Diantara Asap Rokok dan Aroma Kopi

Teori Kebudayaan
Popularitas Kopi dan Kaffeinnya Dalam Esensi
Perbincangan Malam di “Warung Kopi”

Diajukan untuk memenuhi tugas akhir semester
mata kuliah Teori Kebudayaan dalam Program
Pasca Sarjana, Magister Linguistik 2016.

Oleh:
Riantino Yudistira
160120201004

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Negeri Jember
2016

Popularitas Kopi dan Kaffeinnya Dalam Esensi
Perbincangan Malam di “Warung Kopi”

1. Pendahuluan
Sejarah Kopi

Bila berbicara tentang kopi, mulai dari sejarah kemunculanya hingga apapun yang
mengikutinya selalu menarik untuk di bahas. Cerita legendaris kopi diawali dari dataran tinggi
Ethiopia sekitar tahun 800. Seorang gembala kambing bernama Kaldi, mengamati kambing
gembalaannya yang gemar memakan sejenis buah beri yang membuat kambing-kambing tersebut
jadi lebih bersemangat untuk beberapa saat. Ia pun mengamati bahwa setelah memakan buah beri
tersebut, kambing-kambingnya tidak mau beristirahat maupun tidur pada malam harinya. Kaldi
kemudian mencoba memakan sendiri buah beri tersebut – dan ia pun ternyata mengalami hal
sama. Cerita pengalaman Kaldi tersiar hingga ke biara setempat. Para biarawan lantas melakukan
percobaan membuat minuman dari buah beri itu. “Ramuan” yang dihasilkan ternyata mampu
membuat mereka tetap berjaga sehingga tetap dapat menulis maupun berdoa hingga larut malam.
Sampai pada masa abad ke -9 kopi hanya ada di Ethiopia, di mana biji-bijian asli ditanam
oleh orang Ethiopia dataran tinggi. Akan tetapi, ketika bangsa Arab mulai meluaskan
perdagangannya, biji kopi pun telah meluas sampai ke Afrika Utara dan biji kopi di sana ditanam
secara massal. Dari Afrika Utara itulah biji kopi mulai meluas dari Asia sampai pasaran Eropa
dan ketenarannya sebagai minuman mulai menyebar.

2. Popularitas Kopi dan Kaffeinnya (Melawan Rasionalitas Kaum Rohaniawan
Hingga Revolusi Negara)
Sejak zaman di ditemukanya oleh bangsa arab, kopi telah terbukti memikat selera
peminumnya, bahkan popularitas kopi dalam sejarah telah beberapa kali tercatat menyebabkan

kontroversi hingga konflik yang menganggu hegemoni penguasa pada zamannya. Tercatat pada
1600 M popularitas kopi yang dibawa oleh bangsa arab dianggap tidak sejalan dengan dogmadogma

gereja

pada

masa

itu,

sehingga

Paus

Clement

VIII,

menegaskan


untuk

mempertimbangkan bahwa ‘budaya ngopi’ merupakan sebuah bid’ah, ‘budaya luar’ yang dapat
mengancam (infidel) dan karena itu berdosa bagi yang meminumnya. Namun beberapa waktu
kemudian, ia mengizinkan jika ‘ngopi’ menjadi bagian (alternatif) dari makanan/minuman yang
halal dimakan oleh seorang Kristen. Konflik lain akibat popularitas kopi yang mengganggu
pihak berkuasa yaitu tercatat pada 1675 M ketika Raja Charles II kembali berkuasa setelah
Richard Cromwell di gulingkan. Raja Charles II menutup seluruh kedai kopi di London, dengan
tuduhan utamanya adalah kedai kopi dijadikan sebagai tempat pemufakatan makar oleh antek –
antek pendukung Oliver Cromwell yang mengotaki revolusi terhadap pemerintahan Raja Charles
I dan memberikan hukuman pancung kepada raja dan keluarganya.

Discussing War at a Café. Cambridge, 1649.

