Liberalisme Reinhold Niebuhr dan John Ra
Naomi Resti Anditya 1
14/364286/SP/26076
Liberalisme Reinhold Niebuhr dan John Rawls
Dalam teori politik internasional, Reinhold Niebuhr dan John Rawls dikenal memiliki
kontribusi pemikiran yang besar. Niebuhr menjadi ‘bapak’ dari realisme Kristen, sedangkan
Rawls seorang filsuf politik liberal dan kosmopolitan. Dalam perjalanan pemikiran kedua tokoh
tersebut, pandangan mereka terhadap filsafat politik tidak selalu dapat didefinisikan dengan
mudah. Dari satu tulisan ke tulisan lain, selalu ada celah-celah yang masih dapat diperdebatkan
konsistensinya, sehingga acapkali dalam diskusi-diskusi kelas, mereka tidak lepas dari label
‘pragmatis’ karena berusaha menyesuaikan dengan ideal yang mereka junjung dengan praktik
dalam kehidupan. Tulisan ini hendak menggali pandangan dari Niebuhr yang pada titik tertentu
menggenggam liberalisme, sedangkan Rawls sebagai liberal dapat beranjak dari sekadar
menjelaskan tentang rasionalitas. Pengalaman mereka sebagai seorang Amerika membuat
mereka terekspos dalam aspek-aspek liberalisme dan eksepsionalisme Amerika. Pertanyaan akan
mengeksplorasi seputar nilai-nilai liberalisme yang mereka (tidak sadari) kemukakan. Menggali
pandangan liberal dari kedua tokoh ini penting sebagai sebuah alternatif dari politik praktis
liberal yang berkembang sekarang ini, far right, yang memberikan lokus bagi ultranasionalisme
dan neokonservatisme. Kritikan yang dibuat oleh Niebuhr terhadap liberalisme, misalnya,
sebenarnya justru hendak menguatkan dan menopang prinsip-prinsip liberal dalam liberalisme.
Tulisan ini merujuk pada beberapa tulisan Niebuhr dan Rawls, serta beberapa jurnal yang telah
mengkaji tulisan masing-masing dengan lebih elaboratif.
Liberalisme dalam tulisan ini tidak akan dijelaskan berbagai spektrumnya secara detil,
melainkan fokus ke beberapa poin penting yang juga dibahas dalam tulisan-tulisan kedua tokoh
tersebut, yaitu: 1) pandangan progresif tentang sifat manusia, 2) pluralism, kebebasan dan barang
sosial dan 3) persaudaraan manusia di level internasional. Liberalisme yang dimiliki oleh kedua
tokoh tidak selalu dapat dikategorikan secara pasti, apakah liberalisme itu modern atau klasik.
Akan tetapi corak keduanya memberikan variasi terhadap pandangan liberalisme yang dianggap
usang dan acapkali, naif.
Liberalisme Reinhold Niebuhr
Niebuhr adalah seorang teolog, pendeta, ahli etika, fisulf politik, politisi Jerman yang
tinggal di Amerika. Dalam lingkungan akademik, ia dikenal sebagai seorang realis modern, dan
Naomi Resti Anditya 2
14/364286/SP/26076
pemikirannya dikenal luas sebagai Christian realism. Kategori ini diberikan kepadanya karena
dalam berbagai tulisannya, ia selalu mengkritik liberalisme, budaya Amerika, dan kadangkadang modernitas. Akan tetapi, Paul Rozen merujuknya sebagai “salah satu santo dalam
liberalisme Amerika” yang “mendapatkan pujian dalam komunitas liberal Amerika”, dan di saat
yang sama, Hans Morgenthau, seorang realis kenamaan, juga memujinya sebagai “salah satu
pemikir politik paling penting setelah Calhoun” [CITATION Cho87 \l 1033 ]. Sumbangsih
Niebuhr dalam politik, terutama bagi politik Amerika yang iklimnya saat itu didominasi oleh
perang, adalah salah satu yang paling diapresiasi, sekaligus paling banyak diperdebatkan
dipertanyakan.
Realisme Niebuhr menjadi unik karena yang terlihat sebenarnya bukan murni realisme,
melainkan sebuah opini dan penjelasan yang “realistis”—tentu saja semua aliran pemikiran ingin
menjadi yang paling realistis—dengan menggunakan metodologi dialektika Hegel dan Marx
[ CITATION Tho07 \l 1033 ]. Dialektika teologi Niebuhr menekankan perlunya orang Kristen
untuk melihat kepada transendensi Tuhan dan superioritas-Nya (outside), tetapi juga
menempatkan diri secara relevan dalam budaya modern saat ini (inside). Dialektika antara
outside dan inside inilah yang dimaksudnya dalam “Kekristenan profetik”—jawaban atas
pertanyaan etis tentang kehidupa orang Kristen dalam budaya modern yang sekuler. Hal ini
penting untuk diketahui sebagai pengantar tentang pandangan Niebuhr mengenai karakter
manusia. Menurutnya, sifat alami manusia adalah potensinya untuk menjadi berdosa dan jahat,
bukan jahat secara inheren. Keberdosaan manusia adalah ketika ia menolak superioritas Tuhan
dan menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Dosa bukan hanya masalah keegoisan (selfishness).
Manusia dapat bebas dari ambisi ini ketika mereka diberikan free will, tetapi Niebuhr pun
menyadari bahwa free will dapat berujung pada kebaikan atau kejahatan [ CITATION Kev05 \l
1033 ]. Hal yang penting untuk digarisbawahi adalah manusia secara individu dapat mencapai
kebaikan. Ia menarik sebuah gagasan yang realistis dan tidak deterministik, membuatnya seorang
utopis moderat. Kepercayaannya akan sebuah gagasan ideal dan kesempurnaan sifat manusia ada
dan mungkin untuk dicapai. Manusia tidak berada dalam ketiadaan harapan (hopelessness).
Dalam hal ini, sebenarnya Niebuhr dapat masuk ke dalam kamp liberal yang melihat progres
dalam sejarah manusia, tetapi tidak pula tidak mengindahkan potensi manusia untuk berbuat
buruk karena manusia memang berdosa [ CITATION McW62 \l 1033 ].
