Eksistensi Profesi Kepustakawanan Dalam Era Globalisasi

EKSISTENSI PROFESI KEPUSTAKAWANAN
DALAM ERA GLOBALISASI
Jonner Hasugian
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Perpustakaan
Fakultas Sastra USU

1. Konsep Dasar Profesi
Terminologi profesi secara jelas mempunyai pengertian yang berbeda dengan
istilah pekerjaan. Pekerjaan adalah seluruh aktivitas kerja yang mendapatkan imbalan
atau tidak mendapatkan imbalan, sedangkan profesi adalah pekerjaan dalam pengertian
khusus dan diikuti dengan persyaratan tertentu. Para ahli sosiologi telah lama membahas
sejumlah persyaratan dari suatu pekerjaan agar dapat disebut sebagai suatu profesi. Dari
apa dikemukakan oleh Carr-Sander (1933), Kleingartner (1967) dan Howsan (1976)
dapat disimpulkan bahwa profesi memerlukan persyaratan sebagai berikut: (1) Profesi
merupakan jasa yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi masyarakat (
kesejahteraan, kesehatan, keadilan, pendidikan dsb.). Tanpa profesi, fungsi-fungsi
masyarakat tersebut tidak dapat dilaksanakan. (2) Profesi adalah untuk melayani klien
atau pelanggan, yaitu individu dan masyarakat, bukan untuk kepentingan diri profesional.
Kesuksesan pelaksanaan profesi bukan diukur dari terpenuhinya kebutuhan dan kepuasan
klien, dan bukan karena imbalan uang semata pada profesional. (3) Untuk melaksanakan
profesi diperlukan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi tertentu bukan hanya sekedar

keterampilan dan pengalaman. Untuk itu profesional harus mengikuti pendidikan dan
sebaiknya lulus pendidikan tinggi. (4) Dalam melaksanaan profesi, profesional
berperilaku profesional yang diatur oleh standar profesi dan dikontrol oleh kode etik
profesi. (5) Suatu profesi mendapat kepercayaan dan pengakuan dari masyarakat. (6)
Profesional terorganisasi dalam asosiasi profesi yang mengembangkan profesi, menyusun
standar dan kode etik profesi dan mengawasi pelaksanaannya. (7) Profesional dan
organisasi profesi mempunyai otonomi dalam melaksanaan profesi.
Sejarah mencatat bahwa sejumlah pekerjaan tertentu telah berkembang dan
mendapatkan status sebagai profesi. Sebagian ada yang mendapat status semiprofesi dan
sebagian lagi ada yang gagal mendapatkan status profesi. Pekerjaan yang gagal ini
1

disebut sebagai pretender atau “seolah-olah profesi.” Semiprofesi adalah pekerjaan yang
memenuhi sebagian persyaratan profesi. Berbeda dengan “pretender ” yang tidak
mungkin memperoleh status sebagai profesi, semi profesi pada suatu saat dapat
berkembang menjadi suatu profesi penuh. Pada tahun 1960an Goode (1966) memberi
contoh semimprofesi adalah pekerja sosial. Sekarang pekerja sosial telah banyak yang
mendapat status sebagai profesi penuh. Sedangkan contoh pekerjaan yang seolah-olah
profesi saat ini ialah misalnya dukun, sopir, tukang dan pembantu rumah tangga, dan
sebagainya.


2. Profesi Kepustakawanan
Dalam catatan sejarah, pekerjaan pustakawan sudah ada pada abad sebelum
Masehi di Babilonia, Mesir dan Cina, akan tetapi baru mulai berkembang menjadi suatu
profesi pada abad ke 19. Secara tegas Melvil Dewey (1876) telah berani menyatakan
bahwa kepustakawanan merupakan profesi penuh. Ia menulis sbb.: “The time has come,
when a librarian may, without assumption, speak his occupation as profession.” Akan
tetapi sampai dengan tahun 1960an para sosiolog masih meragukan kepustakawanan
sebagai profesi dan ilmu perpustakaan sebagai cabang ilmu yang mandiri. Butler (1961)
misalnya berpendapat bahwa kepustakawanan tidak dapat disebut sebagai suatu profesi.
Argumentasinya ialah ilmu perpustakaan belum merupakan cabang ilmu yang mendiri
karena tak mampu mengemukakan suatu teori. Adanya teori merupakan persyaratan ilmu
pengetahuan. Di samping itu pekerjaaan pustakawan terlalu mudah dan terlalu cepat
untuk dipelajari.
William J. Goode (1966) sosiolog terkenal Amerika Serikat berpendapat bahwa
setiap pekerjaan berusaha berkembang menjadi profesi. Akan tetapi ia berpendapat
bahwa kepustakawanan tidak akan pernah mencapai status sebagai profesi. Ia berdalih
bahwa pustakawan mempunyai kekuasaan yang sangat lemah terhadap kliennya. Ia
mengambil contoh, seleksi bahan pustaka merupakan kegiatan pustakawan. Akan tetapi
pustakawan tidak sepenuhnya menentukan buku apa yang harus dibaca oleh masyarakat

