Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keterlambatan Diagnosis Tuberkulosis Paru Di Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epidemiologi
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992 menyatakan bahwa TB
merupakan penyebab kematian kedua pada golongan penyakit infeksi, sedangkan
pada SKRT tahun 2001 mengalami peningkatan dimana penyakit TB peringkat
pertama sebagai penyebab kematian pada golongan penyakit infeksi. Sedangkan
menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 prevalensi penduduk
Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0.4
persen, tidak berbeda dengan tahun 2007.18 WHO memperkirakan setiap tahunnya
terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat 550.000 kasus TB di Indonesia.
Sedangkan data Departemen Kesehatan pada Tahun 2001 di Indonesia terdapat
50.433 penderita dengan TB BTA positif yang di obati (23% dari perkiraan
penderita dengan TB BTA positif. Tiga perempat dari kasus berusia 15-49 tahun
dan baru 20% yang tercakup dalam program pemberantasan tuberkulosis yang
dilaksanakan pemerintah.19,20
WHO telah menetapkan bahwa target dari temuan kasus TB paru melalui
strategi DOTS yaitu 70% dan angka kesembuhan sebesar 85%. Sementara
pencapaian secara global di dunia kasus temuan TB paru adalah 60% dan angka
kesembuhan mencapai 84%. Hal tersebut berarti pencapaian kedua indikator
tersebut belum mencapai target walaupun untuk angka kesembuhan hampir

mencapai target. Pada tahun 2007, 80% negara-negara Association of Southeast
Asian Nation (ASEAN) telah mencapai target penemuan penderita yang
ditetapkan WHO yaitu 70%. Bahkan beberapa negara telah mencapai 100% yaitu

26
Universitas Sumatera Utara

Myanmar dan Kamboja. Sedangkan Indonesia belum mencapai target penemuan
penderita TB paru yaitu hanya mencapai 61% dan dengan angka kesembuhan
68%.1
WHO report tahun 2011 menyatakan, untuk kasus TB paru di Indonesia pada
tahun 2010 diperoleh angka insidensi semua tipe TB yaitu 450.000 kasus atau 189
per 100.000 penduduk, angka prevalensi semua tipe TB, 690.000 atau 289 per
100.000 penduduk dan angka kematian TB, 64.000 atau 27 per 100.000 penduduk
atau 175 orang per hari. Bila dibandingkan dengan tahun 1990 (base line data)
capaian insidensi semua tipe sebesar 44.9%, prevalensi semua tipe TB sebesar
34.8% dan angka kematian TB sebesar 70.6%. Sedangkan untuk angka
penjaringan suspek TB paru sendiri mengalami penurunan pada tahun 2007 yaitu
sebesar 82 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 2006 dan tahun 2009 terjadi
penurunan sebesar sebesar 7 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 2008.

Pada tahun 2010 angka ini terjadi peningkatan sebesar 57 per 100.000 penduduk
dibandingkan pada tahun 2009. Berdasarkan data sampai dengan triwulan 2 tahun
2011, angka penjaringan suspek sebesar 550 per 100.000 penduduk. Angka
penjaringan suspek per provinsi pada tahun 2011 menunjukkan capaian 330
sampai dengan 2.018 per 100.000 penduduk, yaitu tertinggi Sulawesi Utara dan
terendah Kepulauan Riau. Sedangkan untuk wilayah Sumatera Utara sendiri
menempati urutan ke-8 dengan angka pencapaian 1123 per 100.000 penduduk
pada tahun 2011. Untuk angka persentase pasien BTA positif yang ditemukan di
antara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya dimana angka ini menggambarkan
mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan
kriteria suspek. Dengan angka target adalah 5-15 %, untuk Sumatera Utara sendiri

27
Universitas Sumatera Utara

masih menduduki peringkat 12 yaitu sebesar 10.8% pada tahun 2008 hingga
tahun 2010. Kemungkinan hal ini disebabkan antara lain oleh karena; penjaringan
suspek yang terlalu longgar, banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek,
atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).17
Keterlambatan diagnosis yang diikuti dengan keterlambatan pengobatan

TB paru sangatlah mungkin sebagai penyebab belum tercapainya target kerja
penanggulangan TB paru di Indonesia. Yang pada akhirnya akan berisiko
meningkatkan transmisi penularan infeksi yang luas dan berkepanjangan,
menyebabkan penyakit lebih berat, komplikasi lebih banyak, meningkatkan resiko
kematian serta berpotensi memperburuk keadaan ekonomi pasien maupun
keluarga. Keterlambatan mendiagnosis TB paru sudah dilaporkan baik di negara
maju maupun negara sedang berkembang. Keterlambatan dalam diagnosis dan
pengobatan TB paru dapat berasal dari pasien atau dari sistem pelayanan
kesehatan, terjadi mulai pada saat pasien mulai mengeluh adanya gejala yang
berhubungan dengan TB paru sampai pengobatan anti tuberkulosis diberikan.
Keterlambatan ini dapat dibagi atas dua kategori yaitu keterlambatan pasien dan
keterlambatan oleh sarana kesehatan.21
2.2. Defenisi TB
Tuberkulosis adalah penyakit

infeksi Mycobacterium tuberkulosis

complex. Penyakit ini dapat menular langsung dari penderita dan terutama
menyerang paru disebut juga (TB) paru. Bila Mycobacterium tuberculosis
menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus, ginjal)

maka akan disebut tuberkulosis ekstra paru. Mycobacterium tuberculosis sendiri
adalah bakteri berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0.3-0.6

