Perbandingan Kualitas Hidup Penderita Dispepsia Dengan Non-Dispepsia pada Mahasiswa FK USU

4

BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1. Anatomi Dan Fisiologi Lambung
2.1.1. Anatomi
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas
tepat dibawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung berbentuk tabung J,
dan bila penuh berbentuk seperti buah alpukat raksasa. Kapasitas normal lambung
1 sampai 2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus dan antrum
pilorus. Sebelah atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri
bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter kedua ujung lambung
mengatur pengeluaran dan pemasukan. Sfingter kardia atau sfingter esofagus
bawah, mengalirkan makanan yang masuk kedalam lambung dan mencegah
refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat
pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Disaat sfingter
pilorikum berelaksasi makanan masuk kedalam duodenum, dan ketika
berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isis usus halus
kedalam lambung (Sain, 2008).
Menurut Sain (2008) lambung terdiri dari empat lapisan:

o

Lapisan peritoneal luar yang merupakan lapisan serosa.

o

Lapisan berotot yang terdiri atas 3 lapisan:


Serabut longitudinal, yang tidak dalam dan bersambung dengan
otot esophagus.



Serabut sirkuler yang palig tebal dan terletak di pylorus serta
membentuk otot sfingter, yang berada dibawah lapisan pertama.



Serabut oblik yang terutama dijumpai pada fundus lambunh dan

berjalan dari orivisium kardiak, kemudian membelok kebawah
melalui kurva tura minor (lengkung kelenjar).

o

Lapisan submukosa yang terdiri atas jaringan areolar berisi pembuluh
darah dan saluran limfe.

5

o

Lapisan mukosa yang terletak disebelah dalam, tebal, dan terdiri atas
banyak kerutan/ rugae, yang menghilang bila organ itu mengembang
karena berisi makanan. Ada beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan
dikategorikan menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya.
Kelenjar

kardia


berada

dekat

orifisium

kardia.

Kelenjar

ini

mensekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastric terletak di fundus
dan pada hampir selurus korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki
tipe-tipe utama sel. Sel-sel zimognik atau chief cells mensekresikan
pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana asam.
Sel-sel parietal mensekresikan asam hidroklorida dan faktor intrinsik.
Faktor intrinsik diperlukan untuk absorpsi vitamin B 12 di dalam usus
halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan anemia
pernisiosa. Sel-sel mukus (leher) ditemukan dileher fundus atau

kelenjar-kelenjar gastrik. Sel-sel ini mensekresikan mukus. Hormon
gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada pylorus lambung.
Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam
hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresikan oleh
lambung adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion-ion natrium,
kalium, dan klorida.
Persarafan lambung sepenuhnya otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk
lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus.
Trunkus vagus mempercabangkan ramus gastrik, pilorik, hepatik dan seliaka.
Pengetahuan tentang anatomi ini sangat penting, karena vagotomi selektif
merupakan tindakan pembedahan primer yang penting dalam mengobati tukak
duodenum (Sain, 2008).
Persarafan simpatis adalah melalui saraf splenikus major dan ganlia
seliakum. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang
oleh peregangan, dan dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut aferen
simpatis menghambat gerakan dan sekresi lambung. Pleksus saraf mesentrikus
(auerbach) dan submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding

6


lambung dan mengkordinasi aktivitas motoring dan sekresi mukosa lambung
(Sain, 2008).
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serat hati, empedu, dan
limpa) terutama berasal dari daerah arteri seliaka atau trunkus seliaka, yang
mempecabangkan cabang-cabang yang mensuplai kurvatura minor dan mayor.
Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteri gastroduodenalis dan
arteri pankreas tikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus
posterior duodenum. Tukak dinding postrior duodenum dapat mengerosi arteria
ini dan menyebabkan perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta
berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran cerna, berjalan ke hati
melalui vena porta (Sain, 2008).