yang dilayaninya. Para pemakai jasa perpustakaan bebas membaca buku apa yang
diingininya walaupun menurut pustakawan buku tersebut tidak layak untuk dibaca.
Demikian juga mereka belum tentu membaca buku yang diseleksi pustakawan. Goode
menganggap pustakawan adalah book custodian atau penjaga gudang buku. Masyarakat
2

menganggap perpustakaan yang lebih penting bukan pustakawannya. Ini berbeda dengan
profesi kedokteran, pengacara dan akuntan. Masyarakat mencari dokter, pengacara dan
akuntannya bukan rumah sakit, kantor pengacara atau kantor akuntannya. Ia juga
menganggap pustakawan tidak mengetahui apa yang harus dilakukanya karena
pustakawan tidak dapat mendefinisikan peran profesionalnya.
Apa yang dikemukakan oleh Goode mendapat tanggapan serius dari para
pustakawan Amerika Serikat. Artikel Goode diterbitkan ulang di ALA Bulletin dan
dijadikan bahan bahasan pada konferensi American Library Association pada tahun 1967.
Berbagai artikel tanggapan yang pro dan kontra juga muncul.
Penolakan kepustakawanan sebagai profesi juga dikemukakan oleh Presiden
Amerika Serikat, Roosevelt (Thompson, 1974). Oleh karena itu ketika jabatan Kepala
Perpustakaan Library of Congress kosong pada tahun 1939 ia mengangkat seorang
penyair Archibald Macleish bukan seorang pustakawan, sebagai Kepala Perpustakaan
Library of Congress. Penasehat Roosevelt, Justice Felix Frankfurter menyatakan bahwa

yang diperlukan untuk memimpin perpustakaan tersebut adalah orang yang mempunyai
enerji imaginatif dan visi, yang mengetahui, mencintai dan yang membuat buku bukan
pustakawan.
Kritik negatif terhadap profesi pustakawan tidak mengganggu perjuangan
kepustakawanan untuk diakui sebagai suatu profesi penuh. Memang jika dibandingkan
dengan profesi kedokteran, penasehat hukum dan akuntan, profesi kepustakawanan masih
berada setingkat di bawah profesi tersebut. Dalam hal kemandirian misalnya pustakawan
tidak dapat mandiri karena selalu harus bekerja di perpustakaan yang merupakan bagian
dari suatu organisasi yang lebih besar. Sering kepala perpustakaannya bukan seorang
pustakawan. Beda dengan dokter, penasehat hukum dan akuntan yang dapat mencari
nafkahnya sebagai “pekerja bebas” dengan membuka praktek, sampai saat ini belum ada
pustakawan Indonesia yang hidupnya buka praktek sebagai pustakawan.
Sebagai suatu profesi, kepustakawanan dalam menopang kehidupan dan
perkembangan masyarakat mempunyai fungsi tradisional dan fungsi sosial. Fungsi
tradisional kepustakawanan berupa fungsi yang melekat pada profesi tersebut yaitu
mengumpulkan, memposes, menyimpan dan memberikan bahan pustaka kepada yang
memerlukannya. Fungsi kepustakawanan ini merupakan fungsi sempit atau fungsi pasif
3

yang diejek oleh Goode sebagai book custodian . Fungsi sosial kepustakawanan ialah

fungsi yang menopang semua aspek kehidupan dan perkembangan masyarakat. Fungsi ini
merupakan fungsi aktif yaitu fungsi yang bersama-sama profesi lainnya secara aktif
memecahkan masalah dan mengembangkan masyarakat. Fungsi ini membuat pustakawan
tidak hanya “duduk nongkrong” diperpustakaan, tapi bersama-sama profesi lainnya
secara aktif ikut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat seperti
kemiskinan, ketidak adilan, korupsi, dekadensi moral, pengembangan sumber daya
manusia, pengembangan industri, inovasi teknologi dsb. Misalnya, tanpa fungsi sosial
kepustakawanan, proses pendidikan tidak akan menghasilkan keluaran pendidikan yang
berkualitas tinggi.

