Laporan Bimbingan dan Konseling. docx

ORIENTASI KANCAH
Gambaran Umum
Sebagai SMP negeri yang telah memiliki reputasi yang baik di Semarang,
Bimbingan Konseling pada SMP Negeri 2 Semarang memiliki track record yang
mampu dipertanggungjawabkan. Bimbingan Konseling di SMP Negeri 2 Semarang
menganut prinsip pengembangan diri siswa melalui pelayanan konseling menurut
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu pada Pola 17 Plus.
Ketika melaksanakan Pola 17 Plus pihak Bimbingan Konseling di Sekolah
mengacu pada 4 bidang dasar, (a) pelayanan dalam bimbingan pribadi, (b) bidang
sosial, (c) bidang pengembangan belajar, dan (d) bidang bimbingan karir dari siswa
di sekolah yang bersangkutan
Kompetensi
BK SMP Negeri 2 Semarang memiliki kompetensi khusus yang harus
dipenuhi untuk menjadi tenaga dalam BK, yaitu adalah lulusan S1 jurusan
konseling dan tenaga ahli yang telah mendapat gelar profesi profesi konselor. Di
SMP Negeri 2 Semarang terdapat tiga (3) tenaga pengisi BK namun hanya satu
(satu) tenaga saja yang telah memiliki gelar profesi konselor. Hal ini berarti dua
dari tiga tenaga pengisi BK di SMP Negeri 2 Semarang masih merupakan lulusan
S1 jurusan Psikologi.
Posisi BK di Sekolah
Struktur proses pendidikan dalam SMP Negeri 2 Semarang terdiri atas

pengajaran, bimbingan, dan ekstrakurikuler. Posisi BK dalam proses pendidikan di
SMP Negeri 2 Semarang adalah sejajar dengan posisi guru pengajar di sekolah.
Dengan kata lain, ketika guru pengajar melaksanakan tugasnya membina anak
didik dalam hal akademik, maka konselor pada BK sekolah membina anak didik di
bidang pengembangan diri dari anak didik. Pada pelaksanaannya, konselor sekolah
berkoordinasi langsung dengan guru-guru mata pelajaran yang bersangkutan
dibantu dengan pengamatan dari wali kelas. Hal ini berarti apabila terdapat anak
didik yang memiliki dan/atau menunjukkan masalah terkait perilaku atau prestasi
di sekolah, maka konselor sekolah langsung berkoordinasi dengan pihak guru
pengajar dan wali kelas yang bersangkutan untuk melakukan pengamatan terhadap

1

anak didik yang bersangkutan. Dengan demikian, BK pada SMP Negeri 2
Semarang merupakan satu kesatuan dalam struktur kependidikan SMP Negeri 2
Semarang.
Struktur Organisasi dan Aktivitas BK di Sekolah
Di dalam BK SMP Negeri 2 Semarang juga memiliki struktur kepengurusan
yang menjelaskan tenaga-tenaga pengisi BK di posisi tertentu yang memiliki
rincian tugas-tugas tertentu, seperti pembagian kelas bimbingan. Berbicara

mengenai kelas bimbingan, di SMP Negeri 2 Semarang juga terdapat waktu khusus
pada setiap kelas, yaitu satu kali pertemuan di tiap minggu. Perlu digarisbawahi
bahwa pertemuan ini bukan merupakan jam mata pelajaran melainkan waktu
khusus yang disediakan sekolah untuk diisi oleh para konselor terkait usaha
memberikan pelayanan secara individu atau kelompok. Di dalam pertemuan ini
biasanya akan dibahas mengenai isu-isu yang dirasa tengah dialami oleh peserta
didik, ajang mencurahkan uneg-uneg dari anak didik, diskusi untuk meningkatkan
motivasi belajar anak didik, membantu memecahkan masalah, mengembangkan
potensi bakat minat sesuai kondisi anak didik dan proaktif melalui pemberian
pelayanan informasi kepada peserta didik dan pada waktu tertentu BK bekerja
sama dengan kesiswaan dan pihak luar yang terkait, untuk mengadakan suatu
penyuluhan kepada kelompok besar peserta didik. BK milik SMP Negeri 2
Semarang juga memiliki program khusus yang diterapkan pada anak-anak didiknya
seperti teknik pengembangan belajar mindmaping dan buku katarsis yang diisi oleh
anak-anak didik pada pertemuan tertentu dengan tujuan untuk menuliskan masalahmasalah yang tengah dihadapi oleh anak didik.
9 jenis layanan yang ada di BK berdasarkan empat bidang dasar yang
tersebut diatas, yaitu:
1) Orientasi; orientasi disini bertujuan sebagai media untuk anak didik mampu
beradaptasi dengan lingkungannya. Biasanya diberikan pada siswa baru
atau siswa yang masih dalam masa orientasi sekolah.

