Ansor dan Politik Kaum Muda

ANSOR DAN POLITIK KAUM MUDA
Hafis Muaddab
Wakil Sekretaris PC GP Ansor NU Jombang
Eksistensi GP Ansor dalam perjalanan bangsa memang tidak dapat dipandang sebelah
mata. Hal ini dapat dipahami, karena GP Ansor seperti pinang dibelah dua dengan Nahdatul
Ulama (NU), baik dari sisi paham keagamaan maupun kebangsaan. Komitmen GP Ansor
dalam kebangsaan dan NKRI tak perlu diragukan. Apalagi, keberadaan GP-Ansor hampir
bersamaan dengan kemerdekaan Republik Indonesia, pada 14 Desember 1949. Waktu yang
tidak sebentar bagi sebuah organisasi kepemudaan. Peran Ansor dalam tubuh NU, terutama
sejak organisasi Islam besar ini secara resmi menyatakan berpisah dari Masyumi pada 1952.
Ansor terlibat aktif dalam pergulatan politik NU di pentas nasional. Peran seperti itu secara
gamblang menunjukkan bagaimana anak-anak muda Ansor turut membentuk karakter
berpolitik NU pada masa-masa sulit, ketika “organisasi payung” ini harus berhadapan
langsung dengan kekuasaan sekaligus lawan-lawan politiknya.
Dalam perjalanannya, pasca reformasi ini, sejatinya ormas dan organisasi
kepemudaan (OKP) tak terkecuali GP Ansor harus hadir dengan wajah baru dengan
menonjolkan kreativitas pengelolaan organisasi. Di struktur internal NU, GP-Ansor menjadi
salah satu badan otonom (banom), di samping ada Muslimat NU, Fatayat NU, IPNU, dan
IPPNU. Secara struktural, GP Ansor kerap dimaknai sebagai tangga menunju kiprah di
jenjang NU. Di poin inilah, GP-Ansor menjadi salah satu organ kepemudaan dalam
barisan civil society. Pemberdayaan kader dan anggota menjadi sebuah keniscayaan. OKP

yang mengambil segmentasi pemuda dengan basis di pedesaan ini, sejatinya menjadikan
peran GP-Ansor cukup strategis dalam proses pemberdayaan para pemuda.
Penguatan civil society harus pula menjadi bagian dari literasi politik nahdliyin yang
sebenarnya. Bukan hanya menjadi “pendulang (vote gater)” dalam kalkulasi kuantitas dan
peran cultural broker (Clifford Geertz, 1955:32). Akan tetapi juga harus mampu menjelma
menjadi kekuatan civil society yang menjalankan peran counter balancing terhadap negara
dari peran opinion leader yang selama ini dimiliki NU. Mengingat, politik hanyalah "salah
satu" bentuk dari pilihan yang ada di kehidupan kita yang berada pada domain bernama
"privasi".

Demokrasi yang kuat dan sehat tidak hanya membutuhkan dunia politik (political
society) yang kuat. Tentu saja, penting memiliki partai yang kuat, pemimpin yang kuat, dan
pemerintahan yang kuat. Namun, demokrasi juga membutuhkan dunia masyarakat (civil
society) yang juga sehat dan kuat. Oleh sebab itu GP Ansor sebagai salah satu penyangga
kekuatan civil society, memiliki potensi serta modal sosial yang jika dapat dimanfaatkan
secara maksimal oleh GP Ansor tentu akan memiliki dampak yang amat besar bagi
perkembangan kehidupan, baik dari segi sosial, ekonomi, budaya serta politik dalam tubuh
Ansor maupun masyarakat secara luas sehingga mampu menjadi penggerak dalam penguatan
civil society di Indonesia. Demokrasi dan civil society bagaikan dua sisi mata uang,
keduanya memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Jika dalam suatu negara terdapat