3. Era Globalisasi
Munculnya paradigma baru yang memandang informasi sebagai sumberdaya
strategis yang dibutuhkan oleh lingkungan bisnis, pemerintah, pendidikan, organisasi
profesi dan organisasi lainnya, maupun para individu agar lebih sukses dalam
lingkungannya merupakan titik awal lahirnya era globalisasi. Kelihatannya paradigma itu
telah mengglobal ke berbagai manca negara, sehingga apa yang disebut masyaratakat
informasi benar-benar telah mulai menjadi suatu kenyataan di era ini
Sebelumnya, futurelog Alvin Toffler memprediksi masyarakat informasi itu
didahuli oleh munculnya ‘revolusi informasi’. Menurut Toffler, sebahagian penyebab
yang mendorong munculnya revolusi informasi ialah demassifikasi ekonomi dan

peningkatan diversifikasi masyarakat. Masyarakat massal yang saat ini semakin terurai
tingkat kebutuhannya, mengakibatkan semakin terdifferensiasinya hal-hal yang berkaitan
dengan ekonomi. Kondisi ini secara langsung atau tidak langsung akan menimbulkan
dinamika kehidupan yang mengharuskan ketersediaan informasi. Artinya, aktivitas
seseorang dalam lingkungan pekerjaannya akan semakin memerlukan banyak informasi,
agar ia dapat mempertahankan integrasinya kepada sistem yang ada. Akibatnya,
informasi semakin lama semakin menjadi faktor yang krusial, yang perannya dapat
berbeda dengan faktor lainnya.
Masa kini dan mendatang akan tetap ditandai dengan globalisasi dalam berbagai
aspek, terutama aspek information and communication technology (ICT) yang merupakan
syarat mutlak menuju ke masyarakat informasi. Pada era mendatang, telekomunikasi, jasa
4

pelayanan publik termasuk pendidikan, serta teknologi informasi bukan lagi hanya
sekedar merupakan sektor-sektor yang hanya dilihat dari sudut pertumbuhan, melainkan
menjadi motor utama pertumbuhan pembangunan dan ekonomi. Untuk mencapai hal itu,
maka sangat diperlukan suatu infrastrukur informasi nasional yang menjadi bahagian dari
sistem informasi global
W.W. Lewis dan M. Harris (1992) mendefinisikan globalisasi sebagai tersebarnya
inovasi ekonomi ke seluruh dunia dan diikuti oleh penyesuaian perkembangan politik dan

budaya. Definisi tersebut menunjukkan bahwa globalisasi merupakan inovasi ekonomi
yang membuat ekonomi negara-negara di dunia merupakan suatu sistem ekonomi global
dengan batas yang kabur. Akan tetapi karena fenomena ekonomi bukan merupakan
fenomena yang terasing, inovasi ekonomi akan mendorong perkembangan kehidupan
politik dan budaya.
Proses perubahan kearah Globalisasi dewasa ini telah dimulai dan tonggak sejarah
pertamanya akan muncul tahun 2003 ketika Indonesia melaksanakan perdagangan bebas
ASEAN disusul dengan pelaksanaan pasar bebas Asia Pasifik tahun 2020. Ciri Era
Globalisasi merupakan kelanjutan ciri-ciri abad sebelumnya. Akan tetapi ada sejumlah
fenomena baru yang merupakan fenomena abad ke 21. Pada abad ke 21, letusan
informasi yang mulai terjadi pada pertengahan dekade terakhir abad ke 20 di negaranegara maju meluas ke negara-negara berkembang. Perkembangan teknologi informasi
menyebabkan penyebaran informasi dari satu negara ke negara lainnya berlangsung
sangat cepat.
Kebutuhan informasi bangsa Indonesia akan meningkat sejajar dengan
perkembangan bisnis, industri, pendidikan, ilmu dan teknologi, politik dan sosial budaya.
Meningkatnya kebutuhan informasi tersebut juga akan mendorong berkembangnya minat
baca orang Indonesia. Keadaan ini merupakan peluang dan tantangan bagi para
Pustakawan dan profesi kepustakawanan Indonesia.
Perkembangan teknologi informasi internet akan mengglobalkan layanan
“information database” yang sebelumnya bersifat nasional. Internet menyebabkan

