Eksistensi Kepustakawanan Di Indonesia Menghadapi Perubahan Paradigma Informasi
EKSISTENSI KEPUSTAKAWANAN DI INDONESIA
MENGHADAPI PERUBAHAN PARADIGMA INFORMASI
Oleh Drs. Jonner Hasugian, M. Si
Staf Pengajar pada Program Studi Ilmu Perpustakaan
Fakultas Sastra USU
1. Pendahuluan
Perpustakaan yang merupakan satu institusi yang sejak ribuan tahun yang lalu
mulai zaman Sumeria, Messopotamia, Mesir, peradaban Yunani sampai sekarang telah
menggeluti hal-hal yang berkaitan dengan penyimpanan, pengorganisasian, pelestarian
dan penyebarluasan sumber daya informasi. Berbagai bentuk sumber daya informasi yang
dikelola perpustakaan mulai dari dokumen berbasis cetak seperti buku, jurnal/majalah
sampai dengan dokumen yang berbasis elektronik. Seluruh aktifitas di bidang ini, mulai
dari kegiatan pengadaan, pengolahan, pemeliharaan, pemencaran atau penyebarluasan
sumber daya informasi itu, dirangkum dalam satu istilah yaitu kepustakawanan
(librarianship). Sejarah mencatat bahwa pondasi kepustakawanan telah diletakkan jauh
sebelum manusia mengenal percetakan, bahkan lebih jauh lagi sebelum orang ribut
berbicara tentang era globalisasi dan atau era informasi.
Saat ini, walaupun tidak selalu nyata benar, ada sebuah fenomena bahkan
mungkin suatu kenyataan yang seringkali diterima secara getir oleh para anggota profesi
bidang kepustakawanan. Ketika orang gencar berbicara tentang era informasi
(information era) dan masyarakat informasi (information society), kelihatannya seolaholah jajaran profesi kepustakawanan merasa disingkirkan dalam konstalasi praktika dan
dalam pembicaraan akademika. Pada hal, sesungguhnya era dan masyarakat informasi
justru dilahirkan oleh tradisi panjang umat manusia dalam pergaulannya dengan buku,
jurnal/majalah, CD-ROM, dan bahan pustaka lainnya. Tradisi itu telah melembaga dalam
bentuk perpustakaan, pusat-pusat dokumentasi, pusat informasi, depo arsip dan
sebagainya. Sejarah dengan jujur memperlihatkan bahwa perpustakaan-perpustakaan
besar di setiap negara dan bangsa di dunia ini didirikan sebagai pondasi utama dari tradisi
ilmiah yang melahirkan revolusi-revolusi teknologi, yang akhirnya bermuara pada apa
yang dialami masyarakat masa kini.
1
Keberadaan institusi perpustakaan di era globalisasi saat ini seolah-olah
dikesampingkan oleh masyarakat informasi yang semakin dipermudah melalui kehadiran
teknologi informasi dan telekomunikasi. Pustakawan yang lamban mengantisipasi
perubahan itu dituding menjadi salah satu penyebab. Kelambanannya mengantisipasi
perubahan menjadikan perpustakaan bertahan pada paradigma tradiosionalnya. Pada hal,
kecepatan perubahan merupakan ciri utama dari perkembangan zaman sekarang ini.
Disadari bahwa kepustakawanan tidak mempunyai cukup kemampuan untuk
beradaptasi dengan perkembangan sekitarnya bila dibandingkan dengan profesi lainnya.
Namun demikian, kepustakawanan tidak perlu mengubah fungsi utama yang sampai saat
ini tetap masih dilakukan, akan tetapi yang perlu dirubah ialah cara menangani fungsi
utama itu. Merubah cara menangani fungsi itu, membutuhkan perubahan paradigma.
Fungsi utama kepustakawanan yang secara terus menerus dilakukan ialah
memilih, mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan pengetahuan yang terekam
dalam sejumlah media, agar dapat dengan mudah ditemukan kembali bila diperlukan.
Fungsi lainnya ialah fungsi pendidikan dan latihan untuk menghasilkan sumber daya
manusia yang akan melaksanakan fungsi pertama itu. Keberhasilan melaksanakan fungsi
itu, juga sangat ditentukan oleh cara pandang kepustakawanan dalam menyikapi
perubahan yang terjadi.
Banyak pustakawan dan ilmuan di bidang perpustakaan yang tidak melakukan
apa-apa terhadap perubahan yang terjadi di sekitar dunianya. Mereka mungkin sedang
duduk termenung seperti halnya patung-patung bersejarah yang hanya berupa bukti
kegemilangan di masa lampau. Banyak pula diantara mereka yang menangkis kritik-kritik
tentang keortodoksan mereka dalam mengelola perpustakaan, dengan cara berdalih
mempertanyakan keefektifan lembaga yang mereka kelola melalui semboyan lama yaitu
mimimnya dana.
Di sisi lain, tidak kalah banyaknya pula pustakawan yang bangkit dengan
sungguh-sungguh mencoba memahami masyarakat dan perubahan-perubahan yang
terjadi di sekitarnya. Dengan demikian, muncul semacam aliran baru dalam cara
memandang dan menangani fenomena-fenomena kepustakawanan dan sistem informasi
yang ada. Mereka ini melihat bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem
informasi. Sistem informasi yang dulunya hanya berbasis kepada dokumen cetak, kini
2
telah diperkaya dengan dokumen digital, yang penanganan dan penyebarannya mutlak
memerlukan teknologi informasi dan telekomunikasi. Paradigma layanan perpustakaan
yang dulunya akses hanya ke koleksi yang dimiliki, kini berubah menjadi akses ke
berbagai situs informasi yang tidak terbatas pada satu tempat.
Era globalisasi memunculkan suatu kenyataan dimana informasi semakin tersedia
dalam berbagai media dan pada sejumlah situs. Akses informasi semakin mudah dan
mengglobal dengan bantuan sarana telekomunikasi dan komputer. Keterbatasan akses
informasi semakin hari semakin diminimalkan, sehingga hak masyarakat untuk
mendapatkan informasi semakin terbuka melalui fasilitas lain selain yang tersedia di
perpustakaan.
Kondisi ini di satu sisi, mungkin akan memunculkan suatu keraguan atas
keberadaan perpustakaan di masa mendatang, karena karya seseorang tidak harus
dikumpulkan di perpustakaan melainkan dapat disimpan pada sejumlah situs web.
Kemudian, dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan komukikasi
sekarang ini, seseorang telah dapat menggunakan komputer dari rumah atau dari
sembarang tempat untuk mendapatkan berbagai informasi tanpa harus datang ke
perputakaan. Kondisi ini merupakan salah satu dampak dari globalisasi terhadap bidang
kepustakawanan, dan dimasa mendatang dampak ini akan semakin luas mempengaruhi
pengelolaan dan penyebarluasan informasi.
Kelihatannya konsep ini merupakan salah satu kecenderungan yang paling
penting di abad ini. Dengan tersedianya internet, kita dapat mengetahui kejadian yang
terjadi di belahan dunia lain hampir dalam waktu yang bersamaan. Bahkan penduduk
yang berada di tempat yang paling terpencil sekalipun telah dapat atau akan segera dapat
berhubungan dengan dunia melalui televisi, radio, telepon maupun dengan menggunakan
sarana komunikasi lainnya. Saat ini, fasilitas internet sudah tersedia di seluruh ibu kota
propinsi di Indonesia, bahkan di daerah tertentu telah tersedia sampai ke pedesaan.
Dampak dari perkembangan itu ialah, batas-batas nasional tidak lagi penting
sepanjang menyangkut masalah alih informasi. Saat ini, semakin banyak orang dari
berbagai lapisan yang telah dapat mengakses informasi dari seluruh dunia, dan juga dapat
mengirimkan informasi ke manapun dengan mudah melalui fasilitas e-mail. Aspek
geografi bukan lagi merupakan penghalang untuk mendapatkan informasi. Sekarang, kita
3
dapat menerima informasi maupun data yang besar dari jarak yang sangat jauh dalam
waktu yang sangat singkat. Kita tidak lagi harus menunggu berita melalui pengiriman pos
biasa. Misalnya, bila seorang ahli kimia dari Amerika Serikat mengeluarkan artikel
terbaru tentang penemuannya di internet, maka para ahli kimia di Indonesia dipastikan
akan dapat membacanya pada hari yang sama. Hal ini dapat terjadi karena perubahan
paradigma sistem informasi, yang menuntut percepatan pemencaran informasi kepada
pengguna.
Percepatan penyebaran informasi di era globalisasi ini tentunya berdampak luas
kepada eksistensi kepustakawanan. Aspek utama kepustakawanan ialah profesi
pustakawan yang salah satu tugasnya yaitu, berperan sebagai perantara informasi (agent
of information) yang menghubungkan pengguna atau pencari informasi dengan sejumlah
sumber informasi. Dalam era globalisasi ini, dimana pemencaran informasi semakin
mudah dan cepat, sejumlah pertanyaan dapat dimunculkan berkenan dengan
kepustakawanan sebagai profesi, diantaranya, apakah profesi pustakawan masih eksis ?,
Jika ya, bagaimanakah pustakawan menghadapi era infromasi itu ?. Untuk menjawab
pertanyaan itu, tulisan ini mencoba mengulas masalah perubahan paradigma sistem
informasi dan hal-hal yang berkenan dengan keberadaan kepustakawanan di era ini.