Naomi Resti Anditya 3
14/364286/SP/26076
Niebuhr dijuluki sebagai seorang “teolog yang paling sekuler” dan menjadi salah satu
bapak pertama dalam gerakan ekumenis (keutuhan ciptaan). Ia percaya bahwa suatu
pemerintahan haruslah terbuka dan pluralis, serta menjunjung tinggi toleransi. Dalam banyak
kritikan terhadapnya, pluralisme dan toleransi dianggap sebagai etika yang membuat manusia
tidak memiliki prinsip. Niebuhr menghidupkan gagasan kerendahan hati (humility) untuk
membalas kritikan tersebut, yaitu dengan mengatakan bahwa setiap individu, juga negara harus
memiliki toleransi menerima bahwa prinsipnya bukanlah yang paling benar, sedangkan nilai
kerendahan hati penting untuk dimengerti; mengakui bahaya akan ada godaan terhadap dosa dan
penyalahgunakan demi kepentingan egoistis [ CITATION Kev05 \l 1033 ]. Prinsip-prinsip ini
juga merupakan sebuah pandangan seorang liberal, bukan kamp realisme yang menekankan sifat
egois dan legitimasi akan sebuah absolutisme moral.
Niebuhr memang mendapatkan banyak pengaruh dari Marx, bahkan secara eksplisit
menyebut dirinya “Christian Marxian”—seperti Marx mendapatkan pengaruh dari banyak realis,
begitu pula sebaliknya—tetapi Niebuhr mengkritik Marx pula. Baginya, dosa merupakan sesuatu
yang universal. Kapitalis dan proletar, keduanya tidak terlepas dari dosa, dan tidak ada yang
menjadi pendosa lebih besar secara natur. Kapitalis lebih bersalah atas kecongkakannya di
hadapan Tuhan dan ketidakadilan yang mereka lakukan terhadap yang lebih lemah. Oleh karena
itu, kekuatan kapitalis harus dibatasi [ CITATION Kev05 \l 1033 ]. Argumen ini menjadi basis
moral dari sebuah negara liberal, dan menjadi pengakuannya bagi negara kesejahteraan (welfare
state) Amerika saat itu.
Kebebasan juga menjadi topik penting yang membuat Niebuhr pada titik tertentu adalah
seorang liberal dengan pandangan yang lebih realistis. Ia berargumen bahwa masyarakat yang
lebih advance adalah masyarakat yang memungkinkan kebebasan (freedom). Sebenarnya
masyarakat yang paling ideal adalah yang ditopang oleh nilai-nilai cinta (love), tetapi karena
keterbatasan manusia, maka love lebih sulit dicapai, meskipun ia percaya bahwa nilai ini—terkait
dengan transendensi Tuhan—tetap harus ada agar manusia tetap berusaha mencapainya.
Freedom lebih realistis, tetapi freedom juga menjadi prasyarat dari love karena love tidak boleh
dilakukan atas dasar koersi. Sedangkan masyarakat dengan nilai-nilai keadilan (justice) adalah
yang paling mudah diwujudnyatakan [ CITATION Rei60 \l 1033 ]. Gagasan mengenai justice ini
berkaitan dengan pandangannya yang kontraktarian dalam pembentukan negara, seperti
pandangan liberal. Apakah ia setuju mengenai “state of war” masih ambigu, tetapi bagi Niebuhr,
Naomi Resti Anditya 4
14/364286/SP/26076
konflik menjadi mungkin karena keberdosaan manusia. Oleh karena itu, negara ada untuk
menyalurkan konflik menjadi lebih tidak berdarah-darah dan menggunakan cara-cara yang lebih
beradab melalui hukum. Oleh karena itu, sebenarnya masyarakat politik selalu undesirable dan
ambigu. Dalam tulisannya, The Children of Light, ia setuju memilih demokrasi pluralis dan
keterbukaan karena ia mengaburkan diskriminasi dalam koersi yang dilakukan negara—keadilan
positif [ CITATION McW62 \l 1033 ]. Sekali lagi ia menunjukkan persetujuannya terhadap
tujuan liberal dalam kebijakan sosial.
Sepanjang karirnya, Niebuhr berada dalam iklim perang, mulai dari Perang Dunia I,
Perang Dunia II, hingga Perang Vietnam. Dalam perjalanannya bersama perang-perang ini, para
pembacanya melihat pandangannya yang berubah. Saat 1920an pasca-PD I, ia mendukung
pasifisme, tetapi pada tahun 1940an, saat PD II, ia menjadi lebih realistis dalam memandang
penggunaan power, kemudian ia mengkritik pasifisme. Bahkan Niebuhr dengan enggan setuju
pemimpin Kristen untuk mendukung kaum proletar menggunakan kekerasan untuk melawan
kapitalisme apabila memang diperlukan. Menurutnya, pasifisme menunjukkan masalah, yaitu
ilusi teologi dan budaya: orang Kristen hidup dalam para liberal modern bahwa hukum cinta
dapat menjadi pedoman moral dan politik. Baginya, netralitas berbahaya dan untuk mencapai
kebaikan yang lebih besar, maka power dibutuhkan [ CITATION Tho07 \l 1033 ]. Di titik ini,
Niebuhr memang terlihat lebih realis. Akan tetapi, argumennya tentang power tidak lantas
membuatnya mendukung penggunaan power berlebihan oleh Amerika Serikat. Dalam ide-ide
politik luar negeri, Niebuhr banyak mengkritik Amerika. Ia mengingatkan lagi bahwa sebuah
negara harus memiliki kerendahan hati (humility) atas bahaya dari kebangaan bangsa. Ia sangat
menekankan “supreme act of ethical and collective instrospection on the past of America’s
citizenry and foreign policy leadership”. Di titik ini, banyak orang melihat Niebuhr sebagai dove
dalam pandangan politik luar negerinya, juga ketika ia menyatakan ketidaksetujuannya atas
Vietnam [ CITATION Kev05 \l 1033 ]. Catatan ringan, ia mengkritik bahwa Amerika perlu
‘mengerjakan’ kebijakan luar negerinya dengan lebih baik, karena yang terlihat dari sikap
Amerika justru bukan demokrasi dan kebebasan tetapi Coca Cola dan Hollywood.
Kembali lagi kepada power, yang membuat Niebuhr menjadi realis tetapi tidak
meninggalkan prinsip liberal adalah gagasannya bahwa pencarian power dalam politik
internasional selalu relevan; tidak mungkin terhindarkan; bahkan cenderung menguntungankan,
selama negara mencari power untuk meningkatkan kebebasan nasional, seperti gagasan
Naomi Resti Anditya 5
14/364286/SP/26076
Jefferson. Ia menawarkan teori bahwa setiap orang yang menjadi bagian dari sebuah negara akan
dibatasi kebebasannya demi stabilitas negara, maka negara, dalam konteks internasional, harus
mencari power untuk membuat penduduknya lebih bebas dari sebelumnya [ CITATION
McW62 \l 1033 ]. Negara mencari power untuk meningkatkan national freedom—gagasan ini
terlihat realis tetapi Niebuhr menolak ide mengenai Leviathan dalam kontestasi power
internasional, ia masih seorang Kantian, dalam arti manusia dalam negara adalah ends, bukan
means dari pencarian power.