dokumen sekunder dan dokumen primer (terutama artikel dan data saintifik dan
teknologi) yang terdapat dalam database negara maju dapat diakses dari Indonesia. Akan
tetapi karena sistem nasional database Indonesia belum terbentuk, maka informasi sains
5

dan teknologi Indonesia belum dapat diakses melalui internet dari daerah-daerah dan dari
negara-negara maju.
Perkembangan internet juga memungkinkan orang Indonesia mengikuti atau
sebagai partisipan seminar, simposium, pelatihan dan diskusi melalui internet. Informasi
negatif dan merusak dapat dibaca oleh setiap pelanggan internet. Karena penerbitan
dalam internet tidak memerlukan Surat Izin Terbit dari pemerintah, akan muncul banyak
penerbitan dalam “home page” internet.
Globalisasi ekonomi dunia menimbulkan persaingan ketat dalam dunia bisnis,
industri dan perdagangan Indonesia dengan mancanegara. Untuk memenangkan
persaingan diperlukan sumber daya yang berkualitas dan informasi dalam bidang
tersebut. Hal ini memerlukan peningkatan layanan informasi untuk pendidikan dan
kegiatan ekonomi.
Pembukaan pintu pasar Indonesia terhadap barang dan jasa luar negeri akan
diikuti oleh pembukaan pintu pasar tenaga kerja Indonesia. Pasar tenaga kerja Indonesia.
Pasar tenaga kerja Indonesia akan diserbu oleh tenaga kerja profesional. Misalnya,

masuknya bisnis rumah sakit ke Indonesia akan diikuti oleh masuknya dokter
mancanegara ke Indonesia. Masuknya bisnis dan industri luar negeri ke Indonesia akan
diikuti oleh masuknya para insinyur dan manajer luar negeri. Akan tetapi para
pustakawan Indonesia boleh merasa lega, karena pustakawan mancanegara tidak akan
tertarik untuk bekerja di Indonesia. Hal ini disebabkan gaji pustakawan Indonesia jauh
lebih rendah dari gaji mereka di tanah airnya dan mereka tidak akan tertarik untuk
bekerja di perpustakaan Indonesia. Karena dana bantuan luar negeri negara-negara maju
kepada negara berkembang dikurangi jumlahnya, jumlah perpustakaan asing di Indonesia
akan berkurang, dan yang bekerja diperpustakaan tersebut juga pustakawan Indonesia.
Hal yang mungkin menyerbu Indonesia ialah bisnis penerbitan buku dan yang mungkin
akan memberi pekerjaan bagi mereka yang berpendidikan ilmu perpustakaan.

4. Posisi Kepustakawanan di Indonesia
Ada tiga pertanyaan yang timbul mengenai profesi kepustakawanan di Indonesia
dalam Era Globalisasi: (1) Apakah peran kepustakawanan Indonesia dalam era
globalisasi ? (2) Apakah Pustakawan Indonesia sudah siap menghadapi datangnya Era

6

Globalisasi ? (3) Apakah yang harus dilakukan oleh pustakawan Indonesia dalam

menghadapi Era Globalisasi ?
Jawaban terhadap pertanyaan pertama ialah pustakawan harus meningkatkan
pelaksanaan fungsi tradisionalnya dan fungsi sosialnya. Permintaan akan jasa
perpustakaan meningkat kuantitas dan kualitasnya. Pustakawan di Indonesia harus
meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan jasanya. Di samping itu, pustakawan harus
menyusun program layanan jasa perpustakaan dan informasi untuk menopang
pelaksanaan program-program pembangunan sektoral dan wilayah yang makin banyak
jumlahnya.
Misalnya pustakawan harus turut serta secara aktif melaksanakan program
pengentasan kemiskinan. Untuk itu pustakawan harus menganalisa mengapa masyarakat
desa tertinggal umumnya miskin. Fakta menunjukkan bahwa salah satu sebab masyarakat
tersebut miskin adalah mereka miskin informasi mengenai bagaimana caranya
mengembangkan kehidupannya. Kemiskinan informasi ini menyebabkan mereka tidak
mengetahui bagaimana caranya mengembangkan pertanian dan industri di desanya dan
membuat mereka pasif. Pustakawan harus meleburkan diri dalam upaya pemerintah untuk
mengentaskan kemiskinan dengan merancang program layanan khusus untuk menopang
pelaksanaan program pemerintah.
Pustakawan memilih bahan pustaka yang tepat untuk mengembangkan “know how”
masyarakat desa tertinggal ; melaksanakan “book talk” untuk menjelaskan isinya dan
memotivasi mereka untuk membacanya dan menerapkan isinya. Pustakawan datang ke