28
Universitas Sumatera Utara

mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh
karena itu bakteri ini disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Pada dasarnya
kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan
tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa tahun.4,23
Cara penularan tuberkulosis paru adalah melalui percikan dahak (droplet)
di mana sumber penularannya adalah penderita tuberkulosis paru dengan BTA
positif, pada waktu penderita tuberkulosis paru batuk atau bersin. Droplet yang
mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi kalau

droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk
ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar
dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran
limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya. Daya
penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya
maka makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif
maka penderita tersebut dianggap tidak menular.23
Risiko penularan setiap tahun Annual Risk of Tuberculosis Infection
(ARTI) di Indonesia cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan

29
Universitas Sumatera Utara

ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, 10 orang akan
terinfeksi, kemudian sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi
penderita tuberkulosis paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan
menjadi penderita tuberkulosis. Dari keterangan tersebut dapat diperkirakan
bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka di antara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 100 penderita setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif.4

Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan
tubuh yang rendah, diantaranya infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) /
Acquaired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan malnutrisi (gizi buruk). HIV
merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi kuman TB menjadi
sakit tuberkulosis paru. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta
(opportunistic), seperti tuberkulosis paru maka yang bersangkutan akan menjadi
sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi
HIV meningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat pula,
dengan demikian penularan penyakit tuberkulosis paru di masyarakat akan
meningkat pula.24

30
Universitas Sumatera Utara

Faktor risiko kejadian penyakit tuberkulosis paru, secara ringkas
digambarkan pada gambar berikut
Transmisi


* Jumlah kasus TB BTA (+)
* Faktor lingkungan :
- Ventilasi
- Kepadatan ruang
* Faktor prilaku

Risiko menjadi TBC
bila dengan HIV
* 5 – 10% per tahun
* > 305 life time

* Diagnosis tepat dan
tepat
*Pengobatan
tepat
dan lengkap
* Kondisi kesehatan
mendukung

HIV (+)


Sembuh

Terpajan

Infeksi

TB Paru
10%

* Konsetrasi kuman
* Lama kontak

* Malnutrisi
*
Penyakit
DM,
immune-supresan

Mati


* Keterlambatan
diagnosis
dan
pengobatan
* Tata laksana tak
memadai
* Kondisi kesehatan

Gambar 1. Faktor risiko kejadian TB Paru. (Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis
DEPKES RI 2006)
Riwayat alamiah penderita tuberkulosis paru yang tidak diobati setelah 5 tahun
penderita akan:
a. 50% akan meninggal
b. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi

31
Universitas Sumatera Utara

c. 25% akan menjadi kasus kronis yang tetap menular.24


2.3 Diagnosis23
a. Gambaran Klinis
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
1)

Gejala klinis
Gejala klinis TB dapt dibagi menjadi gejala lokal dan gejala sistemik.
Bila orang yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah gejala
respiratori yang meliputi:
a) Batuk ≥ 2 minggu
b) Batuk darah
c) Sesak napas
d) Nyeri dada
Gejala respiratori ini bervariasi dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat
dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk.

Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus dan selanjutnya
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

2)

Gejala sistemik

32
Universitas Sumatera Utara



Demam



Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan
berat badan menurun.

3)

Gejala TB ekstraparu

Gejala ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat misalnya pada
limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Pada
pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi rongga
yang pleuranya terdapat cairan.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainana struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak
(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak
di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan
S2) serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat
ditemukan antara lain napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Pada pleuritis
TB, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga
pluera. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi suara napas
yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada
limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersaring di daerah
leher (kemungkinan metastasis tumor) kadang-kadang di daerah ketiak,
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.

33
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Apeks paru lobus superior dan apeks lobus inferior. (PDPI
2011)

b. Pemeriksaan Bakteriologi.23
1) Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liqour cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (Broncholveolar Lavage/BAL), urin, feses dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
2) Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak tiga kali minimal dua kali dengan satu kali
dahak pagi hari.
Bahan pemeriksaan hasil Biopsi Jarum Halus (BJH) dapat dibuat
sediaan apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan kultur dan

34
Universitas Sumatera Utara

uji kepekaan dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3 – 5 ml sebelum dikirim
ke laboratorium mikrobiologi dan patologi anatomi.
3) Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologi dari spesismen dahak dan bahan lain (cairan
pluera, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambang, BAL,
urin, feses dan jaringan biopsi termasuk BJH dapat dilakukan dengan
cara:
a) Mikroskopis
b) Biakan
Pemeriksaan mikroskopis:
a) mikroskopis biasa : pewarnaan Zeihl – Neilsen
b) mikroskopis flourensens : pewarnaan auramin – rhodamin
Menurut rekomendasi WHO, interprestasi pemeriksaan mikroskopis
dibaca dengan skala International Union Against Tubercolosis and
Lung Deaseas (IUATLD)
a) Skala IUATLD
(1) tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut
negatif.
(2) Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapang pandang ditulis
jumlah kuman yang ditemukan.
(3) Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +
(1 +)
(4) Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut + + (2
+)

