Gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional dibandingkan anak tanpa dispepsia fungsional

(1)

TESIS

GANGGUAN TIDUR PADA ANAK DENGAN DISPEPSIA FUNGSIONAL DIBANDINGKAN

TANPA DISPEPSIA FUNGSIONAL

NOOR AZRITA ALDANI 097103013 / IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

Judul Tesis : Gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional dibandingkan anak tanpa dispepsia fungsional Nama Mahasiswa : Noor AzritaAldani

Nomor Induk Mahasiswa : 097103013

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi : Kesehatan Anak

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Supriatmo, MKed(Ped), SpA(K)

Anggota

Dr. RitaEvalina, MKed(Ped), SpA(K)

Program Magister Kedokteran Klinik

Sekretaris Program Studi, Dekan

Dr. Murniati Manik, MSc, SpKK, SpGK

NIP. 19530719 198003 2 001 NIP. 19540220 198011 1 001 Prof. Dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD, KGEH


(3)

Telah diuji pada

Tanggal: 23 Januari 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Supriatmo, MKed(Ped), SpA(K) ……… Anggota: 1. dr. Rita Evalina, MKed(Ped), SpA(K) ……… 2. Prof.dr.H.M.Yoesoef Simbolon, SpKJ(K) ……… 3. dr. Nelly Rosdiana, MKed(Ped), SpA(K) ……… 4. dr. Selvi Nafianti, MKed(Ped), SpA(K) ………


(4)

Tanggal Lulus: PERNYATAAN

GANGGUAN TIDUR PADA ANAK DISPEPSIA FUNGSIONAL DIBANDINGKAN ANAK TANPA DISPEPSIA FUNGSIONAL

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapatk arya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya jug atidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitka noleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Januari 2015


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Pembimbing utama dr.Supriatmo, MKed(Ped) ,SpA(K) dan dr. RitaEvalina,MKed(Ped), SpA(K) yang telah memberikan bimbingan,b antuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

2. Prof. dr. H. Munar Lubis, SpA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak dan dr. Hj. Melda Deliana, MKed(Ped), SpA(K)


(6)

sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

3. dr. Nelly Rosdiana, MKed(Ped), SpA(K), dr. Selvi Nafianti, MKed(Ped), SpA(K), Prof. dr. Atan Baas Sinuhaji, SpA(K), dr. Ade Rachmat Yudiyanto, MKed(Ped), SpA yang sudah membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.

4. Prof. dr. H.M.Yoesoef Simbolon, SpKJ(K), yang telah membimbing dan membantu saya dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

6. Teman-teman yang telah membantu saya dalam keseluruhan penelitian maupun penyelesaian tesis ini, Syaiful Arif Miraza, Nurhandayani, Wardah, Mardiana Hasibuan, Lorinda Harahap, Syafrida Hiliya Rambe, Fathia Meirina, Ridha Rahmalia, serta teman-teman seangkatan lainnya. Terimakasih untuk kebersamaan kita dalam menjalani pendidikan selama ini.

7. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.


(7)

Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orang tua saya Drs. M. Ali Daud dan ZubaidahYusuf, SPD serta mertua saya Ahmad Salim, dan Syarifah atas do’a serta dukungan moril kepada saya. Terimakasih yang sangat besar juga saya sampaikan kepada suamiku tercinta Muhsin Salim, S.Kep, yang dengan segala pengertian dan bantuannya baik moril maupun materil membuat saya mampu menyelesaikan tesis ini. Begitu juga buat anak-anakku tersayang, Muhammad Rafi Alfarizy dan Intan Rifa Fajarina yang selalu menjadi sumber kekuatan dan semangat bagi saya.

Akhir kata ,penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

WassalamualaikumWr.Wb.

Medan, Januari 2015

Noor Azrita Aldani


(8)

DAFTAR ISI

Lembar PersetujuanPembimbing ii

Lembar Pernyataan iv

Ucapan Terima Kasih v

Daftar Isi viii

Daftar Tabel x

Daftar Singkatan dan Lambang xi

Abstrak xii

Abstract xiii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 2

1.3. Hipotesis 2

1.4. Tujuan 2

1.4.1 Tujuan Umum 2

1.4.2 Tujuan Khusus 2

1.5. Manfaat 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dispepsia Fungsional 4

2.2.1. Etiologi 4

2.2.2. Klasifikasi 4

2.2.3. Patogenesis 5

2.2.4. Diagnosis 7

2.2.5. Tata Laksana 8

2.2. GangguanTidur 9

2.1.1. Tidur 9

2.1.2. FaseDalamTidur 10

2.1.3. GangguanTidur 11

2.1.4. Faktor-faktorGangguanTidur 16

2.1.5. Aspek-aspekGangguanTidur 16

2.1.6. TataLaksana 17

2.3. Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) 19 2.4. Gangguan Tidur Pada Dispepsia Fungsional 20


(9)

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian 24

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 24

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 24

3.4. Perkiraan Besar Sampel 25

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 26

3.5.1 Kriteria Inklusi 26

3.5.2 Kriteria Eksklusi 26

3.6. Persetujuan / Informed Consent 26

3.7. Etika Penelitian 26

3.8. Cara Kerja 27

3.9. Alur Penelitian 27

3.10. Identifikasi Variabel 28

3.11. Definisi Operasional 28

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 29

BAB 4. HASIL PENELITIAN 30

4.1 Karakteristik Penelitian 30

4.2 Hubungan Dispepsia dan Gangguan Tidur 30

BAB 5. PEMBAHASAN 32

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 36

6.1 Kesimpulan 36

6.2 Saran 36

RINGKASAN 37

DAFTAR PUSTAKA 38

RIWAYAT HIDUP


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Alarm symptoms 8

Tabel 4.1. KarakteristikPenelitian 30


(11)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

EEG : Electroenchepalogram

EMG : Elektromyogram

EOG : Electrooculogram

NREM : Nonrapid eye movement

REM : Rapid eye movement

SDSC : Sleep Disurbances Scale for Children

PPI : Proton Pump Inhibitor

n1 n

: Jumlah subjek kelompok dengan dispepsia 2

Zα : deviat baku alpha untuk α = 0,05

: Jumlah subjek kelompok tanpa dispepsia

(maka nilai baku Normalnya1,96)

Zβ : deviat baku normal untuk β = 0,10 (maka nilai baku normalnya 0,842)

α : kesalahan tipe I

β : kesalahan tipe II

P1

dengan gangguan tidur 0,7

: proporsi anak usia 8 tahun dengan dispepsia

P2

dispepsia tanpa gangguan tidur (perbedaan yang diharapkan 30%= 0,4)

: perkiraan proporsi anak usia 8 -18 tahun dengan

cm : centi meter

SB : simpang baku

OR : Odds Ratio

IK : interval kepercayaan

SD : Standart deviasi


(12)

ABSTRAK

Latar belakang. Dispepsia fungsional termasuk nyeri epigastrium berkaitan dengan peningkatan gangguan tidur.

Tujuan. Membandingkan gangguan tidur pada anak dengan dyspepsia dan tanpa dyspepsia fungsional

Metode. Penelitian uji sekat lintang dilaksanakan di PesantrenAr-Raudhatul Hasanah di kota Medan pada bulan Maret sampai April 2014. Sampel adalah anak dengan usia 8 sampai 18 tahun yang didiagnosis dengan dyspepsia fungsional berdasarkan Rome III. Gangguan tidur pada anak dinilai dengan menggunakan kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC). Hasil dengan menggunakan analisa X2

Hasil. Pada penelitian ini dari 84 orang anak 42 dengan dyspepsia fungsional dan 42 tanpa dyspepsia fungsional. Ditemukan gangguan tidur pada anak dengan dyspepsia fungsional 30 orang (71.4%) dan pada anak tanpa dyspepsia fungsional14 orang (33.3%) dengan nilai P= 0.0001.

test.

Kesimpulan.Gangguan tidur lebih sering ditemukan pada anak dengan dyspepsia fungsional.


(13)

ABSTRACT

Background. Functional dyspepsia, including epigastric pain associated with increased sleep disturbances.

Objective. To compare sleep disturbances in children with and without functional dyspepsia

Methods. A crossectional study were conducted at Al-Raudhatul Hasanah boarding school in Medan from March to April 2014. Subjects were children aged 8 to 18 years who were diagnosed with functional dyspepsia based on Rome III. Sleep disturbances in children assessed using Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) questionnaires. Results were analysis using X2 test

Results. There were 84 children include in the study, 42 with functional dyspepsia and 42 without functional dyspepsia. 71.4% children with functional dyspepsia had sleep disturbances while in children without dyspepsia fungsional, only 33.3% had sleep disturbance with P= 0.0001.

