year)
(year)

P. falc.Var
Solomon-4

4-th
4-th (year)
(year)

M.
azedarach 2

M.
Hibiscus sp.
azedarach 4

5-th (year)

Gambar 6. Perkembangan lilit batang tanaman industri umur 3, 4, dan 5 tahun. Garis vertikal menunjukkan
simpangan baku.
Figure 6. Growth of stem girth of industrial species at 3, 4, and 5 year old. Vertical linear indicate
standart deviation.

Siklus Nutrisi
Yang dimaksud dengan siklus nutrisi
dalam peneltian ini adalah jumlah hara yang
dikembalikan ke tanah lewat serasah daun
dan ranting yang luruh. Pengamatan serasah
dilakukan dengan memasang jaring paranet
di bawah tanaman penaung, bobot sekali.
Hasil pengamatan bobot serasah selama satu
tahun menunjukkan bahwa pada musim
kemarau serasah yang luruh lebih banyak
daripada saat musim hujan. Perkecualian
untuk tanaman jati dan lamtoro, serasah pada
bulan Februari paling banyak karena pada
bulan tersebut tanaman jati disiwing dan
tanaman lamtoro dipenggal (ditokok) agar
tidak menaungi tanaman kopi terlalu berat.
Selama satu tahun pengamatan, total
bobot serasah tanaman waru gunung paling
berat, disusul serasah tanaman jati dan sengon

Solomon. Serasah paling sedikit berasal dari
tanaman mindi. Bobot ser asah kering
tanaman sengon tersebut (sekitar 2,5 kg/ph/
th) lebih rendah dari pengamatan di Ghana
yang menguji beberapa varietas tanaman
sengon dengan hasil biomassa setengah tahun
berkisar pada 3–10 ton/ha (Amin-Kwapong,
2003).
Dari serasah tersebut, telah dilakukan
analisis kandungan hara mineral, hasilnya
tertera dalam Gambar 8. Terhadap unsur
hara makro, kadar N tertinggi berasal dari
daun lamtoro dan diikuti serasah tanaman
mindi, sengon Solomon dan waru. Kadar
P tertinggi berasal dari serasah lamtoro
diikuti serasah tanaman waru, jati dan mindi.
Kadar K tertinggi dari serasah daun waru
disusul daun mindi dan jati. Kadar Ca
tertinggi dari serasah daun mindi disusul
sengon Solomon, lamtoro, jati dan sengon.

15

Prawoto

Seresah kering, g/ph
Dry litter, g/ree

6000
5000
4000
3000
2000

Leaucaena sp.

M. azedarac
P. falcataria

P. falc. Var Solomon

T. Grandis

0

Hibiscus sp.

1000

Gambar 7. Total bobot serasah kering beberapa tanaman industri yang diusahakan bersama tanaman kopi,
periode Januari – Desember.
Figure 7.

Total of litter dry weight of some species during January – December.

Tabel 5. Kadar unsur hara mikro dalam serasah (ppm)
Table 5. Micro nutrients content of litter of several coffee shade trees species

Hara
Mineral

Hibiscus sp.

T. grandis

P. falcataria
var. Solomon

P. falcataria

M. azedarach

Leucaena sp.

Mn

34

398

261

88

66

61

Fe

164

353

142

103

462

221

Cu

11

11

7

7

7

11

Zn

21

15

18

23

24

22

Hara, % bobot kering (Mineral,
% d.m.)

3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
T.T.grandis
grandis

M.
P .P.falcataria
M. azedarach
falcataria
azedarach

N
N

P
P

K
K

Ca
Ca

Mg
Mg

PP.. falc.
falc. Var.
var.
SoSolomon
lo mo n

Hibiscus
Hibiscus sp.
sp.

Leucaena
Leucaena sp.
sp.

SO
SO4
4

Gambar 8. Kandungan hara N,P,K Ca, Mg, dan SO4 dalam serasah beberapa spesies tanaman industri.
Figure 8. Litter mineral content of some coffee shade species.

16

Hasil kopi dan siklus hara mineral dari pola tanam kopi dengan beberapa spesies tanaman kayu industri

.0
120
.0
100
.0
80
.0
60
.0
40

NN

PP

K

Caa
C

Mg
Mg

Leucaena sp.

Hibiscus sp.

