Sintesis Ramah Lingkungan Surfaktan Lukosamida Sebagai Pengemulsi Produk Obat-Obatan

TEKNIK
PERUBAHAN IKLIM &.t
PELEST ARIAN LINGKUNGAN

LAPORAN AKHIR
PENELITIAN HIBAH STRATEGIS NASIONAL
TAHUN2010

: \00 t 8"" C7
D_ fl. ..L. セMOQN]

_ _,

SINTESIS RAMAH LINGKlJNGAN SURFAKTAN
GLUKOSAMIDA SEBAGAI PEN(;EMULSI _
PRODUK OBAT--OBATAN

Dr. Zuhrina Masyithah, ST, IviSc.
Prof. Dr. lr. Armansyah Ginting, M.Eng.

Dibiayai Oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Strategis Nasional
Tahun Anggaran 2010 Nomor: 2693/H5.l.R/KEU/SP2H/2010 tanggal3 Mei 2010

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
NOPEMBER 2010

I
セ@

--------------------------------- -

RINGKASAN DAN SUMMARY
Sintesis surfaktan glukosamida yang ramah lingkungan serta dapat digunakan sebagai
pengemulsi produk obat-obatan diamati pada penelitian ini. Glukosamida diperoleh dari
bahan yang murah dan terbarukan yaitu me til ester asam lemak (MEAL) dari min yak
sawit dan glukosamina menggunakan enzim lipase (Lipozym TL IM® dan Novozym
435®). Pengamatan dilakukan melalui tahap pendahuluan, tahap optimasi dan tahap
pengembangan proses. Pada tahap pendahuluan diamati pengaruh jenis enzim terhadap
persen konversi MEAL. Diperoleh bahwa konversi MEAL yang lebih baik diperoleh jika

menggunakan enzim Novozym, dengan konversi mencapai 50% pada suhu kamar. Pada
tahap optimasi diamati pengaruh interaksi dari variabel penelitian, menyusun model
persamaan optimasi serta menentukan kondisi reaksi amidasi yang optimum menggunakan
Metode Permukaan Sambutan untuk mendapatkan persen konversi metil ester asam lemak
yang maksimum. Variabel penelitian yang diamati adalah temperatur, konsentrasi enzim,
rasio molar substrat, rasio pelarut dan waktu inkubasi. Diamati bahwa peningkatan
temperatur, konsentrasi substrat dan enzim, secara simultan meningkatkan yield
glukosamida. Kondisi optimum diperoleh bila menggunakan konsentrasi Novozym 6 %
rasio molar MEAL:GM 1:1; temperatur 60-70°C ; rasio pelarut 1: 1 sampai 1,5: 1
(pelarut:MEAL) serta waktu _inkubasi 70 _jam. Reaksi pada kondisi optimum akan
menghasilkan persen konversi MEAL 78,58 %. Pada tahap pengembangan proses
dilakukan upaya peningkatan efisiensi proses dan pelestarian lingkungan melalui
penggunaan kembali enzim (recoveri enzim). Diamati bahwa pengulangan enzim hingga
8 kali masih memberikan hasil yang baik pada reaksi enzimatik ini. Untuk mengetahui
terjadinya hasil reaksi amidasi dilakukan uji ウエイセォオ@
dengan spektrometer infra merah
(FT-IR). Selanjutnya dilakukan pengukuran nilai HLB, analisa sifat fisika dengan metode
titrasi serta analisa sifat kestabilan emulsi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menghasilkan surfaktan glukosamida yang murah dan alami karena diperoleh dari bahan
baku- yang dapat diperbaharui dan diolah melalui proses yang dapat diterima secara

ekologis.

Kata kunci: glukosamina, lipase, metil ester asam lemak (MEAL), Metode Permukaan
Sambutan, recoveri enzim.

PRAKATA
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang karena dengan
rahrnatNya Laporan Akhir Penelitian Hibah Strategis Nasional ini dapat diselesaikan.
Laporan penelitian ini ditulis sebagai rangkuman hasil penelitian Hibah Strategis
Nasional dengan judul Sintesis Ramah Lingkungan ·surfaktan Glukosamida Sebagai

Pengemulsi Produk Obat-Obatan,

yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, sesuai dengan Surat
Perjanjian

Pelaksanaan


Penelitian

Hibah

Strategis

Nasional,

Nomor:

2693/H5.1.R/KEU/SP2H/2010 tanggal3 Mei 2010.
Pada kesempatan penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pembinaan
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional yang mendanai penelitian ini sehingga selesai sampai
penulisan laporan. Diharapkan penelitian ini dapat dilanjutkan dengan kajian yang
berbeda. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Medan, Oktober 2010

Dr. Zuhrina Masyithah, ST, MSc.


DAFTARISI
Hal am an
HALAMAN PENGESAHAN . l\ tL
peryオsャakZNエセBゥ@
RINGKASAN DAN SUMMA tJ NIVERSITA5 SUMATI:.RA UTARA
PRAKATA
- DAFTAR lSI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BABI
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Urgensi Penelitian
1.3. Luaran Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
BAB II
2.1 State of The Art Penelitian: Optimasi Sintesis Glukosamida
2.2 Hasil yang Sudah Dicapai

2.3 Studi Pendahuluan
BAB III
TUJUAN DAN MANF AAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
3.2. Manfaat Penelitian
METODE PENELITIAN
BABIV
4.1. Tempat dan Waktu
4.2. Bahan dan Alat
4.3. Tahapan Penelitian
4.3.1. Penelitian Pendahuluan
4.3.2. Penelitian Optimasi
4.3.3. Penelitian Pengembangan Proses
4.4 Pemurnian dan Analisis
4.5 Luaran dan Indikator Capaian
HASIL DAN PEMBAHASAN
BABV
5.1 p・ュセャゥエ。ョ@
Pendahuluan
5.2 Optimasi Sintesis Glukosamida

5.2.1 Prediksi Model Regresi
5.2.2 Analisis Variansi
5.2.3 Uji Verifikasi Model
5.2.4 Analisis Pengaruh Variabel
5.3 Recoveri Enzim
5.4 Analisis Sifat Kestabilan Emu lsi
5.5 Analisis Hasil
5.5.1 Analisis Spektrum FTIR
5.5 .2 Analisis Sifat Fisika Kimia
KESIMPULAN DAN SARAN
BAB VI
6.1. Kesimpulan
6.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMP IRAN

11
111

iv

v
VI

1
1
2
5
6
6

10
13
26
26
26
27
27
28

29

29
29
33
35
36
37
37
39

40
42
42
43

60
61
62
62

64

67
67
67
68

71

DAFTAR TABEL
Hal am an
Tabel2.1
Tabel2.2
Tabel4.1

Tabel4.2
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel5.3

"Roadmap" Penelitian
Nilai HLB berdasarkan gugus fungsi

Variabel dan Level yang Dikembangkan untuk Sintesis
Glukosamida dari Metil Ester Asam Lemak (MEAL) dan
Glukosamina (GM)
Eksperimen Aktual yang Dilakukan dan Dikembangkan dari
Model
Hasil Optimasi Sintesis Glukosamida
Hasil Prediksi Koefisien Regresi untuk Menyusun Model
Permukaan Sambutan Sintesis Glukosamida
Karakteristik Produk Glukosamida