2. Paradigma Sistem Informasi
Istilah paradigma pertama sekali dipopulerkan oleh Thomas Khun dalam bukunya
yang berjudul The Structure of Scientific Revolution tahun 1962. Konsep tersebut
kemudian dipopulerkan oleh Robert Friederich dan selanjutnya diperjelas oleh George
Ritzer. Menurut Ritzer, dalam kutipan Sulistyo-Basuki (1996) paradigma adalah
pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh sebuah cabang ilmu pengetahuan, yang menjadi pokok
persoalan dalam satu cabang ilmu menurut versi tertentu. Paradigma membantu
merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana
seharusnya menjawabnya serta aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan
informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan itu. Dengan perkataan
lain, paradigma adalah suatu cara memandang sebuah objek, boleh jadi objek itu
mungkin sama, namun cara memandangnya berbeda. Dengan demikian, objek tidak
berubah, pengamat tidak berubah, namun persfektif yang berubah.
4
Seperti telah dikemukakan bahwa perpustakaan telah ada ribuan tahun yang lalu
sejak zaman Sumeria, Messopotamia, Mesir, dan kemudian dilanjutkan oleh peradaban
Yunani, Roma, serta merambat ke benua Amerika. Namun, hingga abad ke 15 orientasi
perpustakaan masih berada pada tahap pengumpulan koleksi. Kegiatan perpustakaan di
masa ini adalah berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak-banyaknya manuskrip.
Perlombaan ini membawa imbas kepada perpustakaan dewasa ini, yaitu masih banyak
perpustakaan yang lebih mengutamakan kegiatannya pada pengadaan koleksi.
Ketika mesin cetak ditemukan di Eropah Barat pada abad 15, orientasi
pengumpulan koleksi mulai mengalami perubahan. Pada masa ini, muncul upaya
pengolahan buku, dengan tujuan agar mudah ditemu-balikkan oleh para penggunanya.
Untuk melakukan pengolahan itu, muncullah berbagai peraturan pembuatan deskripsi
(pengatalogan), mulai dari yang sederhana sampai kepada peraturan yang lebih canggih
seperti, peraturan Panizzi, Cutter, ALA Cataloguing Rules dan yang terakhir adalah
Angglo-American Cataloguing Rules (AACR) 2nd ed. Selain memuat deskripsi, katalog
juga dilengkapi notasi klasifikasi yang beragam jenisnya, diantaranya Dewey Decimal
Callsification (DDC), Univesal Decimal Classification (UDC), dsb. Mempersiapkan
bahan pustaka sedemikian rupa agar mudah digunakan, merupakan paradigma
kepustakawanan di masa ini.
Pada permulaan tahun 1960-an, komputer mulai digunakan untuk membantu
tugas
rutin
perpustakaan.
Maka
mulailah
kegiatan
automasi
untuk
sistem
kerumahtanggaan perpustakaan (library housekeeping) dilakukan. Kegiatan automasi ini
tentunya
melibatkan
disiplin
ilmu
lain
terutama
komputer
dan
komunikasi.
Perkembangan teknologi informasi khususnya komputer dan komunikasi menyadarkan
berbagai pihak agar pengguna perpustakaan juga perlu dipermudah. Untuk itu,
dirancanglah sistem perpustakaan yang benar-benar ”user-friendly”. Munculnya konsep
ini, secara cepat mengalihkan orientasi perpustakaan kepada pemakai. Dengan demikian,
terjadilah perubahan paradigma yang menekankan tujuan utama perpustakaan ialah
melayani pemakai, sehingga orientasi perpustakaan yang sebenarnya adalah manusia,
bukan buku atau bahan pustaka.
Berkenan dengan hal itu, maka pada tahun 1970-an muncullah kesadaran akan
perlunya kajian pemakai (user study). Munculah paradigma baru dalam dunia
5
kepustakawanan yang memandang pemakai merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem perpustakaan (user driven system). Paradigma ini memunculkan berbagai
kegiatan perpustakaan yang sebelumnya tidak disadari seperti, kajian pemakai,
pendidikan pemakai, penelitian perilaku pemakai, penelitian kebutuhan informasi
pemakai dan sebagainya.
Pada awal tahun 1980-an, muncul pula paradigma sistem informasi yang ditandai
dengan munculnya konsep pangkalan data (database) yang relasional. Konsep ini
memungkinkan data dapat digunakan secara bersama dalam waktu yang bersamaan
(sharing) dari lokasi yang berbeda. Konsep ini dapat dilakukan karena tersedianya sistem
informasi yang dapat dikelola melalui suatu jaringan. Manajemen informasi menjadi
fokus yang utama pada masa ini.
Perubahan teknologi informasi begitu cepat, sehingga pada permulaan tahun
1990-an perkembangan internet begitu pesat. Kondisi ini membawa perubahan orientasi
perpustakaan, sumber-sumber informasi yang berbasis elektronik semakin tersedia.
Informasi semakin tersedia pada sejumlah situs di dunia maya, yang dapat diakses dengan
sangat cepat dan murah. Misalnya, biaya melanggan jurnal online hanya 1/3 dari harga
jurnal cetak (hard copy). Melanggan jurnal online (elektronik) tidak membutuhkan rak
koleksi, ruangan yang lebar, staf yang banyak dan sebagainya. Kondisi ini membawa
perubahan orientasi perpustakaan yaitu berorientasi kepada akses informasi.
Terjadilah perubahan paradigma, dari keinginan memiliki koleksi beralih kepada
bagaimana mendapatkan akses yang banyak. Perpustakaan tidak lagi semata-mata
ditentukan besarnya gedung dan banyaknya buku, akan tetapi sangat ditentukan
tersedianya akses ke sejumlah situs informasi. Peran perpustakaan ialah memfasilitasi
agar pemakai bisa melakukan akses ke sejumlah situs. Di era ini muncullah semboyan
yang menyatakan, “kecil barangnya tetapi besar khasiatnya”.
3. Profesi dan Konsep Dasarnya
Terminologi profesi secara jelas mempunyai pengertian yang berbeda dengan
pekerjaan. Pekerjaan adalah seluruh aktivitas kerja yang berimbalan atau tidak
berimbalan, sedangkan profesi adalah pekerjaan dalam pengertian khusus dan diikuti
dengan persyaratan tertentu. Para ahli sosiologi telah lama membahas sejumlah
persyaratan dari suatu pekerjaan agar dapat disebut sebagai suatu profesi. Dari apa
6
dikemukakan oleh Louis D. Brandeis, Carr-Sander, Kleingartner dan Howsan dapat
disimpulkan bahwa profesi memerlukan persyaratan sebagai berikut: (a) Profesi
merupakan jasa yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi masyarakat (kesejahteraan,
kesehatan, keadilan, pendidikan dsb.). Tanpa profesi, fungsi-fungsi masyarakat tersebut
tidak dapat dilaksanakan. (b) Profesi adalah untuk melayani pelanggan, yaitu individu
dan masyarakat, bukan untuk kepentingan diri profesional. Kesuksesan pelaksanaan
profesi bukan semata-mata diukur dari terpenuhinya kebutuhan dan kepuasan pelanggan,
dan juga bukan karena imbalan uang semata pada profesional. (c) Untuk melaksanakan
profesi diperlukan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi tertentu bukan hanya sekedar
keterampilan dan pengalaman. Untuk itu profesional harus mengikuti pendidikan dan
sebaiknya lulus pendidikan tinggi. (d) Dalam melaksanaan profesi, para profesional tentu
harus berperilaku profesional yang diatur oleh standar profesi dan dikontrol oleh kode
etik profesi. (e) Suatu profesi mendapat kepercayaan dan pengakuan dari masyarakat. (f)
Profesional terorganisasi dalam asosiasi profesi yang mengembangkan profesi, menyusun
standar dan kode etik profesi dan mengawasi pelaksanaannya. (g) Profesional dan
organisasi profesi mempunyai otonomi dalam melaksanaan profesi.
Sejarah mencatat bahwa sejumlah pekerjaan tertentu telah berkembang dan
mendapatkan status sebagai profesi. Sebagian ada yang mendapat status semiprofesi dan
sebagian lagi ada yang gagal mendapatkan status profesi. Pekerjaan yang gagal ini
disebut sebagai pretender atau “seolah-olah profesi”. Semiprofesi adalah pekerjaan yang
hanya memenuhi sebagian persyaratan profesi. Berbeda dengan pretender yang tidak
mungkin memperoleh status sebagai profesi, semi profesi pada suatu saat dapat
berkembang menjadi suatu profesi penuh. Pada tahun 1960-an Goode memberi contoh
semi profesi adalah pekerja sosial. Sekarang pekerja sosial telah banyak yang mendapat
status sebagai profesi penuh. Sedangkan contoh pekerjaan yang seolah-olah profesi saat
ini ialah misalnya dukun, sopir, tukang, pembantu rumah tangga, dan sebagainya.
Pekerjaan ini tidak mungkin atau sulit dijadikan sebagai profesi.