T. grandis

M. azedarach

.0
0

P. falc. var.
Solomon

20
.0
P. falcataria

Gram/pohon/th (g/tree/year)

.0
140

SOO4 4
S

Gambar 9. Potensi hara makro yang kembali ke tanah dalam bentuk serasah, periode Januari – Desember.
Figure 9. Potency of macro nutrients contained by litter during January to December.

Tabel 6. Potensi hara mikro yang kembali ke tanah dalam bentuk serasah periode Januari – Desember (mg/pohon)
Table 6. The potency of micro nutrient contained by litter during January – December (mg/tree)

Hara
Mineral

T. grandis

Hibiscus sp.

P. falcataria
var. Solomon

P. falcataria

M. azedarach

Leucaena sp.

Mn

1510

1632

2158

10045

20728

3193

Fe

7283

11423

2585

5465

18477

11568

Cu

489

173

176

269

576

576

Zn

933

593

577

693

785

1152

Kadar Mg tertinggi dari serasah daun waru
disusul daun sengon Solomon, mindi, sengon
laut dan jati. Kadar SO4 tertinggi adalah serasah
dari daun sengon solomon disusul daun lamtoro,
waru dan mindi. Secara umum dapat dinyatakan
bahwa serasah daun jati banyak mengandung
unsur N, K dan Ca, daun waru N, K, dan Ca;
daun sengon Solomon unsur N, Ca, dan SO4;
daun sengon laut N, K, dan Ca; daun mindi
unsur N, K, Ca, dan Mg; daun lamtoro N,
P, K, Ca, dan SO4.

Mendasarkan pada bobot serasah
yang rontok serta hara mineral yang terkandung, selanjutnya dapat dihitung total
hara mineral yang berpotensi untuk dikembalikan ke lahan. Hasilnya menunjukkan bahwa tanaman waru gunung
berpotensi mengembalikan total unsur
hara makro (N, P, K, Ca, Mg, SO4) ke
tanah paling banyak (387,86 g/ph/th), diikuti tanaman lamtoro (274,34 g/ph/th),
sengon varietas Solomon (272,10 g/ph/th),

17

Prawoto

jati (244,26 g/ph/th), mindi (208,44 g/ph/th)
dan sengon laut (128,23 g/ph/th. Dari enam
spesies yang diamati, potensi unsur hara
kembali ke lahan dari tanaman sengon laut
paling sedikit. Walaupun demikian, dibandingkan tanaman penaung Gliricidia,
tanaman penaung sengon dilaporkan memberikan masukan serasah 81% lebih banyak,
kandungan C-organik 17% lebih tinggi, Ntotal 40% lebih tinggi, P-tersedia 112% lebih
tinggi (Purwanto et al. , 2007). Terhadap
unsur hara mikro (Fe, Mn, Cu, Zn) urutan
potensi nilai hara dikembalikan ke tanah
hampir sama dengan unsur hara makro, dari
yang tertinggi adalah tanaman waru gunung,
lamtoro yang relatif sama dengan sengon
varietas Solomon, mindi, jati dan yang paling sedikit tanaman sengon laut (Tabel 6).
Namun, jika dikaitkan dengan data hasil
kopi, peran siklus hara tersebut masih belum
menunjukkan hubungan yang linier, pengaruh interaksi faktor tumbuh yang lain
lebih dominan. Adanya perlakuan pemupukan anor ganik yang intensif dalam
penelitian ini, ditengarai juga berpengaruh
terhadap masih tidak jelasnya peran dari
siklus nutrisi terhadap hasil kopi.
Perbedaan spesies tanaman penaung
terhadap nilai hara juga pernah dilaporkan
Suhendi & Purwadi (1994). Nilai hara dalam
biomassa beberapa kultivar Leucaena sp.
menunjukkan kesetaraan dengan N, P, dan
K berturut-turut sebesar 22 kg, 3 kg, dan
3,5 kg per ha/th (Suhendi & Purwadi, 1994)
sementara biomassa daun Cassia spectabilis
setara dengan 97 kg Urea; 7 kg SP-36; 66
kg KCl; 51 kg Dolomit; 12 kg Kieserit; 8
kg Z masing-masing per hektar/th dengan
populasi 400 ph/ha. Di Kostarika, tanaman