Conclusion. Sleep disturbance is more common in children with functional dyspepsia

Keywords : functional dyspepsia, chidren, sleep disturbence


(14)

ABSTRAK

Latar belakang. Dispepsia fungsional termasuk nyeri epigastrium berkaitan dengan peningkatan gangguan tidur.

Tujuan. Membandingkan gangguan tidur pada anak dengan dyspepsia dan tanpa dyspepsia fungsional

Metode. Penelitian uji sekat lintang dilaksanakan di PesantrenAr-Raudhatul Hasanah di kota Medan pada bulan Maret sampai April 2014. Sampel adalah anak dengan usia 8 sampai 18 tahun yang didiagnosis dengan dyspepsia fungsional berdasarkan Rome III. Gangguan tidur pada anak dinilai dengan menggunakan kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC). Hasil dengan menggunakan analisa X2

Hasil. Pada penelitian ini dari 84 orang anak 42 dengan dyspepsia fungsional dan 42 tanpa dyspepsia fungsional. Ditemukan gangguan tidur pada anak dengan dyspepsia fungsional 30 orang (71.4%) dan pada anak tanpa dyspepsia fungsional14 orang (33.3%) dengan nilai P= 0.0001.

test.

Kesimpulan.Gangguan tidur lebih sering ditemukan pada anak dengan dyspepsia fungsional.


(15)

ABSTRACT

Background. Functional dyspepsia, including epigastric pain associated with increased sleep disturbances.

Objective. To compare sleep disturbances in children with and without functional dyspepsia

Methods. A crossectional study were conducted at Al-Raudhatul Hasanah boarding school in Medan from March to April 2014. Subjects were children aged 8 to 18 years who were diagnosed with functional dyspepsia based on Rome III. Sleep disturbances in children assessed using Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) questionnaires. Results were analysis using X2 test

Results. There were 84 children include in the study, 42 with functional dyspepsia and 42 without functional dyspepsia. 71.4% children with functional dyspepsia had sleep disturbances while in children without dyspepsia fungsional, only 33.3% had sleep disturbance with P= 0.0001.

Conclusion. Sleep disturbance is more common in children with functional dyspepsia

Keywords : functional dyspepsia, chidren, sleep disturbence


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau keluhan klinis yang berhubungan dengan gejala yang kompleks pada perut bagian atas meliputi rasa sakit atau tidak nyaman di bagian tengah atas, perut terasa penuh, cepat kenyang, kembung, bersendawa dan mual.1 Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak tidak jelas diketahui. Penelitian pada anak sekolah dibeberapa negara menunjukkan prevalensi yang bervariasi antara 10% sampai 15%.2 Studi pada anak dan remaja berusia di atas 5 tahun yang mengeluhkan gangguan saluran cerna seperti sakit perut, rasa tidak nyaman dan mual sedikitnya dalam waktu satu bulan, 62% merupakan dispepsia fungsional.3 Walaupun sering dianggap dapat sembuh sendiri, namun dispepsia fungsional dilaporkan berhubungan dengan gangguan kecemasan, dapat disertai nyeri kepala, menyebabkan anak dirawat atau mendapat pelayanan kesehatan, gangguan tidur, serta meningkatnya jumlah ketidakhadiran di sekolah.4

Masalah kesehatan umum seringkali dikaitkan dengan kelainan tidur. Pasien medis yang kronis seringkali memiliki jam tidur yang lebih sedikit dan tidur kurang nyenyak dibandingkan dengan orang yang sehat, dan kurang tidur ini dapat memperburuk gejala subjektif dari penyakit tersebut. Gangguan tidur pada penderita dispepsia fungsional terjadi akibat sakit pada ulu hati yang mempengaruhi kualitas tidur sehingga mengganggu aktivitas


(17)

dan fungsi sehari-hari.5 Hubungan dispepsia fungsional dengan gangguan tidur masih jarang dipelajari. Beberapa studi telah meneliti hubungan antara dispepsia fungsional dan gangguan tidur pada orang dewasa, 6-11 tetapi tidak ada penelitian yang dilakukan khusus pada anak dan remaja.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka diperlukan penelitian untuk mengetahui gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional dan tanpa dispepsia fungsional.

1.3. Hipotesis

Terdapat gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional

1.4. Tujuan

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional dan tanpa dispepsia fungsional

1.4.2. Tujuan Khusus

1. mengetahui prevalensi dispepsia fungsional pada anak di lokasi penelitian


(18)

2. Untuk membandingkan gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional dan tanpa dispepsia fungsional

1.6. Manfaat

1. Di bidang akademik/ilmiah: meningkatkan pengetahuan peneliti dalam hal dispepsia fungsional dapat menyebabkan gangguan tidur pada anak.

2. Di bidang pelayanan masyarakat: meningkatkan usaha pelayanan kesehatan anak khususnya di bidang gastroentero-hepatologi anak dan memberikan gangguan tidur fungsional dengan dispepsia fungsional pada anak.

3. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan masukan terhadap bidang gastroentero-hepatologi anak, khususnya dalam pengembangan penelitian tentang dispepsia fungsional pada anak.


(19)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dispepsis Fungsional

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (dys : sulit dan pepse : pencernaan), merupakan suatu kondisi yang menunjukkan adanya ketidaknyamanan saluran cerna biasanya ditandai dengan perasaan penuh pada perut dan mual.12 Dispepsia fungsional adalah bagian dari gangguan pencernaan fungsional yang memiliki gejala umum gastrointestinal dan tidak ditemukan kelainan organik berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi dan endoskopi. 13

2.1.1. Etiologi

Dispepsia fungsional merupakan akibat dari kombinasi beberapa faktor seperti faktor biologi atau fisiologi (seperti inflamasi, gangguan mekanik dan sensorik), psikologikal (seperti kecemasan, depresi, somatisasi) dan sosial (interaksi dengan orang tua, guru atau teman sebaya). Pada anak dengan dispepsia fungsional, hanya sedikit dijumpai kolonisasi Helicobacter pylori di mukosa lambungnya. 13

2.1.2 Klasifikasi

Dispepsia fungsional dibagi menjadi 3 golongan tergantung dari gejala yang dominan, yaitu :12,13


(20)

- Ulcer-like dyspepsiayang ditandai dengan gejala nyeri yang terpusat dibagian medial kuadran atas abdomen

- Dysmotility-like dyspepsia ditandai dengan gejala tidak nyaman ataupun mengganggu tetapi tidak nyeri dan gejala tersebut terutama timbul dibagian media kuadran atas abdomen. Sensasi yang timbul biasanya keluhan rasa penuh, cepat kenyang, kembung araupun mual

- Non-specific dyspepsia keluhan yang timbul tidak memenuhi kriteria baik ulcer-like dyspepsia maupun dysmotility-like dyspepsia.

2.1.3. Patogenesis

Patogenesis dispepsia fungsional masih belum diketahui secara pasti.Gangguan motilitas diduga menjadi salah satu penyebab berdasarkan penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya bukti ritme elektris lambung yang tidak teratur dan perlambatan waktu pengosongan lambung dan duodenum atau motilitas abnormal yang ditandai dengan gerak mundur dari lambung dan duodenum. Pasien dengan nyeri perut fungsional memiliki kelainan aktivitas elektrik lambung dengan gerakan lambung yang lebih lamban dan tekanan kontraksi duodenum yang tinggi.

Gangguan motilitas lambung diduga terkait dengan aktivasi eosinofil. Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dispepsia fungsional terjadi


(21)

pengaktifan eosinofil dengan tingkat sedang sampai ekstensif pada mukosa lambung. Faktor fisiologis dan psikologis dapat berhubungan dengan inflamasi pada pasien dengan dispepsia fungsional. Sel mast menjadi fokus penelitian karena hubungannya yang erat dengan saraf enterik. Sel mast mengalami peningkatan jumlah pada bagian antrum, korpus dan duodenum pasien dengan dispepsia fungsional. Peningkatan tersebut berhubungan dengan hipersensitivitas akan distensi dan sel mast tersebut akan mengalami degranulasi apabila lambung mengalami distensi.

Faktor psikologis seperti kecemasan dapat berperan dalam respon inflamasi. Stres akan mengaktivasi hipotalamus untuk melepaskan corticotrophin-releasing factor (CRF). CRF juga diproduksi oleh sel inflamasi di susunan saraf perifer sampai sentral. Sel mast mengekspresikan reseptor CRF dan jika terstimulasi akan melepaskan sitokin dan mediator proinflamasi lainnya.Berbagai mediator yang dilepaskan sel inflamasi akan mempengaruhi emosi dan perilaku seseorang. Sel mast dan dan histamin neuronal memainkan peranan penting dalam mencetuskan kecemasan, terutama lewat reseptor H1 postsinaps. Hal ini menjelaskan mengapa gejala dispepsia fungsional berkurang dengan pemberian penyekat reseptor H1 atau H2 dan stabilisator sel mast.