17

23
30

32

40
41
65

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 .
Gambar 2.2.
Gambar 2.3 .
Gambar 4.1 .
Gambar 4.2.
Gambar 4.3 .
Gambar 5.1

Gambar 5.2

Gambar 5.3
Gambar 5.4

Gambar 5.5
Gambar 5.6.
Gambar 5.7.
Gambar 5.8.
Gambar 5.9
Gambar 5.10
Gambar 5.11
Gambar 5.12
Gambar 5.16

Beberapajenis surfaktan alkanolamida
Sintesis alkanolamida dari asam lemak
Sintesis alkanolamida dari ester asam lemak
Skema Reaksi Sintesis Glukosamida
Bagan Alir Penelitian Optimasi
Bagan Alir Tahap Optimasi Menggunakan Metode
Permukaan Sambutan
Penentuan Jenis Enzim pada Sintesis Glukosamida dari
MEAL+GM (Rasio GM/MEAL 2/1 , Pelarut tert-amil
alkohol, Konsentrasi Enzim 10% (b/b AL), T=30°C)
Grafik probabilitas normal residual, Residual denganfitted
value dan Residual dengan Order Model pada Sintesis
glukosamida
Respon permukaan dan kontur dari plot konsentrasi enzim
dan rasio mol
Respon permukaan dan kontur dari plot konsentrasi enzim
dan temperatur
Respon permukaan dan kontur dari plot temperatur dan rasio
molar substrat
Respon permukaan dan kontur dari plot rasio pelarut dan
temperatur
Respon permukaan dan kontur dari plot konsentrasi enzim
dan rasio pelarut pada sintesis glukosamida
Respon permukaan dan kontur dari plot rasio pelarut dan
rasio mol substrat
Respon permukaan dan kontur dari plot rasio pelarut dan
waktu Inkubasi
Respon permukaan dan kontur dari waktu inkubasi dan
temperatur
Respon pemmkaan dan kontur dari waktu inkubasi dan rasio
Substrat
Hasil Pengamatan Waktu Inkubasi dan Konsentrasi Enzim
Pengamatan Recoveri Enzim pada Sintesis Glukosamida

Hal am an
17
18
18
30
31
34
38

39

44
47

49
50
53
54
5557
58
59
61

Gambar 5.17 - Hasil Spektra FTIR Bahan Baku Glukosamina

63

Gambar 5.18

64

Hasil Spektra FTIR Produk Glukosamida

DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2

Prosedur Analisa Sampel
Biodata Tim Peneliti

71
73

BABI
PENDAHIJLUAN

1.1 Latar Belakang
Keinginan untuk melestarikan lingkungan dan regulasi yang diterbitkan untuk
maksud menghempang perusakan lingkungan sebagai dampak kemajuan peradaban
manusia/teknologi merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi. Untuk itu, setiap
perkembangan teknologi bagi menopang peradaban manusia mesti senantiasa
mengkaji dampak lingkungan.

Sebagai teknologi dengan pennintaan produk sebesar II ,82 juta ton pe11ahun
dan pertumbuhan permintaan rata-rata 3 persen pertahun (Widodo, 2004), teknologi
pembuatan surfaktan yang selama ini menggunakan menggunakan bahan baku,
katalis dan pelarut yang toksik dan berbasis petrolium, harus mengadopsi cara yang
lain. Teknologi sintesis surfaktan ban1 yang dilakukan diharapkan memenuhi dua
kriteria yaitu surfaktan yang diperoleh dari bahan baku yang dapat diperbaharui
(renewable) dan diolah melalui proses yang ramah lingkungan (biodegradable).

Salah satu surfaktan yang memenuhi kedua kriteria tersebut adalah

surfaktan

glukosamida yang disintesis secm·a enzimatik.

Sintesis secara enzimatik mempunyai beberapa keunggulan seperti beke1ja
pada suhu yang lebih rendah (Herawan, · 2004), dan dapat dilakukan dengan
menggunakan pelarut organik non-toksik seperti tert-amil alkohol yang secara
ekologis lebih aman (Ducret, dkk. 1996). Sintesis enzimatik juga tidak memerlukan
proteksi/deproteksi reagen karena enzim bersifat regio dan stereo maupun
kemoselektif (Ee Lin Soo, dkk. 2003). Pada sintesis enzimatik, biokatalis dan pelarut
organik juga mudah dipisahkan dari produk. Biokatalis, karena bentuknya yang
granula atau terimobilisasi, dapat dipisahkan dari produk mentah secara filtrasi

sementara pelarut organik dipisahkan dengan penguapan pada tekanan rendah
(Herawan, 2004).

Meskipun pelarut organik memberi beberapa manfaat pada sintesis enzimatik,
namun penggunaannya pada industri proses menjadi tidak diharapkan karena
beberapa sebab. Diantara sebab-sebab tersebut antara lain pelarut organik adalah
komponen yang mudah menguap sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan,
serta penggunaannya memerlukan tambahan biaya proses untuk menguapkan dan
menggunakannya kembali. Selain itu, penggunaan pelarut organik memerlukan
reaktor dan peralatan pendukung yang lebih banyak (Par Tufvesson, dkk. 2007).
Oleh sebab itu proses tanpa pelarut (solvent free process) merupakan alternatif
sintesis yang memberikan manfaat bagi lingkungan dan efisiensi proses. Alternatif
lain untuk mengoptimalkan perolehan glukosamida adalah dengan melakukan
kontrol reaksi menggunakan Metode Permukaan Sambutan

(Montgomery, 1997).

Metoda ini dapat digunakan untuk menentukan kondisi reaksi yang tepat serta
mendapatkan yield produk yang maksimum (Ramkrishna dan Swaminathan (2004);
dan Rodrigues, dkk. (2006)).

1.2

Urgensi Penelitian
Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan yang disintesis dari minyak

sawit sangat besar. Hal ini mengingat luas areal perkebunan kelapa sawit di
Indonesia yang semakin meningkat dengan pesat tiap tahunnya. Pada tahun 2008,
Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit dengan total produksi
mencapai lebih dari 19,2 juta ton (Majalah Tempo, 2009). Pengembangan industri
kelapa sawit di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh produk CPO (crude

palm oil) dan minyak goreng. Produk sawit Indonesia lebih cenderung diekspor
dalam bentuk CPO ke negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, Jepang,
Amerika, dan sebagainya. Tahun 1999 di saat produksi CPO Indonesia sekitar
5.949.183 ton, ternyata volume CPO yang diekspor mencapai 4.616.900 ton atau
senilai US$ 1.879.155.400.



2





--

Produk CPO yang tidak diekspor sekitar 90 persen dimanfaatkan sebagai
produk pangan, hanya sekitar 10 persen minyak sawit yang dimanfaatkan sebagai
produk nonpangan. Padahal nilai tambah terbesar yang diperoleh adalah pada
produk-produk nonpangan yang dimanfaatkan oleh industri kosmetika, oleokimia,
sabun, deterjen, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu masih terdapat potensi nilai
tambah yang belum dimanfaatkan secara maksimum. Disamping itu, saat ini untuk
menutupi kebutuhan industri-industri akan produk-produk hilir minyak sawit seperti
gliserin, surfaktan, dan produk oleokimia lainnya, Indonesia mengimpor dari negara
lain dalam jumlah yang tidak sedikit dengan harga mahal. Hal ini merupakan salah
satu peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan potensi komoditas sawit yang
dimiliki.