Orientasi ini dibagi menjadi dua, yaitu orientasi fisik dan orientasi sosial.
Pertama, orientasi fisik berhubungan dengan keadaan lingkungan, sarana
prasarana sekolah, tata tertib, kurikulum sekolah. Kedua, orientasi sosial
yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya, seperti teman dan guru.

2

2) Informasi; informasi yang dimaksudkan adalah pemberian informasi secara
umum pada anak didik, lebih konkrit dan detail bukan hanya menggunakan
metode ceramah, bisa menggunakan model.
3) Penempatan dan penyaluran; hal ini dilakukan dengan menilik kondisi,
minat, bakat, dan potensi dari anak didik sehingga prestasi belajarnya juga
baik. Sebagai contoh, dilakukannya rolling tempat duduk yang bertujuan
untuk kesehatan anak, seperti kesehatan mata. Kemudian dengan melihat
minat dan bakat yang dimiliki anak didik, mereka dapat diarahkan untuk
mengikuti studi klub tertentu atau kegiatan ekstra kulikuler non-akademik.
4) Penguasaan konten; tujuan dari penguasaan konten ini sendiri adalah agar
anak dapat memahami serta menjalankan kewajibannya sehingga ada
perubahan dari kualitas anak.
5) Konseling perorangan; konseling perorangan lebih kepada bagaimana

seorang konselor mampu mendengarkan dan membantu anak didik untuk
memecahkan masalahnya. Jika ada seorang anak yang sakit atau mengalami
masalah psikologis dan akhirnya berdampak pada prestasi akademiknya,
konselor dapat membantu untuk menyelesaikannya, dan jika memang
diperlukan, bisa ditindaklanjuti dengan melakukan home visit.
6) Konseling kelompok; konseling kelompok ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan beberapa anak, maksimal 10 anak yang mengalami masalah
yang hampir sama. Salah seorang menceritakan masalah yang diahadapi
dan yang lainnya memberikan pendapat dan sarannya. Di sini konselor
bertindak sebagai pemimpin konseling yang memfasilitasi. Salah satu
tujuan adanya konseling kelompok bagi anak didik adalah menanamkan
konsep menjaga suatu kerahasiaan data.
7) Bimbingan kelompok; bimbingan kelompok lebih menekankan pada
pembahasan kasus dari masalah-masalah umum yang sudah ditentukan oleh
konselornya dan beberapa anak didik tersebut berusah untuk mendapatkan
solusi pemecahannya.
Selain itu, bimbingan kelompok dapat bertujuan untuk meningkatkan
percaya diri, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan asertif pada anak
didik.
8) Konsultasi; konsultasi ini sendiri bukan hanya dilakukan dengan anak yang

memiliki masalah, tetapi juga dengan orang tua dari anak tersebut, sehingga
konselor bisa mengetahui bagaimana sebab akibat dari perilaku anak.