4. Profesi Kepustakawanan
Telah dikemukaan bahwa dalam catatan sejarah, pekerjaan pustakawan sudah ada
pada abad sebelum Masehi, akan tetapi baru mulai berkembang menjadi suatu profesi
pada abad ke 19. Melvil Dewey (1876) secara tegas telah berani menyatakan bahwa
7
kepustakawanan merupakan profesi penuh. Ia menulis sbb.: “The time has come, when a
librarian may, without assumption, speak his occupation as profession .” Akan tetapi
sampai dengan tahun 1960-an para sosiolog masih meragukan kepustakawanan sebagai
profesi dan ilmu perpustakaan sebagai cabang ilmu yang mandiri. Butler (1961) misalnya
berpendapat bahwa kepustakawanan tidak dapat disebut sebagai suatu profesi.
Argumentasinya ialah ilmu perpustakaan belum merupakan cabang ilmu yang mendiri
karena tak mampu mengemukakan suatu teori. Adanya teori merupakan persyaratan ilmu
pengetahuan. Di samping itu pekerjaaan pustakawan terlalu mudah dan terlalu cepat
untuk dipelajari.
William J. Goode sosiolog terkenal Amerika Serikat berpendapat bahwa setiap
pekerjaan berusaha berkembang menjadi profesi. Akan tetapi ia berpendapat bahwa
kepustakawanan tidak akan pernah mencapai status sebagai profesi. Ia berdalih bahwa
pustakawan mempunyai kekuasaan yang sangat lemah terhadap pelanggannya. Ia
mengambil contoh, seleksi bahan pustaka merupakan kegiatan pustakawan. Akan tetapi
pustakawan tidak sepenuhnya menentukan buku apa yang harus dibaca oleh masyarakat
yang dilayaninya. Para pemakai jasa perpustakaan bebas membaca buku apa yang
diingininya walaupun menurut pustakawan buku tersebut tidak layak untuk dibaca.
Demikian juga mereka belum tentu membaca buku yang diseleksi pustakawan. Goode
menganggap pustakawan adalah “book custodian” atau penjaga gudang buku.
Masyarakat menganggap perpustakaan yang lebih penting, bukan pustakawannya. Ini
berbeda dengan profesi kedokteran, pengacara dan akuntan. Masyarakat mencari dokter,
pengacara dan akuntannya bukan rumah sakit, kantor pengacara atau kantor akuntannya.
Ia juga menganggap pustakawan tidak mengetahui apa yang harus dilakukanya karena
pustakawan tidak dapat mendefinisikan peran profesionalnya.
Apa yang dikemukakan oleh Goode mendapat tanggapan serius dari para
pustakawan Amerika Serikat. Artikel Goode diterbitkan ulang di ALA Bulletin dan
dijadikan bahan bahasan pada konferensi American Library Association pada tahun 1967.
Berbagai artikel tanggapan yang pro dan kontra juga muncul.
Penolakan kepustakawanan sebagai profesi juga dikemukakan oleh Presiden
Amerika Serikat, Roosevelt. Oleh karena itu ketika jabatan Kepala Perpustakaan Library
of Congress kosong pada tahun 1939 ia mengangkat seorang penyair Archibald Macleish
8
bukan seorang pustakawan, sebagai Kepala Perpustakaan Library of Congress. Penasehat
Roosevelt, Justice Felix Frankfurter menyatakan bahwa yang diperlukan untuk
memimpin perpustakaan tersebut adalah orang yang mempunyai enerji imaginatif dan
visi, yang mengetahui, mencintai dan yang membuat buku bukan pustakawan.
Kritik negatif terhadap profesi pustakawan tidak mengganggu perjuangan
kepustakawanan untuk diakui sebagai suatu profesi penuh. Memang jika dibandingkan
dengan profesi kedokteran, penasehat hukum dan akuntan, profesi kepustakawanan masih
berada setingkat di bawah profesi tersebut. Dalam hal kemandirian misalnya pustakawan
tidak dapat mandiri karena selalu harus bekerja di perpustakaan yang merupakan bagian
dari suatu organisasi yang lebih besar. Sering kepala perpustakaannya bukan seorang
pustakawan. Beda dengan dokter, penasehat hukum dan akuntan yang dapat mencari
nafkahnya sebagai “pekerja bebas” dengan membuka praktek, sampai saat ini belum ada
pustakawan Indonesia yang hidupnya buka praktek sebagai pustakawan.
Sekalipun kritikan itu kelihatannya menydutkan pustakawan, namun saat ini
kepustakawanan sudah diakui sebagai profesi yang mendapat penghargaan dari
pemerintah dan masyarakat luas. Asosiasi perpustakaan di sebagai salah satu syarat
profesi telah mapan di berbagai negara, misalnya American Library Association (ALA)
di Amerika, Library Association (LA) di Inggris, Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) di
Indonesia dsb. Pendidikan perpustakaan
yang juga merupakan syarat profesi, telah
berkembang di berbagai negara di dunia, sampai ke jenjang program doktor.
Sebagai suatu profesi, kepustakawanan dalam menopang kehidupan dan
perkembangan masyarakat mempunyai fungsi tradisional dan fungsi sosial. Fungsi
tradisional kepustakawanan berupa fungsi yang melekat pada profesi tersebut yaitu
mengumpulkan, memposes, menyimpan dan memberikan bahan pustaka kepada yang
memerlukannya. Fungsi kepustakawanan ini merupakan fungsi sempit atau fungsi pasif
yang diejek oleh Goode sebagai “book custodian.” Fungsi sosial kepustakawanan ialah
fungsi yang menopang semua aspek kehidupan dan perkembangan masyarakat. Fungsi ini
merupakan fungsi aktif yaitu fungsi yang bersama-sama profesi lainnya secara aktif
memecahkan masalah dan mengembangkan masyarakat. Fungsi ini membuat pustakawan
tidak hanya “duduk nongkrong” di perpustakaan, tapi bersama-sama profesi lainnya
secara aktif ikut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat seperti
9
kemiskinan, ketidak adilan, korupsi, dekadensi moral, pengembangan sumber daya
manusia, pengembangan industri, inovasi teknologi dsb. Misalnya, tanpa fungsi sosial
kepustakawanan, proses pendidikan tidak akan menghasilkan keluaran pendidikan yang
berkualitas tinggi.
5. Posisi Kepustakawanan di Indonesia
Setidak-tidaknya ada tiga pertanyaan yang dapat dimunculkan untuk mendapat
jawaban mengenai profesi kepustakawanan di Indonesia dalam era informasi, antara lain:
(1) Apakah peran kepustakawanan di Indonesia dalam era informasi ? (2) Apakah
Pustakawan Indonesia sudah siap menghadapi datangnya era in ? (3) Apakah yang harus
dilakukan oleh pustakawan Indonesia dalam menghadapi era tersebut ?
Jawaban terhadap pertanyaan pertama ialah pustakawan harus meningkatkan
pelaksanaan fungsi tradisionalnya dan fungsi sosialnya. Permintaan akan jasa
perpustakaan pasti akan meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Pustakawan
Indonesia harus meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan jasanya. Di samping itu
pustakawan harus menyusun program layanan jasa perpustakaan dan informasi untuk
menopang pelaksanaan program-program pembangunan sektoral dan wilayah yang makin
banyak jumlahnya. Program pembangunan itu tentunya membutuhkan informasi dalam
kuantitas yang banyak dan kulaitas yang baik. Untuk itu, perpustakaan harus bisa
menyediakan fasilitas agar masyarakat bisa melakukan akses ke sejumlah sumber
informasi dengan baik dan nyaman.
Pustakawan harus mampu menganalisa mengapa masyarakat desa tertinggal dan
umumnya miskin. Fakta menunjukkan bahwa salah satu sebab masyarakat tersebut
miskin adalah mereka miskin informasi mengenai bagaimana caranya mengembangkan
kehidupannya. Kemiskinan informasi ini menyebabkan mereka tidak mengetahui
bagaimana caranya mengembangkan pertanian dan industri di desanya dan membuat
mereka pasif. Pustakawan harus meleburkan diri dalam upaya pemerintah untuk
mengentaskan kemiskinan dengan merancang program layanan khusus untuk menopang
pelaksanaan program pemerintah.
Pustakawan harus mampu menganalisa dan memprediksi kebutuhan informasi
masyarakat, sehingga mereka bisa merancang pengadaan bahan pustaka yang tepat
sasaran. Dengan demikian pustakawan dapat memilih bahan pustaka yang tepat untuk
10
mengembangkan rasa ingin tahu pada masyarakat desa tertinggal ; melaksanakan bedah
nuku untuk menjelaskan isinya dan memotivasi mereka untuk membacanya dan
menerapkan isinya. Pustakawan datang ke desa tertinggal bukan hanya sekedar mendrop
buku.
Jawaban atas pertanyaan kedua adalah, pustakawan Indonesia kelihatannya belum
siap untuk menghadapi datangnya informasi. Ada sejumlah fakta yang mendukung
asumsi tersebut. Pertama, pustakawan Indonesia masih bersifat pengeluh belum sebagai
pemecah masalah. Sampai kini pustakawan Indonesia masih menjadi pengeluh, belum
manjadi pensolusi masalah. Misalnya, Pustakawan Indonesia merupakan sumber keluhan
bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah. Keluhan pustakawan ini membentuk
opini para pemimpin dan masyarakat Indonesia mengenai lemahnya minat baca manusia
Indonesia. Padahal keluhan seperti itu sudah dilontarkan oleh para pustakawan dan
penerbit pada masa lampau, dan sekarang keluhannya masih tetap sama. Pustakawan
kelihatannya tidak melihat fakta bahwa toko buku-toko buku di Indonesia seperti
Gramedia dsb., setiap harinya diserbu pembaca yang haus buku.