Bila di lihat dari perjalanan sejarahnya, kopi dan kaffeinnya tidak hanya berpengaruh
pada hegemoni kekuasaan pada zamanya, namun kopi juga terlihat sebagai sebuah budaya yang

dibudayakan. Kopi seakan-akan menjadi sebuah minuman yang dibutuhkan. Maka tidaklah
mengejutkan bila bermunculan kedai- kedai kopi yang tentunya di dirikan dengan tujuan awal

yaitu manfaat ekonomi. Namun dalam perjalananya kedai kopi telah menjadi sebuah ruang
publik yang populer dimana orang dapat menghabiskan waktu dengan berbincang sembari
menikmati kopi. Terkait dengan kandungan utama kopi, yaitu kaffein, yang dapat membuat kerja
otak menjadi optimal, membuat seorang peminum kopi menjadi terfokus dalam kurun waktu
tertentu. Sebagai contoh, bila efek kaffein di hubungkan dengan konflik ketika Raja Charles II
menutup seluruh kedai kopi yang berada di London, bukanya Bar yang menjual Bir dan Malt
pada zaman itu. Para pembelot, menganggap kedai kopi sebagai tempat yang sempurna dalam
melakukan pemufakatan makar. Alasan pertama ialah kedai kopi merupakan ruang publik
dimana siapapun dapat berbaur duduk bersama dan berbicara hal-hal yang di inginkan. Sehingga
kehadiran sekelompok orang yang duduk bersama dan berbincang tampak sebagai aktivitas yang
biasa dilakukan dan tidak menuai perhatian massa. Alasan kedua kopi adalah minuman yang
cocok untuk kegiatan perbincangan semacam ini. Dibutuhkan daya pikir terbaik dari setiap
anggota untuk memberikan pemikirannya terhadap langkah yang akan di tempuh dalam proses
revolusi. Jadi minuman yang tepat bukannya bir atau malt yang malah memberikan efek
memabukan, tetapi yang dibutuhkan adalah kopi dengan kandungan kafeinnya yang memberikan
dorongan semangat untuk lebih terfokus dan berpikir logis menemukan solusi.
Sedangkan di Indonesia, tercatat kopi pertama kali masuk yaitu pada tahun 1696 dari
jenis kopi Arabika. Kopi ini masuk melalui Batavia (sekarang Jakarta) yang dibawa oleh
Komandan Pasukan Belanda Adrian Van Ommen dari Malabar - India, yang kemudian ditanam
dan dikembangkan di tempat yang sekarang dikenal dengan Pondok Kopi -Jakarta Timur, dengan

menggunakan tanah partikelir Kedaung. Sayangnya tanaman ini kemudian mati semua oleh
banjir, maka tahun 1699 didatangkan lagi bibit-bibit baru, yang kemudian berkembang di sekitar
Jakarta dan Jawa Barat antara lain di Priangan, dan akhirnya menyebar ke berbagai bagian
dikepulauan Indonesia seperti Sumatera, Bali, Sulawesi dan Timor.
3. Warung Kopi
Dimana kopi berada, maka di tempat itu pula popularitasnya terkenal sebagai minuman
yang terbudayakan untuk dinikmati. Berdasarkan awal kedatangannya ke Indonesia yang melalui
Batavia pada zaman kolonial Belanda maka dua abad kemudian, di Batavia berdirilah kedai kopi

pertama di Indonesia. Kedai kopi ini bernama Tek Sun Ho, didirikan tepatnya pada tahun 1878 di
jalan Moolen Vliet Oost, Batavia yang sekarang bernama jalan Hayam Wuruk, Jakarta.
Penamaan kedai kopi ini didasarkan pada nama pemiliknya yaitu Liaw Tek Soen. Apabila
dihitung mulai berdirinya, kedai ini sudah berusia 138 tahun, sudah melintasi lima generasi
keturunannya yang mempertahankannya.

Kedai kopi Tek Sun Ho, Batavia 1878.