3

Selama proses konsultasi ini dilakukan penghimpunan data yang cukup
mendalam, sehingga masalah atau kasus yang sedang dialami bisa
mendapatkan solusi pemecahannya.
Jika masalah yang dihadapi anak didik belum bisa mendapatkan suatu
pencerahan atau menemukan solusi yang tepat, konselor dapat meminta
bantuan dari reveral. Reveral ini bisa saja guru bidang studi, wali kelas,
tenaga ahli, orang tua, atau mungkin beberapa individu yang terkait dengan
masalah yang dihadapai anak didik.
9) Mediasi; mediasi ini dilakukan ketika suatu konflik melibatkan antar
individu. Seperti konflik antar anak didik, konselor sebagai mediator harus
mampu menengahi sehingga permasalahan yang menjadi penyebab konflik
dapat diketahui akarnya dan pada akhirnya akan berakhir dengan baik.
Mediasi juga bisa dilakukan antara anak dengan orangtua dan konselor
sebagai mediatornya.
Berhasil atau tidaknya proses konseling tersebut, konselor dapat

mengevaluasinya dari penyebaran angket mengenai proses bimbingan yang sudah
berlangsung, bertanya langsung, juga bisa melalui proses pengamatan. Pengamatan
yang dilakukan bisa melalui mengamati perubahan perilaku yang terjadi pada anak
didik setelah dilakukannya proses konseling. Evaluasi tersebut juga disuguhkan
dalam bentuk format pelaporan baik yang sifatnya eksternal (bagi pihak yang
terkait dengan anak didik seperti wali kelas, orangtua, atau pengampu mata
pelajaran tertentu yang mungkin memang bersangkutan dengan proses belajar) dan
internal, internal ini sendiri adalah sebagai arsip bagi BK.

KASUS
Siswa X merupakan siswa SMP N 2 Semarang berjenis kelamin
perempuan, berumur 15 tahun dan tengah duduk di bangku kelas tiga SMP N 2
Semarang. X sebelumnya diketahui merupakan siswa yang baik, ia memiliki
prestasi belajar yang memuaskan, berperilaku baik setiap harinya dan selalu
bertuturkata yang sopan. Hingga akhirnya terlihat bahwa X mulai menunjukkan
perilaku yang tidak biasanya. X mulai sering terlambat masuk sekolah, nilai-nilai

4

pelajarannya mulai mengalami penurunan, guru-guru mulai sering mendapati

bahwa X sering berkata-kata kasar jika di kelas dan berperilaku kurang sopan.
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa X berasal dari keluarga yang
cukup berada dengan ekonomi menengah keatas, dan kedua orang tua X samasama bekerja. Kemudian diketahui dari wawancara yang dilakukan oleh pihak BK
dengan X bahwa X melakukan hal-hal yang tidak biasanya itu karena X ingin
mencari perhatian dari kedua orangtuanya. Dari keterangan X diketahui bahwa
memang terjadi masalah dalam keluarga X yakni kedua orangtuanya tengah
memutuskan untuk bercerai.

TEORI PENDUKUNG
Teori Ekologis
Salah satu teori yang sangat terkenal dari pendekatan sosiokultural adalah
Teori Bioekologi dari Urie Bronfenbrenner. Teori ini menggambarkan tentang
tingkatan interaksi yang dapat mempengaruhi perkembangan individu. Menurutnya
perkembangan terjadi melalui proses interaksi yang regular, aktif, dua arah antara
individu dan lingkungan sehari-harinya. Proses ini terjadi dalam lima sistem
lingkungan yang saling berkaitan, yaitu:
1. Mikrosistem
Merupakan sistem terdekat dengan individu, dimana individu terlibat dalam
interaksi dua arah dengan orang lain dalam basis kehidupan sehari-hari dan