Gagasan terakhir yang tidak kalah penting dari Niebuhr adalah brotherhood of man.
Konsep kerja sama seperti ini tentu menjadi ciri khas mendasar dari liberalisme. Meskipun
dikenal sebagai realis, namun Niebuhr membuat perbedaan antara dirinya realis klasik lain. Di
antara survival dan liberty, Niebuhr memilih yang kedua. Lebih jauh lagi, ia lebih memilih
adanya pluralism dari pusat kekuasaan dunia, daripada satu kekuatan tunggal. Negara-negara di
dunia harus menerima perubahaan, keterbukaan, juga termasuk konflik dan keseimbangan.
Bahkan Balance of Power tidak dapat mencegah terjadinya perang, tetapi adanya BoP lebih baik
daripada satu kekuatan tunggal [ CITATION McW62 \l 1033 ]. Pandangan yang sangat liberal
terlihat ketika Niebuhr menjunjung tinggi adanya brotherhood of man atau fraternity, yaitu
konsep persaudaraan di dunia. Namun menurutnya, fraternity baru akan tercapai ketika
semuanya setara. Ia menerima konsep federasi dunia (world federation), karena itu lebih baik
daripada imperium dunia (world empire). Niebuhr lama dikenal sebagai penolak imperium sama
sekali, seperti ia juga enggan dengan imperium Amerika. Pandangannya mengenai ekonomi
tidak dapat didefinisikan dengan mudah, namun ia menganggap bahwa planned justice dan
laissez-faire sama-sama legitim. Artinya, ia mengamini sistem ekonomi yang liberal, baik
dengan intervensi negara maupun sedikit intervensi.
Liberalisme John Rawls
Selama diskusi di dalam kelas, John Rawls masuk dalam kategori kosmopolitanisme atas
pemikirannya tentang politik internasional. Dalam teori politik, John Rawls mudah dikategorikan
sebagai seorang liberal. Tulisan-tulisannya menekankan pentingnya pluralisme, konsensus, dan
keadilan distributif. Bill Clinton menyebutnya “the greatest political philosopher of the
twentieth century” yang telah membangkitkan keyakinan seluruh generasi Amerika terhadap
Naomi Resti Anditya 6
14/364286/SP/26076
demokrasi, dan kerap mengundangnya ke White House. Pemikiran-pemikiran John Rawls
memang mengkonsolidasi liberalisme Amerika Serikat.
Magnus opus miliknya, A Theory of Justice (setelah ini menggunakan TJ) menjadi
rujukan banyak orang sebagai ‘cara’ atau metodenya sampai pada kesimpulan justice as fairness.
Ia berangkat dari pengalamannya melihat ketimpangan, diskriminasi, dan masalah sosial lainnya
di negara modern, kemudian membuat hipotesis bahwa ketimpangan ini kerap kali disebabkan
oleh manusia yang tidak dapat menempatkan dirinya dalam “sepatu” orang lain. Ia pun
menemukan ‘alat’ untuk dapat mencari tahu keadilan seperti apa yang benar-benar adil bagi
semua orang, dan alat itu bernama veil of ignorance. Ketika posisi asali seseorang ditutup oleh
veil of ignorance—sehingga orang berada dalam keadaan sebelum ‘birth lottery’; tidak memiliki
pengetahuan akan dilahirkan dalam kondisi-kondisi seperti apa—dan ditanya keadilan seperti
apa yang mereka inginkan, menurutnya setiap orang akan sampai pada dua prinsip keadilan:
institusi politik yang legitim harus memberikan hak-hak kebebasan dasar seluas dan sebanyak
mungkin, dan mengatur ketimpangan sosial dan ekonomi hingga menciptakan suasana kondusif
bagi persamaan kesempatan dan pengembangan maksimal kondisi sosioekonomi masyarakat
yang lebih tidak beruntung. Artinya, negara harus memberikan ruang kebebasan sebanyak dan
seluas mungkin bagi masyarakat, termasuk hak untuk berbicara, hak untuk ber-media, bahkan
hak dan kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan ekonomi, tetapi membuat kondisikondisi tersebut menjadi ‘keadaan terbaik’ masyarakat yang lebih tidak beruntung. Ia tidak
menafikan bahwa ketimpangan akan selalu ada, begitu pula dengan ketidaksetujuan, karena
pluralisme manusia di dunia, tetapi masyarakat dapat sampai pada keadilan dan tidak harus
meninggalkan konflik politik karena perbedaannya. Mudah untuk melihat bahwa TJ menjadi
basis moral praktis bagi negara-negara liberal. Meski mendasar, namun tidak semuanya mudah
untuk diterapkan.
Liberalisme Rawls terlihat mengakar tidak hanya pada politik praktis, tetapi juga dari
filsaftnya. Seperti yang telah dikenal luas bahwa liberalisme tidak hanya melihat perfectibility
dalam sifat manusia, tetapi juga penekanan bahwa setiap manusia adalah rasional. TJ
menunjukkan premis mendasar Rawls bahwa dalam keadilan paling rasionalnya, manusia akan
memilih dua prinsip keadilan yang telah disebutkan. Rawls sendiri mengklaim bahwa TJ
mungkin adalah “salah satu, atau bagian yang paling penting dari rational choice theory”. Rawls
mengabstraksi rasionalitas umum sedemikian rupa untuk sampai pada kesimpulan dalam TJ. TJ
Naomi Resti Anditya 7
14/364286/SP/26076
sendiri, meskipun jenius, mendapatkan banyak kritikan yang biasa memojokkan Rawls sebagai
orang arch-rationalist dan kurang mengeksplorasi kualitas manusia. Akan tetapi pandangan
Rawls tentang sifat manusia yang progresif dapat ditelusuri melalui premisnya ini. Menurutnya,
pilihan rasional manusia tentang keadilan memiliki otoritas normatif karena kompatibilitasnya
dengan penalaran (exercise of reason) dan karakter psikologis emosi manusia yang rumit.
Pilihan-pilihan terhadap keadilan ini menyatakan independensi manusia atas keadaan-keadaan
aksidental dari dunia kita, tetapi juga menunjukkan simpati alami dengan orang lain,
menunjukkan kerentanan atas perasaan sesamanya. Bagi Rawsl, kemudian, pada dasarnya
manusia selalu menginginkan sesamanya berada dalam keadaan terbaik tetapi juga tidak
meninggalkan kepuasan dirinya. Di titik inilah Rawls tidak hanya berbicara tentang keadilan
yang mengesampingan sifat alami manusia, karena ia berbicara tentang sentimen moral, bahkan
Rawls juga hendak mengatakan bahwa rezim liberal selalu telah memperhatikan dimensi afektif
dari kewarganegaraan ini [ CITATION Bar15 \l 1033 ].