15


(22)

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis dispepsia fungsional pada anak ditegakkan bila telah ditemukan riwayat nyeri perut muncul selama 12 minggu yang dialami dalam satu tahun terakhir dan tidak ditemukan kelainan organik. Dari anamnesis digali manifestasi klinis dari dispepsia fungsional, diet, psikologi dan faktor sosial. Hal tersebut dapat membantu mencari hubungan antara gejala yang terjadi dengan makanan, aktivitas dan stresor. Penting juga untuk melakukan anamnesis terhadap orang tua untuk memperoleh informasi mengenai pola makan, lokasi nyeri, intensitas serta karakteristiknya, kegiatan sehari-hari dan pola defekasi.

Penegakan diagnosis berdasarkan pada kriteria Rome lll yang telah di modifikasi anak. Kriteria diagnosisnya adalah:

12,13

1. Nyeri atau ketidaknyamanan yang menetap atau berulang pada perut bagian atas

17,18

2. Tidak ada bukti penyakit organik yang menyebabkan gejala tersebut

3. Tidak ada bukti bahwa dispepsia berkurang dengan defekasi atau berkaitan dengan perubahan frekuensi defekasi atau bentuk feses. Pemeriksaan urin dan darah dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik. Endoskopi dilakukan untuk memeriksa adanya inflamasi pada saluran cerna bagian atas. Penggunaan endoskopi sebagai modalitas diagnosis pertama untuk dispepsia fungsional masih diragukan. 19


(23)

Dispepsia fungsional didiagnosis dengan mengeksklusikan adanya kelainan organik (alarm symptoms), seperti table 1.2

Tabel 2.1. Alarm symptoms

:

- Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus 2

- Nyeri menjalar (punggung bahu, ekstremitas bawah) - Nyeri sampai membangunkan anak di malam hari - Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan

- Disertai gangguan motilitas (diare, konstipasi, inkontinensia) - Disertai perdarahan saluran cerna

- Terdapat disuria

- Berhubungan dengan menstruasi - Gangguan tumbuh kembang

- Terdapat gangguan sistemik : demam, nafsu makan turun - Terjadi pada usia < 4 tahun

- Terdapat organomegali

- Terdapat pembengkakakan, kemerahan dan hangat pada sendi - Kelainan perirektal : fisura, ulserasi

2.1.5 Tatalaksana

Tatalaksana dispepsia tergantung dari penyebab yang mendasarinya, bila penyebab organik maka penatalaksanaan dilakukan sesuai terhadap penyebabnya. Sedangkan bila penyebabnya fungsional maka tatalaksana bertujuan untuk mengobati gejala

Pengaturan pola makan penting dalam penatalaksanaan dispepsia fungsional. Menghindari makanan berbumbu kuat, berlemak dan yang mengandung kafein dapat meringankan gejala. Obat-obatan golongan prokinetik, penyekat reseptor H2, penghambat pompa proton dan antidepresan trisiklik dosis rendah berguna dalam mengurangi gejala. Pada


(24)

anak dengan dispepsia fungsional dianjurkan untuk mendapatkan obat penetralisir asam lambung seperti antasida dan penghambat pompa proton atau obat prokinetik seperti cisaprid dan metoklopramid.

Pendekatan biopsikososial pada dispepsia fungsional berfokus pada penanganan gejala dengan menilai faktor psikososial yang memperberat gejala. Penilaian dilakukan tidak hanya pada anak tetapi juga keluarganya.

19

1 Bila anak masih menunjukkan gejala klinis mskipun telah diberikan pengobatan maka penatalaksanaan yang dilakukan meliputi modifikasi lingkungan, relaksasi, psikoterapi, hipnoterapi atau biofeedback.15

2.2 Gangguan Tidur 2.2.1 Tidur

Tidur merupakan suatu keadaan di bawah sadar, di mana individu tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Kegunaan tidur belum sepenuhnya diketahui, tetapi tidur merupakan proses penting dalam konsolidasi ingatan serta proses penyembuhan. Gangguan tidur sangat sering terjadi dan hampir 40% populasi yang mempunyai masalah tidur selama satu tahun dengan penyebab utamanya adalah masalah psikologis.

Gangguan tidur memiliki dampak kehidupan individu yang bersangkutan, pertama akan mengurangi daya tahan tubuh sehingga


(25)

peluang terhadap munculnya sejumlah penyakit dan kecemasan, sebab tubuh manusia telah diciptakan sedemikian sempurna yang secara alamiah telah diatur oleh metabolism fisik yang akan mempengaruhi kesehatan. Fisik dan mental seseorang akan sehat jika terdapat keteraturan antara terjaga dan tidur.5,21,22

2.2.2 Fase Dalam Tidur

Penilaian aktivitas tidur dapay dinilai dengan pengukuran elektrofisiologik memakai Electroencephalogram (EEG), Elektromyogram (EMG), dan Electrooculogram (EOG), serta pemantauan terhadapt denyut jantung, pernafasan dan konduktifitas kulit.

Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis yaitu Nonrapid eye movement (NREM) dan Rapid eye movement (REM).

20

Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu: 23

1. Tidur stadium Satu :

23

Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur.Fase ini didapatkankelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakanbola matakekanan dan kekiri.Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan.Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa,betha dan kadang gelombang theta dengan amplitudo yang rendah.


(26)

2. Tidur stadium dua:

Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama.Gambaran EEG terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan komplek K

3. Tidur stadium tiga:

Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang sleep spindle.

4. Tidur stadium empat:

Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle.

Pada tidur REM terjadi gerakan mata yang cepat dan acak, bermimpi ditandai oleh gambaran yang kacau dan pikiran yang tidak logis dan umumnya tidak disimpan dalam ingatan. Dengan gambaran EEG menunjukkan aktivitas cepat bertegangan rendah dan acak dengan gelombang seperti gigi gergaji.23

2.2.3. Gangguan Tidur

Gangguan tidur merupakan suatu kumpulan kondisi yang dicirikan dengan adanya gangguan dalam jumlah, kualitas atau waktu tidur pada seorang


(27)

individu. Gangguan tidur yang akan dibahas dalam hal ini adalah bentuk gangguan yang berhubungan dengan keadaan psikologis maupun fisiologis. Gangguan seperti ini telah dialami sekitar 20-30% dari populasi. Ada dua kategori dalam gangguan tidur yaitu: 20

A. Disomnia

Merupakan kondisi psikogenik di mana gangguan utamanya adalah kualitas waktu tidur yang disebabkan oleh hal-hal emosional, misalnya insomnia, hipersomnia, gangguan jadwal tidur.

1. Insomnia

Merupakan gangguan tidur yang terjadi kira-kira 20% dari populasi yaitu suatu kondisi tidur yang tidak menyenangkan dan tidak memuaskan secara kuantitas maupun kualitas yang berlangsung pada waktu tertetu. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa insomnia dapat berbeda-beda pada individu dan jumlah tidur yang dibutuhkan oleh masing-masing individu sangat bervariasi, sehingga pengertian insomnia disini :

20,23

a. Berupa kesulitan waktu masuk tidur yang merupakan keluhan paling umum, kemudian diikuti oleh sulitnya mempertahankan tidur dan bangun terlalu dini.

b. Gangguan ini minimal terjadi tiga kali dalam seminggu selama satu bulan.


(28)

c. Adanya perilaku yang berlebihan terhadap kejadian sepanjang hari sehingga mengganggu aktivitas tidur seseorang di malam hari.

d. Ketidakpuasan kuantitias atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi sosial dan pekerjaan.

Adapun penyebab insomnia adalah :

1. Gangguan biologis/fisik yang mengakibatkan nyeri, kegelisahan dan ketidaknyamanan dalam proses tidur

23

2. Gangguan psikologis termasuk diantaranya adalah depresi, cemas, dan obsesi yang kerap menjadi pemicu kronisitas insomnia. Kebiasaan menunda waktu tidur pada akhir pekan, tidur dalam ruangan yang terlalu dingin ataupun panas, exercising (latihan fisik) yang berlebihan sebelum tidur dan konsumsi kafein, alkohol dan tembakau berlebihan.