5

menjadi agen sosialisasi. Sistem ini terdiri dri keluarga (orang tua), teman
sebaya, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan tempat ibadah.
Individu tidak dipandang sebagai peneima pengalaman yang pasif, justru
dalam lingkungan ini individu sebagai pelaku aktif karena memang mereka
berinteraksi langsung dengan agen-agen sosial, yaitu misalnya dengan
orantua, teman sebaya dan guru.
2. Mesosistem
Merupakan sistem yang menghubungkan dua atau lebih mikrosistem
dimana individu terlibat didalamnya. Misalnya: hubungan antara keluarga
dengan teman sebaya, terjadi konflik nilai-nilai yang ditanamkan orang tua
dengan nilai-nilai teman sebayanya. Dalam sistem ini dapat terlihat sikap
dan perilaku yang berbeda dari satu individu dalam setting lingkungan yang
berbeda.
3. Eksosistem
Terdiri dari dua atau lebih sistem yang saling berhubungan, namun tidak
mempengaruhi individu secara langsung.
Misalnya, kesibukan kerja seorang ayah, akan bisa mempengaruhi istri dan
anaknya. Kesibukan ayah yang semakin hari semakin meningkat akan

memberikan dampak yang begitu terasa terhadap pola komunikasi suami
istri dengan pola komunikasi orangtua anak juga.
4. Makrosistem
Merupakan sistem dari pola-pola kebudayaan yang mencakup seluruh
mikro, meso dan eksosistem masyarakat seperti sistem perekonomian dan
budaya (kapitalisme,sosialisme).
Kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk
lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi dan generasi.
5. Kronosistem
Meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi sepanjang
rangkaian kehidupan dan keadaan-keadaan sosiohistoris. Misalnya, dalam
mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, peneliti menemukan
bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah
perceraian.

Hubungan Sosial

6

Hubungan sosial diartikan sebagai cara-cara individu bereaksi terhadap

dirinya (Anna Alishahbana, dkk., 1984) hubungan sosial ini menyangkut juga
penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti makan sendiri, berpakaian sendiri,
patuh pada peraturan dll. Hubungan sosial diawali dari rumah sendiri yang
kemudian berkembang dalam lingkup sosial yang lebih luas, seperti sekolah dan
teman sebaya, kesulitan anak berhubungan sosial dengan teman sebaya ini biasanya
disebabkan oleh pola asuh yang penuh dengan unjuk kuasa oleh orang tua. Situasi
kehidupan dalam keluarga berupa pola asuh orang tua yang salah, pada umumnya
masih bisa diperbaiki oleh orang tua itu sendiri, tetapi situasi pergaulan dengan
teman-teman sebaya cenderung sulit diperbaiki (Sunarto, 1998).

Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson
Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolescence (remaja), yang dimulai pada saat
masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence)
ditandai adanya kecenderungan identity – identity confussion. Sebagai persiapan ke
arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang
dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciriciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas
diri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga
tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan.
Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi

oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di
antara kelompok sebaya mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali
mereka sangat patuh terhadap peran yang diberikan kepada masing-masing
anggota.
Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian
dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini
merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang
harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti
mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah
7

masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam
area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya.
Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat
menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak
diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka
sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi
kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang
ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang
lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah
dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang
merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah
dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap
terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila
tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik,
disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya
ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan
identity confussion atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat
dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit
ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya.
Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada
dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah
yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan
identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran.
Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa
atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang
merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang
mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam
kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap
ini, jika antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara
seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup
8

berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala
kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya.

PSIKODINAMIKA
Telah diketahui bahwa sebelum keluarganya mengalami masalah X
merupakan siswa yang baik ia memiliki prestasi belajar yang memuaskan,
berperilaku baik setiap harinya dan selalu bertuturkata yang sopan di sekolahnya.
Kemudian X menunjukkan perubahan sikap yang tadinya nilai-nilai pelajarannya
baik mengalami penurunan, yang sebelumnya X dikenal sebagai siswa yang taat
dengan tata tertib kemudian ia menjadi anak yang sering terlambat sekolah,
berpakaian tidak rapi dan sering berkata kasar. Kemudian X juga mulai menjadi
bahan pembicaraan guru mata pelajaran tertentu karena setiap kali guru
menanyakan atau mengkonfirmasikan mengapa nilai-nilainya turun justru X
menjawab dengan nada yang agak tinggi. Perilaku X ini mengundang perhatian
dari guru mata pelajaran terkait, wali kelas dan juga konselor sekolah untuk saling
berkoordinasi menggali informasi mengenai apa yang melatar belakangi perubahan
sikap subjek.
Berdasarkan konseling yang sudah dilakukan oleh konselor, dapat
disimpulkan bahwa hal yang melatarbelakangi perubahan perilaku X adalah X
merasa kurang mendapatkan perhatian dari kedua orangtuanya. Sehingga di
lingkungan sekolah X berusaha menarik perhatian dari orang lain dengan
menunjukkan perubahan sikap yang lain dari kebiasaannya. Kecenderungan X