desa tertinggal bukan hanya sekedar mengedrop buku.
Jawaban atas pertanyaan kedua adalah, pustakawan Indonesia kelihatannya belum
siap untuk menghadapi datangnya Era Globalisasi. Ada sejumlah fakta yang mendukung
asumsi tersebut. Pertama, pustakawan Indonesia masih bersifat “complainer ” belum
sebagai “problem solver .” Sampai kini pustakawan Indonesia masih menjadi pengeluh,
belum manjadi pensolusi masalah. Misalnya, Pustakawan Indonesia merupakan sumber
keluhan bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah. Keluhan pustakawan ini
membentuk opini para pemimpin dan masyarakat Indonesia mengenai lemahnya minat
baca manusia Indonesia. Padahal keluhan seperti itu sudah dilontarkan oleh para
pustakawan dan penerbit pada Tahun Buku Internasional 1972 dan pada tahun 1996
7

keluhannya masih sama. Pustakawan kelihatannya tidak melihat fakta bahwa tokobukutokobuku Indonesia seperti gramedia dan Gunung Agung, setiap harinya diserbu pembaca
yang haus buku.
Jika para pustakawan masih mengeluh mengenai kurangnya minat baca orang
akan bertanya: Apa yang telah dilakukan pustakawan Indonesia semenjak tahun 1972 ?
Apakah Pustakawan Indonesia telah putus asa ? Keluhan itu juga menunjukkan
ketidakberdayaan pustakawan untuk menanggulangi masalah tersebut. Pustakawan
Indonesia seharusnya bukan mengulang dan menyebarkan keluhan tersebut tapi
mangajukan solusinya. Adakan penelitian secara ilmiah dan susunlah program untuk
menanggulanginya.
Pemimpin pustakawan Indonesia juga selalu mengeluhkan kurangnya anggaran
dsb. Apakah Pustakawan Indonesia mengetahui bahwa dewasa ini banyak buku baru
tentang “how to” yang diterjemahkan dari buku asing? Apkah Pustakawan Indonesia tahu
persis berapa jumlah penerbitan yang diterbitkan oleh Biro Statistik dan lembaga
pemerintah lainnya? Mereka tidak melihat bahwa tenaga pustakawan yang ada belum
dimanfaatkan. Mereka tidak pernah menganalisa berapa persen dari koleksi perpustakaan
yang pernah dijamah pembaca. Mereka tidak menyadari bahwa anggaran untuk
perpustakaan dewasa ini lebih dari 1000 kali anggaran perpustakaan pada zaman orde
lama. Mereka tidak pernah menghitung efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran
tersebut.
Dapat dikatakan umumnya perpustakaan Indonesia belum mempunyai rencana
strategik yang perspektif seperti dunia bisnis dan industri dan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional. Para pemimpin kepustakawanan Indonesia menyusun rencana
secara kasualistis bukan perspektif jangka panjang berdasarkan visis, misi, analisa
lingkungan dan posisinya di lingkungannya. Mereka hanya bereaksi terhadap kasus-kasus
bukan berusaha membangun layanan perpustakaan secara sistematis jangka panjang.
Rencana yang ada juga kurang terintegrasi dengan rencana pembangunan sektor-sektor
lainnya. Pustakawan lebih sibuk dengan dirinya sendiri dari pada mengurusi pemakai
jasa pustakawan. Padahal dalam alam pembangunan profesi kepustakawanan harus
menciptakan terobasan dalam melayani para pemakai jasa perpustakaan.

