Penerapan Value Engineering (VE) Terhadap Efisiensi Biaya Proyek Pembangunan Sistem Kelistrikan pada Pusat Perbelanjaan Irian Supermarket Kisaran

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI MENGENAI EFISIENSI BIAYA PEMBANGUNAN SISTEM KELISTRIKAN PUSAT PERBELANJAAN

MENGGUNAKAN VALUE ENGINEERING

2.1. Pengertian Dasar Distribusi Dan Instalasi

Secara sederhana “Sistem Distribusi Tenaga Listrik” dapat diartikan sebagai sistem sarana penyampaian tenaga listrik dari sumber ke pusat beban. Sementara untuk “Sistem Instalasi” adalah cara pemasangan penyalur tenaga listrik atau peralatan listrik untuk semua barang yang memerlukan tenaga listrik, dimana pemasangannya harus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan di dalam Persyaratan Umum Instalasi Listrik (PUIL).

Oleh karena sumber tenaga listrik untuk beban memiliki kondisi dan persyaratan-persyaratan tertentu, maka saran penyampaiannya pun dikehendaki memenuhi persyaratan tertentu pula. Kondisi dan persyaratan yang dimaksudkan tersebut antara lain :

1. Setiap peralatan listrik dirancang memiliki rating tegangan, frekuensi dan daya nominal tertentu.

2. Letak titik sumber (Pembangkit) dengan titik beban tidak selalu berdekatan. 3. Pada pengoperasian peralatan listrik perlu dijamin keamanan bagi peralatan

itu sendiri, bagi manusia pengguna, dan bagi lingkungannya.

Dalam upaya antisipasi ketiga hal tersebut, maka untuk sistem penyampaian tenaga listrik dituntut berapa kriteria :


(2)

1. Diperlukan saluran daya (tenaga) yang handal, efektif, ekonomis dan efisien.

2. Diperlukan tersedianya daya (tenaga) listrik dengan kapasitas yang cukup (memenuhi), tegangan (dan frekuensi) yang stabil pada harga nominal tertentu, sesuai design peralatan. Singkatnya diperlukan penyediaan daya dengan kualitas yang baik.

3. Diperlukan sarana sistem pengaman yang baik, sesuai dengan persyaratan pengamanan (cepat kerja, peka, selektif, handal dan ekonomis).

2.2. Sumber Tenaga Listrik

Pada masa sekarang ini di negara-negara berkembang seperti di negara kita ini kebutuhan akan energi listrik semakin hari semakin meningkat, terutama dengan berkembangnya sektor industri, pendidikan, telekomunikasi, teknologi dan lain sebagainya. Sumber energi listrik tersebut dapat diperoleh pengubahan suatu energi primer menjadi bentuk energi lainnya secara langsung ataupun tidak langsung. Sistem langsung atau biasa disebut sistem konvensional energi dimana energi primer dikonversikan menjadi energi listrik dengan mediator perantara, seperti turbin, motor bakar, dan lain sebagainya. Pada sistem tidak langsung atau sistem non konvensional disini energi primer di konversikan menjadi energi listrik tanpa mediator atau perantara, sebagai contohnya adalah solar cell, fotosintesis, dan sebagainya.

Pada sistem konvensional banyak macam atau tipe pembangkitan tenaga listrik yang digunakan untuk menunjang serta menyediakan tenaga listrik, antara lain pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga uap (PLTU),


(3)

pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), pembangkit tenaga listrik tenaga gas (PLTG), pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB), dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan sustu sistem pembangkitan listrik adalah :

1. Jenis pembangkit 2. Daya yang dibutuhkan

3. Biaya operasional dan perawatan serta biaya pembangunan 4. Lokasi pusat pembangkit

5. Keuntungan dan kerugian sistem pembangkitan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dalam sektor industri banyak digunakan pembangkit energi listrik tenaga diesel sebagai penambah daya listrik ataupun sebagai backup power.

Kebutuhan tenaga listrik pada suatu industri harus disesuaikan dengan keadaan produktivitas perusahaan itu sendiri, yang paling penting adalah kontinuitas dan keandalan yang tinggi dalam pelayanannya. Mengingat bahwa tenaga listrik sangat penting dalam proses produksi, maka sumber tenaga listrik ini harus dijaga dari adanya berbagai macam gangguan.