35
Universitas Sumatera Utara

(5) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (3
+)
b) Pemeriksaan kuman biakan
Pemeriksaan indentifikasi Mycobacterium tubercolosis dengan
cara:
(1) Biakan
(a) Egg base media: Lowenstein-Jensen, Ogawan Kudoh
(b) Agar base media : Middle Brook
(c) Microbacteria growth indicator tube test (MGITT)
(d) BACTEC
(2) Uji Molekular
(a) Polymerase chain reaction (PCR) – Based Methods of
IS6110 Genotyping
(b) Spoligotyping
(c) Restriction Fragment Length Polymorphyism (RFLP)
(d) MIRU/VNTR Analysis
(e) Genomic Deletion Analysis
Identifikasi M. Tubercolosis dan uji kepekaan:
(a) Hain test (uji kepekaan untuk R dan H)
(b) Molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R)
(c) Gene X-pert (uji kepekaan untuk Rifampisin)
c. Pemeriksaan Radiologi.16
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi
yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-Scan. Pada pemeriksan foto

36
Universitas Sumatera Utara

toraks,

TB

dapat

memberi

gambaran

bermacam-macam

bentuk

(multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
adalah
1) Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah
2) Kavitas, terutama lebih dari satu dikeliling oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
3) Bayangan bercak milier.
4) Efusi pleura unilateral (umumnya) dan bilateral (jarang)
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif
1) Fibrotik
2) Kalsifikasi
3) Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed lung)
1) Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi
luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/multikavitas dan fibrosis
parenkim paru. Sulit menilai akvivitas lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologi tersebut.

37
Universitas Sumatera Utara

2) Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan akivitas
proses penyakit.
Gejala klinis

Dahak BTA

TB paru BTA
(-)

TB paru BTA
(+)

Foto lama ada

Foto toraks

Penyakit paru
lain

Meragukan

Foto lama
tidak ada

Lakukan pemeriksaan penunjang
lainnya sesuai kebutuhan dan fasilitas
( induksi sputum, bronkoskopi, biopsi
dll)
Evaluasi foto

Dahak BTA

Dahak BTA

Dahak BTA

Dahak BTA

Dahak BTA

Dahak BTA

Dahak BTA

Dahak BTA

Gambar. 3. Alur diagnosis TB paru. (PDPI 2011)
Catatan : Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan
medis spesialistik, alur tersebut dapat digunakan secara lebih fleksibel.
d. Pemeriksaan Penunjang Lain.23
1) Analisis Cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan plueura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interprestasi hasil analisis yang mendukung diagnosis TB
adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat serta analisis cairan
pluera terdapat sel limposit dominan dan glukosa rendah.
2) Pemeriksaan Histopatologi Jaringan

38
Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan

histopatologi

dilakukan

membantu

menegakkan

diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan
histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biospi atau
otopsi yaitu:
a) Aliran aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening
(KGB).
b) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum Abram,
Cope dan Veen Silverman).
c) Biopsi jaringan paru (transbronchial lung biospi (TBLB) dengan
bronkoskopi, transthoracal needle aspiration (TTNA), biopsi paru
terbuka.
d) Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai TB
e) Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan

yang kedua difiksasi

pemeriksaan histologi.
3) Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator spesifik
untuk TB. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat
digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering
meningkat pada proses aktif tetapi laju endap yang normal tidak
menyingkirkan TB Limposit juga kurang spesifik.

39
Universitas Sumatera Utara

2.4. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis paru
memerlukan suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi
dan tipe penderita. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan
definisi kasus yaitu:
a.
b.

Organ tubuh yang sakit; paru atau ekstra paru
Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung; BTA
positif atau BTA negatif.

c.

Riwayat pengobatan sebelumnya; baru atau sudah pernah diobati

d.

Status HIV pasien

Tujuan dari pada klasifikasi penyakit dan tipe penderita adalah untuk
menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan
sebelum pengobatan dimulai.23
2.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola
dengan menggunakan strategi DOTS. Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah
menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara
menyembuhkan pasien serta mencegah resistensi OAT. Penatalaksanaan penyakit
TB merupakan bagian dari surveilans penyakit, tidak sekedar memastikan pasien
menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapi juga berkaitan dengan
pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan,
pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.23

40
Universitas Sumatera Utara

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: 23
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
2. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
3. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
4. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan
lanjutan.
Obat OAT yang dipakai adalah: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid
(Z), Etambutol (E), Streptomisin (S).23
Pengobatan TB standar dibagi menjadi:
a. Pasien Baru
Paduan obat yang dianjurkan 2HRZE/4HR dengan pemberian dosis setiap
hari. Bila menggunakan OAT program maka pemberian dosis setiap hari
pada fase intensif dilanjutkan dengan pemberian dosis tiga kali seminggu
dengan DOT 2HRZE/4H3R3
b. Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama, pengobatan
sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Selama
menunggu

hasil

uji

kepekaan

diberikan

paduan

obat

2HRZES/HRZE/5HRE
c. Pasien multi-drug resistant (MDR)
Catatan:

41
Universitas Sumatera Utara

TB paru kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
sedangkan kasus TB-MDR dirujuk ke rujukan TB-MDR.

