Partai Islam dan Pembangunan Politik

PARTAI ISLAM DAN PEMBANGUNAN POLITIK DI INDONESIA
Oleh :
Zulfikar
12101030100lima8

Sejarah telah mencatat perjalanan pemilu di Indonesia sejak pertama kali digelar
tahun 1955 hingga saat ppemilu terakhir tahun 2014, Indonesia telah melaksanakan 11 kali
pemilu. Partai yang berorientasi Islam tidak pernah absen mengikuti pemilu. Pemilu pertama
yang dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955. Masyumi dan PNI memenangkan
pemilu DPR dengan memperoleh masing-masing 57 kursi, sedangkan di Konstituante
Masyumi memperoleh 112 kursi dan PNI memperoleh 119 kursi. Urutan selanjutnya
ditempati oleh NU dengan 45 kursi DPR dan 91 kursi di Kontituante, PKI 39 kursi DPR dan
80 kursi Kontitunate, PSII memperoleh 8 kursi DPR dan 16 kursi Konstituante. Dari semua
partai berasaskan Islam total meraih sebesar 45,13 % suara di DPR atau 116 Kursi.
Sedangkan di Konstituante sebesar 44,74 %, atau

230 kursi dari 514. ( Sumber:

http://www.kpu.go.id diakses 23 Desember 2015 )
Masalah isu politik yang paling mengemuka di Partai Islam pada saat itu adalah
persoalan idiologi yaitu Islam sebagai dasar negara, Sedangkam paratai nyang beraliran

nasionalis menginkan sebaliknya. Hal itu terjadi karena memang pada saat itu sedang
diperdebatkan tentang Konstitusi Indonesia di Konstituante. Namun perdebatan mengenai
dasar Negara tidak membuahkan hasil karena kekuatan Islam dan Nasionalis memiliki
kekuatan yang seimbang sehingga tidak mencapai jumlah 2/3 yang dibutuhkan sebagaimana

yang ditentukan dalam UUDS 1950,hingga terjadi kebuntuan dan akhirnya pada tahun 1959
Presiden Soekarno yang berideologi Nasional mengeluarkan dekrit dengan kembali ke UUD
1945.( Taufik dan Syamsu, 2004 : 61). Sehingga Pengaruh partai terus melemah
pengaruhnya, lebih-lebih setalah Soeharto berkuasa dengan memberlakukan asas Tunggal
Pancasila hingga berkahir tahun 1998 setelah Soeharto jatuh.
Partai Islam Setelah Reformasi
Enam agenda reformasi

dibawah kepemimpinan B.J. Habibie,walaupun masih

dianggap gagal ( , setidaknya telah ada kebebasan politik, kebebasan pers serta
pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme telah membuka keran demokrasi ini dengan
seluas-luasnya yaitu dengan membuka dan menjamin kebebasan pers serta membebaskan
berdirinya partai-partai politik yang baru. Partai politik tidak diharuskan berasakan
sebagaimana pada masa Soeharto .

Hasil Pemilu tahun 1999 dari enam partai Islam memperolaeh 156 dari 462 kursi (
Sumber : kpu.go.id diakses 23 Desember 2015) . Sehinga partai Islam saat mempunyai
posisis kuat yang memunculkan kembali isu tetantang piagam Jakarta namun kerena ada
perbedaan pandangan di dalam pertai Islam semisal antara PBB dan PKB sehingga sampai
tahun 2002 perubahan keempat UUD 1945, tidak berhasil mengubah dasar negara
sebgaimana dalam Piagam Jakarta.
Namun pada pemilihan Presiden dimana saat itu Presiden masih dipilih oleh MPR,
partai-partai Islam memiliki pandangan yang sama. Hal ini dapat dilihat pada saat terpilihnya
Presiden Abdurrahman Wahid pada Sidang Umum MPR tahun 1999. Hal itu hanya bisa
dicapai dengan kemampuan konsolidasi internal dari partai-partai Islam agar dapat
mengorganisir, memobilasi, merumuskan serta menyuarakan kepentingan-kepentingan

ummat islam dengan lebih baik. ( Sumber : hamdanzoelva.wordpress.com di akses23
Desember 2015)
Partai Islam di Indonesia dewasa ini ada beberpa persoalan yang dihadapi pertama
partai Islam cenderung telah kehilangan nilai ideologisnya, proses pembanunan tidak tertuju
pada basis ideologi namun cenderung pada perkembangan politik, dimana hampir sama
dengan partai Nasionalis. Kedua, tokoh tokoh dari partai Islam telah kehilangan wibawanya,
dengan ada beberapa persoalan hukum yang menimpa beberapa petingtingi partai. Ketiga,
sulitnya partai Islam bersatu, lebih mengejar kekuasaan dari mempurjuangkan ideologi Islam

dapat dilihat dari terbelehnya partai Islam sebelim pilpres 2014. Keempat, tidak ada tokoh
sentral yang mampu menyatukan konsepsi dari partai partai tersebut.
Penulis berkesimpulan posisi partai Islam dalam pembangunan politik di Indonesia
masih sangat kuat pengaruhnya, walaupun harus diakui partai Islam masih kalah jika
dibandingkan dengan partai Nasionalis seperti Golkar, PDI Perjunngan, Gerindra, serta
Nasdem. Kelemahan partai Islam terletak karena adanya perbedaan pandangan pada hal-hal
yang masih ada khilafiyah di kalangan fukaha Islam, namun pada tingkat yang tidak ada
khilafiyah partai Islam dapat bersatu. Pengaruhnya dapat dilihat setidaknya dalam tiga aspek,
bentuk negara, kelembagaan, dan regulasi. Pertama, Bentuk negara setidaknya Indonesia
tidak menjadi negara Sekuler walaupun bekan negara Islam. Kedua, masih ada pengkuan
eksistensi organisasi Islam sperti MUI dimana Pemerintah sering meminta fatwanya
walaupun tidak menjadi hukum positif, adanya Kementerian Agama, Pengadilan Agama.
Ketiga, secara regulasi, terdapat berapa Undang-Undang yang sangat earat dengan
kepntingan Islam sperti : Tentang Perkawinan, Tentnag Perbankan Syariat, UU Jamaaina
Produk Halal, Pengelolaan Keungan Haji, pengakuan terhadap pemberlakukan Syariat Islam
di Aceh, desain pembangunan politik tersebut tidak bisa lepas dari pengaruh partai Islam
baik diparleman ataupun di pemerintahan.

DAFATR PUASTAKA


Amal, Taufik Adnan. Panggabean, Syamsu Rizal. 2004. Politik syariat Islam: dari Indonesia
hingga Nigeria, Jakarta : Pustaka Alvabet
www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2015/8/PEMILU-1955/MzQz
https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/10/13/partai-politik-islam-dalam-peta-politikindonesia/