Gambar 2.1. Anatomi Lambung (Tortora & Gerald, 2009)

2.1.2. Fisiologi
Menurut Sain (2008) Fisiologi Lambung :
 Mencerna makanan secara mekanikal.

7


 Sekresi, yaitu kelenjar dalam mukosa lambung mensekresi 1500 –
3000 mL gastric juice (cairan lambung) per hari. Komponene
utamanya yaitu mukus, HCL (hydrochloric acid), pensinogen, dan
air. Hormon gastrik yang disekresi langsung masuk kedalam
aliran darah.
 Mencerna makanan secara kimiawi yaitu dimana pertama kali
protein dirobah menjadi polipeptida
 Absorpsi, secara minimal terjadi dalam lambung yaitu absorpsi air,
alkohol, glukosa, dan beberapa obat.
 Pencegahan, banyak mikroorganisme dapat dihancurkan dalam
lambung oleh HCL.
 Mengontrol aliran chyme (makanan yang sudah dicerna dalam
lambung) kedalam duodenum. Pada saat chyme

siap masuk

kedalam duodenum, akan terjadi peristaltik yang lambat yang
berjalan dari fundus ke pylorus.

2.2. Dispepsia

2.2.1. Pengertian
Menurut Sain (2008) dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala
klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap
atau mengalami kekambuhan keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa
panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung kini tidak lagi termasuk
dispepsia. Batasan dispepsia terbagi atas dua yaitu


Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya.



Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia
non ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya.

2.2.2. Etiologi
Menurut Sain (2008), etiologi dispepsia sebagai berikut:
1. Perubahan pola makan.


8

2. Pengaruh obat-obatan yang dimakan secara berlebihan dan dalam waktu
yang lama.
3. Alkohol dan nikotin rokok.
4. Stres.
5. Tumor atau kanker saluran pencernaan.

2.2.3. Insiden

Dispepsia merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemui
dokter dalam praktek sehari-hari. Diperkirakan hampir 30% kasus yang dijumpai
pada praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologi merupakan dispepsia.
Prevalens terjadinya dispepsia di Amerika Serikat tahun 1994 mencapai 26%
sedangkan di Inggris 41%. Di Inggris dan Skandinavia pada tahun 1999
dilaporkan angka prevalensi dispepsia berkisar 7 – 41%. Di Indonesia pada tahun
1998 proporsi dispepsia pada klinik kesehatan sehari-hari 20%. (Harahap, 2010)
Menurut Sigi, di negara barat prevalensi yang dilaporkan antara 23 dan 41 %.
Sekitar 4 % penderita berkunjung ke dokter umumnya mempunyai keluhan
dispepsia. Didaerah asia pasifik, dispepsia juga merupakan keluhan yang banyak

dijumpai, prevalensinya sekitar 10 – 20 % (Sain, 2008).
2.2.4. Faktor Risiko
Menurut Sain (2008) faktor risiko dispepsia terdiri dari:
1. Sekresi asam lambung
2. Helicobacter pylori
3. Dismotilitas
4. Ambang rangsang persepsi
5. Disfungsi autonom
6. Aktivitas mioelektrik lambung
7. Peranan hormonal
8. Diet dan faktor lingkungan
9. Psikologis

9

10. Faktor genetik

2.2.5. Manifestasi Klinis
Menurut Sain (2008) faktor manifestasi klinis dispepsia terdiri dari:
1. Nyeri perut (abdominal discomfort)

2. Rasa perih di ulu hati
3. Mual, kadang-kadang sampai muntah
4. Nafsu makan berkurang
5. Rasa lekas kenyang
6. Perut kembung
7. Rasa panas di dada dan perut
8. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba)

2.2.6. Klasifikasi
Menurut Sain (2008) faktor klasifikasi dispepsia terdiri dari:
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya.
2. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia
non ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya.

2.2.7. Patofisiologi
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak
dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah
hipersekresi


asam

lambung,

infeksi

Helicobacter

pylori,

dismotilitas

gastrointestinal,dan hipersensitivitas viseral. Ferri et al. (2012) menegaskan
bahwa patofi siologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan
penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai
memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini (Sain, 2008)

2.2.7.1. Sekresi Asam Lambung

10

Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata
normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam
yang menimbulkan rasa tidak enak di perut. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.2. Helicobacter Pylori
Infeksi Helicobacter pylori (Hp) mempengaruhi terjadinya dispepsia
fungsional. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada
pasien dengan dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat
mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat
merubah

sel

neuroendokrin

lambung.