TB paru dan ekstra paru diobati dengan regimen pengobatan yang sama dan lama
pengobatan berbeda yaitu:
1) Meningitis TB lama pengobatan 9 – 12 bulan karena beresiko
kecatatan dan mortalitas. Etambutol sebaiknya digantikan dengan
streptomisin
2) TB tulang, lama pengobatan 9 bulan karena sulit menilai respon
pengobatan.
3) Kortikosteriod diberikan pada meningits TB dan perikarditis TB.
4) Limfadenitis TB lama pengobatan minimal 9 bulan.
Obat

Dosis
Dosis yang dianjurkan
Dosis
Dosis (mg) / berat badan (kg)
(Mg/Kg
maks/hari
/ hari
(mg)
BB/
Harian
Harian
60
Hari
(mg/
(mg/
kgBB/hari kgBB/hari
R
8-12
10
10
600
300
450
600
H
4-6
5
10
300
300
300
300
Z
20-30
25
35
750
1000
1500
E
15-20
15
30
750
1000
1500
S*
15-18
15
15
1000
Sesuai
750
1000
BB
*pasien berusia lebih dari 60 tahun tidak bisa mendapatkan dosis lebih dari 500
mg/ hari
Tabel 1. Jenis dan dosis OAT.23
2.6 Patogenesis TB Paru
a. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang yang disebut sarang
42
Universitas Sumatera Utara

primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana
saja di dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer
akan tampak peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran getah bening di hilus
(limfadenitis regional).

Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer mengalami salah satu nasib sebagai berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution add
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontuinatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya
bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang
bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru yang bersangkutan
maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen.

43
Universitas Sumatera Utara

Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan
virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara
spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy.
Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh
lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.
Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan sembuh
meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak
setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau meninggal.
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.
b. Tuberkulosis post primer
Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
post primer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis
bentuk dewasa, localized tuberkulosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah
kesehatan

masyarakat,

karena

dapat

menjadi

sumber

penularan.

Tuberkulosis post primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang
dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni
ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresobsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

44
Universitas Sumatera Utara

2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi
pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang
tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kavitas sklerotik). Kavitas tersebut akan menjadi meluas
kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni
ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas.
Kavitas bisa pula memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan
disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,
tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kavitas
lagi. Ataupun kavitas dapat menjadi bersih dan menyembuh yang
disebut open healed cavity, atau kavitas menyembuh dengan
membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir
sebagai kavitas yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan
seperti bintang (stellate shaped).25
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
1. Hemoptisis berat (ekspektorasi darah dari saluran napas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau
tersumbatnya jalan napas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial

45
Universitas Sumatera Utara

3. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4. Pneumotoraks (Adanya udara di dalam rongga pleura) spontan, kolaps
spontan karena kerusakan jaringan.
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian,
ginjal, dan sebagainya
6. Insufisiensi kardio pulmoner ( Cardio Pulmonary Insufficiency).8
2.7. Keterlambatan Diagnosis TB Paru
Salah satu kegiatan dalam program pemberantasan penyakit TB paru
adalah upaya penemuan penderita TB paru secara dini, antara lain meliputi:
pencaarian tersangka, peranan kader dan keluarga, kesediaan penderita untuk
diperiksa serta pemeriksaan mikroskopis merupakan kegiatan awal pemberantasan
yang perlu dilakukan secara cepat dan cermat. Penemuan penderita (case finding)
masih merupakan masalah penanggulangan TB paru di Indonesia. Angka cakupan
penemuan kasus (case detection rate) TB paru di Indonesia masih dibawah target
yaitu pada tahun 2005 68% dan hanya mengalami sedikit peningkatan pada
tahun 2007 yaitu 69.1% dari 70% yang ditargetkan.2 Keadaan ini disebabkan
terlambatnya penemuan kasus secara dini sehingga terjadi keterlambatan (delay)
dalam diagnosis dan pengobatan TB.
Menurut penelitian yang dilakukan WHO pada tahun

2006 tentang

keterlambatan diagnosis dan pengobatan tuberkulosis paru di beberapa negara
disebut kan bahwa keterlambatan total (total delay) adalah jarak waktu dari
timbulnya gejala klinis

