Dispepsia Fungsional dan non fungsional

BAB I
PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam praktik
klinis sehari-hari. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007,
ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun
1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Istilah dispepsia sendiri mulai gencar
dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan atau
kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat
disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di
dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai
penyakit maag.1
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari
pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi.
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda
bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negaranegara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan,
Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah
dispepsia fungsional.2
Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat
prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan

primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1
dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata telah terinfeksi H. pylori yang
terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1

2.1. DEFINISI
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan
-peptein (pencernaan). Berdasarkan konsensus International Panel of
Clinical Investigators, dispepsia didefi nisikan sebagai rasa nyeri atau tidak
nyaman yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas, sedangkan
menurut Kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan
sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut:
perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di
ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal
mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis.1
Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi
dispepsia sebagai berikut; Dyspepsia refers to pain or discomfort centered

in the upper abdomen . Dan dalam konsensus Roma III tahun 2006 yang
khusus

membicarakan

tentang

kelainan

gastrointestinal

fungsionl

didefinisikan sebagai berikut3:
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, nyeri ulu hati/epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.
2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat
menerangkan penyebab keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir

sebelum diagnosis ditegakkan.
2.2. KLASIFIKASI1
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial
distress syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distress
syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan
perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome merupakan
rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan
makan seperti halnya postprandial distress syndrome. Dalam praktik klinis,

2

sering dijumpai kesulitan untuk membedakan antara gastroesophageal refl
ux disease (GERD), irritable bowel syndrome (IBS), dan dispepsia itu
sendiri. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh ketidakseragaman berbagai
institusi dalam mendefi nisikan masing-masing entitas klinis tersebut.
2.3. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dispepsia fungsional masih belum jelas, diduga
kombinasi hipersensitivitas viseral, disfungsi motilitas lambung, dan faktor
psikologis. Dispepsia fungsional berkaitan dengan depresi. Studi di Pakistan
pada 101 pasien dispepsia fungsional (setelah endoskopi) dengan rerata usia

35,81±14,81 tahun didapatkan 100 pasien memiliki depresi (evaluasi depresi
dengan Hamilton depression rating scale): depresi ringan 23 (22,8%),
sedang 34 (33,7%), berat 32 (31,7%), dan sangat berat 11 (10,9%).
Dispepsia berkaitan juga dengan tidur. Hubungan antara gangguan tidur dan
gejala dispepsia fungsional cukup kompleks. Gejala dispepsia dapat
mengganggu tidur baik saat akan tidur maupun kelanjutan tidur. Sebaliknya,
kurang tidur juga berpotensi meningkatkan gejala pasien dispepsia
fungsional.4
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak
dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah
hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas
gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral. Patofisiologi dispepsia hingga
kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus
dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna,
seperti di bawah ini1.
1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan
pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara
volume lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan
lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih
rendah.

2. Infeksi Helicobacter pylori

3

3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas
dan depresi
Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya
hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya2
a. Peranan gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas
lambung

dalam

menerima

makanan

(impaired


gastric

accommodation), inkoordinasi antroduodenal, dan perlambatan
pengosongan

lambung.

Gangguan

motilitas

gastroduodenal

merupakan salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi
dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan begah setelah
makan, yang dapat berupa distensi abdomen, kembung, dan rasa
penuh
b. Peranan hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi
dispepsia fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf

sensorik perifer dan sentral terhadap rangsangan reseptor kimiawi
dan reseptor mekanik intraluminal lambung bagian proksimal. Hal
ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia.5
c. Peranan faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang
berperan dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan
psikososial sejalan dengan tingkat keparahan dispepsia. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas berperan pada
terjadinya dispepsia fungsional.
d. Peranan asam lambung
Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia
fungsional. Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik
asam dari beberapa penelitian pasien dispepsia fungsional. Data
penelitian mengenai sekresi asam lambung masih kurang, dan
laporan di Asia masih kontroversial.