8

Jika sikap dan perilaku para pustakawan Indonesia tidak berubah, profesi
kepustakawanan di Indonesia juga akan tidak banyak berubah. Jika dunia bisnis dan
industri telah menerapkan “Total Quality Management” dan International Standar
Organization, kepustakawanan Indonesia masih bersifat birokratis. Kepustakawanan
Indonesia masih akan miskin penelitian dan karya ilmiah serta sarana komunikasi ilmiah.
Pustakawan Indonesia lebih merupakan birokrat bukan saintis atau teknolog yang
berpikir berdasarkan sains dan teknologi. Pustakawan Indonesia tidak banyak yang dapat
bekerja di luar perpustakaan walaupun banyak di antara mereka yang mempunyai
pendidikan di luar bidang perpustakaan.
Tanpa terobosan para pustakawan, citra profesi kepustakawanan di masyarakat
tampaknya masih akan rendah.Studi yang dilakukan oleh Round Table for Management
of Library Association (Prins & deGier, 1992) dan American Special Library Association
(Hale, 1990) berkesimpulan bahwa status profesi kepustakawanan di mata masyarakat
dan di mata pustakawan sendiri masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain kualitas
layanan jasa rendah; bergaji rendah; setengah dari pekerjaan di perpustakaan tidak
memerlukan pendidikan profesional; pustakawan masih dianggap sebagai profesi yang
cocok untuk kaum wanita yang bergaji rendah.
Jika demikian, apakah yang harus dilakukan oleh pustakawan Indonesia dalam
menghadapi Era Globalisasi ? Pertama, Pustakawan Indonesia harus mempunyai
“leadership”yang kokoh. Kepemimpinan tersebut harus menekankan diri pada kekuasaan
keahlian dan kekuasaan informasi dan kekuasaan referen (Kharisma) bukan hanya pada
kekuasaaan legitimasi dan kekuasaan koneksi. Misalnya, bagaimana pustakawan dapat
mengembangkan minat baca masyarakat jika pustakawan itu sendiri tidak memberi
contoh dirinya sendiri sebagai pembaca buku yang baik.
Kedua, Pustakawan Indonesia harus mengembangkan jiwa intrawirausaha atau
“intrapreneurshipsnya.” Pustakawan harus bersifat proaktif, mengambil inisiatif untuk
melaksanakan tanggung jawabnya dengan menciptakan program-program layanan jasa
perpustakaan baru bukan hanya sekedar “penunggu gudang buku.” Program-program
layanan jasa tersebut merupakan “action plan” dari rencana strategik perpustakaan.
Integrasikan rencana strategik tersebut dengan rencana pembangunan nasional dan daerah
serta rencana pengembangan sektor kehidupan. Untuk mencari sumber dana untuk
9

membiayai rencanan starategik tersebut pustakawan perlu mengembangkan dirinya
sebagai pelobi yang unggul bukan hanya sebagai pengeluh atau “complainer .”
Ketiga, Pustakawan Indonesia harus mempelajari dan menerapkan teknologi
informasi terbaru untuk melayani layanan jasa perpustakaan yang akan terus meningkat
kuantitas dan kualitasnya. Pustakawan harus menguasai teknologi otomasi perpustakaan,
sistem database, internet, multimedia dsb. Dewasa ini semua teknologi informasi dapat
diperoleh di Indonesia dengan mudah. Akan tetapi tidak semua perpustakaan besar yang
mempunyai anggaran cukup besar telah mempunyai sistem otomasi perpustakaan.
Keempat, sistem manajemen perpustakaan harus dikembangkan dengan
menerapakan Total Quality Management dan Quality Circle. Pustakawan harus
mencontoh manajemen bisnis dan industri yang memfokuskan pada pemakai jasa,
perbaikan proses layanan dan peningkatan kualitas layanan secara terus menerus di
samping menigkatkan efisiensinya.
Kelima, untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaan, perlu disusun
program pengembangan sumber daya manusia pustakawan dalam bentuk pelatihan,
pendidikan dan pengembangan. Materi yang memerlukan perhatian khusus dalam
program tersebut ialah kemampuan pustakawan untuk berkomunikasi (meliputi ilmu
komunikasi

dan

bahasa

asing),

kemampuan

untuk

melaksanakan

penelitian,

intrapreneurship (inovasi dan kepemimpinan) dan teknologi informasi.