Adapun suplai daya listrik digunakan pada pusat perbelanjaan ini adalah sebagai berikut :

a. Sulplai jaringan dari PLN

b. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD/GENSET)

Suplay PLN dipakai sebagai main supply untuk memenuhi kebutuhan listrik di bisnis ini. Sedangkan untuk emergency/ backup power listrik menggunakan


(4)

dari pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) Genset. Kedua sumber tenaga listrik tersebut tidak dapat bekerja bersama-sama melainkan bergantian. Bila suplay PLN down atau mengalami gannguan maka Genset akan bertindak sebagai main

supply. Sedangkan bila keadaan kembali normal maka PLN akan bertindak sebagai main supply dan genset akan off.

2.2.1.Sumber Tenaga Listrik Tenaga PLN

Untuk menyalurkan tenaga listrik ke konsumen, PLN membangun gardu distribusi di pusat-pusat beban. Di gardu distribusi ini terjadi penurunan tegangan dari tegangan transmisi ketegangan menengah distribusi. Dalam ketentuan pelanggan atau konsumen itu harus memiliki gardu distribusi sendiri.

2.2.2.Sumber Tenaga Listrik Diesel (PLTD/ Genset)

Untuk menjaga kemungkinan terjadi pemutusan atau semacam gangguan aliran listrik dari PLN, maka suatu industri menyediakan pembangkit listrik sendiri sebagai back-up, biasanya digunakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD/GENSET). Namun ada juga suatu industri yang tidak mempergunakan suplai daya dari PLN, tapi hanya tergantung pada Pembangkit Lisrik Tenaga Diesel (PLTD) GENSET. Pembangkit Lisrik Tenaga Diesel (PLTD/GENSET) lebih cocok digunakan untuk industri dibandingkan dengan jenis pembangkit listrik lain, seperti pembangkit listrik tenaga uap, gas dan sebagainya karena pemeliharaannya dan perawatannya lebih mudah dibandingkan pembangkit listrik lainnya.


(5)

2.2.3.Perbandingan antara PLN dan Genset

Perbandingan dalam skripsi ini dapat diartikan yaitu membandingkan antara efisiensi penggunaan listrik dari Genset dengan listrik PLN.

Sedangkan efisiensi itu sendiri mempunyai arti penggunaan listrik. Tabel 2.1 Perbandingan Perawatan PLN dan Genset

PLN GENSET

1. Perawawatan Instalasi a.Pembersihan kabel tray/ saluran

kabel

b.Perbersihan Panel Utama Tegangan Rendah/ PUTR

2. Perawatan Power Station a.Furifikasi Trafo b.Penggantian Oli Trafo 3. Pembersihan Panel Distribusi

a.Pengecekan terhadap peralatan yang ada pada panel distribusi

4. Pengecekan Oli OCB

1. Perawatan instalasi a.Perawatan pipa injector

2. Sistem kelistrikan a.Generator (kontrol komutator)

b.Cek baterai/ ganti baterai 3. Sistem Udara a.Saringan udara minyak

b.Saringan udara kertas c.Sistem pendingin 4. Sistem Pendingin

a.Radiator (kontrol air pendingin, ganti air, dan cuci radiator)

b.Kipas udara 5. Sistem bahan bakar a.Filter bahan bakar (Rakor)

b.Pompa bahan bakar 6. Pemeriksaan mesin diesel

a. Overhoule

b. Pelumasan/ ganti pelumas dan saringan pelumas.

Penggunaan energi listrik genset lebih membutuhkan operator atau divisi teknik didalam pengoperasian serta perawatan. Akan tetapi didalam pengunaan listrik PLN tidak memerlukan operator atau divisi untuk pengoperasian maupun perawatan. Sedangkan untuk pengecekan dilakukan oleh maintenance. Didalam segi waktu, penggunaan energi listrik genset dapat dilakukan sewaktu-waktu


(6)

tanpa harus memikirkan gangguan akibat adanya beban puncak. Sedangkan dari PLN harus memikirkan apabila terjadi gangguan baik berupa listrik padam maupun beban puncak.

2.3. Struktur Distribusi Tenaga Listrik

Gardu tiang PLN memberikan suplai tenaga listrik ke jaringan distribusi. Tegangan suplai 70/20 kv dari gardu tiang PLN merupakan jaringa tegangan menengah/ primer (JTM), yang menggunakan tiga kawat atau empat kawat untuk tiga fasa. Selanjutnya menuju trafo disribusi gedung befungsi sebagai mentrasformasikan tenaga listrik tegangan tinggi ke tegangan rendah (JTR) dengan tegangan 380/ 220 volt, yaitu ke Panel Utama Tegangan Rendah (PUTR).


(7)

Sistem distribusi tenaga listrik dari sumber tenaga listrik PLN dan/ atau Genset sampai ke beban-bebannya merupakan sistem model radial.