3. Memiliki kebiasaan buruk (bad habits) di mana seseorang memiliki insomnia namun tiap memikirkan dan mengkhawatirkan gangguan tidur sehingga memperparah kondisi insomnia itu sendiri

4. Penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, banyak pasien yang mengalami insomnia percaya bahwa alkohol dan obat-obatan tidur akan menolong mereka untuk dapat tidur, namun kondirsi tersebut menyebabkan pasien mengalami efek withdrawals, yakni suatu


(29)

gangguan tidur yang berat di mana pasein setiap malam membutuhkan dosis obat tidur yang lebih tinggi dari malam-malam sebelumnya, sehingga sindrom ini dinamakan insomnia ketergantungan.

2. Hipersomnia

Hipersomnia adalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur yang berkelebihan terutama pada siang hari. Gangguan ini dapat disebabkan oleh kondisi tertentu seperti kerusakan sistem saraf, gangguan pada hati atau ginjal, atau karena gangguan metabolisme (misalnya: hipotiroidisme), Hipersomnia pada kondisi tertentu dapat digunakan untuk menghindari tanggung jawab pada siang hari.23

3. Gangguan jadwal tidur (Sleep wake schedule disorders)

Gangguan jadwal tidur yaitugangguan dimana penderita tidak dapat tidur dan bangun pada waktu yang dikehendaki,walaupun jumlah tidurnya tetap. Gangguan ini sangatberhubungan dengan irama tidur sirkadian normal. Bagian-bagian yang berfungsi dalam pengaturan sirkadian antara laintemperatur badan,plasma darah, urine, fungsi ginjal dan psikologi. Dalam keadaan normal fungsi irama sirkadian mengatur siklus biologi irama tidur bangun, dimana sepertiga waktu untuk tidur dan dua pertiga untuk bangun/aktivitas.Siklus irama


(30)

sirkadian ini dapat mengalami gangguan, apabila irama tersebut mengalami pergeseran. Menurut beberapa penelitian terjadi pergeseran irama sirkadian antara onset waktu tidur reguler dengan waktu tidur yang irreguler (bringing irama sirkadian).23

B. Parasomnia

1. Somnabulisme (sleep walking)

Suatu keadaan perubahan kesadaran, di mana fenomena tidur dan bangun terjadi pada saat yang sama. Biasanya terjadi 1/3 awal dari tidur malam kemudiania berjalan sehingga beresiko tinggi untuk terjadi kecelakaan.

Bentuk lain dari parasomnia adalah sleeptaking yaitu kondisi yang sering dialami oleh anak-anak dan orang dewasa, dimana individu berbicara dalam kondisi tidurdan dalam bicaranya biasanya hanya membutuhkan sedikit kata-kata saja, bahkan apa yang dikatakan biasanya tidak berhubungan dengan mimpi yang dialami selama tidur, episode ini terkadang menyertai teror malam dan somnabulisme.

2. Sleep terror Disorder (Pavor Nocturnus) 23

Teror tidur atau teror malam adalah episode di malam hari yang ditandai oleh rasa tercekam dan panik yang hebat dengan cetusan teriakan, mobilitas dan pelepasan otonomik yang hebat. Dengan


(31)

gejala berupa ansietas yang hebat, jantung berdebar-debar, nafas cepat, pupil melebar dan berkeringat. Episode ini dapat berulang, setiap episode lamanya berkisar 1 – 10 menit, dan biasanya terjadi pada sepertiga awal tidur malam.23

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur

Kualitas tidur dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: a. Kesakitan

22

Orang yang sakit membutuhkan tidur dan istirahat yang lebih dari orang yang normal.Keadaan nyeri dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur.

b. Usia

Pada orang usia lanjut mengalami penurunan fungsi organ tubuh sehingga mudah terjadi gejala depresi yang menyebabkan gangguan tidur.

2.2.5 Aspek-aspek Gangguan Tidur

Terdapat beberapa aspek dalam gangguan tidur yaitu: 1. Aspek Psikologis dan Biologis

20

Kedua aspek ini terkadang menyatu menjadi bentuk psikosomatik, sehingga berdampak terhadap aspek biologis dan psikologis,


(32)

misalnya seseorang mengalami jantung berdebar dan demam akan cenderung mengalami gangguan tidur.

2. Aspek Fisik

Beberapa penyakit fisik seperti asma, maag, rheumatik, ginjal dan tiroid dapat menyebabkan gangguan tidur.

3. Aspek Psikologis

Masalah seseorang terhadap sesuatu akan mempengaruhi system saraf pusat, jika ambang psikologisnya rendah akan terjadi gangguan tidur.

2.2.6 Tata Laksana

Secara umum, langkah awal untuk mengatasi gangguan tidur akibat kondisi medik atau psikiatrik adalah dengan mengoptimalkan terapi terhadap penyakit yang mendasarinya.Cara farmakologik dan nonfarmakologik diperlukan untuk terapi gangguan tidur, namun penatalaksanaan utama umumnya mencakup aspek nonfarmakologik.Pada beberapa gangguan tidur tertentu, dibutuhkan penanganan-penanganan khusus.

Tatalaksana nonfarmakologik gangguan tidur antara lain adalah melalui mengaturan higiene tidur, terapi pengontrolan stimulus, sleep restriction therapy, terapi relaksasi dan biofeedback.Higiene tidur bertujuan untuk memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif untuk tidur, dan merupakan aspek yang mutlak dimanipulasi pada tatalaksana gangguan


(33)

tidur, Terapi pengontrolan stimulus bertujuan untuk memutus siklus masalah yang sering dikaitkan dengan memulai atau jatuh tidur. Sleep restriction therapy merupakan pembatasan waktu di tempat tidur yang dapat membantu mengkonsolidasikan tidur, Terapi ini bermanfaat untuk pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur. Terapi relaksasi dan biofeedback merupakan terapi hipnosis diri, relaksasi progresif, dan latihan nafas dalam sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif untuk memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan yang cukup dan serius.

Beberapa gangguan tidur memerlukan perhatian khusus dalam penatalaksanaannnya. Pada psychophysiologic insomnia, terapi atau penanganannya antara lain adalah melakukan edukasi kepada individu tentang prisip higiene tidur, menginstruksikan kepada mereka untuk menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan keluar dari tempat tidur jika belum dapat tidur (stimulus), dan diajarkan bagaimana teknik relaksasi untuk mengurangi ansietasnya. Medikasi hipnosis jarang dibutuhkan. Terapi parasomnia meliputi edukasi kepada orangtua dan memberikan dukungan, menghindari faktor yang dapat mempengaruhi. Farmakoterapi dan atau psikoterapi jarang dibutuhkan.

22


(34)

2.3 Sleep Disturbances Scale for Children (SDSC)

Sleep Disturbances Scale for Children (SDSC) merupakan salah satu metode diagnosis gangguan tidur yang berupa kuesioner yang ditanyakan ke ibu dengan anak yang diduga mengalami gangguan tidur. Kuesioner ini dibuat untuk standarisasi penelitian terhadap gangguan tidur anak-anak dan remaja dengan menggunakan skoring tidur.

Metode ini dapat digunakan untuk menentukan gangguan tidur pada anak usia 8,5 – 18,3 tahun. Kuesioner SDSC terdiri dari 26 pertanyaan, dinilai dalam 5 poin skala intensitas atau frekuensi.Penilaian SDSC ini dilakukan dengan menggunakan angka mulai dari 1 sampai dengan 5. :

25

- Angka 1 adalah tidak pernah

25

- Angka 2 adalah jarang ( 1 atau 2 kali per bulan atau kurang) - Angka 3 adalah kadang-kadang (1 atau 2 kali seminggu) - Angka 4 adalah sering (3 sampai 5 kali seminggu)

- Angka 5 adalah selalu (setiap hari).

Setelah itu nilai akan dijumlahkan dan dipadatkan penilaian adanya gangguan tidur pada anak. Total angka gangguan tidur didapatkan dengan menjumlahkan seluruh angka faktor tidur. Gangguan tidur anak dibagi menjadi 2 kategori : (1) tidak ada gangguan tidur (<70); (2) ada ganguan tidur (>70).

Pada SDSC mengemukakan enam kategori gangguan tidur,yaitu (1) gangguan memulai dan mempertahankan tidur; (2) gangguan pernapasan


(35)

waktu tidur (frekuensi mengorok, apnea saat tidur, dan kesulitan bernapas); (3) gangguan kesadaran (berjalan saat tidur, mimpi buruk, dan terror tidur); (4) gangguan transisi tidur-bangun (gerakan involunter saat tidur, gelisah, gerakan mengganggukkan kepala, bicara saat tidur); (5) gangguan somnolen berlebihan (mengantuk saat pagi dan tengah hari, dan lain-lain); (6) hiperhidrosis saat tidur (berkeringat saat tidur)25

2.4. Gangguan Tidur Pada Anak Dengan Dispepsia Fungsional

Beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara gangguan tidur dan dispepsia fungsional.6-11 Gejala dispepsia dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur melalui berbagai mekanisme, termasuk sering terbangun pada malam hari. Di sisi lain, kurang tidur dilaporkan meningkatkan sensitivitas gastrointestinal dan memperburuk gejala yang dispepsia fungsional.