5. Kesimpulan
Empat tahun lagi profesi kepustakawanan Indonesia akan memasuki Abad ke-21
abad mulainya Era Globalisasi. Dalam era tersebut kebutuhan informasi bangsa Indonesia
akan meningkat. Dengan berkembangnya teknologi informasi dan telekomunikasi,
kebutuhan tersebut sebagian akan dipenuhi oleh informasi yang mengalir dari luar negeri
ke Indonesia dengan memanfaatkan teknologi informasi dan telekomunikasi. Aliran
informasi luar negeri yang sulit dikontrol akan memperlemah penyensoran informasi
yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah dan kelompok-kelompok penekan.
Keadaan

tersebut

sebetulnya

memberi

banyak

peluang

bagi

profesi

kepustakawanan dan pustakawan Indonesia untuk melaksanakan visi dan misinya untuk
menopang pembangunan nasional. Sayangnya, tampaknya profesi kepustakawanan dan
pustakawan Indonesia belum siap untuk memanfaatkan peluang tersebut. Perpustakaan
10

Indonesia umumnya belum mempunyai rencana strategik untuk memanfaatkan peluang
tersebut. Para pustakawan Indonesia juga belum banyak yang menguasai teknologi
informasi. Pustakawan Indonesia masih terpaut pada dirinya sendiri belum banyak
melaksanakan fungsi sosialnya.
Profesi kepustakawanan Indonesia juga menghadapi tantangan berupa rendahnya
citranya di mata masyarakat dan pustakawan sendiri. Sebagian terbesar orang Indonesia
belum mengetahui apa pustakawan dan apa perannya dalam menigkatkan kualitas
hidupnya. Karena itu jangan salahkan mereka jika tidak datang ke perpustakaan dan tidak
memanfaatkan jasa yang disajikan pustakawan.
Thompson

(1974) menyatakan bahwa perpustakaan merupakan sumber

kekuasaan. Kekuasaan ini berasal dari kenyataan bahwa perpustakaan merupakan gudang
Ilmu pengetahuan dan tempat penyimpanan rekaman penemuan dan karya umat manusia.
Dengan kekuasaan tersebut pustakawan, perpustakaan dan profesi kepustakawanan dapat
menjadi agen perubahan. Profesi kepustakawanan seharusnya mendasarkan pada
penghargaan dan penggunaan kekuasaan tersebut. Akan tetapi menurut Thompson,
profesi kepustakawanan memboroskan enerjinya pada pekerjaan rutin yang bersifat teknis
dan klerikal, suatu pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh bukan pustakawan. Inilah
sebabnya sebagian besar anggota masyarakat tidak mengetahui apa itu pustakawan dan
apa kegunaannya. Thompson mengemukakan solusi berupa penciptaan “korp elit
pustakawan” yang berpendidikan, berpengalaman dan mempunyai komitmen tinggi
terhadap profesinya.
Dengan pola pikir seperti itulah seharusnya pustakawan Indonesia menyongsong
dan berperan dalam Era Globalisasi

BIBLIOGRAFI
Bowden, R. ( 1994). Professional responsibilities of librarians and information workers.
IFLA Journal 20 (4) : 120-129.
Brandeis, L. D. ( 1914 ). Business – A profession. Moston, MS : Small, Maynard.
Butler, P. (1951, October). Libararianship as a profession. Library quarterly, 21: 235-247.

11

Carr – Sanders, A. M & Wilson, P. A. (1993). The professions. Oxford: Cledon Press.
Etzioni, A., ed. (1969). The semi profession and their organization: Teacher, Nursing,
Social Worker. New York: The free Press.
Ferguson, Stephney. ( 1992 ). Strategik planning for National Libraries in Developing
Countries: An optimist’s view. IFLA Journal 18 (4) : 339 – 344.
Goode, W. ( 1966 ). The librarian: From accupation to profession? Di Howard M.
Volmer dan Donald L. Mills (Ed.), Professionalization. Englewood Cliffs: Prentice Hall.
Hale, K. (1990). Special report: The image of librarian. Di Library and book trade
almanac 35th. Edition 1990-1991. New York: RR. Bowker.
Howsam, B, Corrigan, D.C, Denemark, G. W. & Nash, R. J. (1976). Educating a
profession. Washington, D.C: American Association of Colleges for Teacher Education.
Kleingatner, A. (1967). Professionalism and salaried worker organization. Madison:
University of Wiscounsin.
Lewis, W. W. & Harris, M. (1992). Why globalization must prevail: An economic
rationale for the inevitable defeat of protectionism. Mckinsey quarterly (2), 114-131.
McRae, H. (1995). Dunia di tahun 2020 kekuatan, budaya dan kemakmuran: Wawasan
tentang masa depan. Jakarta: Binarupa Aksara.
Prins, H. & deGier, W. (1992). Image, status and reputation of librarianship and
information work. IFLA Journal 18 (2): 108-118.
Thompson, J. (1974). Library power: A new philosophy of librarianship. Hamden: Lennet
Books & Clive Bingley.

12