Diplomasi Ekonomi Fungsi dan Peran dalam

Review Mata Kuliah Teori Ekonomi Internasional
Nama : Tiara Maharanie
NPM : 1206210856

Diplomasi Ekonomi: Fungsi dan Peran dalam Ekonomi Modern
Dalam ekonomi politik internasional, interaksi antar aktor atau pelaku ekonomi dicapai
melalui komunikasi, salah satunya dengan diplomasi. Diplomasi sendiri merupakan suatu
aktivitas yang pada awalnya dilakukan oleh pihak tertentu (secara resmi oleh pejabat
pemerintah; diplomat) yang mewakili negaranya di negara lain dengan tujuan mencapai
kepentingan nasional. Salah satu tugas utama diplomasi adalah mendorong hubungan
ekonomi negara yang diwakili terhadap negara tujuan – khususnya dalam hal menjaga
hubungan pasar, proteksi, dan pengawasan. Aktivitas inilah yang kemudian disebut sebagai
diplomasi ekonomi. Dalam tulisan ini, akan dibahas segala hal yang berkaitan dengan
diplomasi ekonomi menurut beberapa scholars ilmu hubungan internasional, dilanjutkan
dengan analisis dari penulis dan diakhiri dengan kesimpulan.
Menurut seorang diplomat ekonomi dan komersial dari Slovakia—Pavol Baranay—
diplomasi ekonomi merupakan aktivitas resmi diplomatik yang fokus pada tujuan
kepentingan ekonomi suatu negara dalam level internasional. Hal ini mencakup upaya
peningkatan ekspor, menarik investasi asing, dan partisipasi kerja dalam berbagai organisasi
ekonomi internasional (2009, 1). Definisi lain disampaikan oleh Rana (2007, 201), yang
menyatakan bahwa diplomasi ekonomi merupakan suatu proses dimana negara berhubungan

dengan dunia luar dalam upaya memaksimalkan tujuannya di segala bentuk aktivitas, seperti
perdagangan, investasi, dan bentuk lainnya dari interaksi ekonomi. Dimensi diplomasi
ekonomi sendiri dapat berupa bilateral, regional, maupun multilateral yang terdiri dari agen
resmi – yaitu kementerian luar negeri dan perdagangan, layanan diplomatik dan komersial,
serta aktor non-negara lainnya sehingga membuat partnership ekonomi bersifat dinamis.
Konsep diplomasi ekonomi sendiri pertama dikenalkan oleh Jepang. Pasca
kekalahannya di Perang Dunia II, Jepang sangat kekurangan suara dan pengaruhnya secara
politik, militer, dan segala bentuk tradisional dalam area diplomasi. Pada pertengahan 1950an terjadi peningkatan dan pertumbuhan pesat terhadap perekonomian Jepang yang terlihat
dari besarnya demand sumber daya dan pasar sejak itu. Hal ini ternyata erat kaitannya dengan
konsep diplomasi ekonomi yang diformulasikan oleh Jepang pada masa pemerintahan

1

Nobusuke Kishi, dimana diplomasi ekonomi mulai diiplementasikan pada hubungannya
dengan negara-negara di Asia Tenggara (Ye Hao, 2014).
Ilmu diplomasi ekonomi secara ilmiah mempelajari tentang hubungan diplomasi dan
perdagangan yang kompleks, kerjasama, dan cara mempengaruhi kebijakan ekonomi
eksternal. Sama seperti diplomasi pada umumnya, diplomasi ekonomi merupakan komponen
dari kebijakan luar negeri – yaitu aktivitas internasional suatu negara. Kebijakan luar negeri
menentukan tujuan dan sasaran dari diplomasi ekonomi yang pada akhirnya harus kembali