Jika para pustakawan masih mengeluh mengenai kurangnya minat baca orang
akan bertanya: Apa yang telah dilakukan pustakawan Indonesia semenjak dari dulu untuk
mengatasinya ? Apakah Pustakawan Indonesia telah putus asa ? Keluhan itu juga
menunjukkan ketidakberdayaan pustakawan untuk menanggulangi masalah tersebut.
Pustakawan Indonesia seharusnya bukan mengulang dan menyebarkan keluhan tersebut
tapi mangajukan solusinya. Adakan penelitian secara ilmiah dan susunlah program untuk
menanggulanginya.
Pemimpin pustakawan Indonesia juga selalu mengeluhkan kurangnya anggaran
dsb. Apakah Pustakawan Indonesia mengetahui bahwa dewasa ini banyak buku baru
yang diterjemahkan dari buku asing ? Apkah Pustakawan Indonesia tahu persis berapa
jumlah penerbitan yang diterbitkan oleh Biro Statistik dan lembaga pemerintah lainnya?
Mereka tidak melihat bahwa tenaga pustakawan yang ada belum dimanfaatkan. Mereka
tidak pernah menganalisa berapa persen dari koleksi perpustakaan yang pernah dijamah
pembaca. Mereka tidak menyadari bahwa anggaran untuk perpustakaan dewasa ini lebih
dari 1000 kali anggaran perpustakaan pada zaman orde lama. Mereka tidak pernah
menghitung efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran tersebut.
11
Dapat dikatakan umumnya perpustakaan Indonesia belum mempunyai rencana
strategis
yang perspektif seperti dunia bisnis dan industri. Para pemimpin
kepustakawanan Indonesia menyusun rencana secara kasualistis bukan perspektif jangka
panjang berdasarkan visi, misi, analisa lingkungan dan posisinya di lingkungannya.
Mereka hanya bereaksi terhadap kasus-kasus bukan berusaha membangun layanan
perpustakaan secara sistematis jangka panjang. Rencana yang ada juga kurang
terintegrasi dengan rencana pembangunan sektor-sektor lainnya. Pustakawan lebih sibuk
dengan dirinya sendiri dari pada mengurusi pemakai jasa pustakawan. Padahal dalam
alam pembangunan profesi kepustakawanan harus menciptakan terobasan dalam
melayani para pemakai jasa perpustakaan.
Jika sikap dan perilaku para pustakawan Indonesia tidak berubah, profesi
kepustakawanan di Indonesia juga akan tidak banyak berubah. Jika dunia bisnis dan
industri telah menerapkan manajeman mutu total (Total Quality Management) dan
International Standar Organization, sedangkan kepustakawanan Indonesia masih bersifat
birokratis. Kepustakawanan Indonesia masih akan miskin penelitian dan karya ilmiah
serta sarana komunikasi ilmiah. Pustakawan Indonesia lebih merupakan birokrat bukan
saintis atau teknolog yang berpikir berdasarkan sains dan teknologi. Pustakawan
Indonesia tidak banyak yang dapat bekerja di luar perpustakaan walaupun banyak di
antara mereka yang mempunyai pendidikan di luar bidang perpustakaan.
Tanpa terobosan para pustakawan, citra profesi kepustakawanan di masyarakat
tampaknya masih akan rendah. Studi yang pernah dilakukan berkesimpulan bahwa status
profesi kepustakawanan di mata masyarakat dan di mata pustakawan sendiri masih
rendah. Hal ini disebabkan antara lain kualitas layanan jasa rendah; bergaji rendah;
setengah dari pekerjaan di perpustakaan tidak memerlukan pendidikan profesional;
pustakawan masih dianggap sebagai profesi yang cocok untuk kaum wanita yang bergaji
rendah.
Jika demikian, apakah yang harus dilakukan oleh pustakawan Indonesia dalam
menghadapi informasi ini ? Pertama, Pustakawan Indonesia harus mempunyai
kepemimpinan yang kokoh. Kepemimpinan tersebut harus menekankan diri pada
kekuasaan keahlian dan kekuasaan informasi dan kekuasaan referen bukan hanya pada
kekuasaaan legitimasi dan kekuasaan koneksi. Misalnya, bagaimana pustakawan dapat
12
mengembangkan minat baca masyarakat jika pustakawan itu sendiri tidak memberi
contoh dirinya sendiri sebagai pembaca buku yang baik.
Kedua, Pustakawan Indonesia harus mengembangkan jiwa intrawirausaha atau
“intrapreneurshipsnya.” Pustakawan harus bersifat proaktif, mengambil inisiatif untuk
melaksanakan tanggung jawabnya dengan menciptakan program-program layanan jasa
perpustakaan baru bukan hanya sekedar “penunggu gudang buku.” Program-program
layanan jasa tersebut merupakan “action plan” dari rencana strategik perpustakaan.
Integrasikan rencana strategik tersebut dengan rencana pembangunan nasional dan daerah
serta rencana pengembangan sektor kehidupan. Untuk mencari sumber dana untuk
membiayai rencanan starategik tersebut pustakawan perlu mengembangkan dirinya
sebagai pelobi yang unggul bukan hanya sebagai pengeluh.
Ketiga, Pustakawan Indonesia harus mempelajari dan menerapkan teknologi
informasi terbaru untuk melayani layanan jasa perpustakaan yang akan terus meningkat
kuantitas dan kualitasnya. Pustakawan harus menguasai teknologi otomasi perpustakaan,
sistem database, internet, multimedia dsb. Dewasa ini semua teknologi informasi dapat
diperoleh di Indonesia dengan mudah. Akan tetapi tidak semua perpustakaan besar yang
mempunyai anggaran cukup besar telah mempunyai sistem otomasi perpustakaan.
Keempat, sistem manajemen perpustakaan harus dikembangkan dengan
menerapakan Total Quality Management dan Quality Circle. Pustakawan harus
mencontoh manajemen bisnis dan industri yang memfokuskan pada pemakai jasa,
perbaikan proses layanan dan peningkatan kualitas layanan secara terus menerus di
samping menigkatkan efisiensinya.
Kelima, untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaan, perlu disusun
program pengembangan sumber daya manusia pustakawan dalam bentuk pelatihan,
pendidikan dan pengembangan. Materi yang memerlukan perhatian khusus dalam
program tersebut ialah kemampuan pustakawan untuk berkomunikasi (meliputi ilmu
komunikasi
dan
bahasa
asing),
kemampuan
untuk
melaksanakan
intrapreneurship (inovasi dan kepemimpinan) dan teknologi informasi.
13
penelitian,
6. Kesimpulan
Dengan berkembangnya teknologi informasi dan telekomunikasi, sebagian
kebutuhan informasi masyarakat akan dipenuhi oleh informasi yang mengalir dari
berbagai situs. Aliran informasi sulit dikontrol dan akan memperlemah penyensoran
informasi yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah dan kelompok-kelompok
penekan.
Keadaan
tersebut
sebenarnya
memberi
banyak
peluang
bagi
profesi
kepustakawanan dan pustakawan Indonesia untuk melaksanakan visi dan misinya untuk
menopang pembangunan nasional. Sayangnya, tampaknya profesi kepustakawanan dan
pustakawan Indonesia belum siap untuk memanfaatkan peluang tersebut. Perpustakaan
Indonesia umumnya belum mempunyai rencana strategik untuk memanfaatkan peluang
tersebut. Para pustakawan Indonesia juga belum banyak yang menguasai teknologi
informasi. Pustakawan Indonesia masih terpaut pada dirinya sendiri belum banyak
melaksanakan fungsi sosialnya.
Profesi kepustakawanan Indonesia juga menghadapi tantangan berupa rendahnya
citranya di mata masyarakat dan pustakawan sendiri. Sebagian terbesar orang Indonesia
belum mengetahui apa pustakawan dan apa perannya dalam menigkatkan kualitas
hidupnya. Karena itu jangan salahkan mereka jika tidak datang ke perpustakaan dan tidak
memanfaatkan jasa yang disajikan pustakawan.
Bibliografi :
Bowden, R. (1994). Professional responsibilities of librarians and information workers.
IFLA Journal 20 (4) : 120-129.
Carr – Sanders, A. M & Wilson, P. A. (1993). The professions. Oxford: Cledon Press.
Hale, K. (1990). Special report: The image of librarian. Di Library and book trade
almanac 35th. Edition 1990-1991. New York: RR. Bowker.
Lewis, W. W. & Harris, M. (1992). Why globalization must prevail: An economic
rationale for the inevitable defeat of protectionism. Mckinsey quarterly (2), 114131.
Prins, H. & deGier, W. (1992). Image, status and reputation of librarianship and
information work. IFLA Journal 18 (2): 108-118.
Sulityo-Basuki. (1996). Perubahan Paradigma Informasi. Jakarta: Universitas Indonesia
Wirawan. (1996). Profesi Kepustakawanan Dalam Era Globalisasi.