civil society yang kuat, maka demokrasi pun akan menjadi baik. Begitu juga sebaliknya, jika
civil society di suatu negara itu buruk, maka demokrasi akan berjalan lamban.
Filantropi Nahdliyin
Dalam analisis Machrus Irsyam (1981; 37-39), terdapat tiga pilar utama kekuatan
politik yang dimiliki GP Ansor termasuk dalam hal ini NU, yaitu; pertama, basis massa
(struktur sosial) yang bertumpu pada massa pondok pesantren yang berada di pedesaan.
Kedua, basis ulama-politisi yang digambarkan memiliki konsistensi gerakan karena
berfungsinya dua struktur yang saling melengkapi, struktur formal yang diatur secara
organisatoris dan struktur non formal yang tumbuh dari interaksi antara ulama dan politisi
dan ketiga, tradisi yang dimanifestasikan dalam pola hubungan ulama-politisi-massa menjadi
tradisi yang dianut secara teguh.
Adanya persoalan kemiskinan, pengangguran, penguatan kelompok tani, nelayan,
serta peningkatan sumber daya manusia (SDM) seharusnya menjadi konsentrasi utama oleh
GP Ansor. Sebuah persoalan utama yang kini dihadapi bangsa ini dan GP Ansor seharusnya
mengkonsentrasikan diri pada pengembangan pemuda NU di pedesaan dengan agenda
penguatan kapasitas.Apabila hal ini terlambat dilakukan inovasi dalam pengelolaan
organisasi pada gilirannya GP Ansor justru akan terjebak dalam proses politik praktis imbas
euforia politik pasca reformasi. Hingga memberikan kesan bahwa GP Ansor, tak berbeda
dengan OKP lainnya, menjadi OKP elitis yang tak pernah membumi. GP Ansor tak lebih
sebagai kendaraan politik para elitnya untuk menaikkan daya tawar semata.


Pekerjaan rumah dengan pemberdayaan anggota yang mayoritas di pedesaan nyaris
tak pernah tersentuh GP Ansor. Alih-alih menjadi garda terdepan dalam pembelaan dan
pemberdayaan pemuda NU, elit GP Ansor lebih sibuk dengan politik praktis. Pemberdayaan
pemuda hanya dimaknai dengan pelibatan tim sukses pemilukada. Advokasi pemuda NU
hanya dimaknai dengan keterlibatan dalam perhelatan seremoni organisasi. Peran taktis dan
strategis bagi perjalanan Ansor ke depan harus bisa merumuskan agenda prioritas dalam
pemberdayaan pemuda NU.
Tujuan gerakan filantropi adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat,
diantaranya melalui kegiatan ‘memberi’. Kemunculan gerakan ini dilatarbelakangi paling
tidak dua krisis yakni krisis politik dan krisis ekonomi. Lebih jauh, gerakan filantropi Islam
muncul untuk menanggapi kegagalan pemerintah dalam melayani seluruh warganya dalam
rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Konsep ini tidak jauh berbeda dengan
tradisi gotong royong dan atau tradisi-tradisi lain yang masih berakar kuat dan dipraktikkan
di berbagai daerah di Indonesia, sehingga filantropi sendiri merupakan bagian dari keluhuran
budaya bangsa ditengah modernitas dan globalisasi.
Dalam fenomena filantropi ini, baik NU maupun organisasi lain memiliki peluang
yang sama dalam melaksanakan kegiatannya. Tidak terkecuali dalam gerakan advokasi
kepada pelajar kurang mampu sebagai persiapan menempuh seleksi masuk Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) yang telah diselenggarakan PC GP Ansor Jombang bersama Yayasan Mata Air

bekerjama dengan IPNU/IPPNU, ISNU, Fatayat dan PMII Kabupaten Jombang. Kegiatan ini
hingga tahun 2015 ini telah berada ditahun ke -5, tahun 2011-2013 di PP An Najiyah Bahrul
Ulum dan 2014 di PP Darul Ulum Rejoso Jombang. Memberikan pendampingan dibidang
akademik, penguatan soft skill dan beasiswa studi di PTN.
Namun pencapaian ini bukan sesuatu yang luar biasa, terlebih gerakan filantropi
Islam di Indonesia termasuk fenomena baru. Masih perlu dikembangkan bentuk-bentuk baru
gerakan filantropi. Bentuk gerakan sosial keagamaan yang mampu memberikan ruang GP
Ansor untuk dapat memanfaatkan modal sosial yang dimilikinya. Untuk menciptakan civic
trust (kepercayaan publik) dan mendorong partisipasi masyarakat dalam penguatan civil
society dan demokrasi di Indonesia. Mengingat bentuk gerakan politik nyata bagi masyarakat
adalah kepedulian dan kemanusiaan serta semangat kebangsaan. Oleh karenanya, hakikat
kebesaran GP Ansor sebagai organisasi yang turut serta dalam proses kebangsaan, sudah

saatnya dimaknai ulang dalam perwujudan nyata pembelaan dan advokasi terhadap pemuda
dan asset-aset NU. Sehingga tidak ada lagi pertanyaan apa masih perlu keberadaan GP Ansor
?