TB paru sampai waktu dimana pasien diberikan

pengobatan TB (OAT). Total delay tersebut merupakan hasil dari jarak waktu

46
Universitas Sumatera Utara

antara

keterlambatan diagnostik (diagnostic’s delay) dan keterlambatan

pengobatan (treatment’s delay).8
a. Keterlambatan diagnosis (diagnostic’s delay): jarak waktu antara
timbulnya gejala klinis TB paru dengan waktu dimana pasien
dinyatakan atau didiagnosis TB paru.
b. Keterlambatan pengobatan (treatment’s delay): jarak waktu ketika
pasien dinyatakan menderita TB paru atau didiagnosis TB paru dengan
waktu dimana pasien mendapatkan pengobatan OAT.
Keterlambatan total juga merupakan hasil dari keterlambatan dari pasien sendiri
(patient’s delay) dan keterlambatan sistem pelayanan kesehatan (health care
system’s delay).

a. Keterlambatan pasien (patient’s delay): jarak waktu antara timbulnya
gejala klinis TB paru dengan waktu dimana pasien mendatangi
pelayanan kesehatan untuk mengobati gejala klinisnya tersebut.
b. Keterlambatan sistem pelayanan kesehatan (health care system’s
delay): jarak waktu antara tanggal dimana pasien mendatangi
pelayanan kesehatan dengan waktu dimana pasien mendapatkan OAT.8
Keterlambatan diagnosis

Keterlambatan

Pengobatan sebelumnya

Tanggal mendapat
OAT

Gejala awal

Tanggal didiagnosis

pengobatan

47
Universitas Sumatera Utara

Keterlambatan pasien

Keterlambatan sistem
pelayanan kesehatan

Gambar. 4. Jarak waktu keterlambatan (WHO 2006)
Tidak ada kesepakatan para ahli tentang batas waktu untuk keterlambatan
pasien dan keterlambatan dokter. Dalam berbagai penelitian, titik potong batas
waktu keterlambatan ditentukan dengan dua cara. Cara pertama berdasarkan
kesepakatan para ahli dengan suatu periode yang masuk akal dengan berbagai
pertimbangan, seperti dalam penelitian Wandwalo dan kawan-kawan di Mwanza
(Tanzania).

Berdasarkan

pengetahuan

medis

beberapa

dokter

dan

mempertimbangkan tingkat sosio-ekonomi pasien, keterlambatan pasien dihitung
bila periode mulai gejala awal sampai kunjungan pertama ke sarana kesehatan
lebih dari 30 hari, dan keterlambatan dokter dihitung bila periode kunjungan
pertama ke sarana kesehatan sampai diputuskan dapat OAT lebih dari 10 hari.26
Cara kedua yaitu menggunakan nilai median keterlambatan yang didapat dalam
penelitian tersebut, seperti dalam penelitian Chang dan kawan-kawan.27
Penelitian

yang

dilakukan

oleh

Toseef

diperoleh

hasil

bahwa

keterlambatan diagnosis adalah rata-rata 90 hari, keterlambatan pasien adalah
rata-rata 9 hari, keterlambatan pengobatan kurang dari 1 hari serta keterlambatan
sistem pelayanan kesehatan adalah 84 hari, dengan keterlambatan total adalah
rata-rata 46 hari.28 Dari penelitian yang dilakukan di Jogjakarta oleh Willem dan
kawan-kawan diperoleh keterlambatan pasien adalah rata-rata 14 hari.29
Sampai saat ini belum ada ketetapan standar waktu untuk keterlambatan
(delay) baik secara nasional maupun internasional. Namun standar keterlambatan
penetapan waktu delay ini tidak begitu berbeda antara negara satu dengan negara

48
Universitas Sumatera Utara

lain. Sedang berdasarkan pemantauan WHO terhadap penelitian yang dilakukan di
wilayah timur Mediterania diperoleh rata-rata keterlambatan pasien paling cepat
di Pakistan yaitu 10 hari dan yang paling lama adalah di Somalia yaitu 69 hari.
Keterlambatan pelayanan kesehatan paling cepat 5 hari yaitu di Irak dan terlama
75 hari di Iran. Untuk keterlambatan diagnosis adalah 44 hari di Irak dan terlama
96 hari di pakistan. Keterlambatan pengobatan tercepat di Yaman dan Mesir yaitu
1 hari dan terlama di Pakistan dan Somalia yaitu 4 hari. Sedangkan keterlambatan
total paling lama di Pakistan yaitu 100 hari dan tercepat di Irak yaitu 46 hari.8 Di
Auckland, New Zealand waktu dari mulai gejala sampai pengobatan dimulai
adalah 12 minggu dimana keterlambatan pasien 1 minggu dan keterlambatan
pelayanan kesehatan 12 minggu.30 Di Ethiopia, Demissie M. dan kawan-kawan.
menyatakan interval antara timbulnya gejala-gejala utama dan kunjungan pertama
ke fasilitas kesehatan adalah tidak lebih dari satu bulan. Sedang untuk health
service delay (doctor’s delay) adalah lebih dari 15 (lima belas) hari.31
Sedangkan di Indonesia sendiri penelitan mengenai keterlambatan pernah
dilakukan di Padang oleh Sabrina E dan kawan-kawan memperlihatkan median
keterlambatan pasien adalah 7 minggu. Untuk keterlambatan dokter didapati 4,2
minggu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rama Vivera di Sumatera Utara
didapatkan

bahwa

keterlambatan

pasien

adalah

4.67

bulan

sedangkan

keterlambatan pelayanan kesehatan adalah 3.78 bulan dengan keterlambatan total
adalah 7.68 bulan.21,22
Pada penelitian ini keterlambatan pasien (patient’s delay), didefinisikan
bila periode antara pasien pertama merasakan keluhan yang relevan dengan TB
sampai datang ke sarana kesehatan yang pertama dikunjungi lebih dari 3 (tiga)