18

legum Erythrina poeppigiana yang dipangkas
2—3 kali per tahun nilai hara dalam biomassa
setar a dengan pupuk inor ganik yang
direkomendasikan, yaitu 270 kg.N, 60 kg.P,
150 kg. K/ha/tahun, jauh lebih besar dari
kemampuannya untuk fiksasi N. Sebaliknya
tanaman bukan legum Cordia alliodora yang
digunakan sebagai penaung kopi, karena
tidak dipangkas maka simpanan nutrien di
dalam batang khususnya unsur kalium
merupakan faktor pembatas produktivitas
tanaman (Beer, 1988).
Pengamatan di Ethiopia juga menunjukkan perbedaan kemampuan produksi serasah
dan siklus hara antarspesies penaung. Daun
tanaman Croton macrostachyus mengandung
P 20% lebih tinggi dan K 25% lebih rendah
dari pada yang dikandung serasah Cordia
africana. Disimpulkan bahwa bagaimanapun
juga serasah tanaman penaung berperan besar
dalam menjaga daur nutrisi lewat mekanisme pencegahan pelindian, translokasi ke
sub soil, dan menyuburkan top soil lewat
dekomposisi dan mineralisasi serasah.
Serasah yang beragam macam dan kualitasnya lebih menjamin efisiensi penyerapan
mineral oleh tanaman (Gindaba et al., 2005).

KESIMPULAN
Hasil kopi umur 4 dan 5 tahun yang
diusahakan dengan tanaman mindi dan waru
gunung konsisten lebih rendah daripada
yang diusahakan dengan lamtoro, jati, sengon
atau sengon varietas Solomon. Pada umur
tersebut pengaruh klon terhadap hasil kopi
belum konsisten, namun ada kecenderungan
hasil buah klon BP 939 paling tinggi
sebaliknya BP 936 paling rendah.

Hasil kopi dan siklus hara mineral dari pola tanam kopi dengan beberapa spesies tanaman kayu industri

Rendemen kopi tidak terpengaruh oleh
spesies tanaman penaung dan pola tanamnya,
tetapi terpengaruh oleh klon yakni rendemen
BP 936 paling rendah.
Tingkat evapotranspirasi dan persaingan
air pada musim kemarau antara tanaman
pokok kopi dengan tanaman penaung yang
dinyatakan dengan variabel kadar lengas daun
relatif, berbeda antarperlakuan. Dibandingkan dengan penaung lamtoro, semua spesies
tanaman kayu industri dan pola tanamnya
menyebabkan harkat KLR lebih rendah.
Pertumbuhan tanaman sengon paling
cepat, sebaliknya tanaman waru gunung
paling lambat. Pada umur 5 tahun, diameter tanaman sengon laut mencapai sekitar 22,7 cm dan tanaman waru 14 cm. Laju
pertumbuhan tanaman jati relatif sama dengan
tanaman mindi.
Selama satu tahun pengamatan, total
bobot ser asah tanaman war u gunung
paling berat, disusul serasah jati dan sengon
Solomon. Ser asah paling sedikit dar i
tanaman mindi. Dibandingkan serasah
lamtoro, serasah jati lebih banyak mengandung hara K dan Mg, sengon Mg dan
Mn, mindi K, Ca, Mg, Fe, dan Mn; waru
gunung K, Mg, Fe dan Mn.
Serasah tanaman waru berpotensi
mengembalikan unsur hara makro dan mikro
ke lahan paling banyak, sebaliknya tanaman
sengon laut paling sedikit. Urutan setelah
waru adalah jati, mindi, lamtoro ( Leucaena sp.), dan sengon Solomon.
Disebabkan oleh perlakuan pemupukan
anorganik yang intensif, peran siklus nutrisi
tersebut terhadap hasil kopi tidak menunjukkan korelasi yang linier.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih
kepada Bapak Ir. Abdul Mukti Nur, SU
yang telah merintis penelitian ini yang
kemudian menyer ahkan kelanjutannya
kepada penulis. Ucapan serupa juga disampaikan kepada Sdr. Wagiyo, Herwanto,
dan Surani yang telah membantu pelaksanaan
penelitian di lapangan dan pengamatan
sejumlah variabel. Juga kepada Sdr. Teguh
Iman Santoso, SP. dan Faila Sophia D., SP.
yang juga membantu pengamatan dan analisis
data, disampaikan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Albertin, A. & P. K. R. Nair (2004). Farmers’ perspectives on the pole of shade trees
in coffee production systems: An assessment from the Nicoya Peninsula,
Costa Rica. Human Ecology, 32, 443—463.
Anim-Kwapong, G.J. (2003). Potential of some
neotropical Albizia species as shade
trees when replanting cacao in Ghana.
Agroforestry Systems, 58, 185—193.
Avellino J.; J.J. Perriot; C. Pineda; B. Guyot;
& C. Cilas (2001). Vers une identification de cafes-terroir au Honduras:
Caracterisation physique, phytotechnique et bioloque des cafeires honduriennes. XIX Colloque Scientifique
International du Café, Triete, Italie,
14—18 may 2001, Paris, France, Asic.
Bacilieri,R.; D. Alloysius & J. Lapongan (1998).
Growth performance of teak. Proc. of
the Seminar on High Value Timber
Species for Plantation Establisment
Teak and Mahoganies, 1—2 Dec. 1998,
Tawau, Sabah, 27 – 34.