4

e. Peranan infeksi Hp
Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional bervariasi dari

39% sampai 87%. Hubungan infeksi Hp dengan ganggguan motilitas
tidak konsisten namun eradikasi Hp memperbaiki gejala-gejala
dispepsia fungsional.
2.4. MANIFESTASI KLINIS3
Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada
setiap pasien, maka banyak disarankan untuk mengklasifikasikan dispepsia
fungsional menjadi subgrup didasarkan pada keluhan yang paling mencolok
atau dominan.
1. Bila nyeri ulu hati yang dominan adalah nyeri epigastrik disertai
nyeri pada malam hari dikategorikan sebagai dispepsia fungsional
tipe ulkus ( ulcer like dyspepsia )
2. Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling
sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe
seperti dismotilitas ( dismotility like dyspepsia )
3. Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai
dispepsia non-spesifik.
Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk
mempermudah diperoleh gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta
pemilihan alternatif pengobatan awalnya.
2.5. DIAGNOSIS1,2.

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia
adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas.
Apabila kelainan organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis
banding dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik
apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat
bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga
idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan

5

yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem penggolongan, dispepsia
fungsional diklasifi kasikan ke dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotilitylike dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2 subklasifi kasi di atas,
didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifi k. Esofagogastroduodenoskopi
dapat dilakukan bila sulit membedakan antara dispepsia fungsional dan
organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi
mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan tanda-tanda
bahaya.
Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma III.Kriteria
Roma III belum divalidasi di Indonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012)
memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis Roma III

dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas
yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional. Dispepsia menurut
kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih gejala yang
berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal (Konsensus):
a. Nyeri epigastrium
b. Rasa terbakar di epigastrium
c. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
d. Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga
bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis
ditegakkan (Konsensus).
Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup,
yakni epigastric pain syndrome dan postprandial distress syndrome. Akan
tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis
dalam dua pertiga pasien dyspepsia (Abdullah, Rahman):
Tabel 2.1. Kriteria Roma III
Dispepsia fungsional
Kriteria diagnostik terpenuhi* bila 2 poin di bawah ini seluruhnya
terpenuhi:


6

1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
b. Perasaan cepat kenyang
c. Nyeri ulu hati
d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
2. Tidak

ditemukan

bukti

adanya

kelainan

struktural

yang

menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat
endoskopi saluran cerna bagian atas [SCBA])
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3
bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan
sebelum diagnosis.
a. Postprandial distress syndrome
Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya
terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah
makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali
seminggu
2. Perasaan

cepat

kenyang

yang

membuat

tidak

mampu

menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali
seminggu
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3
bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan
sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual
setelah makan atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
b. Epigastric pain syndrome
Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya

7

terpenuhi:
1.

Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium
dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi
sekali dalam seminggu

2.

Nyeri timbul berulang

3.

Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain
daerah perut bagian atas/epigastrium

4.

Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin

5.

Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis
kelainan kandung empedu dan sfi ngter Oddi

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3
bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan
sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa
menjalar ke daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan,
namun mungkin timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih dengan IBS. Pasien
IBS, khususnya dengan predominan konstipasi, mengalami keterlambatan
pengosongan lambung sehingga akhirnya disertai pula dengan gejala-gejala
saluran pencernaan bagian atas yang menyerupai gejala dispepsia.
Sebaliknya, pada pasien dispepsia, sering kali juga disertai dengan gejalagejala

saluran

pencernaan

bawah

yang

menyerupai

IBS.