Dewasa ini, khususnya di daerah Jawa Timur, kedai kopi lebih dikenal dengan nama
warung kopi. Dalam kehidupan sehari – hari, frasa “warung kopi” tentunya sudah tidak asing
lagi didengar oleh telinga masyarakat Indonesia pada umumnya. Dapat dipastikan bahwa

sebagian besar masyarakat Indonesia pernah singgah atau pun setidaknya melihat sebuah
“warung kopi” berdiri di pinggir jalan. Namun umumnya konsep bangunan warung kopi yang
sekarang ‘merakyat’ berbeda dengan kedai kopi Tek Sun Ho. Warung ini didirikan dengan
kriteria bangunan yang cenderung sederhana hingga seadanya, beratap genteng hingga seng,
bertiang besi terpancang hingga kayu bongkar pasang, bermeja kayu hingga bambu, dan beralas
aspal hingga tanah. Kadang juga hanya sekedar gerobak kaki lima yang di lengkapi atap terpal
dan kursi. Warung jenis ini menyediakan menu minuman panas seperti teh, wedang jahe, susu
sachetan, dan tentunya kopi sebagai menu andalan warung jenis ini. Kopi yang di jual tidaklah
selalu berupa minuman kopi panas yang di racik dari kopi bubuk robusta atau arabica yang di
beli di pasar-pasar dengan kuantitas per-kilogram. Kopi yang di jual bisa pula berasal dari kopi

kemasan sachet dari berbagai merek, atau kopi yang di produksi sendiri oleh pemilik warung dari
biji kopi mentah.
Untuk memesan minuman andalan di warung kopi, seringkali konsumen di warung kopi
mengkodekan “pesan kopi hitam” kepada pemilik warung. Kopi hitam disini maksudnya adalah
minuman kopi yang diracik dari bubuk kopi ditambah gula kemudian di aduk dengan air panas
saja. Tanpa susu atau tambahan apapun. Harga jual minuman di warung ini variatif namun relatif
sangat murah. Kualitas bahan minuman khususnya kopi, pun kadang dipertanyakan, namun fakta
dilapangan membuktikan bahwa soal rasa minuman kopi yang di sajikan di warung-warung ini,
tidak perlu diragukan lagi. Seolah-olah pemilik warung mengerti benar tentang kualitas kopi

yang baik, sehingga dapat mempertahankan minat konsumen untuk menjadi pelanggan setia.
Sedangkan untuk pendamping minum, pemilik warung juga biasanya menyediakan
jajanan kelas rakyat menengah ke bawah, yang juga relatif murah. Jajanan tersebut lazimnya
berupa aneka gorengan, dan kerupuk yang telah di bungkus kecil. Jajanan-jajanan ini merupakan
produk buatan pemilik warung itu sendiri atau pun sekedar “titip jual” dari orang lain. Tentunya
warung kopi juga menjual rokok. Baik dalam bentuk perkotak maupun eceran perbatang. rokok
tidak luput dari eksistensi kegiatan ngopi, karena bagi sebagian besar penikmat kopi di warung
kopi, beredar asumsi : kopi adalah darah, sedangkan rokok adalah nafas.
Berdasarkan menu yang di sajikan, harga yang di patok, serta tempat berdirinya yaitu
pinggiran jalan, sudut-sudut pasar, trotoar, ataupun spot keramaian dari suatu komunitas di desa,
warung kopi masa ini ter-sterotipisasi sebagai tempat nongkrong masyarakat kelas menengah
kebawah. Bagi masyarakat dengan gaya hidup lebih mewah, dari pada warung kopi, sebutan café
sebagai tempat nongkrong sambil ngopi menjadi pilihan yang lebih menarik. Walaupun makna
sebenarnya serupa, tetapi café lebih diidentikan sebagai warung kopinya orang berduit. Selain
menunya lebih beragam, struktur dekorasi bangunan, ditata lebih ‘kekinian’ dan tentunya harga
konsumsi di cafe cenderung jauh melambung di atas harga konsumsi di warung kopi. Namun
demikian, walaupun saat ini kehadiran café telah menjamur bahkan hingga ke pusat keramaian
tingkat desa, eksistensi dan popularitas warung kopi sebagai tempat nongkrong yang diminati,
tetap tidak dapat di runtuhkan.