19

Prawoto

Baggio, A.J.; P. H. Caramori; A. A. Filho &
L. Montoya  (1997).  Productivity  of
Southern Brazilian coffee plantations
shaded by different stockings of
Grevillea robusta. Agroforestry Systems, 37, 111—120.
Beer J. (1988). Litter production and nutrient
cycling in coffee (Coffea arabica) or
cacao (Theobroma cacao) plantations
with shade trees. Agroforestry Systems, 7, 103—114.

to soil fertility parameters in Badessa,
eastern Ethiopia. Biology and Fertility of Soils, 42, 66—71.
Guyot, B.; D. Gueule; J.C. Manez; J.J. Perriot,
J. Giron & L. Villain (1996). The influence of altitude at Ombrage and quality of Coffee Arabica. Plant Research
Development, 5, 272—283.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta.

Budiadi (2005). Agroforestry, mungkinkah
mengatasi permasalahan sosial dan
lingkungan?. Inovasi Online. Download www. mio.ppi.jepang.org 

Maestri, M. & R.S. Barros (1977). Coffee, p. 249—
273. In : P. de T. Alvim & T.T.
Kozlowski (Eds.). Ecophysiology of
Tropical Crops. Acad. Press, New York.

Caramori, P.H.; A. A. Filho & A. C. Leal (1996).
Coffee shade with Mimosa scabrella
Benth. for frost protection in southern Brazil. Agroforestry Systems, 33,
205—214.

Muschler R.G. (1998). Tree Crop Compatibility in Agroforestry and Quality of Coffee Grown Under Managed Tree
Shade in Costa Rica. Thesis Ph.D.,
University of Florida, Gainesville.
Muschler, R.G. (2001). Shade improves coffee
quality in a sub-optimal coffee-zone of
Costa Rica. Agroforestry Systems, 51,
131—139.

Chaves, Agnaldo R.M.; A. Ten-Caten;
H. A. Pinheiro;  A. Ribeiro  &
F. M. DaMatta  (2008).  Seasonal
changes in photoprotective mechanisms of leaves from shaded and unshaded field-grown coffee (Coffea
arabica L.) trees. Trees, Structure and
Function, 22, 351—361.

Padmowijoto, S. (2004). Pengembangan Model
Pertanian Terpadu. Workshop Agroforestry 2004, Fakultas Kehutanan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Campanha, M.M.; R. H. Silva Santos; G. B. de
Freitas; H. E. P. Martinez; S.L.R. Garcia
& F.L. Finger (2004). Growth and yield
of coffee plants in agroforestry and
monoculture systems in Minas Gerais,
Brazil. Agroforestry Systems, 63, 75—82.

Purwanto; E. Handayanto; D. Suprayogo;
J. Bako Baon & K. Hairiah (2007).
Nitrifikasi potensial dan nitrogen-mineral tanah pada sisten agroforestri
kopi dengan berbagai pohon penaung.
Pelita Perkebunan, 23, 38—56.

De Foresta & G. Michon (1997). The agroforest
alternative to Imperata grasslands:
When smallholder agriculture and forestry reach sustainability. Agroforestry
Systems, 36, 105—120.
Gindaba, J.; A.Rozanov & L. Negash (2005).
Trees on farms and their contribution

20

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia
(2003). Usulan Pelepasan Klon-Klon
Kopi Robusta BP 436, BP 534, BP 920,
BP 936, BP 939, SA 203. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.
Romero-Alvarado, Y.; L. Soto-Pinto; L. GarcíaBarrios & J. F. Barrera-Gaytán (2002).
Coffee yields and so