Gangguan dispepsia fungsional meliputi perubahan pada sistem saraf otonom, sensitivitas visceral, dan respon terhadap stres. Gejala yang timbul pada dispepsia diantaranya adalah mual yang merupakan gejala yang dominan terjadi setelah gejala nyeri, karena adanya hipersekresi asam lambung yang menyebabkan meningkatnya asam lambung dan menimbulkan rasa tidak enak pada epigastrium disertai dengan pucat, keringat dingin, takikardi, dan rasa mual juga kadang-kadang disertai muntah. Hal ini sering tejadi pada penderita dispepsia sehingga dapat


(36)

menyebakan rasa yang tidak nyaman terutama malam hari yang dapat menyebabkan tidur terganggu.

Hipersensitivitas viseral sebagai hipotesis gangguan fungsional saluran cerna. Sensasi nyeri viseral di saluran cerna ditransmisikan dari saluran cerna ke otak dan selanjutnya di otak persepsi nyeri ini diperluas.Nyeri yang timbul pada malam hari dapat menimbulkan gangguan tidur. Hipersensitivitas ini dapat dicetuskan oleh berbagai hal antara lain pelepasan mediator inflamasi dan respon stres. Beberapa mekanisme yang terlibat dalam perubahan ini, seperti meningkatnya serotogenik, kolinergik, dan sistem noradrenergik yang berperan penting dalam perubahan tidur. Daerah otak yang terlibat dalam tidur meliputi nuclei pontine yang terlibat dalam rangsangan antiociception, seperti nuclei raphe atau lokus coeruleus complex.

27

Kecemasan dan keadaan stress juga dapat menurunkan sekresi asam lambung, penurunan aliran darah ke lambung dan dapat menghambat motilitas lambung, sehingga dapat menyebabkan rasa penuh pada bagian epigastrium. Hal ini sering dialami sehingga penderita mengalami sulit untuk tidur.

27,28

Gejala refluks, termasuk mual dan regurgitasi asam yang terjadi selama periode nokturnal merusak kualitas tidur. Dispepsia diduga menurunkan kualitas tidur, mirip dengan gejala refluks.28


(37)

Gangguan tidur tidak hanya terjadi pada disppepsia fungsinal namun juga pada irritabel bowel syndrome dan gastroesophageal refluks. Penelitian di Amerika menunjukkan hubungan antara dispepsia fungsional dan gangguan tidur, dimana gangguan tidur ini berkaitan dengan beratnya gejala dan tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Gangguan tidur mempengaruhi fungsi fisik dan mental pasien dispepsia fungsional.19 Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa prevalensi gangguan tidur lebih besar pada pasien dengan dispepsia fungsional dibandingkan kontrol.28 Penelitian lainnya yang memantau pasien dispepsia fungsional selama 1 tahun menunjukkan jenis kelamin perempuan, tingkat kecemasan, penurunan berat badan dan gangguan tidur berkaitan dengan outcome dispepsia fungsional.

Penelitian pada dewasa di Jepang menunjukkan bahwa gangguan tidur terdapat pada semua subtipe dispepsia fungsional baik sub tipe post prandial syndrome, epigastric pain syndrome atau kombinasi keduanya.

6

24 Penelitian lainnya menunjukkan bahwa persentase subyek yang berpikir bahwamereka mendapat cukup tidur secara signifikan lebih rendah untuksubyek dengan gangguan saluran cerna dibandingkan subyek kontrol.25


(38)

2.5. Kerangka Teori

Dispepsia fungsional

Kriteria Rome III

Rasa penuh setelah makan, perasaan cepat kenyang, nyeri ulu hati, rasa terbakar di epigastrium, tidak ada kelainan struktural

Perubahan sistem saraf otonom, sensitivitas visceral dan respons terhadap stress

Nyeri, cemas, aspek fisik, aspek psikologis Adanya kemunduran

kontraktilitas lambung

Keterlambatan waktu pengosongan lambung

Gangguan tidur


(39)

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara uij sekat lintang dengan menggunakan Sleep Disturbancess Scale for Children untuk melihat gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional dibandingkan anak tanpa dispepsia fungsional.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Pesantren Ar-Raudhatul`Hasanah di kota Medan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2014 – April 2014.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi target adalah anak dengan dispepsia fungsional yang berusia 8 – 18 tahun. Populasi terjangkau adalah populasi target yang mengalami gangguan tidur di Pesantren AR- Raudhatul Hasanah di kota Medan pada bulan Maret 2014 - April 2014. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria.


(40)

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus uji klinis untuk rerata dua proporsi kelompok independen :

(

)

(

)

2 2 2 1 2 2 1 1 ) 1 ( ) 2 / 1 ( 2 1 ) 1 ( ) 1 ( ) 1 ( 2 P P P P P P Z P P Z n n − − + − + − ≥

= −α −β

) 2 / 1 (−α Z

= deviat baku alpha. utk

α

= 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96

) 1 (−β Z

= deviat baku alpha. utk β= 0,10 maka nilai baku normalnya 0,842

1 P

= proporsi anak usia 8 sampai 18 tahun yang menderita dispepsia fungsional dengan gangguan tidur 0,7

2 P

= perkiraan proporsi anak usia 8-18 tahun yang menderita dispepsia fungsional tanpa gangguan tidur (perbedaan yang diharapakan

sebesar 30% = 0,4)

2

1 P

P

6

= beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar = 0,3

Dengan menggunakan rumus diatas maka sampel minimal untuk masing-masing kelompok 42 anak.


(41)

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1. Kriteria Inklusi

1. Bersedia ikut dalam penelitian ini yang dinyatakan dengan menandatangi informed consent

2. Memenuhi kriteria Rome lll

3.5.2. Kriteria Eksklusi

Menggunakan obat dengan efek samping menyebabkan dispepsia fungsional dan gangguan tidur seperti asam mefenamat, narkotika,dan psikotropika dalam jangka waktu 7 hari dari penelitian.

3.6. Persetujuan/ Informed Consent

Persetujuan diminta secara tertulis dari subjek penelitian atau diwakili oleh keluarganya yang ikut bersedia dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian.

3.7. Ethical clearance

Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan


(42)

3.8. Cara Kerja

1. Terlebih dahulu pasien disurvei dengan menggunakan kuisioner dan wawancara langsung.

2. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria diagnostik dispepsia fungsional (kriteria ROME III) dimasukkan ke dalam penelitian.

3. Sampel yang tidak menderita dispepsia fungsional dimasukkan dalam penelitian sebagai kontrol.

4. Dilanjutkan mengisi formulir oleh orang tua/ibu pasien untuk penilaian kualitas tidur dengan formulir SDSC.

3.9 . Alur Penelitian

Dispepsia Fungsional Tanpa Dispepsia

Fungsional

Penilaian gangguan tidur dengan kuisioner SDSC

Peniliaian gangguan tidur dengan kuisioner SDSC Populasi terjangkau

yang memenuhi kriteria inklusi

Pengisian formulir berdasarkan kriteria


(43)

3.10. Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Dispepsia fungsional Kategorik

Variabel tergantung Skala

Gangguan tidur Kategorik

3.11. Definisi Operasional

1. Tidur adalah suatu keadaan berulang, teratur reversible yang ditandai dengan keadaan relatif yang tidak bergerak dan tingginya peningkatan ambang respon terhadap stimulus eksternal dibandingkan dengan keadaan terjaga.

2. Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang didiagnosis berdasarkan kriteria Rome lll, yaitu sekurang-kurangnya satu kali seminggu selama minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan :

-.Rasa penuh setelah makan yang mengganggu - Perasaan cepat kenyang

- Nyeri ulu hati

- Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium

-Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian atas)


(44)

3. Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) adalah salah satu metode diagnosis gangguan tidur yang berupa kuesioner yang ditanyakan ke ibu dengan anak yang diduga mengalami gangguan tidur.

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data

Data dianalisa secara analitik untuk melihat hubungan dispepsia fungsional dengan gangguan tidur dengan menggunakan Uji Chi Square. Odds rasio dihitung untuk melihat besarnya hubungan antara kedua variabel.


(45)

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Penelitian

Penelitian diikuti oleh 42 responden yang mengalami dispepsia fungsional dan 42 orang anak yang tidak mengalami dispepsia fungsional dan telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Responden perempuan (71,4%) mendominasi di kedua kelompok. Rerata usia responden 15,6 tahun dengan rerata berat badan berada pada kisaran 50,33 – 52,64 kg.