mencerminkan seluruh aktivitas, bentuk, tujuan, dan metode yang digunakan untuk
merealisasi kebijakan luar negeri tersebut. Baranay menyatakan bahwa diplomasi ekonomi
merupakan faktor kunci utama perekonomian dalam upaya mencapai tujuan-tujuan kebijakan
luar negeri (Baranay, 2-3).
Perkembangan peran dan fungsi diplomasi ekonomi pada sistem ekonomi internasional
modern didorong oleh berbagai faktor, diantaranya adalah sebagai berikut; [1] proses
internasionalisasi dan penguatan dependensi sistem ekonomi dunia mengarahkan pada dua
hal, yaitu integrasi global dan regional. [2] Ekspansi pesat yang terjadi pada ekonomi pasar,
liberalisasi perekonomian nasional, dan peningkatan interaksi negara melalui perdagangan
dan investasi internasional, serta peningkatan aktor ekonomi global seperti perusahaan
multinasional, bank, dan kelompok investasi. [3] Globalisasi ekonomi; gabungan antara
proses internasionalisasi dan peningkatan peran perusahaan multinasional berdampak pada
peningkatan peran diplomasi ekonomi. Dalam hal ini, diplomasi ekonomi berperan dalam
mendorong perkembangan internasionalisasi di negara, namun disisi lain juga menahan
kekuatan dari negara atau aktor lain yang berusaha memonopoli keuntungan dari globalisasi
tersebut. [4] Bentuk adaptasi terhadap metode manajemen progresif, efisiensi energi, dan
teknologi baru – sehingga investasi asing dapat memastikan perkembangan kerjasama
antarnegara dan organisasi internasional. [5] Perkembangan inovasi ekonomi negara terhadap
keterbukaan ekonomi eksternal. Hal ini berdampak pada pembangunan imej positif negara
yang akan menarik wisata asing dan daya tarik investasi asing sehingga berdampak terhadap

pertumbuhan ekonomi suatu negara (Baranay, 2009, 4-5).
Menurut Baranay (2009, 6), menarik investasi asing merupakan isu esensial dalam
diplomasi ekonomi. Untuk menciptakan kesempatan tersebut, diplomasi ekonomi dilakukan
dengan mengadakan pertemuan antara eksportir dan partner dagangnya, untuk menjelaskan
dan menyusun prioritas serta memperlihatkan aspek-aspek mana yang menguntungkan
apabila kegiatan ekspor-impor dilakukan. Selanjutnya, fungsi lain adalah untuk memfasilitasi
dan mendukung aktivitas perdagangan internasional, melobi kepentingan perusahaan
2

domestik di luar negeri, bantuan politik dan perdagangan, mobilisasi sumber daya eksternal
yang efektif untuk tujuan pembangunan, serta yang paling utama adalah untuk
mempertahankan kondisi yang menguntungkan dari kerjasama ekonomi internasional yang
mampu mendorong dan meningkatkan level dan kualitas kehidupan masyarakat.
Kishan S. Rana (2007, 204-207) dalam tulisannya menjelaskan beberapa faktor penting
yang membuat diplomasi ekonomi berjalan sukses, yaitu sebagai berikut; [1] Hubungan
ekonomi luar negeri melibatkan tidak hanya kementerian luar negeri, perdagangan, dan
industri negara yang bersangkutan, namun juga melibatkan segala unit bisnis di negara
tersebut, seperti asosiasi perdagangan dan industri, sektor finansial, sekolah dan lembaga
penelitian bisnis, industri pariwisata, dan aktor domestik yang merupakan stakeholder
sekaligus prime mover. [2] Struktur kementerian luar negeri dan badan pengaturan ekonomi