14
MENGHADAPI PERUBAHAN PARADIGMA INFORMASI
Oleh Drs. Jonner Hasugian, M. Si
Staf Pengajar pada Program Studi Ilmu Perpustakaan
Fakultas Sastra USU
1. Pendahuluan
Perpustakaan yang merupakan satu institusi yang sejak ribuan tahun yang lalu
mulai zaman Sumeria, Messopotamia, Mesir, peradaban Yunani sampai sekarang telah
menggeluti hal-hal yang berkaitan dengan penyimpanan, pengorganisasian, pelestarian
dan penyebarluasan sumber daya informasi. Berbagai bentuk sumber daya informasi yang
dikelola perpustakaan mulai dari dokumen berbasis cetak seperti buku, jurnal/majalah
sampai dengan dokumen yang berbasis elektronik. Seluruh aktifitas di bidang ini, mulai
dari kegiatan pengadaan, pengolahan, pemeliharaan, pemencaran atau penyebarluasan
sumber daya informasi itu, dirangkum dalam satu istilah yaitu kepustakawanan
(librarianship). Sejarah mencatat bahwa pondasi kepustakawanan telah diletakkan jauh
sebelum manusia mengenal percetakan, bahkan lebih jauh lagi sebelum orang ribut
berbicara tentang era globalisasi dan atau era informasi.
Saat ini, walaupun tidak selalu nyata benar, ada sebuah fenomena bahkan
mungkin suatu kenyataan yang seringkali diterima secara getir oleh para anggota profesi
bidang kepustakawanan. Ketika orang gencar berbicara tentang era informasi
(information era) dan masyarakat informasi (information society), kelihatannya seolaholah jajaran profesi kepustakawanan merasa disingkirkan dalam konstalasi praktika dan
dalam pembicaraan akademika. Pada hal, sesungguhnya era dan masyarakat informasi
justru dilahirkan oleh tradisi panjang umat manusia dalam pergaulannya dengan buku,
jurnal/majalah, CD-ROM, dan bahan pustaka lainnya. Tradisi itu telah melembaga dalam
bentuk perpustakaan, pusat-pusat dokumentasi, pusat informasi, depo arsip dan
sebagainya. Sejarah dengan jujur memperlihatkan bahwa perpustakaan-perpustakaan
besar di setiap negara dan bangsa di dunia ini didirikan sebagai pondasi utama dari tradisi
ilmiah yang melahirkan revolusi-revolusi teknologi, yang akhirnya bermuara pada apa
yang dialami masyarakat masa kini.
1
Keberadaan institusi perpustakaan di era globalisasi saat ini seolah-olah
dikesampingkan oleh masyarakat informasi yang semakin dipermudah melalui kehadiran
teknologi informasi dan telekomunikasi. Pustakawan yang lamban mengantisipasi
perubahan itu dituding menjadi salah satu penyebab. Kelambanannya mengantisipasi
perubahan menjadikan perpustakaan bertahan pada paradigma tradiosionalnya. Pada hal,
kecepatan perubahan merupakan ciri utama dari perkembangan zaman sekarang ini.
Disadari bahwa kepustakawanan tidak mempunyai cukup kemampuan untuk
beradaptasi dengan perkembangan sekitarnya bila dibandingkan dengan profesi lainnya.
Namun demikian, kepustakawanan tidak perlu mengubah fungsi utama yang sampai saat
ini tetap masih dilakukan, akan tetapi yang perlu dirubah ialah cara menangani fungsi
utama itu. Merubah cara menangani fungsi itu, membutuhkan perubahan paradigma.
Fungsi utama kepustakawanan yang secara terus menerus dilakukan ialah
memilih, mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan pengetahuan yang terekam
dalam sejumlah media, agar dapat dengan mudah ditemukan kembali bila diperlukan.
Fungsi lainnya ialah fungsi pendidikan dan latihan untuk menghasilkan sumber daya
manusia yang akan melaksanakan fungsi pertama itu. Keberhasilan melaksanakan fungsi
itu, juga sangat ditentukan oleh cara pandang kepustakawanan dalam menyikapi
perubahan yang terjadi.
Banyak pustakawan dan ilmuan di bidang perpustakaan yang tidak melakukan
apa-apa terhadap perubahan yang terjadi di sekitar dunianya. Mereka mungkin sedang
duduk termenung seperti halnya patung-patung bersejarah yang hanya berupa bukti
kegemilangan di masa lampau. Banyak pula diantara mereka yang menangkis kritik-kritik
tentang keortodoksan mereka dalam mengelola perpustakaan, dengan cara berdalih
mempertanyakan keefektifan lembaga yang mereka kelola melalui semboyan lama yaitu
mimimnya dana.
Di sisi lain, tidak kalah banyaknya pula pustakawan yang bangkit dengan
sungguh-sungguh mencoba memahami masyarakat dan perubahan-perubahan yang
terjadi di sekitarnya. Dengan demikian, muncul semacam aliran baru dalam cara
memandang dan menangani fenomena-fenomena kepustakawanan dan sistem informasi
yang ada. Mereka ini melihat bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem
informasi. Sistem informasi yang dulunya hanya berbasis kepada dokumen cetak, kini
2
telah diperkaya dengan dokumen digital, yang penanganan dan penyebarannya mutlak
memerlukan teknologi informasi dan telekomunikasi. Paradigma layanan perpustakaan
yang dulunya akses hanya ke koleksi yang dimiliki, kini berubah menjadi akses ke
berbagai situs informasi yang tidak terbatas pada satu tempat.
Era globalisasi memunculkan suatu kenyataan dimana informasi semakin tersedia
dalam berbagai media dan pada sejumlah situs. Akses informasi semakin mudah dan
mengglobal dengan bantuan sarana telekomunikasi dan komputer. Keterbatasan akses
informasi semakin hari semakin diminimalkan, sehingga hak masyarakat untuk
mendapatkan informasi semakin terbuka melalui fasilitas lain selain yang tersedia di
perpustakaan.
Kondisi ini di satu sisi, mungkin akan memunculkan suatu keraguan atas
keberadaan perpustakaan di masa mendatang, karena karya seseorang tidak harus
dikumpulkan di perpustakaan melainkan dapat disimpan pada sejumlah situs web.
Kemudian, dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan komukikasi
sekarang ini, seseorang telah dapat menggunakan komputer dari rumah atau dari
sembarang tempat untuk mendapatkan berbagai informasi tanpa harus datang ke
perputakaan. Kondisi ini merupakan salah satu dampak dari globalisasi terhadap bidang
kepustakawanan, dan dimasa mendatang dampak ini akan semakin luas mempengaruhi
pengelolaan dan penyebarluasan informasi.
Kelihatannya konsep ini merupakan salah satu kecenderungan yang paling
penting di abad ini. Dengan tersedianya internet, kita dapat mengetahui kejadian yang
terjadi di belahan dunia lain hampir dalam waktu yang bersamaan. Bahkan penduduk
yang berada di tempat yang paling terpencil sekalipun telah dapat atau akan segera dapat
berhubungan dengan dunia melalui televisi, radio, telepon maupun dengan menggunakan
sarana komunikasi lainnya. Saat ini, fasilitas internet sudah tersedia di seluruh ibu kota
propinsi di Indonesia, bahkan di daerah tertentu telah tersedia sampai ke pedesaan.
Dampak dari perkembangan itu ialah, batas-batas nasional tidak lagi penting
sepanjang menyangkut masalah alih informasi. Saat ini, semakin banyak orang dari
berbagai lapisan yang telah dapat mengakses informasi dari seluruh dunia, dan juga dapat
mengirimkan informasi ke manapun dengan mudah melalui fasilitas e-mail. Aspek
geografi bukan lagi merupakan penghalang untuk mendapatkan informasi. Sekarang, kita
3
dapat menerima informasi maupun data yang besar dari jarak yang sangat jauh dalam
waktu yang sangat singkat. Kita tidak lagi harus menunggu berita melalui pengiriman pos
biasa. Misalnya, bila seorang ahli kimia dari Amerika Serikat mengeluarkan artikel
terbaru tentang penemuannya di internet, maka para ahli kimia di Indonesia dipastikan
akan dapat membacanya pada hari yang sama. Hal ini dapat terjadi karena perubahan
paradigma sistem informasi, yang menuntut percepatan pemencaran informasi kepada
pengguna.
Percepatan penyebaran informasi di era globalisasi ini tentunya berdampak luas
kepada eksistensi kepustakawanan. Aspek utama kepustakawanan ialah profesi
pustakawan yang salah satu tugasnya yaitu, berperan sebagai perantara informasi (agent
of information) yang menghubungkan pengguna atau pencari informasi dengan sejumlah
sumber informasi. Dalam era globalisasi ini, dimana pemencaran informasi semakin
mudah dan cepat, sejumlah pertanyaan dapat dimunculkan berkenan dengan
kepustakawanan sebagai profesi, diantaranya, apakah profesi pustakawan masih eksis ?,
Jika ya, bagaimanakah pustakawan menghadapi era infromasi itu ?. Untuk menjawab
pertanyaan itu, tulisan ini mencoba mengulas masalah perubahan paradigma sistem
informasi dan hal-hal yang berkenan dengan keberadaan kepustakawanan di era ini.