Untuk

membedakannya, beberapa ahli mengemukakan sebuah cara, yakni dengan
meminta pasien menunjuk lokasi di perut yang terasa paling nyeri; dengan
lokalisasi ini, kedua entitas tersebut dapat didiferensiasi. Quigley et al.
mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu dengan menyatakan IBS dan

8

dispepsia fungsional sebagai bagian dari spektrum penyakit fungsional
saluran cerna
2.10. PENATALAKSANAAN
Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri atau
distres postprandial. Pada tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi
bertujuan menekan asam lambung (H2-blocker, PPI). Pada tipe distres
postprandial,

lini

pertama

dengan

prokinetik,

seperti

metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide (inhibitor
asetilkolinesterase), cisapride (antagonis serotonin tipe 3 /5HT3), tegaserod
(agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a).12,16 Bila lini pertama gagal, PPI
dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan prokinetik untuk tipe
nyeri. Kombinasi obat penekan asam lambung dan prokinetik bermanfaat
pada beberapa pasien. Tidak ada terapi yang efektif untuk semua pasien;
berbagai terapi dapat digunakan secara berurutan ataupun kombinasi.
Pada kasus yang tidak berespons terhadap obat-obat tersebut,
digunakan antidepresan. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50 mg/hari,
nortriptilin 10 mg/ hari, imipramin 50 mg/hari) selama 8-12 minggu cukup
efektif untuk terapi dispepsia fungsional, SSRI atau SNRI tidak lebih efektif
dari plasebo. Meskipun masih kontroversial, dapat dilakukan tes H. pylori
pada kasus dispepsia fungsional mengingat infeksi tersebut umumnya
asimptomatik. Terapi kondisi psikologis seperti cemas atau depresi dapat
membantu pada kasus dispepsia sulit/ resisten. Terapi psikologis,
akupunktur, suplemen herbal, probiotik psikologis pada dispepsia fungsional
masih belum terbukti. Edukasi pasien penting untuk menghindari faktor
pencetus seperti mengurangi stres/ kecemasan, memulai pola makan teratur
porsi lebih sedikit dan menghindari makanan pemicu.4
Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional
menggambarkan bahwa adanya ketidakpastian dalam patogenesisnya.
Adanya respon plasebo yang tinggi ( sekitar 45% ) mempersulit untuk
mencari regimen pengobatan yang lebih pasti. Penjelasan dan reaasurance
kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang dialaminya,

9

merupakan langkah awal yang penting. Buat diagnosis klinik dan evaluasi
bahwa tidak ada penyakit serius atau fatal yang mengancamnya. Coba
jelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis penyakit yang dideritanya.
Evaluasi latar belakang faktor psikologis. Nasehat untuk menghindari
makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang
baik akan berdampak positif bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia
fungsional3
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan
mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang
ada. Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid,
itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada
beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan
perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi
dispepsia fungsional. Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan
cisaprid oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular. Data penggunaan
obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dispepsia
fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini
menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien dispepsia
fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 dibandingkan plasebo. Di sisi
lain venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan norepinerfrin tidak
menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding placebo2.
Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor
serotonin sentral mungkin merupakan faktor penting dalam respon terhadap
terapi antidepresan pada pasien dispepsia fungsional (Konsensus)
Medika Mentosa3.


Antasida
Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh
penderita dispepsia, merupakan suatu obat yang bekerja lokal,
menetralkan asam lambung dengan menurunkan aktivitas pepsin
dan menaikkan pH lambung ≤ 4 dan merupakan suatu basa lemah.



Penyekat H2 reseptor/ antagonis reseptor histamin – H2
10

Obat ini juga diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi
acak tersamar ganda, didapatkan hasil yang kontroversi. Sebagian
gagal memperlihatkan manfaatnya pada dispepsia fungsional, dan
sebgaian lagi berhasil. Secara metaanalisis diperkirakan manfaat
terapinya 20% diatas plasebo. Masalah pkok adalah kriteria
inklusi pada berbagai penelitian, dan juga kemungkinan masuknya
kasus penyakit refluks gastroesofageal. Umumnya manfaatnya
untuk menghilangakn rasa nyeri ulu hati.


Penghambat pompa proton ( PPI )
Obat ini tampaknya cukup superior dibanding plasebo pada
dispepsia fungsional. Respons baik terlihat pada dispepsia
fungsional tipe ulkus. Paling efektif menekan sekresi asam
lambung dan merupakan suatu pro-drug yang membutuhkan
suasana asam sehingga harus diminum sebelum makan. Efeknya
akan menurun jika diberi bersama H2 – reseptor antagonis dan
antasida. Preparat : omeprazole, lanzoprazole, pantoprazole dan
rabeprazole.



