Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Efe

PENYEDERHANAAN SISTEM KEPARTAIAN DAN EFEKTIVITAS
PEMERINTAHANi
Oleh Ronny Basista, M.Siii

Pendahuluan
Salah satu isu aktual menyongsong Pemilu 2014 adalah penyederhanaan sistem kepartaian untuk diakomodasi
dalam undang-undang pemilu yang baru. Tarik-menarik antarpartai masih terjadi, diskusi dan forum ilmiah
juga turut memberi kontribusi pemikiran agar ke depan kita menghasilkan sistem kepartaian yang relatif
sederhana demi stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan. Tulisan ini hendak memetakan berbagai
alternatif pemikiran tersebut untuk dapat diperoleh suatu pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan
secara akademik dan bebas dari kepentingan kelompok.
Sistem Kepartaian
Pada awal tulisan ini kita perlu menegaskan kembali definisi sistem kepartaian. Sistem kepartaian ialah pola
perilaku dan interaksi di antara sejumlah partai politik dalam suatu sistem politik. Secara lebih komprehensif
sistem kepartaian dapat dilihat berdasarkan 2 (dua) golongan besar, yakni sistem kepartaian berdasarkan
Jumlah Partai dan Jarak Ideologi.
Jumlah Partai
Sistem kepartaian berdasarkan jumlah partai dapat digolongkan ke dalam sistem partai tunggal (totaliter,
otoriter dan dominan), sistem dua partai dominan dan bersaing dan sistem multipartai.
No
1.


Sistem Kepartaian
Tunggal:
1). Totaliter

2). Otoriter

3). Dominan

i
ii

Definisi
Terdapat satu partai yang tak hanya memegang
kendali atas militer dan pemerintahan, tetapi
juga menguasai seluruh aspek kehidupan
masyarakat.
Suatu sistem kepartaian yang di dalamnya
terdapat lebih dari satu partai tetapi terdapat
satu partai besar yang digunakan oleh penguasa

sebagai alat memobilisasi masyarakat dan
mengesahkan kekuasaannya, sedangkan partaipartai lain kurang menampilkan diri karena
ruang gerak dibatasi penguasa.
Suatu sistem kepartaian yang di dalamnya
terdapat lebih dari satu partai, namun satu
partai saja yang dominan (secara terus-menerus
berhasil
mendapatkan
dukungan
untuk

Contoh
Partai yang ada di
negara-negara
komunis dan fasis.
Partai Uni Nasional
Afrika Tanzania
(UNAT), Golkar di
masa Orba, Partai
Aksi Rakyat

Singapura.
Partai Liberal
Demokrat di Jepang.

Makalah disampaikan pada seminar FISIP-UT tanggal 23 Februari 2011
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UT dpk. UPBJJ-UT Pekanbaru

1

2.

Dwipartai bersaing

3.

Multipartai

berkuasa), sedangkan partai-partai lain tidak
mampu menyaingi partai yang dominan
walaupun terdapat kesempatan yang sama

untuk mendapatkan dukungan melalui pemilu
yang demokratis.
Suatu sistem kepartaian yang di dalamnya
terdapat dua partai yang bersaing untuk
mendapatkan
dan
mempertahankan
kewenangan memerintah melalui pemilihan
umum. Partai yang memenangkan pemilu
menjadi partai yang memerintah, sedangkan
yang kalah berperan sebagai kekuatan oposisi
yang loyal.
Sistem kepartaian yang terdiri atas lebih dari
dua partai yang dominan. Karena banyak partai
yang bersaing untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan melalui pemilu,
maka yang sering terjadi adalah pemerintahan
koalisi dengan dua atau lebih partai yang secara
bersama-sama dapat mencapai mayoritas di
parlemen. Untuk mencapai konsensus di antara

partai-partai yang berkoalisi itu memerlukan
praktek daga g sapi , yaitu tawar-menawar
dalam hal program dan kedudukan menteri.

Amerika (Partai
Republik dan Partai
Demokrat), Australia
(Partai Liberal dan
Partai Buruh).

Belanda, Prancis,
Jerman, Italia,
Indonesia.