Salah satu upaya untuk mengembangkan potensi minyak sawit adalah dengan
disintesis menjadi surfaktan. Surfaktan adalah suatu senyawa aktif penurun tegangan
permukaan (surface active agent)

yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan

gugus hidrofobik dalam satu struktur molekul yang sama. Senyawa ini dapat
menurunkan tegangan antarmuka antara dua fasa cairan yang berbeda kepolarannya
seperti minyak/air atau air/minyak. Sifat yang unik tersebut, menyebabkan surfaktan
sangat potensial digunakan sebagai komponen bahan adhesif, bahan penggumpal,
pembasah, pembusa dan pengemulsi (Johnson dan Fritz, 1989).

Surfaktan glukosamida diperoleh dari reaksi antara Metil Ester Asam Lemak
(MEAL) dengan glukosamina. MEAL dapat dihasilkan dari reaksi metanolisis
minyak sawit sehingga terdapat dalam jumlah besar dan berkesinambungan di
Indonesia. Glukosamina merupakan senyawa yang mempunyai banyak manfaat
antara lain sebagai anti bakteri (Ee Lin Soo, dkk. 2003) serta mampu mengatasi
kerusakan sendi dan rasa nyeri (Maugard, dkk. 1998; Rismana, 2005).Glukosamina
dapat diperoleh dari sumber terbarukan (Holmberg, 200 I) dan surfaktan glukosamida
yang dihasilkan merupakan salah satu surfaktan berbasis sugar dengan peluang pasar
yang meningkat secara signifikan (Warwel, dkk. 2001 ).

3

Sintesis secara kimia glukosamida jenis lauroii-N-metil glukamida dari metil
ester asam laurat dan N-metil glukamina menggunakan katalis natrium metoksida
telah dipatenkan pada European Patent Application (EP-A) nomor 285,768 tahun
1994 denganjudul "Preparation ofN-methyl-coconutfatty acid glucamide". Sintesis
dilakukan di dalam skala laboratorium dengan mencampur 3 mol metil ester asam
laurat minyak kelapa dengan 3 mol N-metil glukamina serta penambahan 3,3 gram
katalis secara bertahap. Temperatur reaksi adalah 135 °C dan metanol yang terbentuk
dikondensasikan pada kondisi vakum pada I 00 hingga 15 mbar.

Sintesis secara enzimatik dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain, jenis
dan konsentrasi enzim, jenis dan rasio pelarut, rasio molar bahan baku, temperatur
dan

waktu reaksi (Rahman, dkk. 2003; Kumiasih, 2008). Pengaruh jenis dan

konsentrasi enzim telah diamati antara lain oleh Infante dkk. (2004) dan Sharma,
dkk. (2005). Mereka mengamati dua kelas enzim yang berfungsi sebagai biokatalis
pada sintesis surfaktan amida yaitu protease dan lipase. Namun penggunaan protease
dilaporkan tidak begitu berhasi1 karena protease spesifik untuk asam amino tertentu
dan lebih sensitif pada media organik. Sebaliknya, lipase lebih spesifik karena sangat
baik menghidrolisis ikatan N-H pada amina dan lipase terimobilisasi dapat bekerja
pada suhu hingga 90 °C. Lipase terimobilisasi dengan rasio enzim terhadap substrat
0,01 hingga 0,15 te1ah banyak digunakan pada sintesis chira1 amida (Soledad dan
Gago, 1998), karbohidrat ester (Herawan, dkk. 1996, 1997), fatty amida (Maugard,
dkk. 1998; Dolores, dkk. 2002; Par Tufvesson dkk. 2007) dan N-asil-asam amino
(Ee Lin Sao, dkk. 2003,2004).

Surfaktan

glukosamida

merupakan

senyawa

golongan

alkanolamida.

Kemose1ektifitas lipase pada sintesis a1kanolamida telah diamati dan ditemukan
bahwa lipase mampu mengasilasi baik gugus amina maupun gugus alkohol (Soledad,
dkk. 2000; Dolores, dkk. 2002). Kebanyakan lipase serentak mengkatalisis reaksi
amidasi dan esterefikasi dari alkanolamina, hanya saja jika produk akhir yang
diharapkan adalah amida, maka reaksi perlu dikontro1 agar ester yang terbentuk dan
migrasi asil dari a1kohol ke amina dapat meningkatkan produk amida yang diperoleh.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengontrol reaksi adalah dengan mengamati

4

pengaruh interaksi dari variabel penelitian menggunakan Metode Permukaan
Sambutan (Response Surface Methodology, RSM) (Montgomery, 1997). Metoda ini
dapat digunakan untuk menentukan kondisi reaksi amidasi yang tepat serta
mendapatkan konversi asam lemak dan yield amida yang maksimum. Beberapa
peneliti yang telah mengamati optimasi sintesis surfaktan secara enzimatik,
diantaranya Hamsaveni, dkk. (2001); Khrisna, dkk. (2001); Ee Lin Soo, dkk. (2003);
Ramkrishna dan Swaminathan (2004) dan Rodrigues, dkk. (2006).

Berdasarkan paparan di atas dapat diperoleh bahwa pada sintesis enzimatik
glukosamida dari metil ester asam lemak dengan amina sering terjadi persaingan
antara terbentuknya amida, ester dan amida ester apabila kondisi reaksi tidak diatur
dengan baik. Terbentuknya ester ini akan menyebabkan yield surfaktan glukosamida
yang dihasilkan menjadi rendah. Untuk itu diperlukan kajian untuk meningkatkan
yield glukosamida dengan mengoptimalkan kondisi reaksi.

1.3 Luaran Penelitian
Luaran akademik dari penelitian ini berupa tulisan ilmiah pada pertemuan
ilmiah intemasional, jumal nasional terakreditasi dan upaya kepada penerbitan jumal
intemasional. Selanjutnya, hasil penelitian ini pula merupakan bagian dari buku teks
ten tang .sintesis surfaktan alkanolamida secara enzimatik yang sedang dipersiapkan
oleh peneliti utama.

5

2.1

State of The Art Penelitian: Optimasi Sintesis
Glukosamida
Glukosamida merupakan surfaktan golongan alkanolamida. Alkanolamida

dapat diperoleh dari hasil reaksi antara alkanolamina dengan asam lemak minyak
nabati, dan banyak digunakan sebagai pengemulsi bahan pangan, kosmetika dan
obat-obatan (Soledad, dkk. 2000). Surfaktan alkanolamida yang mempunyai ikatan
amida banyak dikembangkan dalam industri pembuatan surfaktan

karena ikatan

amida secara kimia sangat stabil pada media yang bersifat alkali (Maugard, dkk.
1998).

Alkanolamida yang digunakan untuk formula pangan, kosmetika dan obatobatan haruslah bebas dari bahan beracun, pelarut, asam lemak bebas, amina yang
berlebih serta harus tidak berbau dan bentuknya menarik. Namun penelitian untuk
memproduksi alkanolamida pada skala industri masih kurang karena penghilangan
pelarut dan wama yang tidak diinginkan memerlukan tahapan yang rumit dan biaya
yang tinggi.