Tabel 4.1 Karakteristik Penelitian

Karakteristik

Dispepsia Fungsional

(n=42)

Tidak Dispepsia

(n=42)

P Jenis kelamin, n (%)

Laki-laki 12 (28,6) 12 (28,6) 1,000

Perempuan

a 30 (71,4) 30 (71,4)

Usia, rerata (SB), tahun 15,6 (1,13) 15,64 (1,19) 0,764b aChi Square, b Mann Whitney

4.2 Hubungan Dispepsia dan Gangguan Tidur

Pada kelompok anak dengan dispepsia ditemukan 30 anak (71,4%) dengan gangguan tidur sedangkan pada kelompok anak tanpa dispepsia hanya ditemukan 14 anak (33,3%) yang mengeluhkan gangguan tidur. Dari analisis menggunakan uji Chi Square ditemukan hubungan yang signifikan antara dispesia dan gangguan tidur (p=0,0001) OR = 5 (95%IK: 1.98-12.64) yang menunjukan bahwa anak dengan dispepsia fungsional akan berisiko sebesar


(46)

2.143 kali mengalami gangguan tidur dibandingkan dengan anak tanpa mengalami dispepsia fungsional. Dari uraian di atas dapat dilihat pada table 4.2 dan gambar.4.1 di bawah ini.

Tabel 4.2 Hubungan Dispepsia dan Gangguan Tidur

Gangguan tidur n (%)

Dispepsia Fungsional

(n=42)

Tanpa dispepsia fungsional

(n=42)

P

Ada gangguan tidur 30 (71.4) 14(33.3) 0.0001

Tidak ada gangguan tidur 12 (28.6) 28 (66.7)

a

Rerata skor gangguan tidur pada kelompok anak dengan dispepsia adalah 74,38 (SB=13,47), sedangkan pada kelompok anak tanpa dispepsia dengan rerata 56,26 (SB=18,97). Dari uji Mann Whitney didapatkan perbedan yang signifikan untuk angka gangguan tidur berdasarkan ada tidaknya dispepsia (p=0,0001).

Chi Square


(47)

BAB 5. PEMBAHASAN

Pada studi ini didapatkan rerata umur anak yang menderita dispepsia fungsional adalah 15,6 tahun. Prevalensi dispepsia fungsional diperkirakan 9% dan 25% pada anak dan remaja dengan peningkatan prevalensi menurut usia sampai remaja, terutama pada wanita.13 Angka kejadian dispepsia masih cukup tinggi, dimana pada penelitian di masyarakat dan disekolah, prevalensi dispepsia berkisar 3,5% hingga 27% tergantung pada jenis kelamin dan negaranya. Di Amerika Utara, 12,5% - 15,9% anak usia 4 – 18 tahun menderita dispepsia. Penelitian di Italia menunjukkan 45 % anak 6 – 19 tahun mengalami gejala dispepsia. Suatu penelitian di Bangkok mendapatkan dispepsia fungsional sebesar 62% pada anak dan remaja berusia diatas 5 tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman dan mual setidaknya dalam waktu satu bulan.19 Gangguan tidur memiliki prevalensi yang tinggi pada bayi, anak dan remaja. Dilaporkan sebanyak 25 % dari anak pernah mengalami gangguan tidur. Di Amerika serikat 27% anak kekurangan waktu tidur dari waktu tidur yang telah direkomendasikan sesuai umurnya.30 Prevalensi gangguan tidur pada anak dan remaja dengan keadaan depresi diperkirakan 66% sampai 90%.31

Pada studi ini untuk menegakkan diagnosis dispepsia fungsional menggunakan kriteria Rome III. Menurut kriteria ROME III tahun 2006,


(48)

dispepsia fungsional harus memenuhi semua kriteria dibawah ini yang dialami sekurangnya satu kali seminggu selama minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan, yaitu rasa penuh setelah makan yang terganggu, perasaan cepat kenyang, nyeri ulu hati, rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium, Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang dapat menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian atas).17,18 Dampak gangguan tidur telah menjadi perhatian selama dekade terakhir. Gangguan tidur mengganggu kinerja kognitif termasuk pemecahan masalah, pengambilan keputusan, pemusatan perhatian dan penalaran moral. Dampak gangguan tidur juga berhubungan dengan kejadian obesitas, diabetes dan penyakit jantung.

Pada studi ini menggunakan SDSC untuk mendeteksi gangguan tidur didapatkan anak yang dispepsia fungsional memiliki rerata skor gangguan tidur yang lebih besar (74,38) dibandingkan dengan anak yang tidak menderita dispepsia fungsional (56,26). Suatu studi di Jakarta yang meneliti gangguan tidur pada anak 12-15 tahun mendapatkan SDSC dapat digunakan sebagai uji tapis dalam mendeteksi gangguan tidur pada remaja.

32,33

34 Studi tahun 2014 di Jepang, pada 2.936 subjek yang diteliti terdapat 7.9% Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), 8.6% dispepsia fungsional, 18% Irritable Bowel Syndrome (IBS), dinilai dengan Epworth Sleepiness Scale (ESS) dan didapatkan subjek yang menderita GERD, dispepsia fungsional, IBS memiliki skor ESS yang lebih tinggi dibandingkan subjek yang tidak


(49)

mempunyai gejala di abdomen. Hasil studi di Jepang menunjukkan hubungan yang kuat antara GERD, dispepsia fungsional, IBS dan terjadinya gangguan tidur.11 Studi tahun 2013 mengevaluasi gangguan tidur pada pasien dispepsia fungsional menggunakan Pittsburgh Sleep Quality index (PSQI). Studi ini mendapatkan skor PSQI pada pasien dispepsia fungsional secara signifikan lebih tinggi dibandingkan sebjek tanpa dispepsia fungsional.

Pada studi ini juga didapatkan perbedaan yang signifikan untuk skor gangguan tidur berdasarkan ada tidaknya dispepsia (p=0,0001). Hal ini membuktikan hipotesis studi ini terdapat gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional. Pada studi tahun 2011, menyatakan bahwa dispepsia fungsional berhubungan dengan gangguan tidur. Gangguan tidur pada pasien dispepsia fungsional memiliki hubungan dengan keparahan dari gejala dan tingginya tingkat anxietas.

28

6 Studi tahun 2009 menyatakan hal yang serupa bahwa ganguan tidur dipengaruhi oleh gejala gastrointestinal bagian atas dan bawah, gangguan ini tidak berhubungan dengan indeks massa tubuh.35 Suatu studi yang berdasarkan populasi yang besar mendapatkan

gangguan tidur dan penyakit gastroesophageal refluks memiliki hubungan yang signifikan.36 Suatu studi di Cina yang meneliti faktor yang berkaitan dengan terjadinya dispepsia fungsional mendapatkan gangguan tidur merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan terjadinya dispepsia fungsional.10 Suatu studi tahun 2000 melaporkan gangguan tidur pada pasien dispepsia fungsional disebabkan nyeri abdomen atau rasa tidak nyaman di


(50)

abdomen yang membangunkan pasien sewaktu tidur malam hari.26 Suatu studi yang dilakukan pada anak 8-17 tahun yang di diagnosa Functional gastrointestinal disorder (FIGD) melaporkan anak secara klinis meningkat signifikan sebesar 45% dari sampeldengan terjadinya gangguan tidur, Hal ini berhubungan dengan onset tidur. Tidak ditemukan perbedaan yang spesifik antara kejadian FGID dengan jenis kelamin. Gangguan tidur secara positif berhubungan dengan gangguan fungsional dan gejala fisik.

Kelemahan penelitian ini adalah jumlah sampel sedikit dan diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih besar.


(51)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

Pada studi ini didapatkan hubungan yang signifikan antara dispesia dan dengan terjadinya gangguan tidur. Pada studi ini juga didapatkan angka gangguan tidur yang lebih tinggi pada kelompok yang menderita dispepsia dibandingkan dengan kelompok yang tidak menderita dispepsia.

6.2. SARAN

Pengobatan dispepsia sangat penting untuk mengurangi risiko terjadinya gannguan tidur pada anak. Gangguan tidur dapat menurunkan kualitas hidup anak .


(52)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rerksuppaphol L, Rerksuppaphol S. Functional dyspepsia in children. JMHS. 2007; 14(2):78-89.

2. Chitkara DK, Delgado-Aros S, Albert J, Bredenoord AJ, Cremonni F, El-Youssef M, dkk. Functional dyspepsia, upper gastrointestinal symptoms, and transit in children. J Pediatr. 2003;143:609-13.