Sitoproteksi
Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya
yang memperoleh kemanfaatan yang dapat dinilai.



Prokinetik
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid ( antagonis reseptor
dopamin D2 ), domperidon ( antagonis reseptor D2 yang tidak
melewati sawar otak 0 dan cisapride 9 agonis reseptor 5-HT4 ).
Dalam berbagai studi metaanalisis, baik domperidon dan cisapride
mempunyai efektivitas yang baik dibandingkan plasebo dalam
mengurangi nyeri epigastrik, cepat kenyang, distensi abdomen
dan mual. Metoklopramid yang tampaknya cukup bermanfaat
pada dispepsia fungsional, tapi terbatas studinya dan hambatan
efek samping ekstrapiramidalnya. Cisapride tergolong agonist
reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara metaanalisis
11

memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan
plasebo. Beraksi pada pengosongan lambung dan disritmia
lambung. Masalah saat ini adalah setelah diketahuinya efek
sampingnya pada aritmia jantung, terutama perpanjangan masa QT, sehingga pemakaiannya berada dalam pengawasan.


Obat lain – lain
Adanya

peran

hipersensitivitas

viseral

dalam

patogenesis

dispepsia fungsional, mebuka peran obat-obatan yang bermanfaat
dalam menghilangkan persepsi nyeri. Dalam beberapa penelitian,
dosis rendah antidepresan golongan trisiklik dilaporkan dapat
menurunkan keluhan dispepsia terutama nyeri abdomen.
Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas
lambung dalam studi pada volunteer serta pada beberapa studi
dapat menurnkan keluhan pada dispepsia fungsional, walaupun
manfaat kliniknya masih dipertanyakan. Obat golongan agonist 5HT1 ( sumatriptan dan busipiron ) dapat memperbaiki akomodasi
lambung dan memperbaiki rasa keluhan cepat kenyang setelah
makan.5


Psikoterapi
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy
memperlihatkan manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional
dibanding terapi baku.

2.11. PROGNOSIS
Pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih
rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat
kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu
dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia
fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan, memiliki
kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris1.

12

Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis
dan penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik3.

BAB III
LAPORAN KASUS
ANAMNESE PRIBADI
Nama

: Sari Bulan Siregar

Umur

: 50 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Suku

: Batak

Alamat

: Jl, Jermal X Ujung No 10, Medan

Pendidikan

: SLTA

Pekerjaan

: Pegawai Negeri

Perkawinan

: Menikah

Tanggal masuk

: 21 Desember 2017

NO RM

: 01.04.58.59

ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama
Telaah

: Nyeri Ulu Hati
: Hal ini telah dialami os lebih kurang 2 hari
SMRS. Mual (+), muntah (-), kepala
oyong (+), badan lemas (+), Riwayat
perdarahan (-), Riwayat transfusi (-).
Demam (-), Batuk (-), sesak (-), BAK dan