Selama ini alkanolamida banyak diproduksi menggunakan katalis kimia
melalui reaksi Schotten Baumann antara asam lemak atau metil ester asam lemak
dengan monoetanolamina atau dietanolamina menggunakan katalis seng oksida
(ZnO) pada suhu 150°C selama 6 - 12 jam (Maag, 1984; Herawan, 1999). Sintesis
secara kimia

memerlukan tahap reaksi yang rumit yaitu tahap proteksi dan

deproteksi gugus hidroksil untuk mencegah terjadinya karbonasi amina dengan C02
(Dolores, dkk. 2002). Sintesis pada suhu tinggi ini juga menghasilkan warna yang
tidak diharapkan pada produk akhir. Selain itu, sintesis secara kimia menghasilkan

produk samping berupa garam
metanol)

dan menggunakan pelarut bersifat toksik (DMF,

yang harus dihilangkan dari proses agar diperoleh produk yang murni

(Maugard, dkk. 1998; Par Tufvesson, dkk. 2007).

Jenis pelarut dan rasio mol bahan baku menentukan efisiensi dan
kemoselektifitas reaksi

enzimatik alkanolamida (Dolores,

Tufvesson, dkk. (2007)).

Dolores, dkk. (2002)

dkk.

(2002);

Par

mengamati pengaruh pelarut n-

heksan dan tert-amil alkohol pada sintesis alkanolamida dari vanililamina dan asam
oleat menggunakan enzim Novozym 435, serta menyimpulkan bahwa selektivitas
reaksi bergantung kepada kelarutan produk di dalam pelarut dan pemilihan bahan
pelarut sangat menentukan efisiensi proses. Sementara Rahman, dkk. (2003)
mengamati pengaruh berbagai pelarut organik seperti etil asetat, benzene, n-heksan,
n-heptane,

iso-oktan,

n-dekana, dodekana dan

n-heksadekana

pada sintesis

alkanolamida dari monoetanolamin dengan PKL (palm kernel olein) menggunakan
enzim lipase dan mengamati bahwa iso-oktan merupakan pelarut yang memberikan
hasil terbaik.

Pengaruh temperatur dan waktu reaksi pada sintesis alkanolamida secara
enzimatik telah diamati oleh beberapa peneliti dan diperoleh hasil yang bervariasi.
Pengamatan yang dilakukan oleh Rahman, dkk. (2003) dengan waktu reaksi terbaik
adalah 72 jam dan temperatur 40 °C; Maugard, dkk. ( 1998) pada variasi temperatur
45-90°C dan waktu 25 hingga 140 jam; serta

Par Tufvesson, dkk. (2007) yang

mengamati pada waktu 10 jam dengan suhu 90°C merupakan beberapa diantara
peneliti yang mengamati pengaruh temperatur dan waktu reaksi.

Untuk meningkatkan perolehan alkanolamida dan juga meningkatkan
efisiensi proses beberapa peneliti melakukan upaya pengembangan. Par Tufvesson,
dkk. (2007) mengamati penggunaan kondisi tanpa pelarut, penambahan amina
bertahap dan recoveri enzim, Masngut, dkk. (2007) mengamati aplikasi sintesis
enzimatik pacta bioreaktor berpengaduk multitahap, dan Maugard, dkk. ( 1998)

7

mengamati sintesis alkanolamida menggunakan asam lemak tidak jenuh rantai
panjang yaitu asam oleat.

Par Tufvesson, dkk. (2007)

telah mengembangkan sintesis alkanolamida

dengan beberapa cara yaitu sintesis tanpa pelarut, penambahan amina secara
bertahap, dan recoveri enzim. Fokus utama penelitian mereka adalah pada optimasi
yield dan efisiensi penggunaan enzim. Amidasi dari asam laurat dengan monoetanol
amina dipilih sebagai model reaksi. Tekanan reaksi adalah pada tekanan atmosfer
maupun vakum dengan suhu 90°C dan waktu reaksi 10 jam. Keadaan tersebut dipilih
dengan harapan bahwa asam laurat akan melebur pada suhu tersebut. Par Tufvesson,
dkk. (2007) menyimpulkan bahwa kondisi tanpa pelarut maupun penambahan amina
'

secara bertahap dapat meningkatkan efisiensi proses. Disamping itu juga disimpulkan
bahwa enzim lipase dapat digunakan berulang-ulang hingga 14 hari.

Burczyk, dkk. (2001) mengamati sintesis dan sifat-sifat permukaan dari
surfaktan nonionik N-alkil-n-metil gluconamida dan n-alkil-n-metil laktobionamida.
Substrat yang digunakan adalah n-alkil-n-metil amin dengan d-D-glukolakton dan
asam laktobionik. Pada penelitian ini digunakan suhu 20 °C dan diamati sifat-sifat
permukaan seperti konsentrasi surfaktan berlebih, luas permukaan permolekul,
efisiensi reduksi tegangan permukaan dan konsentrasi mise! kritikal. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa masuknya gugus metil ke dalam nitrogen amida akan
meningkatkan kelarutan surfaktan. Laktobionamida lebih mudah larut dibandingkan
glukonamida. Dengan kata lain permukaan surfaktan n-alkil-N-metil glukonamida
lebih aktif dibandingkan n-alkii-N-metil laktobionamida. Pengamatan ini didasarkan
pada penentuan parameter adsorbsi dan miselisasi. Adanya satu ikatan rangkap dari
rantai hidrokarbon

seperti pada oleoil amida akan meningkatkan karakter

hidrofiliknya dibandingkan dengan turunan C 18 yang jenuh. Surfaktan n-alkil-Nmetil glukonamida yang disintesis mempunyai kemumian 73 - 92%.

Maria dan Holmberg (2005) mengamati sintesis dan sifat-sifat permukaan
dari surfaktan yang mempunyai ikatan amida, ester dan karbonat. Kestabilan

8

surfaktan karbonat ini ditentukan dengan mengamati karakteristik hidrolisis dan
biodegradabelnya. Hidrolisis dilakukan dengan katalis alkali atau enzim dan diamati
1

menggunakan H NMR. Hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa kestabilan
yang lebih tinggi diperoleh oleh surfaktan karbonat dibadingkan surfaktan yang
mengandung ester sebagai ikatan yang lemah. Hasil uji biodegradasi menunjukkan
bahwa surfaktan ini akan terurai lebih dari 60% setelah 28 hari untuk karbonat
surfaktan. Sifat-sifat fisikomikia seperti konsentrasi mise! kritikal, cloud point, luas
permukaan permolekul dan tegangan permukaan.ditentukan dan dibandingkan
dengan surfaktan yang mengandung ikatan ester, amida atau eter.

Pilakowska, dkk. (2004) mengamati sintesis N,N-di-n-alkilaldonamida dan
sifat-sifat permukaan dari surfaktan ini pada permukaan udara/air. Substrat yang
digunakan adalah d-0-glukonolakton dan a-0-glukoheptonik-g-lakton.