9

untuk mencari-cari perhatian di sekolahnya merupakan usaha tidak langsung untuk
memenuhi keinginannya mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya yang
tengah berencana untuk bercerai.
Pada teori perkembangan psikososial milik Erik Erikson dijelaskan bahwa
masa remaja termasik ke dalam tahap perkembangan Identity vs Identity
confussion, bahwa sebagai anak yang yang tengah beranjak tumbuh dewasa subjek
sepertinya mengalami kebingungan identitas mengenai eksistensi dirinya. Subjek
terlihat bingung akan siapa dirinya, akan menjadi anak siapa ia kelak jika nanti
kedua orangtuanya bercerai, terkait dengan orangtuanya yang kala itu tengah
memutuskan untuk bercerai. Pada hal ini subjek sepertinya berusaha memahami hal
itu sehingga mencari cara untuk menjawab perasaan kebingungannya dan
meluapkan kekesalan yang terpendam karena keputusan kedua orangtuanya untuk
bercerai. Hingga kemudian subjek berulah di sekolahnya dimana hal ini merupakan
bentuk protes subjek dari kekesalan subjek akan keputusan orangtuanya dan
refleksi dari bentuk kekesalan karena perasaan kebingungan identitas yang
dirasakannya.
Dalam pembentukan identitas seorang remaja, peran orangtua juga
memegang peran penting dalam masa perkembangannya. Orangtua adalah tokoh
yang penting dalam perkembangan identitas remaja. Ini berkaitan dengan pola asuh
dan bagaimana komunikasi yang dibangun dengan anak. Beberapa penelitian juga
menjelaskan

proses-proses

keluarga

yang

dapat

mebantu

meningkatkan

perkembangan identitas remaja adalah pola asuh dan kelekatan yang terjadi seiring
dengan perkembangan sosio emosi pada remaja, begitu pula faktor yang lain yang
juga mempengaruhi adalah komunikasi. Komunikasi merupakan kunci bagaiamana
keluarga bisa menunjukan kepedulian, perhatian dan hal ini jelas akan bisa
mempengaruhi proses perkembangan sosio emosi remaja. Terlebih apabila seorang
remaja mengalami masalah. Hal inilah yang terjadi pada subjek. Ia merasa bahwa
ia membutuhkan orang yang bisa memperhatikannya, mempedulikannya, yang ini
tidak dapat didapatkan dari orangtuanya karena kesibukan orangtua yang padat.
Tidak terdapat keterangan rinci mengenai perilaku dan kebiasaan subjek di
rumah sebelum dan sesudah masalah keluarga terjadi.

10

Berikut ini adalah diagram Psikodinamika:

Lingkungan
Kebendaan
Tidak

ada

keterangan

mengenai

lingkungan rumah X.
Lingkungan sekolah yang bersekolah di
salah satu SMP negeri RSBI di
Semarang.

INDIVIDU
Faktor Biologis

Lingkungan Manusia

Tidak ada keterangan bahwa X
mengalami gangguan secara
biologis.

Guru bidang studi yang mengobservasi
sikap X yang menjadi ‘berani’ dan nilai
X yang menurun.
Guru BK/konselor yang memperhatikan
bentuk-bentuk pelanggaran tata tertib
yang dilakukan X, seperti: penampilan
yang tidak rapi, sering terlambat.