Riwayat Penyakit

BAB dalam batas normal.
: Tidak Dijumpai

Terdahulu
Riwayat Pengobatan

: Tidak ada

13

STATUS PRESENS
Keadaan Umum


Sensorium

: CM



Tekanan Darah

:120/70



Temperatur

: 37



Pernafasan

: 20



Nadi

: 90

Keadaan Penyakit


Anemi

:-



Ikterus

:-



Sianosis

:-



Dispnoe

:-



Edem

:-



Eritema

:-



Turgor

: Kembali cepat



Gerakan Aktif

:-



Sikap tidur paksa : -

Keadaan Gizi


BB

: 50kg



TB

: 155



RBW

: 90%

PEMERIKSAAN FISIK
1. Kepala
a) Rambut

: Dalam Batas Normal

b) Muka

: Dalam Batas Normal

c) Mata

: Dalam Batas Normal

d) Telinga: Dalam Batas Normal
e) Hidung

: Dalam Batas Normal

f) Bibir

: Dalam Batas Normal
14

g) Gigi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

h) Lidah

: Dalam Batas Normal

i) Tonsil

: Dalam Batas Normal

2. Leher
a. Inspeksi

: Dalam Batas Normal

b. Palpasi
-

Posisi Trachea

: Medial

-

Sakit/Nyeri tekan

:-

-

TVJ

: R -2 cm H2O

-

Kosta Sevikalis

: Dalam Batas Normal

3. Thorax Depan
a. Inspeksi
-

Bentuk

: Fusiformis

-

Simetris/asimetris

: Simetris

-

Bendungan Vena

:-

-

Ketinggalan bernafas : -

-

Venektasi

:-

-

Pembengkakan

:-

-

Pylasi verbal

:-

-

Mammae

:-

-

Nyeri tekan

:-

-

Fremitus suara

: kanan = kiri

-

Fremissement

:-

-

Iktus

: Dalam Batas Normal

b. Palpasi

c. Perkusi

: Dalam Batas Normal

d. Auskultasi
-

Paru-paru
Suara pernapasan

: Vesikuler

Suara tambahan

:-

15

-

Cor
Heart Rate

: 90 x/i

Suara katup

:-

Suara tambahan

:-

4. Thorax Belakang
a) Inspeksi
-

Bentuk

: Dalam Batas Normal

-

Simetris/asimetris

: Simetris

-

Benjolan-benjolan

:-

-

Scapulae Alta

: Dalam Batas Normal

-

Ketinggalan bernafas

:-

-

Venektasi

:-

-

Nyeri tekan

:-

-

Fremitus suara

: kanan = kiri

-

Penonjulan-penonjolan

:-

b) Palpasi

c) Perkusi
-

Suara perkusi paru

: sonor

d) Auskultas
-

Suara pernafasan

: vesikuler

-

Suara tambahan

:-

5. Abdomen
a) Inspeksi

: Dalam Batas Normal

b) Palpasi

: Nyeri tekan epigastrium

c) Perkusi

: Dalam Batas Normal

d) Auskultas

: Dalam Batas Normal

6. Genetalia

: Tidak dilakukan pemeriksaan

7. Ekstremitas
a) Atas

: Dalam Batas Normal

b) Bawah

: Dalam Batas Normal

16

ANAMNESA UMUM
a) Badan kurang enak

:+

b) Mudah capek/lemas

:+

c) Merasa kurang sehat

:+

d) Mengigil

:-

e) Nafsu makan

: menurun

f) Tidur

: cukup

g) Berat badan

: normal

h) Malas

:-

i) Demam

:-

j) Pening

:-

ANAMNESA ORGAN
1) Cor

: Dalam Batas Normal

2) Sirkulasi perifer

: Dalam Batas Normal

3) Tractus respiratorius

: Dalam Batas Normal

4) Traktus digestivus

: Dalam Batas Normal

5) Ginjal dan daluran kemih

: Dalam Batas Normal

6) Sendi

: Dalam Batas Normal

7) Tulang

: Dalam Batas Normal

8) Otot

: Dalam Batas Normal

9) Darah

: Dalam Batas Normal

10) Endokrin

: Dalam Batas Normal

11) Fungsi genital

: Tidak dilakukan pemeriksaan

12) Susunan saraf

: Dalam Batas Normal

13) Panca indra

: Dalam Batas Normal

14) Psikis

: Dalam Batas Normal

15) Keadaan social
-

Pekerjaan

: IRT

-

Hygiene

: Cukup

17

ANAMNESA PENYAKIT TERDAHULU
Tidak Dijumpai
RIWAYAT PEMAKAIAN OBAT
Tidak Jelas
ANAMNESA PENYAKIT VENERIS
ANAMNESA INTOKSIKASI
Tidak Jelas
ANAMNESA MAKANAN
Cukup
ANAMNESA FAMILY
a) Penyakit - penyakit family
b) Penyakit seperti orang sakit
c) Anak-anak 3, hidup 3, mati PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN
RESUME
a) Keluhan Utama