Oasar dari

penelitian ini adalah karena akhir-akhir ini aspek ekologi menjadi sangat penting
bagi lingkungan manusia sehingga surfaktan yang biodegradabel dan sedikit efeknya
terhadap lingkungan banyak dikembangkan. Ada dua grup komponen yang cukup
menjanjikan, yang pertama komponen dengan asetal moiety yaitu turunan I ,3dioksalan dan I ,3-dioksan, sedangkan komponen kedua adalah turunan sakarida.
Turunan sakarida banyak diminati untuk diteliti karena jenisnya bervariasi dan dapat
disintesis dengan biaya rendah karena berasal dari tumbuhan yang murah dan
terbarukan.

Surfaktan berbasis sugar ini banyak digunakan sebagai bagian dari

kosmetik, bahan farmasi dan makanan, juga industri tekstil. Karena strukturnya yang
mirip dengan komponen dalam tubuh manusia, surfaktan sakarida cukup menjanjikan
untuk berfungsi dengan lebih baik pada antar muka.

Kondisi yang lunak, meminimalkan keperluan untuk memproteksi gugusgugus, penguncian produk sam ping, regio dan enantio selektif yang tinggi, dan biaya
sintesis yang rendah menjadikan sintesis amida secara enzimatik lebih disukai
dibandingkan reaksi kimiawi.

Selain dari lipase, protease seperti termolisin dan

subti-lisin ada juga digunakan pada produksi amida skala besar, akan tetapi diketahui
enzim tersebut spesifik untuk asam amino tertentu dan cukup sensitif untuk di
inaktifkan oleh pelarut organik. Oiantara asam hidrolase, lipase merupakan katalis
9

yang menjanjikan untuk sintesis peptida, polimer dan surfaktan baru dengan biaya
rendah, karena lipase telah dibuktikan, dapat

mengkatalisa pembentukan ikatan

amida dalam pelarut organik.

Agar diperoleh surfaktan alkanolamida yang mudah terdegradasi dan berbasis
tumbuhan dengan yield yang lebih baik, maka perlu dikaji upaya-upaya yang dapat
dilakukan untuk

meningkatkan yield alkanolamida. Upaya-upaya yang dapat

dilakukan antara lain dengan mengamati pengaruh variabel reaksi

(konsentrasi

enzim, rasio pelarut, temperatur, serta rasio molar amina!MEAL) dan mengamati
pengaruh interaksi serta kondisi optimum variabel reaksi. Upaya-upaya lain seperti
menggunakan kondisi tanpa pelarut juga perlu untuk diamati.

2.2

Hasil yang Sudah Dicapai
Kegiatan penelitian yang telah dilakukan dalam serial penelitian tentang

sintesis ramah lingkungan surfaktan alkanolamida sebagai pengemulsi produk
kosmetika dan obat-obatan ini adalah sebagaimana yang telah dipaparkan pada Tabel
2.1 yaitu tentang "Roadmap" Penelitian.

Tabel 2.1 "Roadmap" Penelitian
Tahun

2009

20082009
2003
2003

Judul Penelitian
Optimasi sintesis enzirnatik oleildietanolamida dari asam oleat dengan
dietanolamina pada bioreaktor multi
tahap
Pembuatan Surfaktan Alkanolamida
antara minyak inti sawit yang kaya
akan MCT dengan glukosamin
Kajian pencampuran balik, gas
tertahan dan titik banjir pada kolom
berpengaduk multiperingkat
Penentuan tingkat pencampuran balik
dan konversi reaksi safonifikasi pada
reaktor berpengaduk multiperingkat

Jabatan
Anggota

Somber Dana
Hibah Strategis
DIKTI

Ketua

Hibah Bersaing
Tahun I dan II
DIKTI
Penelitian Dosen
Mud a

Ketua

Anggota

Penelitian Dana
Rutin

10

Hal-hal yang perlu dicatat tentang capaian yang telah diperoleh dari serial
penelitian yang telah dilakukan adalah:
1. Pembuatan surfaktan a1kanolamida yaitu Lauroil-N-metil glukamida dari asam
laurat minyak inti sawit (AL) dengan N-metil glukamina (MGL) menggunakan
enzim Novozym di dalam bioreaktor berpengaduk multi-tahap. Dua hal
signifikan yang diperoleh dari hal ini adalah: (a) bahwa efek temperatur paling
dominan pada sintesis ini dan (b) bahwa kondisi optimum yang diperoleh adalah,
rasio molar MGL:AL 1:1; konsentrasi Novozym, 8 % serta temperatur 50-55 °C
dengan konversi asam laurat maksimum 64,52 % dan persen yield maksimum
97,59%.

2. Pembuatan surfaktan alkanolamida yaitu Lauroil-dietanolamida dari asam laurat
minyak inti sawit (AL) dengan dietanolamina (DEA) menggunakan pelarut nheksan. Hal penting yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa
peningkatan temperatur maupun konsentrasi enzim kedua-duanya memberikan
pengaruh yang signifikan untuk meningkatkan konversi asam laurat pada reaksi
AL+DEA dan kondisi optimum yang diperoleh adalah, rasio molar DEA:AL 3:1;
konsentrasi Novozym, 10-11% serta temperatur 55-60 °C dengan konversi asam
laurat maksimum 73,05 % dan persen yield 77,82 %.

3. Pembuatan surfaktan Oleoil-dietanolamida dari asam oleat (AO) dengan
dietanolamina (DEA) menggunakan pelarut n-heksan. Hal penting yang
diperoleh adalah bahwa kondisi optimum yang diperoleh untuk reaksi AO+DEA
adalah, rasio molar substrat 1: I -2: I (DEAlAO); konsentrasi Novozym, 6-8 %
(b/v AO) serta temperatur 55-60°C dimana akan menghasilkan konversi asam
oleat 43,86%.

Rancangan penelitian lanjutan dalam serial penelitian tentang sintesis ramah
lingkungan surfaktan alkanolamida adalah optimasi sintesis glukosamida dari reaksi
amidasi antara metil ester asam lemak dengan Glukosamina. Sintesis ramah
lingkungan dicapai melalui dua cara yaitu menggunakan bahan baku yang dapat
diperbaharui yaitu turunan minyak sawit dan menggunakan proses yang dapat
11

diterima secara ekologis. Proses yang dapat diterima secara ekologis dicapai dengan
menggunakan biokatalis dan pelarut organik yang non-toksik, bahkan akan diuji
tanpa menggunakan pelarut untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan.

Produk yang dirancang pada penelitian ini adalah glukosamida. Glukosamida
banyak digunakan sebagai produk kosmetik dan obat-obatan. Glukosamida termasuk
pada kelompok alkyl-glukamida surfaktan dimana kelompok surfaktan ini diproduksi
dalam jumlah besar sebagai bahan pengemulsi, contohnya adalah N-dodekanoil-Nmetil glukamida (Holmberg, 2001 ).