2.4. Value Engineering

Bagian ini terdiri dari sejarah munculnya value engineering (VE), defenisi tentang VE, defenisi nilai, tahapan-tahapan dalam melakukan VE, serta perkembangan VE di Indonesia.

2.4.1.Sejarah dan Filosofi VE

Value Enineering (VE) dikembangkan pertama kali oleh Lawrence D. Miles pada ahun 1940-an di perusahaan General Electric, guna menyelesaikan masalah kurangnya material penting dari produk yang akan mereka produksi selama perang dunia kedua. Pada awalnya, VE bernama analisis nilai (Value Analysis/ VA) dengan pondasi kunci adalah fungsi. Pada mulanya fungsi ini mengkaji setiap komponen bagian dari perubahan/ bagian dari produk eksistin. Pada perkembangannya, metode analisis ini mengalami perubahan konteks, yaitu dari pengkajian terhadap bagian produk eksisting ke peningkatan rancangan konsep, oleh karena itu nama value engineering (VE) muncul sebagai bentuk penyesuaian terhadap perubahan konteks tersebut (Priyanto, 2010). Selama perkembangannya banyak pengetahuan dan inovasi yang dihasilkan oleh para praktisi VE. Guna berbagai pengetahuan dan inovasi, pada tahun 1959, para praktisi membentuk asosiasi pembelajaran di Washington, DC dengan nama „Society of American Value Engineers (SAVE)‟ (Priyanto, 2010). Dalam waktu yang relatif singkat, metode ini telah tersebar luas diseluruh dunia dan banyak tools, teknik, dan proses


(8)

lain yang dikembangkan dalam metode ini. Untuk menarik para pengembang dan praktisi dari tools, teknik dan proses lain menjadi anggota SAVE, maka pada tahun 1996, nama asosiasi ini diubah menjadi „SAVE International.

Dalam uraian singkat mengenai perkembangan VE yang dimuat dalam buku standar SAVE International (2007), tersirat adanya filosofi VE yang memberi kemudahan bagi upaya memahami konsep VE. Filosofi VE tersebut adalh menyediakan cara pengelolaan nilai (value) dan upaya peningkatan inovasi yang sistematik guna memberikan keunggulan daya asing bagi sebuah produk yang akan dirakit, karena produk-produk dibeli untuk apa yang dapat mereka lakukan (fungsi dari produk), baik melalui pekerjaan yang mereka dapat lakukan atau kualitas estetika yang mereka sediakan. Untuk dapat fokus pada pemahaman fungsi, maka fungsi di definisikan dengan menggunakan gabungan kata aktif (active verb) dan kata benda yang diukur (measure noun) yang dapat memberikan karakteristik manfaat dari fungsi yang dimaksud. Oleh karena itu, metode ini menempatkan analisis fungsi sebagai pondasi kunci. Analisis fungsi terus dikembangkan dan menjadi tool untuk membantu individu dan tim memahami sebuah konsep melaui fungsi-fungsinya guna memutuskan apakah desain dapat ditingkatkan atau diadakan material atau konsep lain yang dapat memenuhi fungsi tersebut.

2.4.2.Defenisi dan Konsep Nilai (Value)

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa nilai (value) merupakan sesuatu yang dikelola dalam pengelolaan nilai. Nilai (value) dari sebuah subyek tidak dapat digeneralisir dan tidak dapat dideefinisikan secara


(9)

akurat karena nilai merupakan fungsi waktu, orang, subyek dan kondisi. Menurut Snogdgrass dan Kasi (1986), sebuah nilai tidak bisa ditetapkan hanya dengan mempertimbangkan subyek itu sendiri, oleh karena itu tim harus menetapkan terlebih dahulu alat ukur nilai (value). Masing-masing komponen seharusnya diukur kinerjanya dengan alat ukur ini.

2.4.3.Defenisi VE

Defenisi VE perlu dipahami untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai VE. Defenisi VE tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Value Engineering (VE) adalah aplikasi metodologi nilai (value methodology) pada sebuah proyek atau layan yang telah direncanakan atau dikonsepkan untuk mencapai peningkatan nilai (value). Metodologi nilai adalah sebuah proses sistematis yang digunakan oleh disiplin untuk meningkatkan nilai (value) dari sebuah proyek melalui analisa terhadap fungsi-fungsinya. (standar SAVE, 2007).

2. Value Engineering (VE) adalah sebuah upaya terorganisir diarahkan pada analisa fungsi-fungsi dari sistem, perlengkapan, fasilitas, jasa layanan dan jasa penyediaan untuk mencapai tujuan significan pada siklus hidup (life-cycle cost) yang paling rendah, konsisten dengan persyaratan kinerja (perfomance), kepercayaan (reliability), mutu (quality) dan keamanan (safety) (PBS-PQ250. 1992, PBS-PQ251, 1993).

3. Value Engineering (VE) adalah suatu sistem pemecahan masalah yang dilaksanakan dengan menggunakan kumpulan teknik tertentu, ilmu


(10)

untuk mendefinisikan dan menghilangkan biaya-biaya yang tidak diperlukan seperti biaya yang tidak memberikan konstribusi bagi mutu, kegunaan, umur dan penampilan produk serta daya tarik konsumen (Miles, 1972).

2.4.4.Alasan – Alasan Untuk Unnecessary Cost

Pelaksanaan proyek konstruksi sering terjadi overbuget, hal ini terjadi karena adanya biaya-biaya yang tidak perlu (Unnecessery Cost).

Dell‟ Isola (1997) menguraikan mengenai alasan-alasan biaya yang tidak perlu antara lain (p.xxii) :

1. Kurangnya informasi,

Data yang tidak cukup mengenai fungsi owner/ pengguna inginkan/ butuhkan dan informasi material baru, produk, yang dapat mempertemukan kebutuhan ini.

2. Kekurangan ide,

Kegagalan untuk mengembangkan solusi aternatif, dibeberapa kasus, pembuat keputusan menerima solusi pertama yang terlintas dipikirannya. Kecenderungan ini selalu mendatangkan unnecessery cost, yang dapat dieliminasi dengan menuntut keputusan yang didasarkan pada ekonomi dan prestasi.

3. Keadaan sementar,

Desain, jadwal dan pengiriman yang mendesak dapat memaksa pembuat keputusan mencapai kesimpulan cepat untuk memenuhi persyaratan waktu tanpa memperhatikan nilai yang baik.


(11)

Uncessery cost juga sering disebabkan oleh keputusan yang didasarkan pada apa yang pembuat keputusan percaya sebagai keputusan yang benar, daripada mempertimbangkan pada kondisi nyata. Hal ini dapat menghalangi ide bagus.

5. Kebiasaan dan perilaku,

Manusia menciptakan kebiasaan. Sebuah kebiasaan adalah bentuk dari respon, melakukan hal yang sama, cara yang sama, pada kondisi yang sama. Kebiasaan adalah reaksi dan respon yang orang pelajari secara otomatis, tanpa berpikir atau memutuskan. Kebiasaan adalah bagian yang penting dari kehidupan, tetapi ada satu hal yang harus dipertanyakan, “Apakah saya melakukan cara ini karena ini adalah cara yang terbaik, karena saya merasa nyaman dengan metode ini, atau karena saya selalu melakukan cara ini!” 6. Perubahan kebutuhan owner,

Sering, kebutuhan baru owner memaksa perubahan selama desain atau konstruksi yang meningkatkan biaya dan merubah jadwal. Pada banyak kasus owner tidak mempertimbangkan dampak dari perusahaan ini.

7. Kurangnya komunikasi dan koordinasi,

Kurangnya komunikasi dan informasi adalah alasan utama untuk unnecessery cost. VE membuka saluran komunikasi bahwa alat diskusi persoalan dan mengijinkan mengepresikan pendapat.

8. Standar dan spesifikasi yang kuno,

Beberapa standar dan spefikasi yang digunakan dalam konstruksi berumur kurang dari sepuluh tahun. Sebagai teknologi yang baru, pembaharuan berkelanjutan terhadap data diperlukan, tetapi ini sering kali tidak sempurna.


(12)

VE membantu untuk mengisolasi dan fokus pada teknologi dan standar baru dimana biaya tinggi dan nilai jelek mungkin terjadi.

Setiap alasan untuk nilai jelek ini menyediakan sebuah kesempatan untuk memperbaiki keputusan yang dibuat dan sebuah area dimana upaya value engineering adalah tindakan yang tepat.

2.4.5.Elemen – Elemen penting Dalam VE

Elemen-elemen VE ini digunakan untuk membantu dalam analisis VE, elemen ini terdiri dari :

1. Pemilihan komponen proyek untuk studi VE 2. Pembiayaan untuk nilai

3. Pemodelan biaya 4. Pendekaan fungsional

5. Teknik sistem analisa fungsi (Functional Analysis System Technique – FAST)

6. Rencana kerja VE 7. Kreativitas

8. Penentuan dan pembiayaan program VE 9. Kedinamisan manusia, dan

10.Pengaturan hubungan antara pemilik, perancang dan konsultan VE

Setiap elemen tersebut diatas harus digunakan dalam studi VE untuk sebuah proyek.


(13)

2.4.6.Perkembangan Value Engineering Di Indonesia

Value engineering (VE) mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1986 oleh bapak DR. Ir. Suriana Chandra melaui seminar-seminar diberbagai kota. Pada tahun itu juga, metode ini digunakan pada Proyek Pembangunan Jalan Layang Cawang. Selanjutnya pada tahun 1987, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Departemen Keuangan, dan Direktorat Jenderal Cipta Karya mengajukan pemakaian VE di Indonesia untuk seluruh pembangunan rumah dinas dan gedung negara di atas satu milyar rupiah.

Periode sejak berikutnya tahun 1990-an sampai awal tahun 2003, perkembangan VE di Indonesia tidak banyak diketahui. Jika ditinjau dari regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan konstruksi pada periode tersebut adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Perumahan Dan Pemukiman Nomor 24 tahun 1992; 2. Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999;

3. Undang-Undang Tentang Bangunan Gedung Nomor 28 tahun 2002; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 28, 29, 30 tahun 2000;

5. Keputusan Menteri (Kepmen) Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswi) Nomor 332/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Gedung Negara.

Maka tampaknya anjuran Bappenas tahun 1987 untuk menerapkan value engineering pada pembangunan rumah dinas dan gedung negara, tidak dilanjuti dengan penyusunan regulasi yang lebih tinggi tingkatan hukumnya, karena tidak ada satu klausaul pada regulasi periode tersebut yang menyinggung mengenai


(14)

penerapan VE. Bbeberapa praktisi memperkirakan bahwa perkembangan VE pada periode ini telah terhenti.

Pada periode berikutnya mulai tahun 2003 sejak dikeluarkannya Kepres 80 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah sampai awal tahun 2007, VE di Indonesia masih belum menunjukkan tanda-tanda perkembangan yang berarti. Pada periode ini kewajiban menerapkan Kepres 80 dianggap menghambat perkembangan penerapan VE khususnya pada proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah. Kepres 80, disatu sisi menyatakan bahwa pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyediaan jasa dan barang harus menghindari terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan, disisi lain tidak menyediakan ruang bagi penyedia untuk berkreasi mengupayakan penghematan dengan metode-metode dan inovasi-inovasi baru yang lebih baik.

Value engineering yang dalam aplikasinya memerlukan keleluasaan untuk berkreasi dan inovasi terhadap desain awal seringkali tidak terakomodasi atau tidak dipahami oleh owner (panitian pengadaan) dan aparat penegak hukum. Keterlambatan pemahaman aparat penegak hukum terkait dengan pelaksanaan konstruksi menyebabkan mereka berpegang pada aturan-aturan kaku yang sebenarnya masih harus disempurnakan. Hal ini menyebabkan value engineering masih jarang digunakan di Indonesia.

2.4.7.Value Engineering Pada Rancang Bangun Konstruksi

Dari tahun ke tahun, industri konstruksi di Indonesia terus mengalami perkembangan yang signifikan. Dalam pembangunan suatu proyek konstruksi pengendalian biaya proyek merupakan hal yang penting dalam proses pengelolaan


(15)

biaya proyek. dalam kegiatan suatu proyek akan banyak didapati masalah seperti panggunaan material yang boros, tenaga kerja yang kurang terampil dan waktu penyelesaian proyek yang tidak tepat waktu sehingga menyebalkan pemborosan biaya yang tidak sesuai perencanaan.

Dalam manajemen rekayasa konstruksi (MRK) terdapat suatu disiplin ilmu teknil listrik yang digunakan untuk mengefisiensikan biaya. Ilmu tersebut dikenal dengan nama Rekayasa Nilai (Value Enginering). Rekayasa Nilai (Value engineering) adalah suatu cara pendekatan yang kreatif dan terencana dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan mengefisiensikan biaya-biaya yang tidak perlu.

2.5. Dasar – Dasar Ilmu Ekonomi Teknik

Dewasa ini teknologi telah berkembang dengan pesat sehingga dalam praktiknya untuk mewujudkan suatu kebutuhan manusia akan dihadapkan dengan berbagai pilihan/ alternatif. Alternatif tersebut bisa dalam bentuk desain/ rencana, prosedur, metode, material, waktu dan lainya.

Karena setiap pilihan alternatif akan berdampak langsung pada pemakaian sumber daya, dimana sumber daya itu sendiri semakin mahal dan sulit, maka pemilihan alternatif harus didasarkan pada prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas dari pemanfaatan sumber daya itu sendiri. Prinsip ini akan menjadi lebih penting lagi bila persoalannya berkaitan dengan penerapan kegiatan keteknikan (engineering), di mana pada umumnya kegiatan teknik akan melibatkan biaya awal (investasi) yang relatif besar dan berdampak langsung pula pada kebutuhan biaya operasional dan perawatan jangka panjangnya. Oleh karena itu, setiap


(16)

rancangan teknik yang akan diterapkan perlu diuji dengan pertanyaan-pertanyaan kritis seperti berikut ini :

˗ Mengapa memilih yang itu, dan mengapa tidak yang lain? Mengapa melakukannya sekarang, bagaimana kalau lain waktu?

˗ Mengapa melakukannya dengan cara ini, mengapa tidak dengan cara lain? ˗ Dan sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan bagaian dari keputusan-keputusan teknik yang tidak dapat diabaiakn dalam rangka membuktikan bahwa desain/ rancangan yang dibuat merupakan rancangan yang baik dan menguntungkan untuk dilaksanakan/ direalisasikan.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dibutuhkan suatu kriteria dan indikator penilaian yang tepat dan relevan sehingga jawaban yang dihasilkan objektif dan rasional. Untuk pertanyaan yang bersifat teknis pada dasarnya perlu dijawab dengan kriteria dan indikator teknis melalui evaluasi teknis, namun pada akhirnya keputusan-keputusan teknis dapat dikonversikan menjdai kriteria-kriteria ekonomis melalui indikator-indikator cashflow yang diakibatkan oleh aspek biaya dan manfaat yang terkandung dari setiap alternatif teknis yang diusulkan tersebut. Dengan demikian, ekonomi teknik pada dasarnya suatu ilmu pengetahuan yang menjelaskan bagaimana metode menilai suatu desain teknis direncanakan juga layak ekonomis/ menguntungkan untuk direalisasikan.

2.6. Pengertian Biaya

Dalam membicarakan biaya sebenarnya diketahui ada dua istilah atau terminologi biaya, yaitu sebagai berikut:


(17)

1. Biaya (cost) adalah semua pengorbanan yang dibutuhkan dalam rangka mencapai suatu tujuan diukur dengan nilai uang.

2. Pengeluaran (expence) adalah berkaitan dengan sejumlah uang yang dikeluarkan atau dibayarkan dalam rangka mendapatkan sesuatu hasil yang diharapkan.

Secara umum biaya dapat diklasifikasikan yakni :

1. Biaya Pertama adalah biaya awal kepemilikan yang terkapitalisasi, yang meliputi transportasi, instalasi, dan pengeluaran awal lain.

2. Biaya Operasi dan Perawatan adalah kelompok biaya yang dialami secara terus menerus selama masa manfaat aktivitas tersebut.

3. Biaya Tetap adalah kelompok biaya yang diperlukan dalam aktivitas berjalan yang totalnya akan relatif tetap sepanjang jangkauan (periode) waktu aktivitas operasional.

4. Biaya Variabel adalah kelompok biaya yang berubah-ubah mengikuti perubahan level aktivitas operasional.

5. Biaya kenaikan dan biaya marginal adalah biaya tambahan yang dikeluarkan sebagai hasil dari output yang meningkatkan sebanyak satu unit tambahan.

2.7. Ekonomi Pembangkit

Dalam pembahasan aspek ekonomi pembangkit mempertimbang biaya modal, biaya bahan bakar, biaya operasional dan pemeliharaan yang dijumlah menjadi biaya pembangkit total. Adapun faktor utama yang mempengaruhi pertimbangan ekonomis adalah besarnya biaya modal dalam jangka waktu atau


(18)

dalam masa operasi pembangkit. Dalam mempertimbangkan hal diatas, maka dapat ditentukan kelayakan satu teknologi pembangkit dari sisi ekonomi.

2.8. Jenis Pengaman (ACB, MCCB dan MCB) Dan Luas Penampang (Kabel)

Untuk mencegah terjadinya arus hubung singkat atau arus lebih pada setiap salauran instalasi listrik pada pusat perbelanjaan Irian Supermarket Kisaran menggunakan pengaman Air Circuit breaker (ACB), Moulded Case Circuit Breaker (MCCB) dan Mini Circuit Breaker (MCB) dan jenis penampang (Kabel). Untuk jenis pengaman dan penampang beban listrik ini setiap lokasi masing-masing terbagi dalam beberapa kelompok panel listrik di pusat perbelanjaan Irian Supermarket Kisaran.


(1)

2.4.6.Perkembangan Value Engineering Di Indonesia

Value engineering (VE) mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1986

oleh bapak DR. Ir. Suriana Chandra melaui seminar-seminar diberbagai kota. Pada tahun itu juga, metode ini digunakan pada Proyek Pembangunan Jalan Layang Cawang. Selanjutnya pada tahun 1987, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Departemen Keuangan, dan Direktorat Jenderal Cipta Karya mengajukan pemakaian VE di Indonesia untuk seluruh pembangunan rumah dinas dan gedung negara di atas satu milyar rupiah.

Periode sejak berikutnya tahun 1990-an sampai awal tahun 2003, perkembangan VE di Indonesia tidak banyak diketahui. Jika ditinjau dari regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan konstruksi pada periode tersebut adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Perumahan Dan Pemukiman Nomor 24 tahun 1992; 2. Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999;

3. Undang-Undang Tentang Bangunan Gedung Nomor 28 tahun 2002; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 28, 29, 30 tahun 2000;

5. Keputusan Menteri (Kepmen) Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswi) Nomor 332/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Gedung Negara.

Maka tampaknya anjuran Bappenas tahun 1987 untuk menerapkan value

engineering pada pembangunan rumah dinas dan gedung negara, tidak dilanjuti

dengan penyusunan regulasi yang lebih tinggi tingkatan hukumnya, karena tidak ada satu klausaul pada regulasi periode tersebut yang menyinggung mengenai


(2)

penerapan VE. Bbeberapa praktisi memperkirakan bahwa perkembangan VE pada periode ini telah terhenti.

Pada periode berikutnya mulai tahun 2003 sejak dikeluarkannya Kepres 80 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah sampai awal tahun 2007, VE di Indonesia masih belum menunjukkan tanda-tanda perkembangan yang berarti. Pada periode ini kewajiban menerapkan Kepres 80 dianggap menghambat perkembangan penerapan VE khususnya pada proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah. Kepres 80, disatu sisi menyatakan bahwa pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyediaan jasa dan barang harus menghindari terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan, disisi lain tidak menyediakan ruang bagi penyedia untuk berkreasi mengupayakan penghematan dengan metode-metode dan inovasi-inovasi baru yang lebih baik.

Value engineering yang dalam aplikasinya memerlukan keleluasaan untuk

berkreasi dan inovasi terhadap desain awal seringkali tidak terakomodasi atau tidak dipahami oleh owner (panitian pengadaan) dan aparat penegak hukum. Keterlambatan pemahaman aparat penegak hukum terkait dengan pelaksanaan konstruksi menyebabkan mereka berpegang pada aturan-aturan kaku yang sebenarnya masih harus disempurnakan. Hal ini menyebabkan value engineering masih jarang digunakan di Indonesia.

2.4.7.Value Engineering Pada Rancang Bangun Konstruksi

Dari tahun ke tahun, industri konstruksi di Indonesia terus mengalami perkembangan yang signifikan. Dalam pembangunan suatu proyek konstruksi pengendalian biaya proyek merupakan hal yang penting dalam proses pengelolaan


(3)

biaya proyek. dalam kegiatan suatu proyek akan banyak didapati masalah seperti panggunaan material yang boros, tenaga kerja yang kurang terampil dan waktu penyelesaian proyek yang tidak tepat waktu sehingga menyebalkan pemborosan biaya yang tidak sesuai perencanaan.

Dalam manajemen rekayasa konstruksi (MRK) terdapat suatu disiplin ilmu teknil listrik yang digunakan untuk mengefisiensikan biaya. Ilmu tersebut dikenal dengan nama Rekayasa Nilai (Value Enginering). Rekayasa Nilai (Value

engineering) adalah suatu cara pendekatan yang kreatif dan terencana dengan

tujuan untuk mengidentifikasi dan mengefisiensikan biaya-biaya yang tidak perlu.

2.5. Dasar – Dasar Ilmu Ekonomi Teknik

Dewasa ini teknologi telah berkembang dengan pesat sehingga dalam praktiknya untuk mewujudkan suatu kebutuhan manusia akan dihadapkan dengan berbagai pilihan/ alternatif. Alternatif tersebut bisa dalam bentuk desain/ rencana, prosedur, metode, material, waktu dan lainya.

Karena setiap pilihan alternatif akan berdampak langsung pada pemakaian sumber daya, dimana sumber daya itu sendiri semakin mahal dan sulit, maka pemilihan alternatif harus didasarkan pada prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas dari pemanfaatan sumber daya itu sendiri. Prinsip ini akan menjadi lebih penting lagi bila persoalannya berkaitan dengan penerapan kegiatan keteknikan

(engineering), di mana pada umumnya kegiatan teknik akan melibatkan biaya

awal (investasi) yang relatif besar dan berdampak langsung pula pada kebutuhan biaya operasional dan perawatan jangka panjangnya. Oleh karena itu, setiap


(4)

rancangan teknik yang akan diterapkan perlu diuji dengan pertanyaan-pertanyaan kritis seperti berikut ini :

˗ Mengapa memilih yang itu, dan mengapa tidak yang lain? Mengapa melakukannya sekarang, bagaimana kalau lain waktu?

˗ Mengapa melakukannya dengan cara ini, mengapa tidak dengan cara lain? ˗ Dan sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan bagaian dari keputusan-keputusan teknik yang tidak dapat diabaiakn dalam rangka membuktikan bahwa desain/ rancangan yang dibuat merupakan rancangan yang baik dan menguntungkan untuk dilaksanakan/ direalisasikan.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dibutuhkan suatu kriteria dan indikator penilaian yang tepat dan relevan sehingga jawaban yang dihasilkan objektif dan rasional. Untuk pertanyaan yang bersifat teknis pada dasarnya perlu dijawab dengan kriteria dan indikator teknis melalui evaluasi teknis, namun pada akhirnya keputusan-keputusan teknis dapat dikonversikan menjdai kriteria-kriteria ekonomis melalui indikator-indikator cashflow yang diakibatkan oleh aspek biaya dan manfaat yang terkandung dari setiap alternatif teknis yang diusulkan tersebut. Dengan demikian, ekonomi teknik pada dasarnya suatu ilmu pengetahuan yang menjelaskan bagaimana metode menilai suatu desain teknis direncanakan juga layak ekonomis/ menguntungkan untuk direalisasikan.

2.6. Pengertian Biaya

Dalam membicarakan biaya sebenarnya diketahui ada dua istilah atau terminologi biaya, yaitu sebagai berikut:


(5)

1. Biaya (cost) adalah semua pengorbanan yang dibutuhkan dalam rangka mencapai suatu tujuan diukur dengan nilai uang.

2. Pengeluaran (expence) adalah berkaitan dengan sejumlah uang yang dikeluarkan atau dibayarkan dalam rangka mendapatkan sesuatu hasil yang diharapkan.

Secara umum biaya dapat diklasifikasikan yakni :

1. Biaya Pertama adalah biaya awal kepemilikan yang terkapitalisasi, yang meliputi transportasi, instalasi, dan pengeluaran awal lain.

2. Biaya Operasi dan Perawatan adalah kelompok biaya yang dialami secara terus menerus selama masa manfaat aktivitas tersebut.

3. Biaya Tetap adalah kelompok biaya yang diperlukan dalam aktivitas berjalan yang totalnya akan relatif tetap sepanjang jangkauan (periode) waktu aktivitas operasional.

4. Biaya Variabel adalah kelompok biaya yang berubah-ubah mengikuti perubahan level aktivitas operasional.

5. Biaya kenaikan dan biaya marginal adalah biaya tambahan yang dikeluarkan sebagai hasil dari output yang meningkatkan sebanyak satu unit tambahan.

2.7. Ekonomi Pembangkit

Dalam pembahasan aspek ekonomi pembangkit mempertimbang biaya modal, biaya bahan bakar, biaya operasional dan pemeliharaan yang dijumlah menjadi biaya pembangkit total. Adapun faktor utama yang mempengaruhi pertimbangan ekonomis adalah besarnya biaya modal dalam jangka waktu atau


(6)

dalam masa operasi pembangkit. Dalam mempertimbangkan hal diatas, maka dapat ditentukan kelayakan satu teknologi pembangkit dari sisi ekonomi.

2.8. Jenis Pengaman (ACB, MCCB dan MCB) Dan Luas Penampang (Kabel)

Untuk mencegah terjadinya arus hubung singkat atau arus lebih pada setiap salauran instalasi listrik pada pusat perbelanjaan Irian Supermarket Kisaran menggunakan pengaman Air Circuit breaker (ACB), Moulded Case Circuit Breaker (MCCB) dan Mini Circuit Breaker (MCB) dan jenis penampang (Kabel). Untuk jenis pengaman dan penampang beban listrik ini setiap lokasi masing-masing terbagi dalam beberapa kelompok panel listrik di pusat perbelanjaan Irian Supermarket Kisaran.