2. Paradigma Sistem Informasi
Istilah paradigma pertama sekali dipopulerkan oleh Thomas Khun dalam bukunya
yang berjudul The Structure of Scientific Revolution tahun 1962. Konsep tersebut
kemudian dipopulerkan oleh Robert Friederich dan selanjutnya diperjelas oleh George
Ritzer. Menurut Ritzer, dalam kutipan Sulistyo-Basuki (1996) paradigma adalah
pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh sebuah cabang ilmu pengetahuan, yang menjadi pokok
persoalan dalam satu cabang ilmu menurut versi tertentu. Paradigma membantu
merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana
seharusnya menjawabnya serta aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan
informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan itu. Dengan perkataan
lain, paradigma adalah suatu cara memandang sebuah objek, boleh jadi objek itu
mungkin sama, namun cara memandangnya berbeda. Dengan demikian, objek tidak
berubah, pengamat tidak berubah, namun persfektif yang berubah.
4
Seperti telah dikemukakan bahwa perpustakaan telah ada ribuan tahun yang lalu
sejak zaman Sumeria, Messopotamia, Mesir, dan kemudian dilanjutkan oleh peradaban
Yunani, Roma, serta merambat ke benua Amerika. Namun, hingga abad ke 15 orientasi
perpustakaan masih berada pada tahap pengumpulan koleksi. Kegiatan perpustakaan di
masa ini adalah berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak-banyaknya manuskrip.
Perlombaan ini membawa imbas kepada perpustakaan dewasa ini, yaitu masih banyak
perpustakaan yang lebih mengutamakan kegiatannya pada pengadaan koleksi.
Ketika mesin cetak ditemukan di Eropah Barat pada abad 15, orientasi
pengumpulan koleksi mulai mengalami perubahan. Pada masa ini, muncul upaya
pengolahan buku, dengan tujuan agar mudah ditemu-balikkan oleh para penggunanya.
Untuk melakukan pengolahan itu, muncullah berbagai peraturan pembuatan deskripsi
(pengatalogan), mulai dari yang sederhana sampai kepada peraturan yang lebih canggih
seperti, peraturan Panizzi, Cutter, ALA Cataloguing Rules dan yang terakhir adalah
Angglo-American Cataloguing Rules (AACR) 2nd ed. Selain memuat deskripsi, katalog
juga dilengkapi notasi klasifikasi yang beragam jenisnya, diantaranya Dewey Decimal
Callsification (DDC), Univesal Decimal Classification (UDC), dsb. Mempersiapkan
bahan pustaka sedemikian rupa agar mudah digunakan, merupakan paradigma
kepustakawanan di masa ini.
Pada permulaan tahun 1960-an, komputer mulai digunakan untuk membantu
tugas
rutin
perpustakaan.
Maka
mulailah
kegiatan
automasi
untuk
sistem
kerumahtanggaan perpustakaan (library housekeeping) dilakukan. Kegiatan automasi ini
tentunya
melibatkan
disiplin
ilmu
lain
terutama
komputer
dan
komunikasi.
Perkembangan teknologi informasi khususnya komputer dan komunikasi menyadarkan
berbagai pihak agar pengguna perpustakaan juga perlu dipermudah. Untuk itu,
dirancanglah sistem perpustakaan yang benar-benar ”user-friendly”. Munculnya konsep
ini, secara cepat mengalihkan orientasi perpustakaan kepada pemakai. Dengan demikian,
terjadilah perubahan paradigma yang menekankan tujuan utama perpustakaan ialah
melayani pemakai, sehingga orientasi perpustakaan yang sebenarnya adalah manusia,
bukan buku atau bahan pustaka.
Berkenan dengan hal itu, maka pada tahun 1970-an muncullah kesadaran akan
perlunya kajian pemakai (user study). Munculah paradigma baru dalam dunia
5
kepustakawanan yang memandang pemakai merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem perpustakaan (user driven system). Paradigma ini memunculkan berbagai
kegiatan perpustakaan yang sebelumnya tidak disadari seperti, kajian pemakai,
pendidikan pemakai, penelitian perilaku pemakai, penelitian kebutuhan informasi
pemakai dan sebagainya.
Pada awal tahun 1980-an, muncul pula paradigma sistem informasi yang ditandai
dengan munculnya konsep pangkalan data (database) yang relasional. Konsep ini
memungkinkan data dapat digunakan secara bersama dalam waktu yang bersamaan
(sharing) dari lokasi yang berbeda. Konsep ini dapat dilakukan karena tersedianya sistem
informasi yang dapat dikelola melalui suatu jaringan. Manajemen informasi menjadi
fokus yang utama pada masa ini.
Perubahan teknologi informasi begitu cepat, sehingga pada permulaan tahun
1990-an perkembangan internet begitu pesat. Kondisi ini membawa perubahan orientasi
perpustakaan, sumber-sumber informasi yang berbasis elektronik semakin tersedia.
Informasi semakin tersedia pada sejumlah situs di dunia maya, yang dapat diakses dengan
sangat cepat dan murah. Misalnya, biaya melanggan jurnal online hanya 1/3 dari harga
jurnal cetak (hard copy). Melanggan jurnal online (elektronik) tidak membutuhkan rak
koleksi, ruangan yang lebar, staf yang banyak dan sebagainya. Kondisi ini membawa
perubahan orientasi perpustakaan yaitu berorientasi kepada akses informasi.
Terjadilah perubahan paradigma, dari keinginan memiliki koleksi beralih kepada
bagaimana mendapatkan akses yang banyak. Perpustakaan tidak lagi semata-mata
ditentukan besarnya gedung dan banyaknya buku, akan tetapi sangat ditentukan
tersedianya akses ke sejumlah situs informasi. Peran perpustakaan ialah memfasilitasi
agar pemakai bisa melakukan akses ke sejumlah situs. Di era ini muncullah semboyan
yang menyatakan, “kecil barangnya tetapi besar khasiatnya”.
3. Profesi dan Konsep Dasarnya
Terminologi profesi secara jelas mempunyai pengertian yang berbeda dengan
pekerjaan. Pekerjaan adalah seluruh aktivitas kerja yang berimbalan atau tidak
berimbalan, sedangkan profesi adalah pekerjaan dalam pengertian khusus dan diikuti
dengan persyaratan tertentu. Para ahli sosiologi telah lama membahas sejumlah
persyaratan dari suatu pekerjaan agar dapat disebut sebagai suatu profesi. Dari apa
6
dikemukakan oleh Louis D. Brandeis, Carr-Sander, Kleingartner dan Howsan dapat
disimpulkan bahwa profesi memerlukan persyaratan sebagai berikut: (a) Profesi
merupakan jasa yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi masyarakat (kesejahteraan,
kesehatan, keadilan, pendidikan dsb.). Tanpa profesi, fungsi-fungsi masyarakat tersebut
tidak dapat dilaksanakan. (b) Profesi adalah untuk melayani pelanggan, yaitu individu
dan masyarakat, bukan untuk kepentingan diri profesional. Kesuksesan pelaksanaan
profesi bukan semata-mata diukur dari terpenuhinya kebutuhan dan kepuasan pelanggan,
dan juga bukan karena imbalan uang semata pada profesional. (c) Untuk melaksanakan
profesi diperlukan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi tertentu bukan hanya sekedar
keterampilan dan pengalaman. Untuk itu profesional harus mengikuti pendidikan dan
sebaiknya lulus pendidikan tinggi. (d) Dalam melaksanaan profesi, para profesional tentu
harus berperilaku profesional yang diatur oleh standar profesi dan dikontrol oleh kode
etik profesi. (e) Suatu profesi mendapat kepercayaan dan pengakuan dari masyarakat. (f)
Profesional terorganisasi dalam asosiasi profesi yang mengembangkan profesi, menyusun
standar dan kode etik profesi dan mengawasi pelaksanaannya. (g) Profesional dan
organisasi profesi mempunyai otonomi dalam melaksanaan profesi.
Sejarah mencatat bahwa sejumlah pekerjaan tertentu telah berkembang dan
mendapatkan status sebagai profesi. Sebagian ada yang mendapat status semiprofesi dan
sebagian lagi ada yang gagal mendapatkan status profesi. Pekerjaan yang gagal ini
disebut sebagai pretender atau “seolah-olah profesi”. Semiprofesi adalah pekerjaan yang
hanya memenuhi sebagian persyaratan profesi. Berbeda dengan pretender yang tidak
mungkin memperoleh status sebagai profesi, semi profesi pada suatu saat dapat
berkembang menjadi suatu profesi penuh. Pada tahun 1960-an Goode memberi contoh
semi profesi adalah pekerja sosial. Sekarang pekerja sosial telah banyak yang mendapat
status sebagai profesi penuh. Sedangkan contoh pekerjaan yang seolah-olah profesi saat
ini ialah misalnya dukun, sopir, tukang, pembantu rumah tangga, dan sebagainya.
Pekerjaan ini tidak mungkin atau sulit dijadikan sebagai profesi.