Sintesis glukosamida menggunakan bahan baku glukosamina dari golongan
gula amina. Senyawa-senyawa gula amina memegang peran penting dalam
pembentukan dan perbaikan tulang rawan. Mekanisme kerja senyawa-senyawa gula
amina adalah dengan menghambat sintetis glikosaminoglikan dan mencegah
destruksi tulang rawan. Gula amina dapat merangsang sel-sel tulang rawan untuk
pembentukan proteoglikan dan kolagen yang merupakan protein esensial untuk
memperbaiki fungsi persendian. Gula amina dapat diperoleh dari reaksi glukosa,
laktosa atau gula lainnya dengan amonia atau alkil amina. Glukosamina yaitu Nmetil glukamina merupakan salah satu senyawa gula amina yang penting. N-metil
glukamina diperoleh dari reaksi glukosa dengan mono-metil amina. Sifat-sifat Nmetil glukamina adalah sebagai berikut (E Merck, 2008):

Rumus Molekul
Rumus Kimia
Berat Molekul
Densitas
Titik Lebur
Titik Didih
Kelarutan

C1H17NOs
CH3NHCHz(CHOH)4CHzOH
195,22 gr/mol
3
I ,090 gr/cm
128- 131°C (1 atm)
210°C (I atm)
H20, alkohol dan eter

12

2.3

Studi Pendahuluan

2.3.1 Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik
dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan
minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh
karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang
suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak/lemak
(lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau
netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar
muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana
gugus hidrofilik berada pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak
dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar
(lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar
(hidrofilik) mengandung gugus hidroksil. (Jatmika, 1998)

Penggunaan surfaktan terbagi atas tiga golongan, yaitu sebagai bahan
pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan pelarut

(solubilizing agent). Penggunaan surfaktan ini bertujuan untuk meningkatkan
kestabilan emulsi dengan cara menurunkan tegangan antarmuka, antara fasa minyak
dan fasa air. Surfaktan dipergunakan baik berbentuk emulsi minyak dalam air
maupun berbentuk emulsi air dalam minyak. Emulsi didefinisikan sebagai suatu
sistem yang terdiri dari dua fasa cairan yang tidak sating melarut, dimana salah satu
cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula cairan lainnya. Cairan yang terpecah
menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang
'

mengelilingi globula-globula dinamakan fase kontinu atau medium dispersi.
Berdasarkan jenisnya emulsi dibedakan menjadi dua yaitu:
I. Emulsi minyak dalam air (0/W), adalah emulsi dimana bahan pengemulsinya
mudah larut dalam air sehingga air dikatakan sebagai fase ekstemal.
2. Emulsi air dalam minyak (W /0), adalah emulsi dimana bahan pengemulsinya
mudah larut dalam minyak.

13

Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan
air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa dengan
minyak. Di dalam molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan
jumlahnya. Bila gugus polamya yang lebih dominan, maka molekul-molekul
surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak.
Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar
dan menjadi fase kontinu. Demikian pula sebaliknya, hila gugus non polarnya lebih
dominan, maka molekulmolekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh
minyak dibandingkan dengan air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi
lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu.

Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan
permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan
konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan
melebihi

konsentrasi

ini

maka

surfaktan

mengagregasi

membentuk mise!.

Konsentrasi terbentuknya mise! ini disebut Critical Micelle Concentration (CMC).
Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC tercapai. Setelah CMC tercapai,
tegangan permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa antar muka menjadi
jenuh dan terbentuk mise) yang berada dalam keseimbangan dinamis dengan
monomernya (Genaro, 1990).

Klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya dibagi menjadi empat golongan
yaitu:
1. Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
anion. Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat, garam
sulfonat asam lemak rantai panjang.
2. Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
kation. Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil
ammonium dan garam alkil dimethil benzil ammonium.
3. Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya

ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester
14

sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida,
mono alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.
4. Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan
positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino,
betain, fosfobetain .

Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak bumi, seperti Iinier
alkilbensen sulfonat (LAS), alkil sulfonat (AS), alkil etoksilat (AE) dan alkil
etoksilat sulfat (AES). Surfaktan dari turunan minyak bumi dan gas alam ini dapat
menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, karena surfaktan m1 setelah
digunakan akan menjadi limbah yang sukar terdegradasi. Disamping itu, minyak
bumi yang digunakan merupakan sumber bahan baku yang tidak dapat diperbaharui.
Masalah inilah yang menyebabkan banyak pihak mencari altematif surfaktan yang
mudah terdegradasi dan berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui (Herawan,
1998; Warwel, dkk. 2001).

Penerapan bioteknologi pada sintesis surfaktan akhir-akhir ini mendapat
perhatian yang besar. Bioteknologi dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan jasad
hidup

dan

proses

biologis/kimia

dalam

suatu

proses

metabolisme

untuk

menghasilkan produk bemilai ekonomis Iebih tinggi. Sejalan dengan definisi di atas
serta didukung dengan jumlah minyak nabati sebagai pemasok bahan baku
biosurfaktan maka penerapan bioteknologi pada sintesis biosurfaktan ini berpotensi
besar untuk diaplikasikan.

Biosurfaktan mempunyai sifat yang mirip seperti surfaktan sintetik, akan
tetapi biosurfaktan lebih rendah tingkat toksisitasnya, mudah terurai secara biologi,
lebih efektif pada suhu, pH dan kadar garam yang berlebihan, dan lebih mudah
disintesis. Di samping itu, sifat aktif permukaan yang dimilikinya berbeda dengan
surfaktan yang disintesis secara kimia.

Biosurfaktan mempunyai banyak struktur. Sebagian besar adalah Iemak, yang
memiliki ciri struktur surfaktan amfifil. Bagian Iipofil dari lemak hampir selalu
15

gugus hidrokarbon dari satu atau lebih asam lemak jenuh atau tak jenuh dan
mengandung struktur siklik atau gugus hidroksi. Sebagian besar

biosurfaktan

bermuatan netral atau negatif. Pada biosurfaktan anionik, muatan itu disebabkan oleh
karboksilat dan/atau fosfat atau kelompok sulfat.

Sejumlah kecil biosurfaktan

kationik mengandung gugus amina.

Biosurfaktan sebagian besar diproduksi oleh mikroorganisme seperti bakteri,
ragi (khamir) dan kapang secara biotransformasi sel. Beberapa mikroba dapat
menghasilkan surfaktan pada saat tumbuh pada berbagai substrat yang berbeda,
mulai dari karbohidrat sampai hidrokarbon. Perubahan substrat seringkali mengubah
juga struktur kimia dari produk sehingga akan mengubah sifat surfaktan yang
dihasilkan. Pengetahuan mengenai surfaktan akan sangat berguna dalam merancang
produk dengan sifat yang sesuai dengan aplikasi yang diinginkan.

Beberapa

mikroorganisme juga ada yang menghasilkan enzim dan dapat digunakan sebagai
katalis pada proses hidrolisis, alkoholisis, kondensasi, asilasi atau esterifikasi. Proses
ini digunakan dalam pembuatan berbagai jenis produk surfaktan termasuk
monogliserida, fosfolipida dan surfaktan asam amino. (Herawan, 1998; Ee Lin Soo,

dkk.2003)

Biosurfaktan paling banyak digunakan pada produk-produk yang langsung
berhubungan dengan tubuh manusia seperti kosmetika, obat-obatan dan makanan,
selain itu ada juga yang digunakan pada pengolahan limbah untuk mengendalikan
lingkungan (Herawan, 1998). Pada saat ini penggunaan biosurfaktan pada industri
pangan dan non pangan (kimia) secara umum masih belum kompetitif karena masih
tingginya biaya produksi. Namun demikian, masalah lingkungan yang diakibatkan
oleh surfaktan

sintetik memacu

produksi

dan aplikasi

biosurfaktan

untuk

berkembang. Oleh sebab itu, agar biosurfaktan dapat bersaing dengan surfaktan
kimia, harus ditemukan proses produksi yang lebih ekonomis. Kajian proses produksi
biosurfaktan secara fermentasi maupun biotransformasi untuk mengurangi biaya
produksi harus dilakukan, seperti upaya untuk mendapatkan perolehan (yield) yang
tinggi, akumulasi produk serta penggunaan bahan baku yang murah atau malah tidak
bemilai jual. Salah satu strategi untuk memproduksi biosurfaktan adalah dengan
16

menggunakan bahan baku dari industri pertanian dan hasil sampingnya termasuk
limbah yang dihasilkannya.