eksternal harus teringerasi dan selaras. Kebijakan ini telah banyak diambil oleh negara-negara
Skandinavia seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia, Islandia, dan negara lain seperti
Australia, Brunei, Kanada, Korea Selatan, Selandia Baru dan beberapa negara di Karibia.
Negara-negara Skandinavia diatas telah secara utuh mengintegrasikan promosi perdagangan
dan investasi, serta kebijakan perdagangan dan bantuan luar negeri kedalam kementerian luar
negeri. [3] Membuat prioritas “kembar” diplomasi ekonomi yaitu antara promosi ekspor dan
mobilisasi kedalam investasi asing. Promosi ekspor mencakup bantuan terhadap perusahaan
domestik yang mencari pasar di luar negeri; studi pasar, kunjungan delegasi bisnis, partisipasi
dalam pertemuan perdagangan internasional, serta pertemuan pembeli-penjual. [4] Kerangka
peraturan dagang yang secara sah ditentukan oleh pemerintah merupakan pemikiran bersama
dengan pelaku bisnis serta thinktanks dan scholars yang bertujuan untuk membentuk kondisi
yang meningkatkan perdagangan dan investasi negara. [5] Harus membedakan antara
diplomasi ekonomi yang beroperasi di ibukota negara dan di lapangan melalui jaringan yang
ada di kedutaan dan konsuler. [6] Adanya perbedaan efektivitas diplomasi ekonomi di tiaptiap negara. Misi diplomatik yang dijalankan oleh orang-orang terlatih dan staf profesional
memberikan keuntungan power dan pengaruh negara yang diwakilinya, dimana menurut
Rana contohnya adalah Singapura.
Untuk memahami lebih jauh mengenai diplomasi ekonomi, pembahasan selanjutnya
akan masuk pada contoh kasus yaitu diplomasi ekonomi yang dijalankan oleh Amerika
Serikat (AS) dan Cina. Dalam hal ini, pembahasan akan fokus pada bagaimana diplomasi
ekonomi telah sukses memberikan keuntungan bagi negara-negara yang bersangkutan,

dimana hal ini tentunya didukung oleh kemampuan diplomasi yang kuat oleh para aktor yang
terlibat.
3

Salah satu contoh keberhasilan diplomasi ekonomi terlihat dari kesuksesan Amerika
Serikat (AS) dalam mempengaruhi pembuatan The American Transatlantic Community dan
Ekonomi Global secara luas. Berdasarkan paparan Washinton Post yang dikutip oleh Baranay
(2009, 3), sebesar 59% dari keberhasilan realisasi keduanya merupakan hasil dari
kemampuan AS dalam meyakinkan melalui diplomasi ekonomi bahwa kedua sistem tersebut
akan memberikan real dividens terhadap AS maupun pihak lainnya. Realisasi dari diplomasi
ekonomi AS juga ditunjang dari kekuatan finansial dan ekonomi yang dimilikinya, serta
sistem ekonomi global yang memberikan fungsi spesial terhadap mata uang AS.
Berdasarkan paparan sebelumnya, meski Jepang telah memperkenalkan konsep
diplomasi ekonomi terlebih dahulu, namun implementasi diplomasi ekonomi sendiri telah
lebih dulu dilakukan oleh AS – yang telah menggalakan diplomasi ekonomi dan menentukan
target strategisnya sejak masa Perang Dunia, yaitu dimulai dengan Mashall Plan. Beberapa
analisis menekankan bahwa bantuan ekonomi eksternal merupakan alat yang mampu
membuat negara penyumbang memiliki dampak langsung terhadap negara penerima. Selain
itu, bantuan ekonomi juga memiliki konsekuensi politik – dimana hal ini terlihat pada dollar
AS yang menurut Harriman mampu mempengaruhi berbagai peristiwa politik Eropa.

Selanjutnya, Harriman juga menekankan bahwa kebijakan terkait bantuan ekonomi
merupakan instrumen paling efektif dalam menahan ekspansi sphere of influence Uni Soviet
di Eropa Timur dan Balkan saat itu. Baranay menambahkan bahwa kebijakan AS terkait
bantuan ekonomi diambil atas tujuan leadership yang ingin dicapai dan dipertahankan AS.
Oleh karena itu, Baranay kemudian menyatakan bahwa dalam konteks ini, diplomasi
ekonomi merupakan instrumen dasar yang digunakan oleh kebijakan luar negeri AS untuk
membentuk sistem internasional yang baru (Baranay, 2009, 3). Pendapat yang serupa juga
disampaikan oleh Ye Hao, yang menyatakan bahwa berbagai intervensi AS di Eropa maupun
Timur Tengah merupakan bentuk dari kepentingan ekonominya, dimana kepentingan terkait
minyak bumi sangat erat di kawasan Timur Tengah (Ye Hao, 2014).
Berbeda dengan AS yang telah menggalakan diplomasi ekonomi pasca Perang Dunia II,
Cina baru secara signifikan aktif melakukan diplomasi ekonomi sejak tahun 1978.
Sebelumnya, aktivitas diplomasi Cina pada masa Mao Zedong sangat fokus pada aspek-aspek
politik – hingga pasca sepeninggal Mao Zedong, Cina mengalami krisis yang cukup
menyusahkan perekonomian. Setelah masa pemerintahan diganti oleh Deng Xiaoping,
tepatnya sejak tahun 1978 – Cina melakukan reformasi ekonomi dengan membuka
perekonomiannya terhadap asing. Reformasi ekonomi tersebut dapat dijelaskan dalam tiga
preposisi, yaitu berupa mulai dibukanya ekonomi Cina terhadap investasi asing dan private
4