4. Profesi Kepustakawanan
Telah dikemukaan bahwa dalam catatan sejarah, pekerjaan pustakawan sudah ada
pada abad sebelum Masehi, akan tetapi baru mulai berkembang menjadi suatu profesi
pada abad ke 19. Melvil Dewey (1876) secara tegas telah berani menyatakan bahwa
7
kepustakawanan merupakan profesi penuh. Ia menulis sbb.: “The time has come, when a
librarian may, without assumption, speak his occupation as profession .” Akan tetapi
sampai dengan tahun 1960-an para sosiolog masih meragukan kepustakawanan sebagai
profesi dan ilmu perpustakaan sebagai cabang ilmu yang mandiri. Butler (1961) misalnya
berpendapat bahwa kepustakawanan tidak dapat disebut sebagai suatu profesi.
Argumentasinya ialah ilmu perpustakaan belum merupakan cabang ilmu yang mendiri
karena tak mampu mengemukakan suatu teori. Adanya teori merupakan persyaratan ilmu
pengetahuan. Di samping itu pekerjaaan pustakawan terlalu mudah dan terlalu cepat
untuk dipelajari.
William J. Goode sosiolog terkenal Amerika Serikat berpendapat bahwa setiap
pekerjaan berusaha berkembang menjadi profesi. Akan tetapi ia berpendapat bahwa
kepustakawanan tidak akan pernah mencapai status sebagai profesi. Ia berdalih bahwa
pustakawan mempunyai kekuasaan yang sangat lemah terhadap pelanggannya. Ia
mengambil contoh, seleksi bahan pustaka merupakan kegiatan pustakawan. Akan tetapi
pustakawan tidak sepenuhnya menentukan buku apa yang harus dibaca oleh masyarakat
yang dilayaninya. Para pemakai jasa perpustakaan bebas membaca buku apa yang
diingininya walaupun menurut pustakawan buku tersebut tidak layak untuk dibaca.
Demikian juga mereka belum tentu membaca buku yang diseleksi pustakawan. Goode
menganggap pustakawan adalah “book custodian” atau penjaga gudang buku.
Masyarakat menganggap perpustakaan yang lebih penting, bukan pustakawannya. Ini
berbeda dengan profesi kedokteran, pengacara dan akuntan. Masyarakat mencari dokter,
pengacara dan akuntannya bukan rumah sakit, kantor pengacara atau kantor akuntannya.
Ia juga menganggap pustakawan tidak mengetahui apa yang harus dilakukanya karena
pustakawan tidak dapat mendefinisikan peran profesionalnya.
Apa yang dikemukakan oleh Goode mendapat tanggapan serius dari para
pustakawan Amerika Serikat. Artikel Goode diterbitkan ulang di ALA Bulletin dan
dijadikan bahan bahasan pada konferensi American Library Association pada tahun 1967.
Berbagai artikel tanggapan yang pro dan kontra juga muncul.
Penolakan kepustakawanan sebagai profesi juga dikemukakan oleh Presiden
Amerika Serikat, Roosevelt. Oleh karena itu ketika jabatan Kepala Perpustakaan Library
of Congress kosong pada tahun 1939 ia mengangkat seorang penyair Archibald Macleish
8
bukan seorang pustakawan, sebagai Kepala Perpustakaan Library of Congress. Penasehat
Roosevelt, Justice Felix Frankfurter menyatakan bahwa yang diperlukan untuk
memimpin perpustakaan tersebut adalah orang yang mempunyai enerji imaginatif dan
visi, yang mengetahui, mencintai dan yang membuat buku bukan pustakawan.
Kritik negatif terhadap profesi pustakawan tidak mengganggu perjuangan
kepustakawanan untuk diakui sebagai suatu profesi penuh. Memang jika dibandingkan
dengan profesi kedokteran, penasehat hukum dan akuntan, profesi kepustakawanan masih
berada setingkat di bawah profesi tersebut. Dalam hal kemandirian misalnya pustakawan
tidak dapat mandiri karena selalu harus bekerja di perpustakaan yang merupakan bagian
dari suatu organisasi yang lebih besar. Sering kepala perpustakaannya bukan seorang
pustakawan. Beda dengan dokter, penasehat hukum dan akuntan yang dapat mencari
nafkahnya sebagai “pekerja bebas” dengan membuka praktek, sampai saat ini belum ada
pustakawan Indonesia yang hidupnya buka praktek sebagai pustakawan.
Sekalipun kritikan itu kelihatannya menydutkan pustakawan, namun saat ini
kepustakawanan sudah diakui sebagai profesi yang mendapat penghargaan dari
pemerintah dan masyarakat luas. Asosiasi perpustakaan di sebagai salah satu syarat
profesi telah mapan di berbagai negara, misalnya American Library Association (ALA)
di Amerika, Library Association (LA) di Inggris, Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) di
Indonesia dsb. Pendidikan perpustakaan
yang juga merupakan syarat profesi, telah
berkembang di berbagai negara di dunia, sampai ke jenjang program doktor.
Sebagai suatu profesi, kepustakawanan dalam menopang kehidupan dan
perkembangan masyarakat mempunyai fungsi tradisional dan fungsi sosial. Fungsi
tradisional kepustakawanan berupa fungsi yang melekat pada profesi tersebut yaitu
mengumpulkan, memposes, menyimpan dan memberikan bahan pustaka kepada yang
memerlukannya. Fungsi kepustakawanan ini merupakan fungsi sempit atau fungsi pasif
yang diejek oleh Goode sebagai “book custodian.” Fungsi sosial kepustakawanan ialah
fungsi yang menopang semua aspek kehidupan dan perkembangan masyarakat. Fungsi ini
merupakan fungsi aktif yaitu fungsi yang bersama-sama profesi lainnya secara aktif
memecahkan masalah dan mengembangkan masyarakat. Fungsi ini membuat pustakawan
tidak hanya “duduk nongkrong” di perpustakaan, tapi bersama-sama profesi lainnya
secara aktif ikut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat seperti
9
kemiskinan, ketidak adilan, korupsi, dekadensi moral, pengembangan sumber daya
manusia, pengembangan industri, inovasi teknologi dsb. Misalnya, tanpa fungsi sosial
kepustakawanan, proses pendidikan tidak akan menghasilkan keluaran pendidikan yang
berkualitas tinggi.
5. Posisi Kepustakawanan di Indonesia
Setidak-tidaknya ada tiga pertanyaan yang dapat dimunculkan untuk mendapat
jawaban mengenai profesi kepustakawanan di Indonesia dalam era informasi, antara lain:
(1) Apakah peran kepustakawanan di Indonesia dalam era informasi ? (2) Apakah
Pustakawan Indonesia sudah siap menghadapi datangnya era in ? (3) Apakah yang harus
dilakukan oleh pustakawan Indonesia dalam menghadapi era tersebut ?
Jawaban terhadap pertanyaan pertama ialah pustakawan harus meningkatkan
pelaksanaan fungsi tradisionalnya dan fungsi sosialnya. Permintaan akan jasa
perpustakaan pasti akan meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Pustakawan
Indonesia harus meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan jasanya. Di samping itu
pustakawan harus menyusun program layanan jasa perpustakaan dan informasi untuk
menopang pelaksanaan program-program pembangunan sektoral dan wilayah yang makin
banyak jumlahnya. Program pembangunan itu tentunya membutuhkan informasi dalam
kuantitas yang banyak dan kulaitas yang baik. Untuk itu, perpustakaan harus bisa
menyediakan fasilitas agar masyarakat bisa melakukan akses ke sejumlah sumber
informasi dengan baik dan nyaman.
Pustakawan harus mampu menganalisa mengapa masyarakat desa tertinggal dan
umumnya miskin. Fakta menunjukkan bahwa salah satu sebab masyarakat tersebut
miskin adalah mereka miskin informasi mengenai bagaimana caranya mengembangkan
kehidupannya. Kemiskinan informasi ini menyebabkan mereka tidak mengetahui
bagaimana caranya mengembangkan pertanian dan industri di desanya dan membuat
mereka pasif. Pustakawan harus meleburkan diri dalam upaya pemerintah untuk
mengentaskan kemiskinan dengan merancang program layanan khusus untuk menopang
pelaksanaan program pemerintah.
Pustakawan harus mampu menganalisa dan memprediksi kebutuhan informasi
masyarakat, sehingga mereka bisa merancang pengadaan bahan pustaka yang tepat
sasaran. Dengan demikian pustakawan dapat memilih bahan pustaka yang tepat untuk
10
mengembangkan rasa ingin tahu pada masyarakat desa tertinggal ; melaksanakan bedah
nuku untuk menjelaskan isinya dan memotivasi mereka untuk membacanya dan
menerapkan isinya. Pustakawan datang ke desa tertinggal bukan hanya sekedar mendrop
buku.
Jawaban atas pertanyaan kedua adalah, pustakawan Indonesia kelihatannya belum
siap untuk menghadapi datangnya informasi. Ada sejumlah fakta yang mendukung
asumsi tersebut. Pertama, pustakawan Indonesia masih bersifat pengeluh belum sebagai
pemecah masalah. Sampai kini pustakawan Indonesia masih menjadi pengeluh, belum
manjadi pensolusi masalah. Misalnya, Pustakawan Indonesia merupakan sumber keluhan
bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah. Keluhan pustakawan ini membentuk
opini para pemimpin dan masyarakat Indonesia mengenai lemahnya minat baca manusia
Indonesia. Padahal keluhan seperti itu sudah dilontarkan oleh para pustakawan dan
penerbit pada masa lampau, dan sekarang keluhannya masih tetap sama. Pustakawan
kelihatannya tidak melihat fakta bahwa toko buku-toko buku di Indonesia seperti
Gramedia dsb., setiap harinya diserbu pembaca yang haus buku.