2.3.2 Surfaktan Alkanolamida
Amida adalah turunan asam karboksilat yang paling tidak reaktif, karena itu
golongan senyawa ini banyak terdapat di alam. Amida yang terpenting adalah
protein. Amida dapat bereaksi dengan asam dan reaksi ini tidak membentuk garam
karena amida merupakan basa yang sangat lemah. Selain itu senyawa amida
merupakan nukleofilik yang lemah dan bereaksi sangat lambat dengan alkil halida.
Amida asam lemak pada industri oleokimia dapat dibuat dengan mereaksikan amina
dengan trigliserida, asam lemak atau metil ester asam lemak. Senyawa amina yang
digunakan dalam reaksi amidasi sangat bervariasi seperti etanolamina dan
dietanolamina, yang dibuat dengan mereaksikan amonia dengan etilen oksida.
Alkanolamina seperti etanolamina, jika direaksikan dengan asam lemak akan
membentuk suatu alkanolamida dan melepaskan air. Alkanolamida merupakan
kelompok surfaktan nonionik yang berkembang dengan pesat.

Beberapa contoh

surfaktan alkanolamida ditunjukkan pada Gam bar 2.1.

OH⦅セッh@
R

0

Iャセoh@

I

R

H

I
セ@

H

Monoetanolamida

Iャセoh@

Monoisopropanolamida

R

3

I
セoh@

Dietanolamida

Gam bar 2.1. Beberapa jenis surfaktan alkanolamida

Surfaktan alkanolamida tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi daripada
molekul. Keberadaan gugus metil amida didalam alkanolamida bermanfaat untuk
meningkatkan kelarutan surfaktan (Burczyk, dkk. 2001). Disamping itu alkanolamida
dapat digunakan pada rentang pH yang luas, biodegradabel, lembut dan bersifat noniritasi, baik untuk kulit maupun mata. Surfaktan ini juga menghasilkan reduksi
tegangan permukaan yang besar, toksisitas yang rendah dan pembusaan yang bagus
serta stabil. Surfaktan alkanolamida juga sangat kompatibel dengan ketiga jenis
17

surfaktan lainnya yaitu surfaktan anionik, kationik dan amfoterik. Sebagaimana
surfaktan nonionik lainnya, alkanolamida menunjukkan performa yang baik seperti
kelarutan yang tinggi, stabil terhadap berbagai enzim dan media yang alkali. Karena
sifat-sifatnya tersebut maka surfaktan ini dapat digunakan sebagai bahan pangan,
obat-obatan, kosmetika dan aplikasi industri serta dapat digunakan pada rentang
penggunaan surfaktan anionik. Produk-produk yang menggunakan surfaktan
alkanolamida diantaranya shampo non iritasi, sabun mandi cair, produk perawatan
rambut, losion, cream, produk pembersih serta produk kosmetika, produk farmasi,
biokimia dan biomedikal.

Pilawoska, dkk. (2004) menyebutkan bahwa alkanolamida asam lemak dapat
diproduksi dengan dua cara, yaitu pada Gambar 2.2 sintesis alkanolamida dari asam
laurat atau Gambar 2.3 sintesis alkanolamida dari ester asam. Pada reaksi pertama
sebagai produk samping akan dihasilkan air, sedangkan pada reaksi kedua dihasilkan
alkohol.

etanol amina

etanolamida

asam lemak

air

Gambar 2.2. Sintesis alkanolamida dari asam lemak

セoh@

hLcセo@

H2N

metil ester asam lemak

Etanol amina
0

+

l

Jn

etanolamida

CH 3--0H

H
metana I

Gam bar 2.3. Sintesis alkanolamida dari ester asam lemak
18

I. Menurut Holmberg (200 I) monoetanolamida dan dietanolamida digunakan

secara luas sebagai surfaktan, penstabil dan pengembang busa. Meskipun
monoetanolamida bersifat lebih efektif baik sebagai penstabil busa, pengental
dan boster busa, namun karena berbentuk padatan berlilin menyebabkan sulit
untuk diinkorporasikan karena titik cairnya yang tinggi. Ditambahkan bahwa
diperlukan

temperatur reaksi yang tinggi

untuk menginkorporasikan

monoetanolamida ke dalam campuran produk kosmetika. Sebaliknya,
dietanolamida selain mampu menstabilkan busa juga dapat meningkatkan
tekstur kasar busa dan dapat mencegah terjadinya proses penghilangan
minyak yang berlebihan pada kulit dan rambut. Wujudnya yang cair
menyebabkan dietanolamida lebih mudah ditangani dan diinkorporasikan ke
dalam suatu produk kosmetika yang berbentuk cairan. Pemanfaatan turunan
senyawa nitrogen ini dapat ditemukan pada pembuatan deterjen, foam-fire
extinguisher, agen emulsifier, dan kosmetika.

2.3.3 Lipase
Lipase (triasil-gliserol ester hidrolese, EC 3.1.1.3) merupakan bagian dari
enzim hidrolisa yang dapat menyerang ikatan karboksilat, misalnya menghidrolisa
trigliserida menjadi digliserida, monogliserida, asam Iemak dan gliserol (Villeneuve,
dkk. 2000; Hasan, dkk. 2005). Hal ini menyebabkan lipase dapat menjadi pilihan
sebagai katalis pada industri makanan, deterjen, fannasi dan kosmetik.

Pada tahun I 856, Claude Bernard pertama kali menemukan lipase dalam
ekstrak pankreas sebagai enzim yang dapat menghidrolisa minyak dan mengubahnya
ke produk lain yang memiliki kemampuan melarut. Dahulu enzim lipase diperoleh
melalui cara tradisional, yaitu dari pankreas hewan dan digunakan sebagai obat
saluran pencemaan.

Ketertarikan terhadap lipase mikrobial diawali dengan

kekurangan pankreas dan sulitnya menemukan material dengan karakteristik yang
sama. Enzim dikenal sebagai katalis alam, dimana saat ini sebagian besar enzim
diperoleh melalui proses fermentasi bahan-bahan alami.

19

Pemanfaatan mikroorganisme telah lama digunakan untuk memproduksi
emulsifier dan biosurfaktan, untuk membantu kelarutan dalam lemak (Hasan, dkk.
2005). Ratusan enzim telah diketahui spesifisitasnya terhadap substrat yang berbeda,
tetapi hanya beberapa yang diisolasi dalam bentuk mumi dan dikristalkan, serta
hanya sedikit yang diketahui strukturnya. Keunggulan penggunaan protein dalam
bioteknologi, menjadikan industri enzim menjadi penting. Misalnya protease dan
lipase digunakan dalam industri deterjen, amilase dan glukosa isomerisasi digunakan
dalam industri pati atau dalam sintesa senyawa organik lainnya. Hal ini mendorong
dilakukannya klasifikasi enzim yang rasional dan juga nomenklatur.