3. Hyams JS, Davis P, Sylvester FA, Zeiter DK, Justinich CJ, Lerer T. Dyspepsia in children and adolescents: a prospective study. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000;30:413-8.

4. Devanarayana NM, Rajindrajith S, Janaka H. Recurrent abdominal pain in children. Indian Pediatr. 2009; 46:389-96.

5. Parrish JM. Sleep-related problems in common medical conditions. Chest. 2009;135:563 -72.

6. Lacy BE, Everhart K, Crowell MD. Fuctional dyspepsia is associated with sleep disorder. Clin Gastroenterol. Hepatol. 2011;9:410-14.

7. Futagami S, Yamawaki H, Izumi N, Shimpuku M, Kodaka Y, Wabkabayashi T, dkk. Impact of sleep disorder in Japanese patients eith functional dyspepsia (FD): Nizatidine improves clinical symptoms, gastric emptying and sleep disorder in FD patients. JGH. 2013;28:1314-20.

8. Yamawaki H, Futagami S, Shimpuku M, Sato H, Wakabayashi T, Maruki Y, dkk. Impact of sleep disorder, quality of life and gastric emptying in distinct subtypes of functional dyspepsia in Japan. JNM. 2014;20:104-12. 9. Miwa H. Lifestyle in person with functional gastrointestinal disorders-large scale internet survey of lifestyle in Japan. Neurogastroenterol. Motil. 2012;24:464-71.

10. Yu J, Liu S, Fang XC, Zhang J, Gao J, Xiao YL, dkk. Gatrointestinal symptom and associated factors in Chinese patients with functional dyspepsia. WJG. 2013;19:5357-64.

11. Morito Y, Aimi M, Ishimura N, Shimura S, Mikamu H, Okimoto E, dkk. Associated between sleep disturbances and abdominal symptoms. Intern Med. 2014;53:2179-83

12. Pramita G. Dispepsia: Diagnosis dan tatalaksana. Disampaikan pada Kongres nasional IV Badan Koordinasi Gastroenterologi Indonesia (BKGAI), Medan, 4-7 Desember 2010

13. Thompson W, Longstreth G. Functional bowel disorders and functional abdominal pain. Gut. 1999;45:1143-47

14. Drossman DA: The functional gastrointestinal disorders and the Rome III process. Gastroenterol 2006,130: 1377-90

15. Geeraerts B, Track J. Functional dyspepsia: past, present, and future. J Gastroenterol. 2008;43:251-5

16. Kapsimalis, Richardson, Opp, Kryger. Cytokines and normal sleep. Current Opinion in Pulmonary Medicine, 11(6), 481–484. The relation of


(53)

dailystressors to somatic and emotional symptoms in children with and without recurrent abdominal pain. J Consult Clin Psychol 2001;69(1): 85-91

17. Rasquin A, Lorenzo C, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano A, dkk. Chilhood functional Gastointestinal disorders: Child/adolescent. Gastroenterology. 2006;130:1527-37.

18. Drossman DA. Rome III: the new criteria. Chin J Dig Dis. 2006; 7:181-5. 19. Perez ME, Youssef N. Dyspepsia in childhood and adolesence: insight

and treatment considerations. Curr Gass Reports. 2007;9:447-55

20. Sadock JB, Sadock VA: tidur normal dan gangguan tidur. Penyunting Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta 2004:h:337-65

21. Owens J, Maxim R, Nobile C, McGuins M, Msall M. Parental and self-report of sleep in children with attention-deficit/hyperactivity disorder. Arch of Ped & Adolesc Mes.2000;154:549-55

22. Stores G. Practitioner Review: assesment and treatment of sleep disorders in children and adolescent. J of Child Psycho & Psychiatry & Allied Disciplines. 1996;37:907-25

23. Ganong. WF: Perilaku tidur dan aktivitas listrik otak, Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC, 2008:h:201-11

24. Yamawaki H, Futagami S, Shimpuku M, Sato H, Wakabayashi T, Maruki Y, dkk. Impact of sleep disorder, quality of life and gastric emptying in distinct subtypes of functional dyspepsia in Japan. JNM. 2014;20:104-12. 25. Bruni O, Ottaviano S, Guidetti V, Romoli M, Innocenzi M, Cortesi F, dkk.

The sleep disturbances scale for children (SDSC) contruction and validation of a instrument to evaluate sleep disturbance in childhood and adolescent. J Sleep Res.1996;5:251-61.

26. Fass R, Fullerton S, Tung S, Mayer EA. Sleep disturbances in clinic patients with functional bowel disorders. J Gastroenterol .2000;95:1995-2000

27. Park SY, Rew JS. Are there any differences in sleep disorder, quality of life and gastric motility among subtypes of functional dyspepsia. J Neurogastroenterol. 2014;14:4-5

28. Futagami S, Shimpoku M, amawaki H, Izumi N, Kodaka Y. Sleep disorders in functional dyspepsia and future therapy, J Nippon Med, Sch. 2003;80 (2):104-09

29. Doi Y, Minowa M, Okawa M, Uchiyama M : Prevalence of sleep disturbance and hypnotic medication use in relation to socio demographic factors in general Japanese adult population. J Epidemiol. 2000;10:79-86 30. Vriend J, Corkum P.Clinical management of behavioral insomnia of

childhood. Psychology Research an Behavior Management 2011;4:23-9 31. Meltzer LJ, Mindell JA. Behavioral sleep disorders in children and


(54)

32. Van Dongen HP, Maislin G, Mullington JM. The cumulative cost of additional wakefulness: dose–response effects on neurobehavioral functions and sleep physiology from chronic sleep restriction and total sleep deprivation. Sleep 2003;26:117–126

33. Haryono A, Rindiarti A, Arianti A, Pawitri A, Ushuludin A, Setiawati A, dkk. Prevalensi gangguan tidur pada remaja usia 12-15 tahun di sekolah lanjutan tingkat pertama. Sari pediatri 2009;3:151-4

34. Natalia C, sekartini R, Poesponegoro H. Skala gangguan tidur untuk anak (SDSC) sebagai instrument skrining gangguan tidur pada anak sekolah lanjutan tingkat pertama. Sari pediatri 2011;12(6):365-72

35. Cremonini F, Camilleri M, Zinsmeister A, Herrick LM, Beebe T, Talley NJ. Sleep disturbances are linked to both upper and lower gastrointestinal symptoms in the general population. Neurogastroenterol Motil. 2009;21(2): 128–135.

36. Jansson C, Nordenstedt H, Wallander M, Johansson S, Johnsen R, Hvemm K, dkk. A population-based study showing an association between gastroesophageal reflux disease and sleep problem. Clinical gastroenterology and hepatology 2009;7(9):960-5

37. Schurman JV, Friesen CA, Dai H, Danda CE, Hyman PE, Cocjin JT Sleep problems and functional disability in children with functional gastrointestinal disorders: An examination of the potential mediating effects of physical and emotional symptoms. BMC gastroenterology 2012;12:142-9


(1)

mempunyai gejala di abdomen. Hasil studi di Jepang menunjukkan hubungan yang kuat antara GERD, dispepsia fungsional, IBS dan terjadinya gangguan tidur.11 Studi tahun 2013 mengevaluasi gangguan tidur pada pasien dispepsia fungsional menggunakan Pittsburgh Sleep Quality index (PSQI). Studi ini mendapatkan skor PSQI pada pasien dispepsia fungsional secara signifikan lebih tinggi dibandingkan sebjek tanpa dispepsia fungsional.

Pada studi ini juga didapatkan perbedaan yang signifikan untuk skor gangguan tidur berdasarkan ada tidaknya dispepsia (p=0,0001). Hal ini membuktikan hipotesis studi ini terdapat gangguan tidur pada anak dengan dispepsia fungsional. Pada studi tahun 2011, menyatakan bahwa dispepsia fungsional berhubungan dengan gangguan tidur. Gangguan tidur pada pasien dispepsia fungsional memiliki hubungan dengan keparahan dari gejala dan tingginya tingkat anxietas.