49
Universitas Sumatera Utara

minggu. Penetapan ini didasari oleh penelitian sebelumnya diberbagai negara
yang tidak begitu jauh berbeda antara negara yang satu dengan negara lain,
khususnya di Indonesia sendiri. Keterlambatan pelayanan kesehatan (health care
system’s delay), yaitu bila periode pertama pasien ke sarana kesehatan sampai
diputuskan dapat OAT lebih dari 7 hari. Kriteria ini ditetapkan oleh karena setiap
pasien yang datang ke Bagian Paru Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik
Medan, maka hari pertama sudah dilakukan pemeriksaan klinis, foto toraks, dan
pemeriksaan BTA sputum. Pemeriksaan BTA selesai pada hari ketiga sejak
kedatangan pertama pasien. Sputum pertama pada saat pasien datang dan pada
hari kedua sputum kedua sambil membawa sputum pagi harinya. Sehingga dalam
3 hari atau paling lama 4 hari diagnosis dan pengobatan sudah diberikan. Namun
jika pasien datang ke klinik paru pada saat satu hari sebelum hari libur maka hasil
pemeriksaan BTA sputum akan selesai lebih lama sekitar 7 hari.
2.7.1 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan
Beberapa faktor telah diidentifikasi dapat mempengaruhi keterlambatan
dalam diagnosis dan memulai pengobatan TB paru, termasuk persepsi pasien
terhadap

penyakit, tingkat sosial ekonomi, stigma, tingkat kesadaran tentang

penyakit TB paru, tingkat keparahan penyakit, jarak antara tempat tinggal pasien
dan pelayanan kesehatan, pengobatan sebelumnya yang tidak jelas seperti pasien
berobat ke mantri, bidan bahkan dukun. Keterlambatan juga dapat berasal dari
dokter, ketersediaan fasilitas kesehatan seperti laboratorium, foto toraks ataupun
faktor ketersediaan obat.8
Pada penelitian Tauseef pada tahun 2011 di Pakistan menemukan bahwa
keterlambatan oleh pasien adalah kompleks dan multifaktorial seperti: 28

50
Universitas Sumatera Utara

1. Usia dimana pada umumnya TB paru terjadi pada usia produktif yaitu 1535 tahun.
2. Jenis kelamin juga cukup berpengaruh, dimana pria lebih sering berada
diluar rumah dan lebih banyak berinteraksi dengan orang lain yang
mungkin saja merupakan pasien TB paru BTA positif.
3. Pengetahuan tentang mengenai gejala TB yang tidak adekuat, dimana
mereka menduga batuk yang mereka derita bukan oleh karena TB, dan
pasien baru mencari pertolongan pengobatan ketika merasakan batuk
semakin parah atau produktif.
4. Tingkat pendidikan berdasarkan hasil penelitian didapati sebagian besar
pasien TB paru ada orang yang tidak mendapatkan pendidikan yang cukup
bahkan buta huruf, hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap upaya
pencarian nformasi mengenai gejala penyakit yang dialaminya.
5. Pekerjaan, ditemukan bahwa lebih banyak pasien TB paru yang memiliki
pekerjaan daripada yang pengangguran
6. Pengetahuan pasien mengenai penyakit TB paru, hal ini sangatlah
berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis, dimana pasien yang
mengetahui mengenai penyakit TB paru baik gejala klinis dan penanganan
nya maka ia akan segera mendatangi tempat pengobatan yang tepat,
sehingga diagnosis dapat dilakukan secara cepat dan tepat
7. Stigma terhadap TB, dimana pasien takut dan malu menderita jika orang
mengetahui bahwa ia mengidap penyakit TB paru karena mereka takut
dikucilkan dari masyarakat, sehingga pasien TB paru cenderung menutupnutupi penyakitnya