Sel

neuroendokrin

menyebabkan

peningkatan sekresi lambung dan menurunkan tingkat somatostatin. (Mustawa,
2012)

2.2.7.3. Dismotilitas
Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan
beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, diantaranya keterlambatan
pengosongan

lambung,

akomodasi

fundus

terganggu,

distensi

antrum,

kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal. Beragam studi
melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi perlambatan pengosongan
lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti
bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks,
sehingga gangguan pengosongan lambung saja tidak dapat mutlak menjadi
penyebab tunggal adanya gangguan motilitas. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.4. Ambang Rangsang Persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi,
reseptor mekanik, dan nociceptors. Berdasarkan studi, pasien dispepsia dicurigai
mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau
duodenum,

meskipun

mekanisme

pastinya

masih

belum

dipahami.

Hipersensitivitas viseral juga disebut-sebut memainkan peranan penting pada

11

semua gangguan fungsional dan dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan
dispepsia fungsional. (Abdullah & Gunawan, 2012)
Mekanisme hipersensitivitas ini dibuktikan melalui uji klinis pada tahun
2012. Dalam penelitian tersebut, sejumlah asam dimasukkan ke dalam lambung
pasien dispepsia fungsional dan orang sehat. Didapatkan hasil tingkat keparahan
gejala dispeptik lebih tinggi pada individu dispepsia fungsional. Hal ini
membuktikan peranan penting hipersensitivitas dalam patofisiologi dispepsia.
(Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.5. Disfungsi Autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga
diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu
menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan
rasa cepat kenyang. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.6. Aktivitas Mioelektrik Lambung
Adanya

disritmia

mioelektrik

lambung

pada

pemeriksaan

elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi
peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.7. Peranan Hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis
dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang
menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan,
progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan
memperlambat waktu transit gastrointestinal. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.8. Diet Dan Faktor Lingkungan
Kebanyakan pasien dispepsia fungsional mengeluhkan intoleransi
terhadap makanan berlemak dan dapat didemonstrasikan hipersensitivitasnya

12

terhadap distensi lambung yang diinduksi oleh infus lemak ke dalam duodenum.
Gejalanya pada umumnya adalah mual dan perut kembung. (Rudy Dwi Laksono,
2011)

2.2.7.9. Psikologis
Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus
berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya menghubungkan
faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas. Tidak
didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional
ini, walaupun dalam sebuah studi dipaparkan adanya kecenderungan masa kecil
yang tidak bahagia, pelecehan seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia
fungsional. (Abdullah & Gunawan, 2012)

2.2.7.10. Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan
gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin
antiinflamasi (Il-10, TGF-β). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat menyebabkan
peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan
dengan protein dari sistem reuptake synaptic serotonin serta reseptor
polimorfisme alpha adrenergik yang mempengaruhi motilitas dari usus.
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional gastrointestinal
berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus
pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan
gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity
adrenal. (Mustawa, 2012)

2.2.7.11. Hipersensitivitas Viseral
Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat
gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu hipotesis

13

penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan mekanisme
perubahan perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari gastrointestinal ke otak,
dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan persepsi nyeri sentral berhubungan
dengan peningkatan sinyal dari usus. (Mustawa, 2012)
Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan disfungsi
pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut aferen
lambung mungkin menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Dispepsia fungsional
juga ditandai oleh respon motilitas yang cepat setelah rangsangan kemoreseptor
usus. Hal ini mengakibatkan rasa mual dan penurunan motilitas duodenum.
Mekanisme hipersensitivitas viseral ini juga terkait dengan mekanisme sentral.
Penelitian pada nyeri viseral dan somatik menunjukkan bagian otak yang terlibat
dalam afektif, kognitif dan aspek emosional terhadap rasa sakit yang berhubungan
dengan pusat sistem saraf otonom. Kemungkinan bahwa perubahan periperal pada
gastrointestinal dimodulasi oleh mekanisme sentral. Bagian kortikolimbikpontin
otak adalah bagian pusat terpenting dalam persepsi stimuli periperal. (Mustawa,
2012)

14

Gambar 2.2. Mekanisme Dispesia Akibat Stres. (Mustawa, 2012)

2.2.8. Pencegahan
Pola makan yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang
dengan

kebutuhan

dan

jadwal

makan

yang

teratur,

sebaiknya

tidak

mengkomsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol, dan pantang
rokok, bila harus makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala,
gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung. (Sain, 2008).