: Nyeri ulu hati

b) Telaah
c) Status Present
-

Keadaan Umum
Sens

: CM

TD

: 120/70 mmHg

HR

: 90 x/i

RR

: 20 x/i

18

T
-

: 36.5 0C

Keadaan Gizi

: RWB 90% (Normal)

d) Pemeriksaan fisik
-

Kepala

: Dalam Batas Normal

-

Leher

: TVJ R – 2 cm H2O

-

Thorax

: SP: Vesikuler, ST: -

-

Abdomen

: Nyeri tekan epigastrium

-

Ekstremitas

: Dalam Batas Normal

e) Pemeriksan laboratorim
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
a) Dispepsia fungsional
DIAGNOSA SEMENTARA
Dispepsia Fungsional
TERAPI
a) Tirah baring
b) Diet MB TKTP
c) IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i
d) Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
e) Inj. Ondansentron 50 mg/12 jam
f) Tab. Betahistine 3 x 1
g) Sucralfat Syr 3 x C1
PEMERIKSAAN ANJURAN/USUL

19

BAB IV
FOLLOW UP

S

O

A

P

21 Desember 2017
Lemas (+)

Status present

Dispepsia

-

Tirah baring

Mual (+)

Sensorium :

Fungsional

-

Diet MB TKTP

Muntah (-)

CM

-

IVFD NaCl 0.9% 20

TD : 130/80

gtt/i

mmHg

-

HR: 70 x/i

Inj. Ranitidine 50
mg/12 jam

RR: 20 x/i

-

T : 36.5 oC

Inj. Ondansentron 50
mg/12 jam

-

Tab. Betahistine 3 x 1

-

Sucralfat Syr 3 x C1

22 Desember 2017
Lemas (+)

Status present

Dispepsia

-

Tirah baring

Mual (+)

Sensorium :

Fungsional

-

Diet MB TKTP

Muntah (+)

CM

-

IVFD NaCl 0.9% 20

TD : 130/80

gtt/i

mmHg

-

HR: 70 x/i

Inj. Ranitidine 50
mg/12 jam

RR: 20 x/i

-

T : 36.5 oC

Inj. Ondansentron 50
mg/12 jam

23 Desember 2017

20

-

Tab. Betahistine 3 x 1

-

Sucralfat Syr 3 x C1

Lemas (+)

Status present

Dispepsia

-

Tirah baring

Mual (+)

Sensorium :

Fungsional

-

Diet MB TKTP

Muntah (+)

CM

-

IVFD NaCl 0.9% 20

TD : 130/80

gtt/i

mmHg

-

HR: 78 x/i

Inj. Ranitidine 50
mg/12 jam

RR: 18 x/i

-

T : 36.5 oC

Inj. Ondansentron 50
mg/12 jam

-

Tab. Betahistine 3 x 1

-

Sucralfat Syr 3 x C1

24 Desember 2017
Lemas (+)

Status present

Dispepsia

-

Tirah baring

Mual (+)

Sensorium :

Fungsional

-

Diet MB TKTP

Muntah (-)

CM

-

IVFD NaCl 0.9% 20

TD : 130/70

gtt/i

mmHg

-

HR: 63 x/i

Inj. Ranitidine 50
mg/12 jam

RR: 20 x/i

-

T : 36.7 oC

Inj. Ondansentron 50
mg/12 jam

-

Tab. Betahistine 3 x 1

-

Sucralfat Syr 3 x C1

25 Desember 2017
Nyeri ulu hati

Status present

Dispepsia

-

Tirah baring

Mual (+)

Sensorium :

Fungsional

-

Diet MB TKTP

Muntah (-)

CM

-

IVFD NaCl 0.9% 20

TD : 120/70

gtt/i

mmHg

-

HR: 70 x/i

Inj. Ranitidine 50
mg/12 jam

RR:18 x/i

-

T : 36.2 oC

Inj. Ondansentron 50
mg/12 jam

-

21

Tab. Betahistine 3 x 1

-

Sucralfat Syr 3 x C1

26 Desember 2017
Nyeri ulu hati

Status present

Dispepsia

-

Tirah baring

Mual (+)