Jarak Ideologi
Ilmuwan politik Italia, Giovanni Sartori, punya pendapat lain tentang sistem kepartaian ini. Menurut dia,
penggolongan sistem kepartaian bukan masalah jumlah partai, melainkan jarak ideologi di antara partai-partai
yang ada. Kongkretnya, penggolongan sistem kepartaian didasarkan atas jumlah kutub (polar), jarak di antara
kutub-kutub itu (polaritas), dan arah perilaku politiknya (Surbakti, 2001).
Oleh karena itu, Sartori mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi 3 (tiga), yaitu pluralisme

sederhana, pluralisme moderat, dan pluralisme ekstrim.
Sistem Partai
Pluralisme Sederhana
Pluralisme Moderat
Pluralisme Ekstrim

Kutub
Bipolar
Bipolar
Multipolar

Polaritas
Tidak ada
Kecil
Besar

Arah
Sentripetal
Sentripetal
Sentrifugal


Yang dimaksud dengan bipolar adalah kegiatan aktual suatu sistem partai yang bertumpu pada dua
kutub, meskipun jumlah partai lebih dari dua karena sistem kepartaian ini tidak memiliki perbedaan ideologi
yang tajam. Multipolar berarti sistem partai yang bertumpu pada lebih dari dua kutub yang biasanya terdiri
atas lebih dari dua partai dan di antara kutub-kutub itu terdapat perbedaan ideologi yang tajam.
Polarisasi yang besar merupakan indikator yang menunjukkan ketiadaan konsesnsus dasar mengenai
asas dan tujuan masyarakat-negara yang hendak dituju. Akan tetapi, hal ini tidak harus ditafsirkan sebagai
2

perpecahan yang tak terintegrasi karena hal itu mungkin merupakan gejala sementara yang masih dapat
diatasi. Dalam hal ini, perlu diperhatikan arah perilaku politik setiap partai apakah;
 Menuju ke pusat atau ke integrasi nasional (sentripetal); ataukah
 Menjauhi pusat atau hendak mengembangkan sistem tersendiri (sentrifugal).
Negara
AS
Belanda

Sistem Partai
Pluralisme sederhana
Pluralisme moderat


Italia

Pluralisme ekstrim

Kutub
Bipolar (dua partai)
Bipolar (tiga atau empat
partai sebagai basis)
Multipolar

Polaritas
Tidak ada
Kecil

Arah
Sentripetal
Sentripetal

Besar (jarak

ideologi yang
berjauhan)

Sentrifugal

Labih lanjut menurut Sartori, dalam konteks negara-negara berkembang, dikenal sistem kepartaian
lain, yaitu pluralisme ekstrim dan hegemoni. Model yang pertama cenderung menghasilkan ketidakstabilan
politik karena masing-masing memiliki ideologi yang bertentangan sehingga tingkat konsensus rendah. Sistem
yang kedua terjadi ketika sejumlah partai diizinkan tetapi hanya sebagai partai kelas dua karena mereka tidak
diizinkan berkompetisi secara bebas dengan partai hegemoni.
Model hegemoni terbagi 2 (dua), yaitu sistem hegemoni yang bersifat ideologis dan sistem hegemoni
yang bersifat pragmatis. Dalam sistem yang bersifat ideologis, partai-partai satelit terwakili dalam
pemerintahan tetapi tanpa hak-hak yang penuh, sedangkan dalam sistem yang pragmatis, patai-partai
marginal memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Negara-negara berkembang biasanya mulai dengan sistem kepartaian pluralisme ekstrim, kemudian
beralih pada sistem kepartaian yang hegemoni. Ingat kasus Indonesia tempo doeloe. Pada zaman Soekarno,
sistem kepartaian kita pluralisme ekstrim; ada komunis (PKI), sosialis (PSI), nasionalis (PNI), religius (Masyumi).
Antara PKI dan Masyumi dipisahkan oleh jarak ideologi yang sangat jauh, yang pertama di kiri dan yang
terakhir di kanan. Ketika Soeharto berkuasa, dia dan berbagai kekuatan politik di belakangnya—termasuk
militer—menyederhanakan sistem kepartaian, di mana Golkar merupakan partai hegemoni.

Sistem Kepartaian di Era Reformasi
Pemilu I di era reformasi diselenggarakan pada tahun 1999. Pemilu 199 diikuti 48 partai politik yang memenuhi
syarat sesuai undang-undang pemilu. Berikut hasil perolehan suara dan kursi pada Pemilu 1999.
No.