Jika para pustakawan masih mengeluh mengenai kurangnya minat baca orang
akan bertanya: Apa yang telah dilakukan pustakawan Indonesia semenjak dari dulu untuk
mengatasinya ? Apakah Pustakawan Indonesia telah putus asa ? Keluhan itu juga
menunjukkan ketidakberdayaan pustakawan untuk menanggulangi masalah tersebut.
Pustakawan Indonesia seharusnya bukan mengulang dan menyebarkan keluhan tersebut
tapi mangajukan solusinya. Adakan penelitian secara ilmiah dan susunlah program untuk
menanggulanginya.
Pemimpin pustakawan Indonesia juga selalu mengeluhkan kurangnya anggaran
dsb. Apakah Pustakawan Indonesia mengetahui bahwa dewasa ini banyak buku baru
yang diterjemahkan dari buku asing ? Apkah Pustakawan Indonesia tahu persis berapa
jumlah penerbitan yang diterbitkan oleh Biro Statistik dan lembaga pemerintah lainnya?
Mereka tidak melihat bahwa tenaga pustakawan yang ada belum dimanfaatkan. Mereka
tidak pernah menganalisa berapa persen dari koleksi perpustakaan yang pernah dijamah
pembaca. Mereka tidak menyadari bahwa anggaran untuk perpustakaan dewasa ini lebih
dari 1000 kali anggaran perpustakaan pada zaman orde lama. Mereka tidak pernah
menghitung efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran tersebut.
11
Dapat dikatakan umumnya perpustakaan Indonesia belum mempunyai rencana
strategis
yang perspektif seperti dunia bisnis dan industri. Para pemimpin
kepustakawanan Indonesia menyusun rencana secara kasualistis bukan perspektif jangka
panjang berdasarkan visi, misi, analisa lingkungan dan posisinya di lingkungannya.
Mereka hanya bereaksi terhadap kasus-kasus bukan berusaha membangun layanan
perpustakaan secara sistematis jangka panjang. Rencana yang ada juga kurang
terintegrasi dengan rencana pembangunan sektor-sektor lainnya. Pustakawan lebih sibuk
dengan dirinya sendiri dari pada mengurusi pemakai jasa pustakawan. Padahal dalam
alam pembangunan profesi kepustakawanan harus menciptakan terobasan dalam
melayani para pemakai jasa perpustakaan.
Jika sikap dan perilaku para pustakawan Indonesia tidak berubah, profesi
kepustakawanan di Indonesia juga akan tidak banyak berubah. Jika dunia bisnis dan
industri telah menerapkan manajeman mutu total (Total Quality Management) dan
International Standar Organization, sedangkan kepustakawanan Indonesia masih bersifat
birokratis. Kepustakawanan Indonesia masih akan miskin penelitian dan karya ilmiah
serta sarana komunikasi ilmiah. Pustakawan Indonesia lebih merupakan birokrat bukan
saintis atau teknolog yang berpikir berdasarkan sains dan teknologi. Pustakawan
Indonesia tidak banyak yang dapat bekerja di luar perpustakaan walaupun banyak di
antara mereka yang mempunyai pendidikan di luar bidang perpustakaan.
Tanpa terobosan para pustakawan, citra profesi kepustakawanan di masyarakat
tampaknya masih akan rendah. Studi yang pernah dilakukan berkesimpulan bahwa status
profesi kepustakawanan di mata masyarakat dan di mata pustakawan sendiri masih
rendah. Hal ini disebabkan antara lain kualitas layanan jasa rendah; bergaji rendah;
setengah dari pekerjaan di perpustakaan tidak memerlukan pendidikan profesional;
pustakawan masih dianggap sebagai profesi yang cocok untuk kaum wanita yang bergaji
rendah.
Jika demikian, apakah yang harus dilakukan oleh pustakawan Indonesia dalam
menghadapi informasi ini ? Pertama, Pustakawan Indonesia harus mempunyai
kepemimpinan yang kokoh. Kepemimpinan tersebut harus menekankan diri pada
kekuasaan keahlian dan kekuasaan informasi dan kekuasaan referen bukan hanya pada
kekuasaaan legitimasi dan kekuasaan koneksi. Misalnya, bagaimana pustakawan dapat
12
mengembangkan minat baca masyarakat jika pustakawan itu sendiri tidak memberi
contoh dirinya sendiri sebagai pembaca buku yang baik.
Kedua, Pustakawan Indonesia harus mengembangkan jiwa intrawirausaha atau
“intrapreneurshipsnya.” Pustakawan harus bersifat proaktif, mengambil inisiatif untuk
melaksanakan tanggung jawabnya dengan menciptakan program-program layanan jasa
perpustakaan baru bukan hanya sekedar “penunggu gudang buku.” Program-program
layanan jasa tersebut merupakan “action plan” dari rencana strategik perpustakaan.
Integrasikan rencana strategik tersebut dengan rencana pembangunan nasional dan daerah
serta rencana pengembangan sektor kehidupan. Untuk mencari sumber dana untuk
membiayai rencanan starategik tersebut pustakawan perlu mengembangkan dirinya
sebagai pelobi yang unggul bukan hanya sebagai pengeluh.
Ketiga, Pustakawan Indonesia harus mempelajari dan menerapkan teknologi
informasi terbaru untuk melayani layanan jasa perpustakaan yang akan terus meningkat
kuantitas dan kualitasnya. Pustakawan harus menguasai teknologi otomasi perpustakaan,
sistem database, internet, multimedia dsb. Dewasa ini semua teknologi informasi dapat
diperoleh di Indonesia dengan mudah. Akan tetapi tidak semua perpustakaan besar yang
mempunyai anggaran cukup besar telah mempunyai sistem otomasi perpustakaan.
Keempat, sistem manajemen perpustakaan harus dikembangkan dengan
menerapakan Total Quality Management dan Quality Circle. Pustakawan harus
mencontoh manajemen bisnis dan industri yang memfokuskan pada pemakai jasa,
perbaikan proses layanan dan peningkatan kualitas layanan secara terus menerus di
samping menigkatkan efisiensinya.
Kelima, untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaan, perlu disusun
program pengembangan sumber daya manusia pustakawan dalam bentuk pelatihan,
pendidikan dan pengembangan. Materi yang memerlukan perhatian khusus dalam
program tersebut ialah kemampuan pustakawan untuk berkomunikasi (meliputi ilmu
komunikasi
dan
bahasa
asing),
kemampuan
untuk
melaksanakan
intrapreneurship (inovasi dan kepemimpinan) dan teknologi informasi.
13
penelitian,
6. Kesimpulan
Dengan berkembangnya teknologi informasi dan telekomunikasi, sebagian
kebutuhan informasi masyarakat akan dipenuhi oleh informasi yang mengalir dari
berbagai situs. Aliran informasi sulit dikontrol dan akan memperlemah penyensoran
informasi yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah dan kelompok-kelompok
penekan.
Keadaan
tersebut
sebenarnya
memberi
banyak
peluang
bagi
profesi
kepustakawanan dan pustakawan Indonesia untuk melaksanakan visi dan misinya untuk
menopang pembangunan nasional. Sayangnya, tampaknya profesi kepustakawanan dan
pustakawan Indonesia belum siap untuk memanfaatkan peluang tersebut. Perpustakaan
Indonesia umumnya belum mempunyai rencana strategik untuk memanfaatkan peluang
tersebut. Para pustakawan Indonesia juga belum banyak yang menguasai teknologi
informasi. Pustakawan Indonesia masih terpaut pada dirinya sendiri belum banyak
melaksanakan fungsi sosialnya.
Profesi kepustakawanan Indonesia juga menghadapi tantangan berupa rendahnya
citranya di mata masyarakat dan pustakawan sendiri. Sebagian terbesar orang Indonesia
belum mengetahui apa pustakawan dan apa perannya dalam menigkatkan kualitas
hidupnya. Karena itu jangan salahkan mereka jika tidak datang ke perpustakaan dan tidak
memanfaatkan jasa yang disajikan pustakawan.
Bibliografi :
Bowden, R. (1994). Professional responsibilities of librarians and information workers.
IFLA Journal 20 (4) : 120-129.
Carr – Sanders, A. M & Wilson, P. A. (1993). The professions. Oxford: Cledon Press.
Hale, K. (1990). Special report: The image of librarian. Di Library and book trade
almanac 35th. Edition 1990-1991. New York: RR. Bowker.
Lewis, W. W. & Harris, M. (1992). Why globalization must prevail: An economic
rationale for the inevitable defeat of protectionism. Mckinsey quarterly (2), 114131.
Prins, H. & deGier, W. (1992). Image, status and reputation of librarianship and
information work. IFLA Journal 18 (2): 108-118.
Sulityo-Basuki. (1996). Perubahan Paradigma Informasi. Jakarta: Universitas Indonesia
Wirawan. (1996). Profesi Kepustakawanan Dalam Era Globalisasi.
14