Faktor Psikologis

INDIVIDU
Kurang mendapat perhatian dari
orang tua X.
Kekecewaan terhadap orang tua
yang mau bercerai.
Perilaku yang
Muncul
yang tadinya X adalah anak yang manis
berubah menjadi bertutur kata kurang
Situasi yang
sopan, berpenampilan tidak rapi Dihadapi
yang tadinya berprestasi baik menjadi
menurun

11

sering terlambat

Pola asuh yang permisif.
pola komunikasi antara orang tua

yang kurang intens.
mencari perhatian orang dan
tuaX melalui
sekolah

RANCANGAN INTERVENSI
Rancangan intervensi yang bisa diberikan adalah, konselor selaku wali di
sekolah yang sudah melihat banyak perubahan perilaku saat berada di sekolah
berinisiatif untuk mencari infomasi apa yang sebenarnya terjadi pada anak ini, hal
yang pertama kali dilakukan mungkin dengan mendekati peer groupnya, melalui
peer groupnya tersebut, konselor bisa bertanya tentang hal apa yang mungkin
pernah diceriatakn oleh anak ini pada teman-teman peernya.
Jika langkah ini sudah dilakukan dan data yang berasal dari teman peer
groupnya dirasa cukup, pendekatan mulai dilakukan pada si anak tersebut dengan
melakukan pendekatan awal mengenai hal yang paling mendasar tentang prestasi
akademiknya yang menurun dan dengan beberapa pelanggaran yang dilakukan.
Setelah hal tersebut diakukan barulah masuk pada inti pembicaraan mengenai apa
yang sedang ia rasakan, apakah ada masalah. Setelah subjek menceritakan akar
permasalahannya, barulah konselor melnagkah ke tahap selanjutnya.
Tahap yang selanjutnya dilakukan oleh konselor adalah memanggil
orangtua sehubungan dengan keadaan anaknya yang ada di sekolah. Pemanggilan
orangtua ini sendiri perlu dilakukan untuk mengklarifikasi juga tentang hal apa
yang diceritakan oleh anak pada konselor. Proses konseling dengan orangtua ini

12

dilakukan tepisah dengan konseling yang dilakukan dengan subjeknya. Setelah
konseling tersebut berakhir barulah konselor mempertemukan orangtua dengan
anak untuk mereka bisa mendiskusikan sendiri dan mencari solusi terbaik agar
anaknya juga bisa merubah sikap dan kembali menjadi pribadi yang seperti semula.

PROGNOSIS
Dalam masalah yang dihadapi oleh subjek ini butuh banyak pertimbangan,
karena yang terjadi bukan semata-mata faktor dari subjek sendiri melainkan ada
faktor orang tua didalamnya yang merupakan faktor pemicu mengapa ia berubah
secara perilaku. Proses konseling yang sudah dilakukan diharapkan tidak berhenti
begitu saja, tapi lebih kepada melihat perubahan pola komunikasi yang lebih baik
kedepannya setelah konseling awal yang dilakukan dengan konselor sekolah.
Kemudian konselor sekolah juga mengevaluasi kegiatan subjek tersebut pasca
konseling dilakukan dan terlihat adanya perubahan perilaku siswa, hal ini
hendaknya perlu dikomunikasikan dengan orangtua dan saling mengontrol perilaku
subjek baik saat di sekolah maupun dirumah. Jika semua proses ini berhasil dengan
lancar, maka jelas akan ada perubahan perilaku secara perlahan-lahan dari subjek
tersebut. Perilaku yang lebih baik akan muncul, anak akan lebih bersemangat lagi
untuk melakukan kegiatan sekolahnya, prestasi akademiknya juga akan bertambah
menjadi lebih baik. Keadaan orangtuanya yang mungkin dahulu dalam ambang
perceraian mungkin saja akan kembali lagi bersama demi melihat anaknya bisa
tumbuh menjadi anak yang lebih baik dan lebih bisa membanggakan.
Dengan demikian, dapat diperkirakan prosentase keberhasilan rancangan
intervensi yang telah dibuat untuk X, yaitu sebesar 80 %.

13

14