ownership, memperbolehkan kekuatan pasar mempengaruhi harga dan alokasi barang, serta
mengharuskan material incentives menjadi mekanisme utama dalam menstimulus
peningkatan produktivitas dan efisiensi (Harry Harding, 1987, 99-100). Reformasi ini sendiri
dilakukan dengan slogan “reforming and opening”, yaitu modernisasi yang dilakukan dengan
menggunakan ilmu dan teknologi Barat yang dilakukan dengan aturan sosialis (Kokubun
Ryosei, 2004, 25). Sejak saat itu, diplomasi ekonomi Cina dilakukan melalui bantuan dan
perdagangan luar negeri, bantuan terhadap ekspansi perusahaan domestik, penyebaran
investasi asing ke luar negeri, serta berpartisipasi dalam kerjasama finansial (Ye Hao,
2014). Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa bentuk diplomasi ekonomi yang diambil oleh
Cina sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Baranay dan Rana pada paparan
sebelumnya.
Selanjutnya, menurut Ye Hao (2014) diplomasi ekonomi Cina kini telah interestoriented. Sebelumnya, diplomasi ekonomi dilaksanakan berdasarkan faktor ideologi. Cina
hanya memberikan bantuan kepada negara-negara yang setuju dengan ideologi Cina. Namun,
interest utama pembangunan Cina saat ini adalah konstruksi ekonomi nasional, yang mana
hal ini ditunjang melalui diplomasi ekonomi. Perbedaan atau ketidaksetujuan faktor ideologi
tidak akan mempengaruhi kerjasama bilateral perdagangan dan ekonomi. Bahkan, Ye Hao
berpendapat bahwa diplomasi ekonomi mampu menjalankan peran yang fleksibel, berbeda
dengan persaingan ideologi terdahulu yang cenderung menghalangi terjalinnya kerjasama
ekonomi.
Lebih lanjut, diplomasi ekonomi juga membantu Cina meningkatkan pengaruh

internasionalnya secara luas. Pembentukan mekanisme forum dalam pertemuan menteri
pertama pada China-Africa Cooperation Forum tahun 2000 menjadi salah satu jendela
kerjasama pertama antara Cina dan Afrika. Hal ini mendukung semakin kuatnya hubungan
multilateral maupun bilateral Cina-Afrika, serta perluasan kerjasama antar pihak kedalam
level yang semakin tinggi. Dengan berinvestasi di negara-negara Afrika dan menjalin
hubungan yang setara, saling menguntungkan, dan kerjasama pragmatis, Cina telah secara
signifikan meningkatkan pengaruhnya di kawasan tersebut. Hal ini kemudian dianggap
sebagai salah satu contoh keberhasilan Cina dalam menguatkan posisi ekonominya, yang
diharapkan dapat pula terjadi pada hubungannya dengan negara-negara Eropa. Terkait dengan
hal ini, Ye Hao menyampaikan bahwa kini sebenarnya negara-negara maju Eropa sudah
mulai mengubah sikapnya terhadap Cina, khususnya sejak krisis Eropa. Selain itu, Jepang,
Vietnam, Filipina dan beberapa negara lain yang terlibat sengketa teritorial dengan Cina juga