51
Universitas Sumatera Utara

8. Gejala klinis. Berdasarkan hasil penelitian gejala yang paling sering
muncul pada pasien TB paru adalah batuk, demam dan penurunan berat
badan sehingga pasien cenderung mengganggap hal tersebut adalah
keadaan yang biasa. Yang pada akhirnya pasien baru mendatangi
pelayanan kesehatan ketika gejala dirasakan pasien sudah berat.
9. Riwayat pengobatan sebelumnya. Pada umumnya pasien akan berusaha
mengobati sendiri gejala yang dirasakannya, berobat ke mantri,
pengobatan tradisional bahkan ke dukun. Pasien lebih suka ke praktek
dokter umum daripada pusat pelayanan yang dikelola oleh pemerintah
karena mudah dijangkau, waktu menunggu singkat, waktu kerja lebih
panjang dan petugas kesehatan yang lebih ramah serta lebih pengertian.
Pasien juga cenderung tidak nyaman atau takut akan mengenai diagnosis
apa yang akan diterimanya jika ia berobat ke dokter spesialis.
10. Jarak ke tempat pengobatan yang kurang terjangkau dimana pusat
pelayanan kesehatan waktu kerjanya terlalu singkat dan jaraknya yang
jauh dari tempat tinggal pasien. Sehingga pasien tidak dapat langsung
mendatangi pelayanan kesehatan yang tepat ketika gejala mereka rasakan.
11. Sumber informasi mengenai penyakit TB paru yang kurang.
12. Beban biaya seperti: hilangnya waktu kerja, ongkos yang mahal, biaya
obat-obatan, biaya sosial oleh karena perceraian dan anak-anak yang
terpaksa berhenti sekolah.
Sedang keterlambatan oleh dokter umumnya dilakukan oleh dokter yang
berpraktek umum. Yang disebabkan oleh karena:

52
Universitas Sumatera Utara

1. Kurangnya pengetahuan / kewaspadaan terhadap rekomendasi pengobatan
yang terbaik
2. Kurang terlibat dalam program nasional pemberantasan TB
Penelitian yang dilakukan oleh Sabrina E dan kawan-kawan di Rumah Sakit
Dr. M. Djamil di Padang didapati bahwa keterlambatan lebih lama pada
perempuan dengan umur ≤ 24 tahun, tidak bekerja dan dengan tingkat pendidikan
yang rendah.21 Sebelumnya penelitian yang dilakukan oleh Rama Vivera di
Rumah Sakit Umum H. Adam Malik Medan menyatakan bahwa kelompok yang
terlama mendapatkan pengobatan adalah kelompok usia 36 sampai 45 tahun,
lokasi tempat tinggal yang di luar Medan, jenis kelamin laki-laki, dengan
pendidikan rendah dan tidak bekerja.22 Berdasarkan penelitian Liam CK di
Malaysia dikatakan bahwa masyarakat harus mendapatkan pengetahuan yang baik
tentang gejala-gejala TB dan pentingnya segera konsultasi bila gejala muncul.
Dikatakan juga dokter umum yang berpraktek swasta harus lebih waspada
terhadap kemungkinan diagnosis TB dan segera merujuk pasien ke rumah sakit
pemerintah.31 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hooi LN di Chest Clinic
Penang Hospital, didapati keterlambatan (delay) pada jenis kelamin laki-laki lebih
lama jika dibandingkan pada perempuan. Keterlambatan juga lebih lama pada
pasien dengan pendidikan dibawah Sekolah Menengah Pertama, dengan riwayat
penyalahgunaan obat-obatan dan pasien yang berobat ke dokter umum yang
berpraktek swasta.33

Namun terdapat sedikit perbedaan jika melihat hasil

penelitian Paynter S. di North Middlesex University Hospital London, dimana
diperoleh faktor jenis kelamin dan gejala TB tidak berbeda secara bermakna.
Didapati pula keterlambatan pasien lebih lama pada umur lebih dari 33 tahun,

53
Universitas Sumatera Utara

pasien yang lahir pada negara dengan prevalensi TB yang rendah, kontak pertama
dengan dokter umum dan sputum negatif. Keterlambatan dokter lebih lama pada
pasien yang lahir dengan prevalensi TB yang rendah dan kontak pertama dengan
dokter umum, sputum negatif. Sedang umur, jenis kelamin dan gejala klasik TB
tidak bermakna.34 Penelitian di Bereau of Tuberculosis New York oleh Sherman
LE dan kawan-kawan didapati bahwa patient’s delay di pengaruhi oleh usia yang
tua, dan ternyata faktor bahasa juga berpengaruh terhadap keterlambatan
diagnosis dimana keterlambatan terjadi pada penggunaan bahasa selain bahasa
Inggris. Sedang yang mempunyai hubungan bermakna dengan doctor’s delay
adalah status gelandangan, tidak adanya foto toraks pada kunjungan pertama dan
BTA negatif.35 Lienhart C dan kawan-kawan meneliti di Rural and Urban Health
Centres di Gambia menilai bahwa keterlambatan lebih panjang oleh karena faktor
usia tua, daerah tempat tinggal yang di daerah pedesaan, status pendidikan yaitu
sekolah dan tidak sekolah. Sedang pada batuk darah keterlambatannya lebih
pendek dan namun faktor jenis kelamin tidak memberikan berpengaruh terhadap
keterlambatan.36 Pada penelitian yang dilakukan oleh Godfrey dan kawan-kawan,
di Primary Health Centres Lusaca Zambia menilai keterlambatan berhubungan
dengan usia tua, penyakit dasar yang berat, persepsi pasien yang jelek terhadap
pelayanan kesehatan, jauhnya jarak dari rumah ke klinik kesehatan pemerintah
dan riwayat pasien yang lebih dulu mencari pengobatan ke klinik swasta. Dalam
hal ini delay tidak berhubungan dengan pengetahuan tentang TB, pendidikan,
tingkat sosial ekonomi, jenis kelamin dan stigma TB yang berhubungan dengan
HIV.37 Dondu Guneylioglu dan kawan-kawan, pada penelitian di Tertiary Care
Hospital di Istanbul, Turki meneliti bahwa umur, tingkat pendidikan, daerah