Nama Partai

Suara DPR

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.


PDIP
Golkar
PPP
PKB
PAN
PBB
Partai Keadilan
PKP
PNU
PDKB

35.689.073
23.741.749
11.329.905
13.336.982
7.528.956
2.049.708
1.436.565
1.065.686
679.179
550.846

Kursi
Tanpa SA
153
120
58
51
34
13
7
4
5
5

Kursi
Dengan SA
154
120
59
51
35
13
6
6
3
3

3

11. PBI
12. PDI
13. PP
14. PDR
15. PSII
16. PNI Front Marhaenis
17. PNI Massa Marhaen
18. IPKI
19. PKU
20. Masyumi
21. PKD
22. PNI Supeni
23
Krisna
24. Partai KAMI
25. PUI
26. PAY
27. Partai Republik
28. Partai MKGR
29. PIB
30. Partai SUNI
31. PCD
32. PSII 1905
33. Masyumi Baru
34. PNBI
35. PUDI
36. PBN
37. PKM
38. PND
39. PADI
40. PRD
41. PPI
42. PID
43. Murba
44. SPSI
45. PUMI
46
PSP
47. PARI
48. PILAR
Jumlah
Diolah dari berbagai sumber

364.291
345.720
655.052
427.854
375.920
365.176
345.629
328.654
300.064
456.718
216.675
377.137
369.719
289.489
269.309
213.979
328.564
204.204
192.712
180.167
168.087
152.820
152.589
149.136
140.980
140.980
104.385
96.984
85.838
78.730
63.934
62.901
62.006
61.105
49.839
49.807
54.790
40.517
105.786.661

1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
462

3
2
1
1
1
1
1
1
1
462

Hasil pemilu menunjukkan bahwa 21 partai masuk DPR, di antaranya lima partai dapat digolongkan sebagai
partai besar (PDI-P, Golkar, PKB, PPP, PAN), sedangkan 27 partai tidak memperoleh kursi sama sekali. Pada
masa ini diberlakukan electoral threshold 2%, sehingga partai yang memperoleh suara di bawah 2% tidak
dapat ikut pemilu berikutnya kecuali misalnya dengan mengubah nama partai, seperti yang dialami Partai
Keadilan menjadi Partai Keadilan Sejahtera.
Perolehan suara tertinggi di DPR ternyata tidak mutlak menjadikan PDIP memimpin pemerintahan, karena
pada akhirnya justru fragmentasi kekuatan di DPR dimanfaatkan kelompok “Poros Tengah” memenangkan
Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Pada masa selanjutnya stabilitas politik khususnya di level pimpinan
menjadi lemah. DPR dan pemerintah sulit mencapai konsensus yang pada akhirnya produk undang-undang di
era Gus Dur minim. Cerita selanjutnya, Gus Dur diturunkan sebagai bukti pemerintahnya tidak bisa bekerja
secara efektif.

4

Pada Pemilu tahun 2004, partai yang ikut serta lebih minim dibandingkan pemilu sebelumnya, yakni 24
parpol. Sebanyak 17 dari 24 parpol tersebut berhasil memperoleh kursi di parlemen. Berikut perolehan suara
parpol-parpol tersebut.
Ranking Suara