2.2.9. Penatalaksanaan Medik
2.2.9.1. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Meurut Sain (2008), penatalaksanaan non farmakologis terdiri dari:
a.

Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung

15

b.

Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang peda,
obat-obatan yang berlebihan, nikotin rokok, dan stres

c.

Atur pola makan.

Gejala

dapat

dikurangi

dengan

menghindari

makanan

yang

mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan
kecil rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga yang
merekomendasikan untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama di
malam hari dan membagi asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan
kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan
terapi perilaku. (Mustawa, 2012)

2.2.9.2. Penatalaksanaan Farmakologis
2.2.9.2.1. Antasida
Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir
sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung natrium bikarbonat,
Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian antasida tidak dapat
dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi
nyeri. Magnesium trisiklat merupakan adsorben nontoksik, namun dalam dosis
besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. (Mustawa,
2012)

2.2.9.2.2. Antikolinergik
Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin
yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam
lambung sekitar 28% sampai 43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
(Mustawa, 2012)

2.2.9.2.3. Antagonis Resptor H2

16

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik
atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini adalah
simetidin, ranitidin, dan famotidin. (Mustawa, 2012)

2.2.9.2.4. Proton Pump Inhibitor (PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir
dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol. (Mustawa, 2012)

2.2.9.2.5. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2)
selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.
Sukralfat

berfungsi

meningkatkan

prostaglandin

endogen,

yang

selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan
meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sile
protective) yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna
bagian atas. (Mustawa, 2012)

2.2.9.2.6. Golongan Prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional
dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki asam lambung.
(Mustawa, 2012)

2.2.9.2.7. Golongan Anti Depresi
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti
depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang
keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan
depresi. Contoh dari obat ini adalah golongan trisiclic antidepressants (TCA)
seperti amitriptilin.

17

Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa
pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan
Helicobacter pylori, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung
bukti : antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, antagonis
reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake
inhibitor, sukralfat, dan antidepresan. (Mustawa, 2012)

2.2.10. Test Diagnostik
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan organik,
pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian

Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukositosis
berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita malabsorpsi.
Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat
keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat diperiksa tumor marker
seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma
pankreas). (Mustawa, 2012)

Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang
mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan. (Mustawa,
2012)

Endoskopi bisa digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari
lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Helicobacter pylori.
Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik
sekaligus terapeutik. (Mustawa, 2012)

18

Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi H.
pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi. (Mustawa,
2012)

2.3. Batasan Kualitas Hidup
Kualitas hidup adalah keadaan yang dipersepsikan terhadap keadaan
seseorang sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan
hidup, harapan dan niatnya. (Elvina, 2011)
Dikutip dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon
dan Harvey Schipper dalam Elvina (2011), Kualitas hidup mencakup:
a.

Gejala fisik

b.

Kemampuan fungsional (aktivitas)

c.

Kesejahteraan keluarga

d.

Spiritual

e.

Fungsi sosial

f.

Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan)

g.

Orientasi masa depan

h.

Kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri

i.

Fungsi dalam bekerja

2.4. Hubungan Kesehatan dengan Kualitas Hidup
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis
(UU no.23/1992 tentang kesehatan). Kesehatan adalah kebutuhan dasar dan modal
utama untuk mencapai kualitas hidup yang terbaik. (Elvina, 2011)

2.5. Hubungan Dispepsia dengan Kualitas Hidup
Gejala dispepsia seperti: nyeri epigastrik, mual menyebabkan penurunan
kualitas hidup pada penderita dispepsia. (Talley, 2006) Banyak penelitian telah
membuktikan pengurangan kualitas hidup pada pasien dispepsia dengan gejala
ringan sampai berat. (Chang, 2004) Pada pasien yang menderita dispepsia dan

19

mulas, kualitas hidup menjadi masalah (Glise, 1997) Banyak penelitian yang
menggunakan pasien membuktikan penurunan kualitas hidup dikarenakan oleh
dispepsia, dan akibatnya pada banyak variabel dari kualitas hidup, terdiri dari:
mental, sosial, dan fungsi fisik. (Aro, 2011)