54
Universitas Sumatera Utara

tempat tinggal dan status ekonomi tidak memiliki efek yang signifikan terhadap
keterlambatan dokter, sedang jenis kelamin laki-laki dan berobat ke dokter
spesialis memiliki keterlambatan yang lebih pendek secara bermakna. Pada
patient’s delay interval lebih pendek secara bermakna pada status ekonomi yang
lebih baik, tetapi jenis kelamin, umur, daerah tempat tinggal, tingkat pendidikan
tidak memiliki efek yang signifikan terhadap keterlambatan pasien.38 Pada
penelitian

tersebut

keterlambatan

dokter

lebih

lama

secara

signifikan

dibandingkan keterlambatan pasien. Dari penelitian yang dilakukan Odusanya dan
kawan-kawan menilai bahwa keterlambatan pasien bisa saja disebabkan karena
rendahnya pengetahuan dan kewaspadaan pasien tentang TB serta kurangnya
informasi dari pemerintah atau pelayanan kesehatan tentang pengobatan gratis
TB. Namun faktor sosiodemografi seperti umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, tempat pertama konsultasi dan juga hasil sputum tidak memberikan
hubungan yang signifikan. Penelitian ini juga didapati faktor keterlambatan
terutama disebabkan oleh pasien karena dokter praktek umum swasta di Lagos
segera merujuk pasien ke klinik paru, berhubung mahalnya biaya berobat di
rumah sakit swasta.39 Penelitian yang dilakukan Demissie M dan kawan-kawan
meneliti bahwa keterlambatan pasien dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tidak
baiknya pengetahuan pasien tentang TB serta jarak rumah yang jauh dari pusat
pelayanan kesehatan.31 Pronyk PM, menilai bahwa keterlambatan diagnosis lebih
lama pada wanita dibandingkan pria, jarak rumah yang jauh dari pelayanan
kesehatan, stigma pasien dimana kepercayaan bahwa TB disebabkan oleh gunaguna. Namun diagnosis lebih cepat ditegakkan pada pasien dengan jumlah

55
Universitas Sumatera Utara

keluarga yang besar, riwayat peminum alkohol, pekerja migran. Pada penelitian
ini didapati keterlambatan pasien lebih bermakna daripada keterlambatan dokter.40
2.7.2. Dampak Keterlambatan
Dampak dari keterlambatan diagnosis dan pengobatan TB adalah sebagai berikut:
a. Penyebaran infeksi dan penyakit pada kontak serumah
b. Bertambah beratnya penyakit
c. Bertambah lamanya masa pengobatan yang disebabkan oleh kerusakan
jaringan dan adanya jaringan parut pada paru
d. Meningkatnya angka kematian.30
Keterlambatan diagnosis TB akhirnya akan menyebabkan penularan di
dalam rumah tangga akan semakin besar, terutama terhadap anak-anak yang
sangat rentan untuk tertular. Komplikasi TB pada anak juga berat seperti
meningitis TB. Seorang pasien dengan sputum BTA positif akan menginfeksi
lebih dari 10 kontak pertahunnya.38 Mengakibatkan banyak orang tertular dan
mengidap penyakit TB paru, sehingga TB akan semakin sulit ditanggulangi.
Produktivitas pasien akan sangat menurun, pasien akan mangkir bekerja yang
berdampak terhadap pendapatan keluarga dan ekonomi nasional. Dampak
ekonomi tersebut mengakibatkan munculnya Kemiskinan, anak-anak akan
terlantar bahkan sampai putus sekolah oleh karena ketiadaan biaya. Keterlambatan
juga membutuhkan biaya pengobatan yang lebih besar, karena proses penyakit
yang sudah lanjut disertai kerusakan jaringan paru bahkan sampai komplikasi
penyakit ke organ lain. Puncaknya keterlambatan dignosis dan pengobatan TB
akan memberikan dampak peningkatan jumlah kematian akibat TB.30

56
Universitas Sumatera Utara

2.8. Kerangka Konsep Penelitian
Umur
Jenis kelamin
Tingkat pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan
Daerah tempat tinggal
Gejala awal
Pengobatan sebelumnya

Keterlambatan
pasien

stigma
Keterlambatan
diagnosis

Jarak ketempat pengobatan
Pengetahuan tentang TB

Tindakan awal yankes

Keterlambatan
pelayanan
kesehatan

Gambar 5. Kerangka Konsep
Keterangan gambar:
: variabel bebas penentu keterlambatan pasien
: variabel bebas penentu keterlambatan pelayanan kesehatan
: variabel bebas penentu keterlambatan diagnosa

: variabel

terikat

57
Universitas Sumatera Utara