Negara Krisis Perlu Pemimpin Tegas

Negara Krisis Perlu Pemimpin Tegas
FAJAR KURNIANTO
Para pendiri negeri ini mungkin sama sekali tidak menyangka negeri yang mereka
perjuangkan mati-matian agar merdeka, berdiri mandiri, maju, dan sejahtera, justru mengalami
krisis yang luar biasa akutnya. Krisis yang parahnya justru terjadi di lembaga negara yang
mestinya menjadi tiang-tiang penyangga negara agar tidak ambruk dan hancur berkeping-keping.
Kejahatan di institusi negara
Krisis dalam kehidupan bernegara terjadi hingga hari ini. Dari kriminalisasi terhadap
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), skandal Bank Century (skandal terbesar di era
reformasi), dugaan rekayasa pada kasus Antasari Azhar, perpecahan di tubuh KPK, hingga yang
belakangan ini begitu ramai diliput di berbagai media: terkuaknya markus di tubuh lembaga
Kepolisian, Ditjen Pajak, dan Peradilan, meski ini sebetulnya bukan cerita baru. Adalah seorang
Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri, yang belakangan tampil begitu berani di publik
menguak markus di tubuh kepolisian.
Berbagai kasus yang terkuak ke permukaan, bisa jadi hanya sebagian dari puncak gunung
es. Yang terkena kasus sebagian besar masih level teri, belum menyentuh pada level kakap.
Seperti ada kegamangan, lebih tepatnya mungkin ketakutan, ketika akan menyentuh kakap yang
begitu dekat dengan lingkar kekuasan di tingkat atas. Malah, seperti ada kesan bahwa para
penjahat kelas kakap itu sengaja ‘dibiarkan’ begitu saja. Jangan hanya bisa menangkap teri,
mestinya kakapnya ditangkap juga.
Jika para petinggi di institusi negara mengelak dan menyatakan tidak pernah

‘membiarkan’ kejahatan yang terjadi di institusinya, tentu mengherankan ada begitu banyak
oknum yang melakukan tindakan kejahatan di dalamnya hingga bertahun-tahun. Jika alasannya
bahwa kejahatan itu dilakukan tanpa sepengetahuannya, ini jelas menunjukkan betapa lemahnya
security system di institusi itu. Kelemahan itu terkait langsung dengan fungsi pengawasan yang
lemah dan longgar sehingga dengan begitu mudahnya tertembus. Atau memang benar bahwa
kejahatan itu dilakukan tidak sendirian, tapi kolektif, sehingga antar penjahat itu saling
melindungi rekannya?

Kejahatan itu parahnya terjadi di tiga institusi penting. Pertama, kepolisian. Institusi yang
seharusnya menjadi pihak pertama yang paling taat hukum, karena mereka adalah penegak
hukum. Kedua, Ditjen Pajak (Departemen Keuangan) yang menjadi garda depan pemasukan
keuangan negara di sektor pajak. Tidak bisa terbayangkan jika di bagian sentral ini uang negara
digerogoti secara besar-besaran sehingga negara akhirnya harus ngutang sana-sini dan gadai
sana-sini demi menutupi kekurangan itu. Ketiga, peradilan. Lembaga yang harusnya menjadi
garda depan terealisasinya keadilan di negeri ini justu menjadi sarang para penjahat yang
menggadaikan bahkan menjual keadilan dengan uang.
Merindukan pemimpin tegas
Tanpa mengurangi penghormatan dan penghargaan terhadap orang-orang bersih di
institusi itu, reformasi sistemik secara menyeluruh merupakan keniscayaan yang tak bisa
ditawar-tawar lagi. Momentum sekarang sangat tepat, ketika secara massif kasus-kasus itu

mendapat porsi perhatian media begitu tinggi. Susno, terlepas dari motif di balik itu semua, layak
menjadi inspirasi bagi yang lainnya yang tahu, tapi masih takut-takut atau segan, untuk menguak
kejahatan di institusinya masing-masing. Tidak kalah pentingnya dari itu adalah ketegasan dari
para pemimpin di institusi-institusi tersebut. Lebih utama lagi, pemimpin tertinggi di negeri ini
jika tidak ingin reputasinya terus tercoreng oleh institusi di bawahnya.
Dalam situasi penuh krisis ini, memang diperlukan kepemimpinan yang tegas. Presiden
Sukarno dan Soeharto, dengan segala kekurangan yang dimiliki, terbukti begitu disegani karena
ketegasannya dalam memimpin. Dekrit presiden 5 Juli 1959 oleh presiden Sukarno yang
membubarkan parlemen mungkin merupakan blunder terbesarnya sepanjang berkuasa. Tetapi ia
telah menunjukkan ketegasannya sebagai seorang pemimpin, meski terlihat diktator, kekuasaan
ingin digenggam seorang diri. Presiden Soeharto, terutama pasca peristiwa Malari 1974
menerapkan kebijakan yang sangat tegas, hingga kelewat represif, atas nama stabilitas negara.
Kebijakan represif yang mampu membuatnya bak kaisar hampir seumur hidup kalau tidak segera
dihentikan.
Presiden Yudhoyono sekarang di periode kedua kekuasaannya. Pada periode pertama
memimpin, berbagai keluhan menyeruak ke permukaan dari banyak kalangan. Mereka
melihatnya sebagai sosok yang terlalu lemah, padahal ia adalah seorang militer. Beruntung,
kelemahan itu sedikit banyak ditutup oleh seorang Jusuf Kalla yang cukup tegas, sehingga

pemerintahan berjalan relatif baik. Di periode ini, ketegasan itu tidak ditemukan pada sosok

Boediono. Kemampuan intelektual seorang Boediono tidak perlu diragukan lagi. Tetapi, untuk
menjadi pelapis presiden Yudhoyono yang terkesan see and wait atas berbagai krisis
kelembagaan yang terjadi, Boediono terlihat gamang. Sikap tegasnya baru muncul setelah
presiden bersikap.
Berbagai krisis yang terjadi menjadi pertaruhan pemerintahan sekarang. Mungkin
pemerintahan ini bisa sampai 2014, seperti yang Yudhoyono yakini dalam lagunya, Ku yakin
sampai di sana. Tetapi, ibarat tentara di medan laga, ia selamat dengan penuh luka dan berdarahdarah. Namun begitu, tidak menutup kemungkinan juga, meski itu bisa jadi sangat kecil,
pemerintahan berakhir di tengah jalan. Ini tergantung pemerintah. Jika berbagai krisis ini berhasil
diselesaikan secara gemilang, menyeluruh, dan hingga akar-akarnya, secara nyata, tidak hanya
jargon di lidah, setidaknya para aktivis mahasiswa dan elemen masyarakat tidak punya tema
yang diusung dalam demonstrasinya. Malah mungkin mengapresiasi dan mendukung penuh.
Negara krisis memang perlu pemimpin tegas.
*Artikel ini dimuat di koran Pelita, Selasa 4 Mei 2010