5

mulai menjaga sikapnya karena menyadari pentingnya hubungan ekonomi negara-negara
tersebut dengan Cina yang semakin besar.
Kemudian,

diplomasi


ekonomi

juga

berkontribusi

dalam

perdamaian,

pembangunan, kerjasama, dan situasi win-win. Hal ini krusial bagi pertumbuhan dan
pembangunan Cina yang membutuhan lingkungan internasional damai dalam penerapannya.
Terkait dengan partisipasi interactivity, reciprocity, dan multiplicity—aktivitas ekonomi dapat
memberikan pengaruh yang lebih lama (longer-term influence) ketimbang murni diplomasi
politik dalam menjaga hubungan eksternal dan minimalisasi konflik. Secara singkat,
diplomasi ekonomi dapat memdorong hubungan internasional yang terlepas dari perbedaan
ideologi, mendorong terjalinnya hubungan antarnegara, ketergantungan, dan hubungan winwin. Contohnya dapat dilihat pada hubungan Cina-AS. Meski AS sempat menentang Cina
terkait isu HAM, demokrasi, dan sengketa perdagangan, namun peningkatan hubungan
ekonomi antar keduanya membawa kecenderungan yang damai. Baik Cina maupun AS kini

mulai mencari solusi melalui konsensus dan win-win opportunities (Ye Hao, 2014). Selain
itu, Sejak pemerintahan Hu Jintao, “peaceful development” menjadi kebijakan luar negeri
Cina, yang pada hakekatnya menyatakan bahwa Cina akan melakukan dan mengusahakan
pembangunan tanpa secara agresif menantang dan mengubah kondisi yang ada (Zhiqun Zhu,
2007, 228-230). Hal ini mengindikasikan bahwa Cina telah sangat sadar akan pentingnya
pertumbuhan ekonomi dan pencapaian interest yang hanya dapat dicapai apabila kondisi
sistem internasional damai atau minimal stabil, yang mana hanya dapat dicapai melalui
diplomasi ekonomi.
Pada kesimpulannya, diplomasi ekonomi merupakan suatu instrumen penting bagi
negara dalam mencapai kepentingan nasional, khususnya terkait kepentingan ekonomi. Meski
secara tradisional diplomasi ekonomi dipahami sebagai aktivitas yang hanya dilakukan oleh
kalangan elit atau politisi, namun pada perkembangannya, aktor non-negara juga memiliki
posisi yang penting—dimana hal ini justru sangat signifikan tertelak pada pelaku ekonomi
seperti pengusaha atau MNC. Lebih lanjut, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya,
fungsi dan peran diplomasi ekonomi juga semakin luas, yang mana hal ini menjadi salah satu
faktor kunci dalam peningkatan power negara (secara ekonomi) serta posisinya dalam sistem
internasional. Melalui diplomasi ekonomi, negara dan pelaku ekonomi dapat memperluas
jaringan dan hubungannya dengan mitra dagang atau negara lain secara damai, yang
kemudian diharapkan dapat menciptakan situasi win-win. Hal ini terlihat dari contoh kasus
yang disampaikan mengenai relevansi diplomasi ekonomi dengan AS dan Cina. Kedua

negara telah memperlihatkan kesuksesannya dalam menjalankan diplomasi ekonomi sehingga
6

membantu keduanya meraih posisi yang signifikan dalam perekonomian dan sistem
internasional saat ini.

Daftar Pustaka
Baranay, Pavol. Modern Economic Diplomacy. Latvia: Publications of Diplomatic Economic
Club, 2009.
Hao, Ye. “Some Thoughts on Deepening Economic Diplomacy,” China Institute of
International Studies, http://www.ciis.org.cn/english/2014-01/20/content_6623715.htm
(diakses pada 13 Mei 2014).
Harding, Harry. China’s Second Revolution: Reform After Mao, Washington: Allen & Unwin,
1987.
Rana, S. K. “Economic Diplomacy: the Experience of Developing States,” dalam The New
Economic Diplomacy: Decision-Making and Negotiation in International Economic
Relations, ed. Nicholas Bayne dan Stephen Woolcock. Hampshire: Ashgate Publishing,
2007.
Ryosei, Kokubun dan Wang Jisi, ed., The Rise of China and a Changing East Asian Order.
Tokyo: Japan Center for International Exchange, 2004.

7