4. Warung Kopi Sebagai Ruang Publik
Jam buka warung kopi bervariasi, ada warung kopi yang buka selama 24 jam, ada pula
yang mengkhususkan diri buka jam pagi, maksudnya yaitu beroperasi antara jam 04.00 WIB
hingga 09.00 WIB. Ada warung kopi yang buka sehari penuh hingga selambat lambatnya tutup
pukul 18.00 WIB. Bagi warung kopi yang buka pada saat malam, umumnya dimulai pada pukul
19.00 WIB hingga menjelang pukul 03.00 WIB.
Tentunya, sebagai tempat nongkrong yang asik, sembari menikmati kopi, rokok, dan
gorengannya, masyarakat kelas menengah kebawah yang menjadi konsumen dominan,
menjadikan warung kopi sebagai tempat berbincang, ruang publik dimana setiap orang dapat
terlibat didalam kelangsungan berkomunikasi secara bebas (Habermas, dalam Poespowardojo
dan Seran. 2016:163). Perbincangan disini terjadi secara bebas, mulai dari ‘curhat’, bisnis,
hingga gurauan tentang seksualitas dan sarkastik, bahkan keakraban yang terlihat dalam
perbincangan hampir tanpa menunjukan rasa hormat terkait kompetensi dan norma-norma
kebahasaan. Tanpa adanya perkenalan formal antar satu individu dengan individu lain,
perbincangan yang terjadi menunjukkan seolah olah para penutur dan mitra tuturnya telah saling
mengenal. Sambil sesekali menyeruput kopi hitam yang telah di pesan, para konsumen
bercengkrama dalam berbagai tema pembicaraan, baik tentang isu yang sedang berkembang
hingga gosip-gosip tentang dunia astral.
Berdasarkan temuan dilapangan, perbincangan di warung kopi saat malam hari terasa
lebih berkehidupan. Hal ini didasari oleh beberapa alasan. Alasan pertama adalah pada pagi dan

siang hari, umumnya warung kopi di singgahi hanya sebagai tempat beristirahat sejenak ataupun
sebagai tempat menunggu. Alasan kedua, selain malam hari orang umumnya tidak memiliki
waktu luang yang esensial untuk di habiskan di warung kopi. Sehingga pada jam-jam ini warung
kopi seringkali sepi. Hal ini berkebalikan dengan fakta yang di temui tentang warung kopi saat
malam hari. Sangat sedikit ditemui warung kopi yang sepi pelanggan. Berdasarkan wawancara
singkat dengan beberapa konsumen yang sedang ngopi di warung kopi saat malam hari. Mereka
berpendapat malam hari terasa lebih pas untuk menghabiskan waktu di warung tersebut. Selain
untuk mengusir dingin dengan menyeruput kopi, dan melepas penat setelah bekerja seharian di
pasar. Mereka mengaku perlu ‘ngopi’ agar kepala tidak pusing dan bertemu dengan orang-orang
di warung kopi, untuk selain bersenda gurau, juga bertukar informasi tentang pekerjaan demi
peluang dalam mengais rejeki esok hari.

Aktivitas berkomunikasi di warung kopi tampak berlangsung secara alamiah, lancar dan
tanpa paksaan. Dalam bukunya The Theory of Communicative Action Habermas (dalam
Poespowardojo dan Seran. 2016:167) menjelaskan bahwa aktivitas berkomunikasi berorientasi
pada klaim yang valid yang secara nyata berbeda, namun saling berkaitan dan melengkapi yaitu:
1. Klaim kebenaran (truth), yaitu klaim menyangkut dunia alamiah objektif
2. Klaim ketepatan (rightness), yaitu klaim tentang pelaksanaan norma-norma sosial.
3. Klaim autentisitas (sincerety), yaitu klaim tentang kesesuaian antara batin dan ekspresi.
4. Klaim komprehensibilitas (comprehensibility), yaitu klaim tentang kesepakatan karena