Lipase mampu mengkatalisis sintesis ikatan amida maupun ester. Beberapa
jenis lipase yang digunakan pada reaksi amidasi antara lain :
1. Fungal lipase
a. Rhizomucor miehei lipase (SP524) yang diimobilisasi dengan resin
anionik Duolite A568.

b. Rhizopus niveus lipase (Newlase F)
c. Humicola lanuginosa lipase (SP523)
2. Yeast lipase
a. Candida antarctica lipase B (SP525)
b. Candida antarctica lipase yang diadsorbsi pada Lewatit E (Novozym
435)
c. Candida antarctica lipase A (SP526)
3. Bakteriallipase
a. Pseudomonas cepacia lipase (PS)
b. Pseudomonasjluorescens lipase (AK)
4. Mamalia lipase
a. Porcine pancreatic lipase (PPL)

Soledad, dkk. (2000) mengamati kemamputan katalitik dari beberapa jenis
lipase komersial yaitu fungal lipase, yeast lipase, bacterial lipase dan mamalian
lipase untuk reaksi amidasi vinil karbonat dengan fenil-etil amin dan menemukan
20

bahwa yield lebih dari 70 % diperoleh jika menggunakan Rhizomucor miehei lipase,
SP524 (80%) dan lipase B dari Candida antarctica, Novozym 435 (79%).

2.3.4 Lipase dalam industri Oleokimia
Lipase merupakan bagian dari enzim hidrolisa yang dapat menyerang ikatan
karboksilat. Psikologis lipase adalah menghidrolisa trigliserida menjadi digliserida,
monogliserida, asam lermak dan gliserol (Hasan, dkk. 2005). Sebagai tambahan dan
fungsi alami hidro1isa ikatan ester karboksilat, lipase dapat menjadi katalis reaksi
esterifikasi, interesterifikasi dan transestenifikasi tanpa pelarut. Kemampuannya ini
menjadikan lipase sebagai pilihan dalam aplikasinya pada industri makanan,
deterjen, farmasi, penyamakan ku1it tekstil, kosmetik dan kertas. Beberapa jenis
1emak memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan yang 1ainnya, karena bentuk dan
struktumya. Lemak dapat diubah menjadi jenis yang lain dengan mengkombinasikan
metode kimia, tetapi menghasilkan produk yang acak. Lain halnya dengan lipase,
yang dapat mengkatalisasi reaksi transesterfikasi minyak dan lemak yang lebih
murah, seperti produksi cocoa butter dan palmitat yang berasal dan satu kali
fraksinasi.

Dalam

perkembangannya,

lipase

dapat

menjadi

katalis

reaksi

transesterifikasi dalam pelarut organik. Rhizomucor meihei dan Candida antarctica
adalah jenis lipase yang dapat digunakan dalam reaksi sterifikasi asam lemak tanpa
pelarut atau menggunakan pelarut.

DeZoete, dkk. (1999) sebelumnya telah mengamati toleransi beberapa lipase
terhadap amina dan menemukan bahwa lipase dari C. Antarctica

menunjukkan

toleransi yang sangat tinggi dibandingkan lipase dari Rhizomucor miehei (Lipozym
RM IM). R.miehei lebih sensitif terhadap etanolamina sehingga tidak menunjukkan
laju konversi yang tinggi untuk asilasi etanolamina.

2.3.5 Fungsi dan Cara Kerja Lipase
Fungsi suatu enzim ialah sebagai katalis untuk proses biokimia yang terjadi
8

dalam sel maupun diluar sel. Suatu enzim dapat mempercepat reaksi 10 sampai 10

11

kali lebih cepat daripada apabila reaksi tersebut dilakukan tanpa katalis. Jadi enzim
dapat berfungsi sebagai katalis yang sangat efisien, disamping mempunyai kekhasan
21

(spesifik) yang tinggi. Seperti juga katalis yang Iainnya, maka enz1m dapat
menurunkan energi aktivasi suatu reaksi kimia. Reaksi kimia ada yang membutuhkan
energi (reaksi endergonik) dan ada pula yang menghasilkan energi

atau

mengeluarkan energi (eksergonik). Sifat spesifik (kekhasan) enzim menyebabkan
enzim hanya dapat bekerja pada satu reaksi saja. Untuk dapat bekerja terhadap suatu
zat atau substrat harus ada hubungan atau kontak antara enzim dengan substrat.

Suatu enzim mempunyai ukuran yang lebih besar daripada substrat. Oleh
karena itu tidak seluruh bagian enzim dapat berhubungan langsung dengan substrat.
Hubungan antara substrat dengan enzim hanya terjadi pada bagian atau tempat
tertentu saja. Tempat atau bagian enzim yang mengadakan hubungan atau kontak
dengan substrat dinamai bagian aktif (active site). Hubungan hanya mungkin terjadi
apabila bagian aktif mempunyai ruang yang tepat untuk menampung substrat.
Apabila substrat mempunyai bentuk atau konforrnasi lain, maka tidak dapat
ditampung pada bagian aktif suatu enzim. Dalam hal ini enzim tidak dapat berfungsi
terhadap substrat ini adalah penjelasan mengapa tiap enzim mempunyai kekhasan
(sifat spesifik) terhadap substrat tertentu. Hubungan atau kontak antara enzim dengan
substrat menyebabkan terjadinya kompleks enzim substrat. Kompleks ini merupakan
kompleks yang aktif, yang bersifat sementara dan akan terurai lagi apabila reaksi
yang dlinginkan telah terjadi.

2.3.6 Penentuan Nilai HLB
Sebagai gambaran untuk perimbangan hidrofil-lipofil bahan-bahan aktif
permukaan, dapat digunakan skala keseimbangan hidrofil-lipofil yang sering disebut
HLB (Hidrophile-Lipophile Balance) yang ditemukan oleh Griffin pada tahun 1949.
Dengan bantuan harga keseimbangan ini, maka kita dapat membentuk rentang HLB
setiap surfaktan secara optimal. Makin besar nilai HLB suatu bahan maka bahan
tersebut semakin bersifat hidrofilik (Brahmana, dkk. 1998). Secara teori harga HLB
suatu bahan dapat dihitung berdasarkan gugus fungsi hidrofil, lipofil dan derivatnya,
seperti dapat dilihat pada Tabel 2.2. Berdasarkan harga HLB pacta Tabel 2.2 dapat
ditentukan harga HLB secara teori dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

22

HLB

=I

(gugus hidrojil)-

I

(gugus lipojil) + 7

(2.2)

..

Ta beI 2 2 N"l
I a1. HLB berdasark an eueus f unesi
HargaHLB
Gueus Hidrofil
-S04Na+
38,7
-COO-N a+
19,1
N (amina tersier)
9,4
Ester (cincin sorbitan)
6,8
Ester (bebas)
2,4
Hidroksil (bebas)
1,9
Hidroksil (cincin sorbitan) 0,5
Gueus Lipofil
Hare