Sensorium :

Fungsional

-

Diet MB TKTP

Muntah (+)

CM

-

IVFD NaCl 0.9% 20

TD : 120/70

gtt/i

mmHg

-

HR: 64 x/i

Inj. Ranitidine 50
mg/12 jam

RR: 20 x/i

-

T : 36.5 oC

Inj. Ondansentron 50
mg/12 jam

-

Tab. Betahistine 3 x 1

-

Sucralfat Syr 3 x C1

27 Desember 2017
Nyeri ulu hati

Status present

Dispepsia

-

Tirah baring

Lemas

Sensorium :

Fungsional

-

Diet MB TKTP

Nyeri dada

CM

-

IVFD NaCl 0.9% 20

Mual (+)

TD : 100/80

Muntah (+)

mmHg

gtt/i
-

HR : 78 x/i

Inj. Ranitidine 50
mg/12 jam

RR : 16 x/i

-

T : 36.2 oC

Inj. Ondansentron 50
mg/12 jam

-

Tab. Betahistine 3 x 1

-

Sucralfat Syr 3 x C1

28 Desember 2017
Nyeri ulu hati

Status present

Dispepsia

-

Tirah baring

Sensorium :

Fungsional

-

Diet MB TKTP

-

IVFD NaCl 0.9% 20

CM
TD : 110/80

gtt/i

mmHg

-

HR : 88 x/i

Inj. Ranitidine 50
mg/12 jam

RR : 24x/i

22

Inj. Ondansentron 50

T : 36.2 oC

mg/12 jam

BAB IV

23

-

Tab. Betahistine 3 x 1

-

Sucralfat Syr 3 x C1

KESIMPULAN
Diagnosis dispepsia fungsional didasarkan pada keluhan/ simptom/
sindrom dispepsia dimana pada pemeriksaan penunjang baku dapat disingkirkan
kausa organik/ biokimiawi, sehingga masuk dalam kelompok penyakit
gastrointestinal fungsional. Mempunyai patofisiologi yang kompleks dan
multifaktorial, diaman tampaknya berbasiskan gangguan pada motilitas atau
hipersensitivitas viseral. pemeriksaan endoskopi dan radiologi sangat penting
dalam indikasi dispepsia yang disertai alarm symptoms. Modalitas pengobatannya
menjadi luas, berdasarkan kompleksitas patogenesisnya, serta lebih kearah hanya
menrunkan atau menghilangkan simptom. Pilihan pengobatan berdasarkan
pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih diperdebatkan
manfaatnya.

24

RUJUKAN
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4 th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
2. Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL.
Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed. USA: McGrawHill;2005.
3. Manson JJ, Rahman A. Systemic lupus erythematosus. Orphanet
Encyclopedia.2005.
4. American College of Rheumatology. Systemic lupus erythematosus
research. Education. Atlanta:Rheumatology; 2012.
5. Warrell DA, Cox TM, Firth JD, Edward J, Benz, editors. Oxford textbook
of medicine. 4th ed. Oxford: Oxford Press;2002.
6. Rheumatology Image Bank [homepage on the Internet]. Atlanta: American
College of Rheumatology; c2012 [cited 2018 Jan 26]. Rheumatology;
[about 2 screens]. Available from:
http://images.rheumatology.org/viewphoto.php?
imageId=2861621&albumId=75674
7. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Systemic
Lupus Erythematosus Guidelines. Guidelines for referral and management
of systemic lupus erythematosus in adults. Arthritis and Rheumatism.
1999:42(9).p. 1785-96.
8. WebMD [homepage on the Internet]. Lupus Health Center; c2005-2012
[cited 2018 Jan 26]. Drug induced lupus; [about 2 screens]. Available
from: http://lupus.webmd.com/tc/drug-induced-lupus-topic-overview
9. Monica RP, Derrick TJ. Pulmonary manifestation of systemic lupus
erythematosus. US Respiratory disease. 2011:7(1): 43-8

25