28

6 Studi tahun 2009 menyatakan hal yang

serupa bahwa ganguan tidur dipengaruhi oleh gejala gastrointestinal bagian atas dan bawah, gangguan ini tidak berhubungan dengan indeks massa tubuh.35 Suatu studi yang berdasarkan populasi yang besar mendapatkan gangguan tidur dan penyakit gastroesophageal refluks memiliki hubungan yang signifikan.36 Suatu studi di Cina yang meneliti faktor yang berkaitan dengan terjadinya dispepsia fungsional mendapatkan gangguan tidur merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan terjadinya dispepsia fungsional.10 Suatu studi tahun 2000 melaporkan gangguan tidur pada pasien dispepsia fungsional disebabkan nyeri abdomen atau rasa tidak nyaman di


(2)

abdomen yang membangunkan pasien sewaktu tidur malam hari.26 Suatu studi yang dilakukan pada anak 8-17 tahun yang di diagnosa Functional gastrointestinal disorder (FIGD) melaporkan anak secara klinis meningkat signifikan sebesar 45% dari sampeldengan terjadinya gangguan tidur, Hal ini berhubungan dengan onset tidur. Tidak ditemukan perbedaan yang spesifik antara kejadian FGID dengan jenis kelamin. Gangguan tidur secara positif berhubungan dengan gangguan fungsional dan gejala fisik.

Kelemahan penelitian ini adalah jumlah sampel sedikit dan diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih besar.


(3)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

Pada studi ini didapatkan hubungan yang signifikan antara dispesia dan dengan terjadinya gangguan tidur. Pada studi ini juga didapatkan angka gangguan tidur yang lebih tinggi pada kelompok yang menderita dispepsia dibandingkan dengan kelompok yang tidak menderita dispepsia.

6.2. SARAN

Pengobatan dispepsia sangat penting untuk mengurangi risiko terjadinya gannguan tidur pada anak. Gangguan tidur dapat menurunkan kualitas hidup anak .


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rerksuppaphol L, Rerksuppaphol S. Functional dyspepsia in children. JMHS. 2007; 14(2):78-89.

2. Chitkara DK, Delgado-Aros S, Albert J, Bredenoord AJ, Cremonni F, El-Youssef M, dkk. Functional dyspepsia, upper gastrointestinal symptoms, and transit in children. J Pediatr. 2003;143:609-13.

3. Hyams JS, Davis P, Sylvester FA, Zeiter DK, Justinich CJ, Lerer T. Dyspepsia in children and adolescents: a prospective study. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000;30:413-8.

4. Devanarayana NM, Rajindrajith S, Janaka H. Recurrent abdominal pain in children. Indian Pediatr. 2009; 46:389-96.

5. Parrish JM. Sleep-related problems in common medical conditions. Chest. 2009;135:563 -72.

6. Lacy BE, Everhart K, Crowell MD. Fuctional dyspepsia is associated with sleep disorder. Clin Gastroenterol. Hepatol. 2011;9:410-14.

7. Futagami S, Yamawaki H, Izumi N, Shimpuku M, Kodaka Y, Wabkabayashi T, dkk. Impact of sleep disorder in Japanese patients eith functional dyspepsia (FD): Nizatidine improves clinical symptoms, gastric emptying and sleep disorder in FD patients. JGH. 2013;28:1314-20.

8. Yamawaki H, Futagami S, Shimpuku M, Sato H, Wakabayashi T, Maruki Y, dkk. Impact of sleep disorder, quality of life and gastric emptying in distinct subtypes of functional dyspepsia in Japan. JNM. 2014;20:104-12. 9. Miwa H. Lifestyle in person with functional gastrointestinal disorders-large scale internet survey of lifestyle in Japan. Neurogastroenterol. Motil. 2012;24:464-71.

10. Yu J, Liu S, Fang XC, Zhang J, Gao J, Xiao YL, dkk. Gatrointestinal symptom and associated factors in Chinese patients with functional dyspepsia. WJG. 2013;19:5357-64.

11. Morito Y, Aimi M, Ishimura N, Shimura S, Mikamu H, Okimoto E, dkk. Associated between sleep disturbances and abdominal symptoms. Intern Med. 2014;53:2179-83

12. Pramita G. Dispepsia: Diagnosis dan tatalaksana. Disampaikan pada Kongres nasional IV Badan Koordinasi Gastroenterologi Indonesia (BKGAI), Medan, 4-7 Desember 2010

13. Thompson W, Longstreth G. Functional bowel disorders and functional abdominal pain. Gut. 1999;45:1143-47

14. Drossman DA: The functional gastrointestinal disorders and the Rome III process. Gastroenterol 2006,130: 1377-90

15. Geeraerts B, Track J. Functional dyspepsia: past, present, and future. J Gastroenterol. 2008;43:251-5

16. Kapsimalis, Richardson, Opp, Kryger. Cytokines and normal sleep. Current Opinion in Pulmonary Medicine, 11(6), 481–484. The relation of


(5)

dailystressors to somatic and emotional symptoms in children with and without recurrent abdominal pain. J Consult Clin Psychol 2001;69(1): 85-91

17. Rasquin A, Lorenzo C, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano A, dkk. Chilhood functional Gastointestinal disorders: Child/adolescent. Gastroenterology. 2006;130:1527-37.

18. Drossman DA. Rome III: the new criteria. Chin J Dig Dis. 2006; 7:181-5. 19. Perez ME, Youssef N. Dyspepsia in childhood and adolesence: insight

and treatment considerations. Curr Gass Reports. 2007;9:447-55

20. Sadock JB, Sadock VA: tidur normal dan gangguan tidur. Penyunting Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta 2004:h:337-65

21. Owens J, Maxim R, Nobile C, McGuins M, Msall M. Parental and self-report of sleep in children with attention-deficit/hyperactivity disorder. Arch of Ped & Adolesc Mes.2000;154:549-55

22. Stores G. Practitioner Review: assesment and treatment of sleep disorders in children and adolescent. J of Child Psycho & Psychiatry & Allied Disciplines. 1996;37:907-25

23. Ganong. WF: Perilaku tidur dan aktivitas listrik otak, Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC, 2008:h:201-11

24. Yamawaki H, Futagami S, Shimpuku M, Sato H, Wakabayashi T, Maruki Y, dkk. Impact of sleep disorder, quality of life and gastric emptying in distinct subtypes of functional dyspepsia in Japan. JNM. 2014;20:104-12. 25. Bruni O, Ottaviano S, Guidetti V, Romoli M, Innocenzi M, Cortesi F, dkk.

The sleep disturbances scale for children (SDSC) contruction and validation of a instrument to evaluate sleep disturbance in childhood and adolescent. J Sleep Res.1996;5:251-61.

26. Fass R, Fullerton S, Tung S, Mayer EA. Sleep disturbances in clinic patients with functional bowel disorders. J Gastroenterol.2000;95:1995-2000

27. Park SY, Rew JS. Are there any differences in sleep disorder, quality of life and gastric motility among subtypes of functional dyspepsia. J Neurogastroenterol. 2014;14:4-5

28. Futagami S, Shimpoku M, amawaki H, Izumi N, Kodaka Y. Sleep disorders in functional dyspepsia and future therapy, J Nippon Med, Sch. 2003;80 (2):104-09

29. Doi Y, Minowa M, Okawa M, Uchiyama M : Prevalence of sleep disturbance and hypnotic medication use in relation to socio demographic factors in general Japanese adult population. J Epidemiol. 2000;10:79-86 30. Vriend J, Corkum P.Clinical management of behavioral insomnia of

childhood. Psychology Research an Behavior Management 2011;4:23-9 31. Meltzer LJ, Mindell JA. Behavioral sleep disorders in children and


(6)

32. Van Dongen HP, Maislin G, Mullington JM. The cumulative cost of additional wakefulness: dose–response effects on neurobehavioral functions and sleep physiology from chronic sleep restriction and total sleep deprivation. Sleep 2003;26:117–126

33. Haryono A, Rindiarti A, Arianti A, Pawitri A, Ushuludin A, Setiawati A, dkk. Prevalensi gangguan tidur pada remaja usia 12-15 tahun di sekolah lanjutan tingkat pertama. Sari pediatri 2009;3:151-4

34. Natalia C, sekartini R, Poesponegoro H. Skala gangguan tidur untuk anak (SDSC) sebagai instrument skrining gangguan tidur pada anak sekolah lanjutan tingkat pertama. Sari pediatri 2011;12(6):365-72

35. Cremonini F, Camilleri M, Zinsmeister A, Herrick LM, Beebe T, Talley NJ. Sleep disturbances are linked to both upper and lower gastrointestinal symptoms in the general population. Neurogastroenterol Motil. 2009;21(2): 128–135.

36. Jansson C, Nordenstedt H, Wallander M, Johansson S, Johnsen R, Hvemm K, dkk. A population-based study showing an association between gastroesophageal reflux disease and sleep problem. Clinical gastroenterology and hepatology 2009;7(9):960-5

37. Schurman JV, Friesen CA, Dai H, Danda CE, Hyman PE, Cocjin JT Sleep problems and functional disability in children with functional gastrointestinal disorders: An examination of the potential mediating effects of physical and emotional symptoms. BMC gastroenterology 2012;12:142-9