Tidak hanya sentimen moral terhadap orang lain, tetapi Rawls juga menekankan tentang
self-respect untuk menunjukkan perasaan aman bahwa setiap kehidupan manusia memiliki arti.
Dalam dimensi relasional, self-respect berarti kemanusiaan dan perbuatan kita diapresiasi dan
dikonfirmasi oleh orang lain yang memiliki kepercayaan diri yang sama. Apabila kita tidak
mendapatkan apresiasi sedemikian rupa, hampir tidak mungkin bagi kita untuk mempertahankan
keyakinan bahwa mereka pun berguna. Pengakuan mutual ini menunjukkan bahwa setiap
manusia selalu ingin dinilai setara [ CITATION Bar15 \l 1033 ].
Mengenai pandangan liberal Rawls tentang kebebasan, pluralisme, serta social good
sudah cukup eksplisit dalam tulisan-tulisannya. Ia selalu berangkat dari pertanyaan tentang
pluralitas yang selalu diakuinya dan bagaimana negara harus mengatur pluralisme ini. Rawls
selalu mengajak masyarakat Amerika untuk dapat menoleransi perbedaan pandangan iman (tidak
selalu tentang agama, tetapi pandangan apapun tentang sebuah standar moralitas), bahkan dalam
bukunya Lectures on the History of Moral Philosophy (2000), ia mencoba merespon perdebatan
tua tentang liberalisme dan agama dengan memberikan alasan-alasan bahwa, jauh dari antithesis
dari kebebasan, agama bisa menjadi basis dari penghargaan kita terhadap kebebasan, hal yang
membuat penghormatan kita menjadi rasional [ CITATION Ber02 \l 1033 ].
Rawls juga sangat tidak memiliki masalah dengan adanya kelas-kelas dalam ekonomi.
Menurutnya, kelas-kelas itu tidak dapat dihindarkan, karena struktur dasar institusi
Naomi Resti Anditya 8
14/364286/SP/26076
menyebabkan, mengukuhkan, dan menentukan—sedikit banyak sebelum munculnya—struktur
kelas [ CITATION Sne76 \l 1033 ]. Gagasan ini masih berada dalam perdebatan panjang, tetapi
dapat diketahui bahwa Rawls berpikir pluralisme dalam ekonomi akan selalu ada karena struktur
dari institusi. Hal yang lebih diperhatikan oleh Rawls adalah bagaimana membuat rezim liberal
ini tetap adil (fair), bagi kelas yang lebih beruntung dan yang tidak. Menurutnya, kelas yang
lebih beruntung ini memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan keadaan terbaik bagi
kelas yang kurang beruntung, tanpa harus mengurangi keuntungan dari kelas atas ini. Premis
inilah yang menjadi dasar dari teori keadilan liberal (liberal theory of justice) [ CITATION
Abb76 \l 1033 ].
Sebagai seorang kosmpolitan pula, aspek brotherhood of man juga penting bagi Rawls. Ia
banyak berbicara tentang keadilan distributif global. Salah satu kritik terbesar Rawls justru
kepada dirinya sendiri. Ia memodifikasi TJ dalam Law of Peoples dan menujukannya untuk
seluruh masyarakat. Rawls memanggil komunitas internasional, terutama bangsa yang lebih
maju dan lebih baik dalam ekonomi, untuk memastikan bahwa mereka yang miskin dapat
menemui konsumsi dasar mereka [ CITATION Hil01 \l 1033 ]. Lagi, dalam revisinya, Rawls
berargumen bahwa tidak semua negara dapat menjadi liberal (ia juga menyebutnya decent
hierarchical society), tetapi bukan berarti negara yang liberal meninggalkan negara-negara nonliberal, malah mereka harus menoleransinya selama negara tersebut tidak agresif dan menghargai
HAM. Ia mengundang delegasi masyarakat liberal untuk masuk dalam posisi asali internasional.
Kemudian Rawls berpendapat bahwa masyarakat decent hierarchical society akan menerima
sejumlah hukum internasional, seperti prinsip non-intervensi, penghormatan atas perjanjian, dan
HAM [ CITATION Dog04 \l 1033 ]. Dalam hal ini, Rawls mengajak masyarakat dunia, terutama
masyarakat liberal kepada non-liberal, untuk saling menghormati meskipun berbeda prinsip.
Meskipun Rawls dinilai tidak konsisten karena menoleransi prinsip-prinsip illiberal di ruang
internasional dan tidak demikian dalam level domestik dan masih banyak perdebatan tentang hal
ini, namun paling tidak Rawls menjelaskan pandangannya tentang saling hormat dalam
masyarakat internasional dan bagaimana perbedaan prinsip tersebut sebenarnya masuk akal
dalam secara politis.
Referensi
Naomi Resti Anditya 9
14/364286/SP/26076
Abbot, P. (1976). With Equality and Virtue for All: John Rawls & the Liberal Tradition. Polity, 8(3), 339357.
Barnejee, K., & Bercuson, J. (2015). Rawls on the embedded self: Liberalism as an affective regime.
European Journal of Political Theory, I(4), 209-228.
Berkowitz, P. (Spring 2002). John Rawls and the Liberal Faith. The Wilson Quarterly , 26(2), 60-69.
Chomsky, N. (1987). Reinhold Niebuhr. Grand Street, 6(2), 197-212.
Dogan, A. (2004). The Law of Peoples and the Cosmopolitan Critique. Reason Papers, 27, 131-148.
Hill, R. P., Peterson, R. M., & Dhanda, K. K. (February 2001). Global Consumption and Distributive
Justice: A Rawlsian Perspective. Human Rights Quarterly, 23(1), 171-187.
Mattson, K. (2005). Why We Should Be Reading Reinhold Niebuhr Now More Than Ever: Liberalism
and the theFuture of American Political Thought. The Good Society, 14(3), 77-82.
McWilliams, W. C. (1962). New Orthodoxy for Old Liberalism. The American Political Science Review,
56(4), 874-885.
Niebuhr, R. (1960). Moral Man and Immoral Society. New York: Touchstone.
Sneed, J. D. (April, 1976). John Rawls and the Liberal Theory of Society. Erkenntnis, 10(1), 1-19.
Thompson, M. G. (2007). An Exception to Exceptionalism: A Reflection on Reinhold Niebuhr's Vision of
"Prophetic" Christianity and the Problem of Religion and U.S. Foreign Policy. American
Quarterly, 59(3), 833-855.
14/364286/SP/26076
Liberalisme Reinhold Niebuhr dan John Rawls
Dalam teori politik internasional, Reinhold Niebuhr dan John Rawls dikenal memiliki
kontribusi pemikiran yang besar. Niebuhr menjadi ‘bapak’ dari realisme Kristen, sedangkan
Rawls seorang filsuf politik liberal dan kosmopolitan. Dalam perjalanan pemikiran kedua tokoh
tersebut, pandangan mereka terhadap filsafat politik tidak selalu dapat didefinisikan dengan
mudah. Dari satu tulisan ke tulisan lain, selalu ada celah-celah yang masih dapat diperdebatkan
konsistensinya, sehingga acapkali dalam diskusi-diskusi kelas, mereka tidak lepas dari label
‘pragmatis’ karena berusaha menyesuaikan dengan ideal yang mereka junjung dengan praktik
dalam kehidupan. Tulisan ini hendak menggali pandangan dari Niebuhr yang pada titik tertentu
menggenggam liberalisme, sedangkan Rawls sebagai liberal dapat beranjak dari sekadar
menjelaskan tentang rasionalitas. Pengalaman mereka sebagai seorang Amerika membuat
mereka terekspos dalam aspek-aspek liberalisme dan eksepsionalisme Amerika. Pertanyaan akan
mengeksplorasi seputar nilai-nilai liberalisme yang mereka (tidak sadari) kemukakan. Menggali
pandangan liberal dari kedua tokoh ini penting sebagai sebuah alternatif dari politik praktis
liberal yang berkembang sekarang ini, far right, yang memberikan lokus bagi ultranasionalisme
dan neokonservatisme. Kritikan yang dibuat oleh Niebuhr terhadap liberalisme, misalnya,
sebenarnya justru hendak menguatkan dan menopang prinsip-prinsip liberal dalam liberalisme.
Tulisan ini merujuk pada beberapa tulisan Niebuhr dan Rawls, serta beberapa jurnal yang telah
mengkaji tulisan masing-masing dengan lebih elaboratif.
Liberalisme dalam tulisan ini tidak akan dijelaskan berbagai spektrumnya secara detil,
melainkan fokus ke beberapa poin penting yang juga dibahas dalam tulisan-tulisan kedua tokoh
tersebut, yaitu: 1) pandangan progresif tentang sifat manusia, 2) pluralism, kebebasan dan barang
sosial dan 3) persaudaraan manusia di level internasional. Liberalisme yang dimiliki oleh kedua
tokoh tidak selalu dapat dikategorikan secara pasti, apakah liberalisme itu modern atau klasik.
Akan tetapi corak keduanya memberikan variasi terhadap pandangan liberalisme yang dianggap
usang dan acapkali, naif.
Liberalisme Reinhold Niebuhr
Niebuhr adalah seorang teolog, pendeta, ahli etika, fisulf politik, politisi Jerman yang
tinggal di Amerika. Dalam lingkungan akademik, ia dikenal sebagai seorang realis modern, dan
Naomi Resti Anditya 2
14/364286/SP/26076
pemikirannya dikenal luas sebagai Christian realism. Kategori ini diberikan kepadanya karena
dalam berbagai tulisannya, ia selalu mengkritik liberalisme, budaya Amerika, dan kadangkadang modernitas. Akan tetapi, Paul Rozen merujuknya sebagai “salah satu santo dalam
liberalisme Amerika” yang “mendapatkan pujian dalam komunitas liberal Amerika”, dan di saat
yang sama, Hans Morgenthau, seorang realis kenamaan, juga memujinya sebagai “salah satu
pemikir politik paling penting setelah Calhoun” [CITATION Cho87 \l 1033 ]. Sumbangsih
Niebuhr dalam politik, terutama bagi politik Amerika yang iklimnya saat itu didominasi oleh
perang, adalah salah satu yang paling diapresiasi, sekaligus paling banyak diperdebatkan
dipertanyakan.
Realisme Niebuhr menjadi unik karena yang terlihat sebenarnya bukan murni realisme,
melainkan sebuah opini dan penjelasan yang “realistis”—tentu saja semua aliran pemikiran ingin
menjadi yang paling realistis—dengan menggunakan metodologi dialektika Hegel dan Marx
[ CITATION Tho07 \l 1033 ]. Dialektika teologi Niebuhr menekankan perlunya orang Kristen
untuk melihat kepada transendensi Tuhan dan superioritas-Nya (outside), tetapi juga
menempatkan diri secara relevan dalam budaya modern saat ini (inside). Dialektika antara
outside dan inside inilah yang dimaksudnya dalam “Kekristenan profetik”—jawaban atas
pertanyaan etis tentang kehidupa orang Kristen dalam budaya modern yang sekuler. Hal ini
penting untuk diketahui sebagai pengantar tentang pandangan Niebuhr mengenai karakter
manusia. Menurutnya, sifat alami manusia adalah potensinya untuk menjadi berdosa dan jahat,
bukan jahat secara inheren. Keberdosaan manusia adalah ketika ia menolak superioritas Tuhan
dan menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Dosa bukan hanya masalah keegoisan (selfishness).
Manusia dapat bebas dari ambisi ini ketika mereka diberikan free will, tetapi Niebuhr pun
menyadari bahwa free will dapat berujung pada kebaikan atau kejahatan [ CITATION Kev05 \l
1033 ]. Hal yang penting untuk digarisbawahi adalah manusia secara individu dapat mencapai
kebaikan. Ia menarik sebuah gagasan yang realistis dan tidak deterministik, membuatnya seorang
utopis moderat. Kepercayaannya akan sebuah gagasan ideal dan kesempurnaan sifat manusia ada
dan mungkin untuk dicapai. Manusia tidak berada dalam ketiadaan harapan (hopelessness).
Dalam hal ini, sebenarnya Niebuhr dapat masuk ke dalam kamp liberal yang melihat progres
dalam sejarah manusia, tetapi tidak pula tidak mengindahkan potensi manusia untuk berbuat
buruk karena manusia memang berdosa [ CITATION McW62 \l 1033 ].
Naomi Resti Anditya 3
14/364286/SP/26076
Niebuhr dijuluki sebagai seorang “teolog yang paling sekuler” dan menjadi salah satu
bapak pertama dalam gerakan ekumenis (keutuhan ciptaan). Ia percaya bahwa suatu
pemerintahan haruslah terbuka dan pluralis, serta menjunjung tinggi toleransi. Dalam banyak
kritikan terhadapnya, pluralisme dan toleransi dianggap sebagai etika yang membuat manusia
tidak memiliki prinsip. Niebuhr menghidupkan gagasan kerendahan hati (humility) untuk
membalas kritikan tersebut, yaitu dengan mengatakan bahwa setiap individu, juga negara harus
memiliki toleransi menerima bahwa prinsipnya bukanlah yang paling benar, sedangkan nilai
kerendahan hati penting untuk dimengerti; mengakui bahaya akan ada godaan terhadap dosa dan
penyalahgunakan demi kepentingan egoistis [ CITATION Kev05 \l 1033 ]. Prinsip-prinsip ini
juga merupakan sebuah pandangan seorang liberal, bukan kamp realisme yang menekankan sifat
egois dan legitimasi akan sebuah absolutisme moral.
Niebuhr memang mendapatkan banyak pengaruh dari Marx, bahkan secara eksplisit
menyebut dirinya “Christian Marxian”—seperti Marx mendapatkan pengaruh dari banyak realis,
begitu pula sebaliknya—tetapi Niebuhr mengkritik Marx pula. Baginya, dosa merupakan sesuatu
yang universal. Kapitalis dan proletar, keduanya tidak terlepas dari dosa, dan tidak ada yang
menjadi pendosa lebih besar secara natur. Kapitalis lebih bersalah atas kecongkakannya di
hadapan Tuhan dan ketidakadilan yang mereka lakukan terhadap yang lebih lemah. Oleh karena
itu, kekuatan kapitalis harus dibatasi [ CITATION Kev05 \l 1033 ]. Argumen ini menjadi basis
moral dari sebuah negara liberal, dan menjadi pengakuannya bagi negara kesejahteraan (welfare
state) Amerika saat itu.
Kebebasan juga menjadi topik penting yang membuat Niebuhr pada titik tertentu adalah
seorang liberal dengan pandangan yang lebih realistis. Ia berargumen bahwa masyarakat yang
lebih advance adalah masyarakat yang memungkinkan kebebasan (freedom). Sebenarnya
masyarakat yang paling ideal adalah yang ditopang oleh nilai-nilai cinta (love), tetapi karena
keterbatasan manusia, maka love lebih sulit dicapai, meskipun ia percaya bahwa nilai ini—terkait
dengan transendensi Tuhan—tetap harus ada agar manusia tetap berusaha mencapainya.
Freedom lebih realistis, tetapi freedom juga menjadi prasyarat dari love karena love tidak boleh
dilakukan atas dasar koersi. Sedangkan masyarakat dengan nilai-nilai keadilan (justice) adalah
yang paling mudah diwujudnyatakan [ CITATION Rei60 \l 1033 ]. Gagasan mengenai justice ini
berkaitan dengan pandangannya yang kontraktarian dalam pembentukan negara, seperti
pandangan liberal. Apakah ia setuju mengenai “state of war” masih ambigu, tetapi bagi Niebuhr,
Naomi Resti Anditya 4
14/364286/SP/26076
konflik menjadi mungkin karena keberdosaan manusia. Oleh karena itu, negara ada untuk
menyalurkan konflik menjadi lebih tidak berdarah-darah dan menggunakan cara-cara yang lebih
beradab melalui hukum. Oleh karena itu, sebenarnya masyarakat politik selalu undesirable dan
ambigu. Dalam tulisannya, The Children of Light, ia setuju memilih demokrasi pluralis dan
keterbukaan karena ia mengaburkan diskriminasi dalam koersi yang dilakukan negara—keadilan
positif [ CITATION McW62 \l 1033 ]. Sekali lagi ia menunjukkan persetujuannya terhadap
tujuan liberal dalam kebijakan sosial.
Sepanjang karirnya, Niebuhr berada dalam iklim perang, mulai dari Perang Dunia I,
Perang Dunia II, hingga Perang Vietnam. Dalam perjalanannya bersama perang-perang ini, para
pembacanya melihat pandangannya yang berubah. Saat 1920an pasca-PD I, ia mendukung
pasifisme, tetapi pada tahun 1940an, saat PD II, ia menjadi lebih realistis dalam memandang
penggunaan power, kemudian ia mengkritik pasifisme. Bahkan Niebuhr dengan enggan setuju
pemimpin Kristen untuk mendukung kaum proletar menggunakan kekerasan untuk melawan
kapitalisme apabila memang diperlukan. Menurutnya, pasifisme menunjukkan masalah, yaitu
ilusi teologi dan budaya: orang Kristen hidup dalam para liberal modern bahwa hukum cinta
dapat menjadi pedoman moral dan politik. Baginya, netralitas berbahaya dan untuk mencapai
kebaikan yang lebih besar, maka power dibutuhkan [ CITATION Tho07 \l 1033 ]. Di titik ini,
Niebuhr memang terlihat lebih realis. Akan tetapi, argumennya tentang power tidak lantas
membuatnya mendukung penggunaan power berlebihan oleh Amerika Serikat. Dalam ide-ide
politik luar negeri, Niebuhr banyak mengkritik Amerika. Ia mengingatkan lagi bahwa sebuah
negara harus memiliki kerendahan hati (humility) atas bahaya dari kebangaan bangsa. Ia sangat
menekankan “supreme act of ethical and collective instrospection on the past of America’s
citizenry and foreign policy leadership”. Di titik ini, banyak orang melihat Niebuhr sebagai dove
dalam pandangan politik luar negerinya, juga ketika ia menyatakan ketidaksetujuannya atas
Vietnam [ CITATION Kev05 \l 1033 ]. Catatan ringan, ia mengkritik bahwa Amerika perlu
‘mengerjakan’ kebijakan luar negerinya dengan lebih baik, karena yang terlihat dari sikap
Amerika justru bukan demokrasi dan kebebasan tetapi Coca Cola dan Hollywood.
Kembali lagi kepada power, yang membuat Niebuhr menjadi realis tetapi tidak
meninggalkan prinsip liberal adalah gagasannya bahwa pencarian power dalam politik
internasional selalu relevan; tidak mungkin terhindarkan; bahkan cenderung menguntungankan,
selama negara mencari power untuk meningkatkan kebebasan nasional, seperti gagasan
Naomi Resti Anditya 5
14/364286/SP/26076
Jefferson. Ia menawarkan teori bahwa setiap orang yang menjadi bagian dari sebuah negara akan
dibatasi kebebasannya demi stabilitas negara, maka negara, dalam konteks internasional, harus
mencari power untuk membuat penduduknya lebih bebas dari sebelumnya [ CITATION
McW62 \l 1033 ]. Negara mencari power untuk meningkatkan national freedom—gagasan ini
terlihat realis tetapi Niebuhr menolak ide mengenai Leviathan dalam kontestasi power
internasional, ia masih seorang Kantian, dalam arti manusia dalam negara adalah ends, bukan
means dari pencarian power.
Gagasan terakhir yang tidak kalah penting dari Niebuhr adalah brotherhood of man.
Konsep kerja sama seperti ini tentu menjadi ciri khas mendasar dari liberalisme. Meskipun
dikenal sebagai realis, namun Niebuhr membuat perbedaan antara dirinya realis klasik lain. Di
antara survival dan liberty, Niebuhr memilih yang kedua. Lebih jauh lagi, ia lebih memilih
adanya pluralism dari pusat kekuasaan dunia, daripada satu kekuatan tunggal. Negara-negara di
dunia harus menerima perubahaan, keterbukaan, juga termasuk konflik dan keseimbangan.
Bahkan Balance of Power tidak dapat mencegah terjadinya perang, tetapi adanya BoP lebih baik
daripada satu kekuatan tunggal [ CITATION McW62 \l 1033 ]. Pandangan yang sangat liberal
terlihat ketika Niebuhr menjunjung tinggi adanya brotherhood of man atau fraternity, yaitu
konsep persaudaraan di dunia. Namun menurutnya, fraternity baru akan tercapai ketika
semuanya setara. Ia menerima konsep federasi dunia (world federation), karena itu lebih baik
daripada imperium dunia (world empire). Niebuhr lama dikenal sebagai penolak imperium sama
sekali, seperti ia juga enggan dengan imperium Amerika. Pandangannya mengenai ekonomi
tidak dapat didefinisikan dengan mudah, namun ia menganggap bahwa planned justice dan
laissez-faire sama-sama legitim. Artinya, ia mengamini sistem ekonomi yang liberal, baik
dengan intervensi negara maupun sedikit intervensi.
Liberalisme John Rawls
Selama diskusi di dalam kelas, John Rawls masuk dalam kategori kosmopolitanisme atas
pemikirannya tentang politik internasional. Dalam teori politik, John Rawls mudah dikategorikan
sebagai seorang liberal. Tulisan-tulisannya menekankan pentingnya pluralisme, konsensus, dan
keadilan distributif. Bill Clinton menyebutnya “the greatest political philosopher of the
twentieth century” yang telah membangkitkan keyakinan seluruh generasi Amerika terhadap
Naomi Resti Anditya 6
14/364286/SP/26076
demokrasi, dan kerap mengundangnya ke White House. Pemikiran-pemikiran John Rawls
memang mengkonsolidasi liberalisme Amerika Serikat.
Magnus opus miliknya, A Theory of Justice (setelah ini menggunakan TJ) menjadi
rujukan banyak orang sebagai ‘cara’ atau metodenya sampai pada kesimpulan justice as fairness.
Ia berangkat dari pengalamannya melihat ketimpangan, diskriminasi, dan masalah sosial lainnya
di negara modern, kemudian membuat hipotesis bahwa ketimpangan ini kerap kali disebabkan
oleh manusia yang tidak dapat menempatkan dirinya dalam “sepatu” orang lain. Ia pun
menemukan ‘alat’ untuk dapat mencari tahu keadilan seperti apa yang benar-benar adil bagi
semua orang, dan alat itu bernama veil of ignorance. Ketika posisi asali seseorang ditutup oleh
veil of ignorance—sehingga orang berada dalam keadaan sebelum ‘birth lottery’; tidak memiliki
pengetahuan akan dilahirkan dalam kondisi-kondisi seperti apa—dan ditanya keadilan seperti
apa yang mereka inginkan, menurutnya setiap orang akan sampai pada dua prinsip keadilan:
institusi politik yang legitim harus memberikan hak-hak kebebasan dasar seluas dan sebanyak
mungkin, dan mengatur ketimpangan sosial dan ekonomi hingga menciptakan suasana kondusif
bagi persamaan kesempatan dan pengembangan maksimal kondisi sosioekonomi masyarakat
yang lebih tidak beruntung. Artinya, negara harus memberikan ruang kebebasan sebanyak dan
seluas mungkin bagi masyarakat, termasuk hak untuk berbicara, hak untuk ber-media, bahkan
hak dan kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan ekonomi, tetapi membuat kondisikondisi tersebut menjadi ‘keadaan terbaik’ masyarakat yang lebih tidak beruntung. Ia tidak
menafikan bahwa ketimpangan akan selalu ada, begitu pula dengan ketidaksetujuan, karena
pluralisme manusia di dunia, tetapi masyarakat dapat sampai pada keadilan dan tidak harus
meninggalkan konflik politik karena perbedaannya. Mudah untuk melihat bahwa TJ menjadi
basis moral praktis bagi negara-negara liberal. Meski mendasar, namun tidak semuanya mudah
untuk diterapkan.
Liberalisme Rawls terlihat mengakar tidak hanya pada politik praktis, tetapi juga dari
filsaftnya. Seperti yang telah dikenal luas bahwa liberalisme tidak hanya melihat perfectibility
dalam sifat manusia, tetapi juga penekanan bahwa setiap manusia adalah rasional. TJ
menunjukkan premis mendasar Rawls bahwa dalam keadilan paling rasionalnya, manusia akan
memilih dua prinsip keadilan yang telah disebutkan. Rawls sendiri mengklaim bahwa TJ
mungkin adalah “salah satu, atau bagian yang paling penting dari rational choice theory”. Rawls
mengabstraksi rasionalitas umum sedemikian rupa untuk sampai pada kesimpulan dalam TJ. TJ
Naomi Resti Anditya 7
14/364286/SP/26076
sendiri, meskipun jenius, mendapatkan banyak kritikan yang biasa memojokkan Rawls sebagai
orang arch-rationalist dan kurang mengeksplorasi kualitas manusia. Akan tetapi pandangan
Rawls tentang sifat manusia yang progresif dapat ditelusuri melalui premisnya ini. Menurutnya,
pilihan rasional manusia tentang keadilan memiliki otoritas normatif karena kompatibilitasnya
dengan penalaran (exercise of reason) dan karakter psikologis emosi manusia yang rumit.
Pilihan-pilihan terhadap keadilan ini menyatakan independensi manusia atas keadaan-keadaan
aksidental dari dunia kita, tetapi juga menunjukkan simpati alami dengan orang lain,
menunjukkan kerentanan atas perasaan sesamanya. Bagi Rawsl, kemudian, pada dasarnya
manusia selalu menginginkan sesamanya berada dalam keadaan terbaik tetapi juga tidak
meninggalkan kepuasan dirinya. Di titik inilah Rawls tidak hanya berbicara tentang keadilan
yang mengesampingan sifat alami manusia, karena ia berbicara tentang sentimen moral, bahkan
Rawls juga hendak mengatakan bahwa rezim liberal selalu telah memperhatikan dimensi afektif
dari kewarganegaraan ini [ CITATION Bar15 \l 1033 ].
Tidak hanya sentimen moral terhadap orang lain, tetapi Rawls juga menekankan tentang
self-respect untuk menunjukkan perasaan aman bahwa setiap kehidupan manusia memiliki arti.
Dalam dimensi relasional, self-respect berarti kemanusiaan dan perbuatan kita diapresiasi dan
dikonfirmasi oleh orang lain yang memiliki kepercayaan diri yang sama. Apabila kita tidak
mendapatkan apresiasi sedemikian rupa, hampir tidak mungkin bagi kita untuk mempertahankan
keyakinan bahwa mereka pun berguna. Pengakuan mutual ini menunjukkan bahwa setiap
manusia selalu ingin dinilai setara [ CITATION Bar15 \l 1033 ].
Mengenai pandangan liberal Rawls tentang kebebasan, pluralisme, serta social good
sudah cukup eksplisit dalam tulisan-tulisannya. Ia selalu berangkat dari pertanyaan tentang
pluralitas yang selalu diakuinya dan bagaimana negara harus mengatur pluralisme ini. Rawls
selalu mengajak masyarakat Amerika untuk dapat menoleransi perbedaan pandangan iman (tidak
selalu tentang agama, tetapi pandangan apapun tentang sebuah standar moralitas), bahkan dalam
bukunya Lectures on the History of Moral Philosophy (2000), ia mencoba merespon perdebatan
tua tentang liberalisme dan agama dengan memberikan alasan-alasan bahwa, jauh dari antithesis
dari kebebasan, agama bisa menjadi basis dari penghargaan kita terhadap kebebasan, hal yang
membuat penghormatan kita menjadi rasional [ CITATION Ber02 \l 1033 ].
Rawls juga sangat tidak memiliki masalah dengan adanya kelas-kelas dalam ekonomi.
Menurutnya, kelas-kelas itu tidak dapat dihindarkan, karena struktur dasar institusi
Naomi Resti Anditya 8
14/364286/SP/26076
menyebabkan, mengukuhkan, dan menentukan—sedikit banyak sebelum munculnya—struktur
kelas [ CITATION Sne76 \l 1033 ]. Gagasan ini masih berada dalam perdebatan panjang, tetapi
dapat diketahui bahwa Rawls berpikir pluralisme dalam ekonomi akan selalu ada karena struktur
dari institusi. Hal yang lebih diperhatikan oleh Rawls adalah bagaimana membuat rezim liberal
ini tetap adil (fair), bagi kelas yang lebih beruntung dan yang tidak. Menurutnya, kelas yang
lebih beruntung ini memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan keadaan terbaik bagi
kelas yang kurang beruntung, tanpa harus mengurangi keuntungan dari kelas atas ini. Premis
inilah yang menjadi dasar dari teori keadilan liberal (liberal theory of justice) [ CITATION
Abb76 \l 1033 ].
Sebagai seorang kosmpolitan pula, aspek brotherhood of man juga penting bagi Rawls. Ia
banyak berbicara tentang keadilan distributif global. Salah satu kritik terbesar Rawls justru
kepada dirinya sendiri. Ia memodifikasi TJ dalam Law of Peoples dan menujukannya untuk
seluruh masyarakat. Rawls memanggil komunitas internasional, terutama bangsa yang lebih
maju dan lebih baik dalam ekonomi, untuk memastikan bahwa mereka yang miskin dapat
menemui konsumsi dasar mereka [ CITATION Hil01 \l 1033 ]. Lagi, dalam revisinya, Rawls
berargumen bahwa tidak semua negara dapat menjadi liberal (ia juga menyebutnya decent
hierarchical society), tetapi bukan berarti negara yang liberal meninggalkan negara-negara nonliberal, malah mereka harus menoleransinya selama negara tersebut tidak agresif dan menghargai
HAM. Ia mengundang delegasi masyarakat liberal untuk masuk dalam posisi asali internasional.
Kemudian Rawls berpendapat bahwa masyarakat decent hierarchical society akan menerima
sejumlah hukum internasional, seperti prinsip non-intervensi, penghormatan atas perjanjian, dan
HAM [ CITATION Dog04 \l 1033 ]. Dalam hal ini, Rawls mengajak masyarakat dunia, terutama
masyarakat liberal kepada non-liberal, untuk saling menghormati meskipun berbeda prinsip.
Meskipun Rawls dinilai tidak konsisten karena menoleransi prinsip-prinsip illiberal di ruang
internasional dan tidak demikian dalam level domestik dan masih banyak perdebatan tentang hal
ini, namun paling tidak Rawls menjelaskan pandangannya tentang saling hormat dalam
masyarakat internasional dan bagaimana perbedaan prinsip tersebut sebenarnya masuk akal
dalam secara politis.
Referensi
Naomi Resti Anditya 9
14/364286/SP/26076
Abbot, P. (1976). With Equality and Virtue for All: John Rawls & the Liberal Tradition. Polity, 8(3), 339357.
Barnejee, K., & Bercuson, J. (2015). Rawls on the embedded self: Liberalism as an affective regime.
European Journal of Political Theory, I(4), 209-228.
Berkowitz, P. (Spring 2002). John Rawls and the Liberal Faith. The Wilson Quarterly , 26(2), 60-69.
Chomsky, N. (1987). Reinhold Niebuhr. Grand Street, 6(2), 197-212.
Dogan, A. (2004). The Law of Peoples and the Cosmopolitan Critique. Reason Papers, 27, 131-148.
Hill, R. P., Peterson, R. M., & Dhanda, K. K. (February 2001). Global Consumption and Distributive
Justice: A Rawlsian Perspective. Human Rights Quarterly, 23(1), 171-187.
Mattson, K. (2005). Why We Should Be Reading Reinhold Niebuhr Now More Than Ever: Liberalism
and the theFuture of American Political Thought. The Good Society, 14(3), 77-82.
McWilliams, W. C. (1962). New Orthodoxy for Old Liberalism. The American Political Science Review,
56(4), 874-885.
Niebuhr, R. (1960). Moral Man and Immoral Society. New York: Touchstone.
Sneed, J. D. (April, 1976). John Rawls and the Liberal Theory of Society. Erkenntnis, 10(1), 1-19.
Thompson, M. G. (2007). An Exception to Exceptionalism: A Reflection on Reinhold Niebuhr's Vision of
"Prophetic" Christianity and the Problem of Religion and U.S. Foreign Policy. American
Quarterly, 59(3), 833-855.