terpenuhinya tiga klaim diatas sebagai alasan yang mencukupi untuk konsensus.
Perbincangan yang berlangsung di warung kopi di pasar, emperan toko, pinggir jalan dan
sebagainya ini bukanlah perbincangan yang berat, bersangkutan dengan keamanan dan stabilitas
negara secara harfiah. Tetapi perbincangan yang ringan. Bila tentang politik, hanya sekedar
membahas isu-isu yang sedang berkembang dan disampaikan menurut perspektif masingmasing. Bila tentang bisnis, bukanlah tentang pembelian helikopter atau likuiditas terhambat
akibat bursa efek yang colapsed, tetapi hanya sebatas pada mencari informasi tentang adakah
pekerjaan harian yang tersedia di pasar besok, perdagangan bebek atau ayam dalam jumlah
relatif kecil, hingga perbincangan tentang seksualitas yang mana seringkali mengarah pada tema
‘janda yang tersedia untuk digoda’. Jadi, walaupun perbincangan yang terjadi seringkali sekedar
basa basi, etika dan syarat berkomunikasi di warung kopi dapat dijelaskan dengan teori etika
diskursus yang di jelaskan Poespowardojo dan Seran, (2016:169). Syarat tersebut antara lain
1. Setiap orang yang mampu berbicara dan bertindak di izinkan mengambil bagian
dalam pembicaraan bersama
2. A. Setiap orang di izinkan untuk menyatakan pendapatnya tentang apapun dalam
pembicaraan bersama.
B. Setiap orang di izinkan untuk mempertanyakan dan mempersoalkan apapun
tentang yang di bicarakan
C. Setiap Orang di Izinkan untuk menyatakan sikap, keinginan dan kebutuhannya
3. Tidak ada orang yang di halangi berpendapat mnyangkut hak-haknya seperti yang
disebut dalam (1) dan (2), baik oleh tekanan dari dalam proses pembicaraan maupun

tekanan dari luar.

5. Kesimpulan
Perbincangan Warung Kopi Sebagai Kajian Budaya.
Sudah merupakan kesimpulan akhir bila menarik fakta bahwa: Warung kopi di kalangan
masyarakat kelas menengah kebawah di Indonesia, telah menjadi ruang publik. Tempat dimana
konsumennya membudayakan “ngopi” dan perbincangannya sebagai bagian dari hidup dan
berkehidupan. Seperti yang telah di uraikan pada bagian sebelumnya, ngopi di warung kopi
sendiri bukan hanya sekedar duduk menikmati kopi panas, gorengan dan menghisap rokok. Bagi
kalangan masyarakat kelas menngah kebawah yang menjadi konsumen dominan warung jenis
ini, warung kopi telah bertransformasi sebagai sebuah tempat yang fleksibel dan efisien,
maksudnya selain sebagai tempat beristirahat, nongkrong dan bercangkrama, bersenda gurau
secara sarkastik namun tetap dalam rasionalitas bersama individu lain, dalam beberapa
kesempatan warung kopi menjadi tempat untuk menyambung hidup, mengais rejeki.
Jadi, berdasarkan sejarahnya pula, kopi dan kaffeinya dalam essensi perbincangan di
warung kopi telah menjad sebuah budaya yang terbudayakan dalam tatanan kehidupan
bermasyrakat di Indonesia.

Bahan Bacaan
Alfred Muerling. 1997. From the death of his father to his defeat at the Battle of Worcester.
London : Cambridge University Press
Mudrig Yahmadi. M. 2007. Rangkaian Perkembangan dan Permasalahan Budidaya &
Pengolahan Kopi di Indonesia. AEKI Jawa Timur : PT. Bina Ilmu Offset
Teggia G. & Hanusz M. 2003. A Cup of Java. Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd,
T.M.S. Poespowardojo & A. Seran. 2016. Diskursus Teori-Teori Kritis. Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara.