Sintesis Dan Karakterisasi Baja Feritik Ods (Oxide Dispersion Strengthened) Dengan Variasi Komposisi Cr Dan Waktu Milling

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Baja Oxide Dispersion Strengthened (ODS)
Baja Oxide Dispersion Strengthened merupakan salah satu bahan material
maju yang diproyeksikan untuk digunakan pada sistem yang beroperasi pada suhu
tinggi seperti untuk kelongsong bahan bakar dan struktur reaktor nuklir fisi maju
(Generation IV Reactors), dan struktur reaktor nuklir fusi (Suryanarayana, 2001).
Beberapa jenis baja ODS yang dikembangkan, yaitu ODS austenitik dan
ODS feritik. Baja ODS austenitik merupakan baja Fe-Cr yang dikembangkan dengan
salah satu unsur pemadu adalah logam Nikel (Ni) sekitar 8% untuk membentuk fasa
gamma (γ) sehingga memiliki struktur kristal FCC (Face-Centered Cubic). Material
ini digunakan diantaranya sebagai mata pisau yang digunakan npada turbin gas.
Sedangkan baja ODS feritik merupakan baja Fe-Cr yang dikembangkan tanpa unsur
pemadu logam nikel sehingga memiliki fasa alpha (α) dengan struktur kristal BCC
(Body-Centered Cubic). Baja ODS feritik ini dikembangkan untuk penggunaan
ruang turbin, sensor dan pemanas dengan temperatur tinggi, komponen mesin diesel,
serta komponen sistem energi konversi lanjut. Partikel oksida merupakan partikel
keramik berukuran nano yang didispersikan pada baja ODS. Adapun tujuan dari
penambahan partikel ini yaitu sebagai penahan agar tidak terjadi deformasi ketika

baja ODS diaplikasikan pada temperatur tinggi (Dubiel, 1997).
Proses tersebut dikembangkan dengan teknik sebaran partikel-partikel
oksida halus secara merata pada kisi-kisi bahan. Material dengan teknik sebaran
partikel oksida ini memiliki keunggulan karena partikel-partikel oksida yang tersebar
menjadi impuritas didalam struktur material baja. Partikel-partikel oksida ini
berfungsi sebagai penjepit (pinning) yang menahan gerak dislokasi pada struktur
material baja (Rivai, 2012). Secara umum, penyebaran dispersi dapat memperkuat
logam dengan ikatan matriks, tingkat penguatan itu menjadi fungsi dari ukuran
dispersi, bentuk, jarak, kekerasan atau kekuatan (Shojiro, 1993). Baja ODS hanya
dapat dikembangkan dengan pemaduan mekanik mechanical alloying. Proses ini
dapat menghasilkan material yang homogen serta proses yang dapat dikontrol
sehingga dapat menghasilkan sifat dan karakteristik yang diinginkan (Oksiuta, 2013).

Universitas Sumatera Utara

5

Material ODS memiliki kekuatan yang baik pada suhu kamar maupun suhu
tinggi. Ketahanan material ini pada suhu tinggi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu
dispersi seragam dari partikel oksida yang sangat halus dan stabil pada temperatur

tinggi, menghambat pergerakan dislokasi suatu matriks logam serta meningkatkan
ketahanan paduan terhadap deformasi creep. Fungsi lain dari partikel dispersoid
adalah untuk mencegah proses recovery dan rekristalisasi karena didapatkan butir
ukuran besar yang cukup stabil. Butir besar ini mampu menahan rotasi butir selama
deformasi temperatur tinggi. Ukuran butiran besar yang stabil juga bisa didapatkan
dengan mekanisme rekristalisasi sekunder. (Takaki, 2001).
Distribusi homogen dari unsur paduan selama Mechanichal Alloying
memberikan kestabilan lebih terhadap penguatan larutan padat dan paduan yang
diperkuat oleh endapan pada temperatur tinggi serta keseluruhan peningkatan sifat.
Material yang dipadukan secara mekanik juga memiliki ketahanan baik terhadap
oksidasi dan korosi. Peningkatan ketahanan terhadap serangan sulfida-oksidasi
disebabkan distribusi homogen dari unsur paduan dan peningkatan pelekatan karena
dispersoid itu sendiri. Takaki dkk menemukan partikel oksida yang memberikan
pengaruh pada peningkatan kekuatan terhadap material besi hasil milling yang telah
dikonsolidasi. Menggunakan bubuk besi yang mengandung 0,2% oksigen sebagai
oksida, SiO2. Kandungan oksigen ini meningkat menjadi 0,47% setelah 200 jam
milling akibat kontaminasi dari atmosfer. Kandungan oksigen ini terkait dengan
sekitar 3% dari oksigen. Tanpa partikel oksida, butir dengan ukuran nano pada bubuk
hasil milling akan mengalami pertumbuhan butir yang sangat cepat saat pemanasan
untuk konsolidasi. Dengan pemahaman ini, partikel oksida sangat penting untuk

mendapatkan besi bulk dengan struktur butir ultra halus (Takaki, 2001).

Gambar 1. Citra TEM dari material bulk besi dengan ukuran butir 0,2 µm (a) citra
medan terang, (b) citra medan gelap

Universitas Sumatera Utara

6

2.2 Pemaduan Mekanik (Mechanical Alloying)
Pemaduan Mekanik (Mechanical Alloying) merupakan salah satu teknik
pemaduan untuk mendapatkan serbuk yang sangat halus sampai dengan ukuran nano.
Teknik ini menggunakan energi benturan dari bola-bola penghancur. Sementara itu,
metalurgi serbuk merupakan metode untuk mendapatkan produk dengan melakukan
sintering pada bubuk atau campuran bubuk dibawah titik lelehnya (Kimura, 1999).
Kelebihan dari proses ini ialah cocok untuk material bersuhu tinggi,
keseragaman komposisi, stabilitas dimensi sangat tinggi, kemudahan dalam proses
standarisasi dan otomatisasi, besar butir mudah dikendalikan, mudah dalam
pembuatan produk beberapa paduan khusus yang susah didapatkan dengan proses
pengecoran (casting), porositas produk mudah dikontrol, cocok untuk digunakan

pada material dengan kemurnian tinggi, cocok untuk pembuatan material paduan
dengan matriks logam. Disisi lain, proses metalurgi serbuk memiliki kelemahan,
diantaranya ukuran butir dari kompaksi hasil sintering bergantung pada ukuran
partikel bahan baku yang digunakan, dan porositas biasanya tetap ada pada kompaksi
hasil sintering dan menghasilkan penurunan sifat kekuatan, ketahanan, dan keuletan
(Keyser, 1959).
Jika bubuk yang telah di Mechanical Alloying dijadikan bahan baku
metalurgi serbuk, maka produk sinter yang diperoleh akan memiliki sifat-sifat
mekanik dan performasi yang tinggi. Salah satu aplikasinya yaitu dalam pembuatan
baja yang berkekuatan tinggi dengan struktur butir halus dan mengandung partikel
oksida terdispersi yang terdistribusi secara homogen dalam matriks (Kimura, 1999).
Bahan Baku untuk Mechanical Alloying secara luas terdapat secara komersil
serbuk yang memiliki ukuran butiran kira-kira 1-200 µm. Distribusi dari ukuran dan
area permukaan dari partikel serbuk adalah parameter yang penting dalam
mechanical alloying dan milling. Ukuran-ukuran partikel akan mempengaruhi reaksi
kimia selama proses milling, namun ukuran tidaklah terlalu kritis, asalkan ukuran
material itu haruslah lebih kecil dari ukuran bola grinda. Ini disebabkan karena
ukuran partikel serbuk berkurang dan akan mencapai ukuran mikron walau hanya
setelah beberapa menit di milling. Bahan baku yang termasuk untuk kategori diatas
yaitu material murni, campuran logam, serbuk prealloyed, efactory compound.

Penguatan dispersi material biasanya ditambahkan kabide, nitride, dan oksida.

Universitas Sumatera Utara

7

Oksida merupakan material yang paling umum digunakan dan sering disebut dengan
material ODS. Adakalanya serbuk dimilling dengan media cairan dan dikenal dengan
proses penggilingan basah. Dan jika dilakukan bukan dengan media cairan dikenal
dengan penggilingan kering. Dan telah dilaporkan bahwa kecepatan atmosfer lebih
cepat selama proses penggilingan basah dari pada penggilingan kering. Kerugian dari
penggilingan basah adalah meningkatnya kontaminasi serbuk, maka dari itu proses
mechanical alloying dilakukan dengan pengujian kering (L.Lu, M.O.Lai, 1998).
Selama proses milling terdapat empat tipe gaya yang terjadi pada material
yaitu tumbukan (impact), atrisi (attrition), gesekan (shear), dan kompresi
(compression). Tumbukan berarti benturan dari dua objek yang saling bergerak
ataupun salah satu diantaranya dalam keadaan diam. Atrisi adalah gesekan yang
menghasilkan serpihan. Tipe penghancuran ini biasanya terjadi pada bahan yang
rapuh dan dikombinasikan dengan gaya lain. Gesekan ini berkontribusi terhadap
pemecahan partikel atau penghalusan minimum. Kompresi merupakan gaya tekan

terhadap bagian partikel. Tipe penghancur ini biasanya digunakan pada
penghancuran aglomerasi yang besar dan keras atau bahan yang tidak liat.
Berikut ini tipe-tipe milling berdasarkan pada kapasitasnya, efesiensi
milling, serta pengaturan dingin, panasnya dan lain-lain.
 Plenatary ball mill
Plenatary ball mill (PBM) adalah alat yang sering digunakan untuk mechanical
alloying. Khususnya di Eropa karena Plenatary ball mill bisa memilling seratus
gram dalam satu kali milling. Nama Plenatary ball mill diambil dari seperti
pergerakan planet, dimana prinsip kerja dari Plenatary ball mill adalah
didasarkan pada rotasi relative pergerakan antar jar grinda dan putaran disk.
Ball mill terdiri dari satu putaran disk (kadang disebut putaran meja) dan dua
atau empat mangkok (vial). Putaran disk dalam satu arah sementara itu
mangkok (vial) berotasi pada arah yang berlawanan. Gaya sentrifugal dibuat
dari vial yang mengelilingi sumbunya bersama-sama dengan rotasi arah yang
dipakai oleh serbuk dan bola-bola mill di dalam vial. Campuran serbuk
mengalami penghancuran dan pengelasan dingin dibawah impek energi tinggi.

Universitas Sumatera Utara

8


Gambar 2. Plenatary Ball Mill
 SPEX shaker mills
Shaker Mills seperti SPEX Mills, yang dapat memiling kira-kira 10-20 gr
serbuk dalam satu kali milling, biasanya SPEX Mill digunakan untuk
penelitian di laboratorium, dan untuk tujuan skenering alloy. SPEX
menggerakkan serbuk dan bola-bola pada tiga gerakan yang saling tegak lurus,
kira-kira pada 1200 rpm. Kapasitas wadah bisa mencapai 55 x 10 -6 m3
persamaan pengurangan dan getaran bola-bola mill adalah energy yang tinggi.
Energi milling yang tinggi bisa diperoleh dengan frekuensi yang tinggi dan
amplitude yang besar dari getaran.

Gambar 3. SPEX Shaker Mill di BSBM BATAN
 Attritor mill
Mechanical attritor adalah salah satu proses mechanical paling awal untuk
mensintesis tipe berbeda dari material dalam jumlah yang besar. Metode ini
telah dikembangkan sejak tahun 1970-an sebagai proses industri untuk

Universitas Sumatera Utara


9

membuat alloy yang baru. Batang utama dari attritor pada kecepatan untuk
bertubrukan dengan bola-bola dan menghasilkan energi tubrukkan yang sangat
tinggi antara bola-bola steel dan isi serbuk untuk membiarkan mechanical
alloying terjadi. Attritor yang kecil telah digunakan untuk penelitian

dan

tujuan pengembangan. Biasanya 1 kg campuran serbuk bisa di milling dalam
attritor. Kapasitas maksimum attritor untuk mechanical alloying kira-kira 3,8 x
10-3 m3 dengan batang utama berotasi pada kecepatan 250 rpm. Karena
kecepatan batang yang tinggi, maka kapasitasnya agak terbatas. Kecepatan
penghancuran yang tinggi secara relatif antara batang utama dan bola-bola
steel, dan antara wadah dan bola-bola steel dengan mudah menyebabkan
kontaminasi ke serbuk. Kenaikan temperatur selama proses alloying sederhana
dan diperkirakan kurang lebih 100 sampai 200°C.

Gambar 4. Attritor Mill (L.Lu, M.O.Lai, 1998)


2.3 Mikroskop Optik
Secara umum, prinsip kerja mikroskop optik adalah sinar datang yang
berasal dari sumber cahaya melewati lensa kondensor, lalu sinar datang itu menuju
glass plane yang akan memantulkannya menuju sampel. Sebelum mencapai sampel,
sinar datang melewati beberapa lensa pembesar. Kemudian sinar datang tersebut
sebagian akan dipantulkan kembali, sedangkan sebagian lagi akan menyimpang
akibat mengenai permukaan yang telah terkorosi pada saat pengetsaan. Sinar datang
yang dipantulkan kembali ke mikroskop optik akan diteruskan ke lensa okuler
sehingga dapat diamati. Urutan jalannya sinar pada mikroskop optik dapat pada
Gambar 5.

Universitas Sumatera Utara

10

Gambar 5. Skema perjalanan sinar pada mikroskop optik (Van Vlack, 1992).

2.4 Scanning Electron Microscope (SEM)
SEM (Scanning Electron Microscope) adalah suatu alat yang digunakan
untuk mengetahui


morfologi

atau struktur mikro permukaan dari

suatu

bahan/material. Alat ini dilengkapi dengan detektror disperse energi (EDX) sehingga
dapat digunakan untuk mengetahui komposisi elemen-elemen pada sampel yang
dianalisis. Analisa struktur mikro dilakukan terutama untuk melihat ukuran dan
bentuk partikel yang dihasilkan. Instrument mikroskop electron atau Scanning
Electron Microscopy (SEM) biasa digunakan untuk bubuk yang relatif kasar,
sedangkan untuk yang lebih halus (skala nanometer) digunakan Transmission
Electron Microscopy (TEM). Metode SEM merupaka pemeriksaan dan analisa
permukaan atau lapisan yang tebalnya sekitar 20µm dari permukaan. Hasilnya
berupa topografi dengan segala tonjolan dan bentuk permukaan. Gambar topografi
diperoleh dari penangkapan pengolahan elektron sekunder yang dipancarkan dari
spesimen. Prinsip kerja SEM adalah pemindaian berkas elektron yang seperti
“menyapu” permukaan spesimen, titik demi titik dengan membentuk sapuan garis
demi garis, mirip seperti gerakan mata membaca. Sinyal elektron sekunder yang

dihasilkan adalah dari titik pada permukaan, yang selanjutnya ditangkap oleh
detektor untuk ditampilkan pada layar CRT (TV). Sinyal lain adalah back scattered
electron yang intensifnya bergantung pada nomor atom unsur yang ada pada
permukaan spesimen. Gambar yang didapatkan menyatakan perbedaan unsur kimia.

Universitas Sumatera Utara

11

Dengan warna terang menunjukkan adanya unsur kimia yang lebih tinggi nomor
atomnya. Instrumen SEM juga dilengkapi dengan analisa EDX (Energy Dispersive X
Ray Analyzer) dimana sinar X karakteristik yang diemisikan adalah akibat tumbukan
electron pada atom-atom bahan sampel (Agus Sujatno, 2015).
Komponen utama alat SEM ini pertama adalah tiga pasang lensa
elektromagnetik yang berfungsi memfokuskan berkas elektron menjadi sebuah titik
kecil, lalu oleh dua pasang scan coil discan-kan dengan frekuensi variabel pada
permukaan sampel. Semakin kecil berkas difokuskan semakin besar resolusi lateral
yang

dicapai.

Kesalahan

fisika

pada

lensa-lensa

elektromagnetik

berupa

astigmatismus dikoreksi oleh perangkat stigmator. SEM tidak memiliki sistem
koreksi untuk kesalahan aberasi lainnya. Yang kedua adalah sumber elektron,
biasanya berupa filamen dari bahan kawat tungsten atau berupa jarum dari paduan
Lantanum Hexaboride LaB6 atau Cerium Hexaboride CeB6, yang dapat menyediakan
berkas elektron yang teoretis memiliki energi tunggal (monokromatik), Ketiga adalah
imaging detector, yang berfungsi mengubah sinyal elektron menjadi gambar/image.
Sesuai dengan jenis elektronnya, terdapat dua jenis detektor dalam SEM ini, yaitu
detektor SE dan detektor BSE (Agus Sujatno, 2015).

Gambar 6. Blok diagram SEM
Ketika berkas elektron discan pada permukaan sampel, terjadi interaksi
electron dengan atom-atom di permukaan maupun di bawah permukaan sampel.
Seperti terlihat pada Gambar 7, akibat interaksi tersebut sebagian besar berkas
elektron berhasil keluar kembali, elektron-elektron tersebut disebut sebagai

Universitas Sumatera Utara

12

Backscattered Electrons (BSE), sebagian kecil elektron masuk ke dalam bahan
kemudian memindahkan sebagian besar energi pada elektron atom sehingga terpental
ke luar permukaan bahan, yaitu Secondary Electrons (SE). Pembentukan elektronelektron sekunder selalu diikuti proses munculnya X-ray yang karakteristik untuk
setiap elemen, sehingga dapat digunakan untuk mengukur kandungan elemen yang
ada di dalam bahan yang diteliti (Agus Sujatno, 2015).

Gambar 7. Skema interaksi antara bahan dan elektron di dalam SEM
Proses pembentukan BSE terjadi pada atom-atom di bagian permukaan
sampel yang lebih dalam. Ini disebabkan tumbukan antara elektron dari sumber
dengan inti atom, seperti ditunjukan pada Gambar 8. Karena massa proton yang
membentuk inti hingga 2000 kali lebih besar dari elektron, maka setiap tumbukan
akan menyebabkan terpentalnya sebagian besar elektron ke arah 180 o. Artinya,
sebagian akan dipantulkan kembali ke arah di mana mereka datang yaitu ke luar
permukan bahan. Elektron-elektron BSE ini membawa informasi tentang atom-atom
yang ditumbuknya beserta ikatannya dalam fasa. Sehingga kontras pada image yang
terbentuk dari elektron-elektron BSE dalam batas-batas tertentu dapat dipandang
sebagai kontras fasa (Agus Sujatno, 2015).

Gambar 8. Proses Terbentuknya BSE

Universitas Sumatera Utara

13

Menurut Agus dkk, komposisi unsur dalam sampel paduan adalah 96,9 %Zr,
2,5 %Nb, 0,5 %Mo dan 0,1 %Ge. Pengujian SEM dilakukan dengan JEOL JSM6510LA yang dilengkapi dengan perangkat Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy
(EDS) untuk analisis komposisi kimia. Metode Secondary Electron (SE) dan
Backscattered Electron (BSE) dengan opsi Low-Vacuum dilakukan untuk
mendapatkan kontras yang optimal. Hasil analisa menunjukan bahwa pada kedua
sampel telah tumbuh lapisan oksida berupa ZrO2 dengan ketebalan maksimal 2.4 dan
3.5 mm untuk masing-masing temperatur 500 dan 700oC. Gambar BSE telah
menunjukan batas lapisan dengan jelas, tidak memberikan ruang untuk interpretasi
ganda (Agus Sujatno, 2015).

2.5 X-Ray Diffraction (XRD)
X-Ray Diffraction (XRD) merupakan suatu teknik pengujian yang
digunakan untuk menetukan unsur dan senyawa kimia, struktur kristal, parameter
kisi, volume kisi dan lain-lain. Teknik pengujian ini tidak akan merusak material
yang akan diuji (Smallman Bishop, 2000).
Bila seberkas sinar x mengenai suatu bahan kristalin, berkas ini akan
didifraksi oleh bidang atom dalam kristal tersebut. Berkas sudut difraksi θ tergantung
pada panjang gelombang λ berkas sinar

x dan jarak d antar bidang. Untuk

mendapatkan hukum bragg kita mulai dengan mengasumsikan bahwa tiap-tiap
bidang dari atom secara parsial merefleksikan gelombang datang. Sinar x tidak
benar-benar direfleksikan, tetapi dihamburkan. Pada bidang ini kita menyebutnya
“bidang refleksi” dan gelombang pantulan disebut dengan “gelombang refleksi”,
puncak-puncak yang terlihat dalam pola difraksi sinar x disebut refleksi.
Berdasarkan

gelombang-gelombang

yang

terdifraksi

Gambar

2.9.

Diasumsikan bahwa sudut yang terbentuk adalah sama, θ pada bidang atom yang
dikenai gelombang datang. Patokan untuk keberadaan gelombang yang terdifraksi
adalah adanya hamburan (“yang terefleksikan”) sinar x akan melewati garis
gelombang seperti BB’. Panjang antara garis AA’dan BB’ haruslah berbeda bilangan
bulatnya (n) dari panjang gelombang. Oleh karena itu perbedaannya, δ haruslah
δ=nλ

(2.3)

Universitas Sumatera Utara

14

Dimana n adalah bilangan bulat. Dan ketika CC’ dan CD (Gambar 9)
terbentuk, kita dapat menuliskan sebagai berikut :
δ = DE + EC’ = 2EC’

(2.4)

Dari trigonometri dasar, kita peroleh hasil sebagai berikut
δ = 2CE sin θ

(2.5)

dan karena CE adalah jarak interplanar d’ dapat ditulis sebagai berikut
δ = 2 d’ sin θ

(2.6)

dengan menggabungkan persamaan (2.3) dan (2.6), kita mendapatkan
n λ = 2 d’ sin θ

(2.7)

Persamaan ini dikenal sebagai Hukum Bragg dan sangat penting dalam
memberikan indeks saat melihat pola difraksi sinar x. Parameter n dikenal sebagai
urutan dari refleksi dan disinilah perbedaannya, pada nomor dari panjang gelombang
diantara atom-atom yang terdekat pada bidang seperti pada persamaan (1). Urutan
pertama refleksi terjadi ketika n = 1 hamburan dan panjang datang mempunyai
perbedaan panjang gelombang. Kita dapat menuliskan kembali persamaan (2.7)
sebagai berikut :
λ=

2 d ′ sin θ

(2.8)

dimana didefinisikan pada Gambar 9 dibawah ini, d’ sesuai dengan jarak antara
bidang (hkl) dan d/n sesuai dengan jarak antar bidang (nh nk nl). Jadi kita dapat
menganggap refleksi terbesar pada refleksi urutan pertama pada jarak 1/n dengan
jarak sebelumnya. Dengan mengatur d = d’/n dan mensubstitusikan ke persamaan
(2.7), kita dapat menuliskan Hukum Bragg menjadi :
λ = 2 d sin θ

(2.9)

Gambar 9. Difraksi Sinar X Oleh Kristal (Van Vlack, 1992)

Universitas Sumatera Utara

15

2.6 Uji Kekerasan
Kekerasan merupakan ukuran ketahanan material terhadap deformasi tekan.
Deformasi yang terjadi dapat berupa kombinasi perilaku elastis dan plastis. Pada
permukaan dari dua komponen yang saling bersinggungan dan bergerak satu
terhadap lainnya akan terjadi deformasi elastis maupun plastis (E. J Bradburry,
1991). Deformasi elastis kemungkinan terjadi pada permukaan yang keras,
sedangkan deformasi plastis terjadi pada permukaan yang lebih lunak. Efek
deformasi tergantung pada kekerasan permukaan material (Dahlan, 2000).
Kekerasan suatu bahan (baja) dapat diketahui dengan pengujian kekerasan
memakai mesin uji kekerasan (hardness tester) menggunakan tiga metoda atau
teknik yang umum dilakukan yaitu metoda Brinell, Rockwell dan Vickers (Callister,
2000, Dieter, 1996).

Gambar 10. Teknik pengujian kekerasan (Callister, 2000)

2.6.1 Uji Kekerasan Brinell
Pengujian kekerasan Brinell menggunakan penumbuk (indentor/ penetrator)
yang terbuat dari bola baja. Metode ini dilakukan dengan cara bahan diindentasi
dengan indentor pada permukaan benda uji dengan beban tertentu kemudian diukur
bekas penekanan yang terbentuk (Callister, 2000). Bekas indentasi pada kekerasan
Brinell memberi keuntungan pada material yang tidak homogen sehingga beban yang
diterima lebih merata misalnya pada paduan Aluminium. Selain itu, kekerasan

Universitas Sumatera Utara

16

Brinell juga tidak begitu dipengaruhi oleh goresan dan kekasaran permukaan
dibanding dengan uji kekerasan yang lain (Dieter, 1996).

2.6.2 Uji Kekerasan Vickers
Kekerasan Vickers adalah gaya persatuan luas penampang yang merupakan
bekas dari tekanan mesin Vickers yang berbentuk piramida, yang terbuat dari
penekan intan dengan alas bujur sangkar dengan sudut puncak 136°.
Kekerasan Vickers = 1,8544 �
= 1,8544

2









…………………………………………………….…………....(2.2)

Dengan : F = Gaya Beban (N)
d = Luas penampang indentasi penekanan (m2)
Pengujian kekerasan dilakukan dengan alat Vickers Hardness Tester. Skema
pengujiannya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 11. Indentasi dari penetrator (Van Vlack, 1992)

Keterangan :

a = Diagonal Horizontal
b = Diagonal Vertikal

Nilai kekerasan berkaitan dengan kekuatan luluh atau tarik logam. Hal ini
disebabkan selama identasi (penjejakan) logam mengalami deformasi sehingga terjadi
regangan dengan persentase tertentu. Nilai kekerasan Vickers didefinisikan sama dengan
beban dibagi luas jejak piramida (identor) dalam kg/mm2 dan besarnya kurang lebih tiga
kali besar tegangan luluh untuk logam-logam yang tidak mengalami pengerjaan
pengerasan. Bahan yang digunakan untuk identor adalah Intan. Intan merupakan bahan
yang mempunyai tingkat kekerasan paling tinggi. Keras lunak permukaan material
logam disetiap lokasi penjejakan akan berbeda-beda karena faktor kehalusan permukaan,

Universitas Sumatera Utara

17

porositas, jenis perlakuan, dan perbedaan unsur-unsur paduan. Diagonal jejakan (d) yang
lebih panjang pada suatu material uji memberikan pengertian bahwa nilai kekerasan
material rendah, sebaliknya diagonal jejakan yang lebih pendek memberikan pengertian
bahwa nilai kekerasan material tinggi. Makin besar beban, diagonal indentasi (d) makin
besar pula. Hal ini tentu saja terkait dengan ketahanan material terhadap deformasi yang
dilakukan indentor (Hadijaya, 1992).

2.6.3 Uji Kekerasan Rockwell
Uji kekerasan Rockwell sering dipakai untuk meterial yang keras. Hal ini
disebabkan oleh sifat-sifatnya yaitu cepat, bebas dari kesalahan manusia, mampu
untuk membedakan perbedaan kekerasan yang kecil pada baja yang diperkeras, dan
ukuran lekukannya kecil, sehingga bagian bagian yang mendapatkan perlakuan panas
yang lengkap, dapat diuji kekerasannya tanpa menimbulkan kerusakan. Prinsip
pengujian pada metoda Rockwell adalah dengan menekankan penetrator ke dalam
benda kerja dengan pembebanan dan kedalaman indentasi akan memberikan harga
kekerasan yaitu perbedaan kedalaman indentasi yang didapatkan dari beban mayor
dan minor (Callister, 2000).
Pengujian kekerasan dengan metode Rockwell bertujuan menentukan
kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap benda uji
(spesimen) yang berupa bola baja (HRB) ataupun kerucut intan (HRC) yang
ditekankan pada permukaan material uji tersebut. Pengukurannya dapat dilakukan
dengan bantuan sebuah kerucut intan dengan sudut puncak 120º dan indentor (Hera
Setiawan).

Gambar 12. Pengujian kekerasan dengan metoda Rockwell (Callister, 2000)

Universitas Sumatera Utara