Partai Politik

Perolehan Suara
Jumlah

Persen

Jml. Kursi DPR
RI

1

Partai Golongan Karya

24.480.757

21,58

128

2

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

21.026.629

18,53

109

3

Partai Kebangkitan Bangsa

11.989.564

10,57

52

4

Partai Persatuan Pembangunan

9.248.764

8,15

58

5

Partai Demokrat

8.455.225

7,45

57

6

Partai Keadilan Sejahtera

8.325.020

7,34

45

7

Partai Amanat Nasional

7.303.324

6,44

52

8

Partai Bulan Bintang

2.970.487

2,62

11

9

Partai Bintang Reformasi

2.764.998

2,44

13

10

Partai Damai Sejahtera

2.414.254

2,13

12

11

Partai Karya Peduli Bangsa

2.399.290

2,11

2

12

Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

1.424.240

1,26

1

13

Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan

1.313.654

1,16

5

14

Partai Nasional Banteng Kemerdekaan

1.230.455

1,08

1

15

Partai Patriot Pancasila

1.073.139

0,95

0

16

Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

923,159

0,81

1

17

Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia

895.610

0,79

0

18

Partai Pelopor

878.932

0,77

2

19

Partai Penegak Demokrasi Indonesia

855.811

0,75

1

20

Partai Merdeka

842.541

0,74

0

21

Partai Sarikat Indonesia

679.296

0,60

0

22

Partai Perhimpunan Indonesia Baru

672.952

0,59

0

23

Partai Persatuan Daerah

657.916

0,58

0

24

Partai Buruh Sosial Demokrat

636.056

0,56

0

Total

113.462.414

100

550

Sumber : Pengumuman Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara Pemilu KPU, www.kpu.go.id

Pada pemilu ini untuk pertama kalinya dalam sejarah dilakukan pemilihan langsung presiden dan wakil
presiden. Parpol atau gabungan parpol yang berhak mengajukan calon ialah dengan perolehan suara paling
minim 5% dari perolehan suara legislatif pada pemilu tersebut.
Pemilu 2009 diikuti oleh sebanyak 44 partai politik termasuk partai politik lokal di Aceh. Tabel berikut
menggambarkan perolehan suara masing-masing partai.

No

Partai Politik (No Pemilu) Jumlah Suara
Demokrat (31)

21.703.137

Persentase
20,85%

5

Golkar (23)

15.037.757

14,45%

PDIP (28)

14.600.091

14,03%

PKS (8)

8.206.955

7,88%

PAN (9)

6.254.580

6,01%

PPP (24)

5.533.214

5,32%

PKB (13)

5.146.122

4,94%

Gerindra (5)

4.646.406

4,46%

Hanura (1)

3.922.870

3,77%

PBB (27)

1.864.752

1,79%

PDS (25)

1.541.592

1,48%

PKNU (34)

1.527.593

1,47%

PKPB (2)

1.461.182

1,40%

PBR (29)

1.264.333

1,21%

PPRN (4)

1.260.794

1,21%

PKPI (7)

934.892

0,90%

PDP (16)

896.660

0,86%

Barnas (6)

761.086

0,73%

PPPI (3)

745.625

0,72%

PDK (20)

671.244

0,64%

6

RepublikaNusantara (21)

630.780

0,61%

PPD (12)

550.581

0,53%

Patriot (30)

547.351

0,53%

PNBK (26)

468.696

0,45%

Kedaulatan (11)

437.121

0,42%

PMB (18)

414.750

0,40%

PPI (14)

414.043

0,40%

Pakar Pangan (17)

351.440

0,34%

Pelopor (22)

342.914

0,33%

PKDI (32)

324.553

0,31%

PIS (33)

320.665

0,31%

PNI Marhaenisme (15)

316.752

0,30%

Partai Buruh (44)

265.203

0,25%

PPIB (10)

197.371

0,19%

PPNUI (42)

146.779

0,14%

PSI (43)

140.551

0,14%

PPDI (19)

137.727

0,13%

Merdeka (41)

111.623

0,11%

104.099.785

100%

Jumlah

7

Sumber : www.kpu.go.id 9 Mei 2009

Berdasarkan ketetapan dalam Bab XIII Pasal 204 -212, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, maka hanya 9 parpol saja yang bisa meloloskan wakilnya
sebagai anggota DPR. Partai lainnya, meskipun memperoleh suara/kursi, dianggaap tidak
memperolehnya (hangus) karena adanya klausul parliamentary threshold 2,5%. Partai-partai
yang berhasil duduk di DPR adalah sebagai berikut:

No

Partai Politik

Perolehan
Suara

Kursi Parlemen
Perhitungan I

Revisi

Demokrat

20,85%

148

150

Golkar

14,45%

108

107

PDIP

14,03%

93

95

PKS

7,88%

59

57

PAN

6,01%

42

43

PPP

5,32%

39

37

PKB

4,94%

26

27

Gerindra

4,46%

30

26

Hanura

3,77%

15

18

Jumlah

100%

560

560

Sumber : KPU tgl 9 Mei 2009

Beberapa Alternatif Pemikiran
Pemberlakuan electoral threshold pada Pemilu 2004 telah membuktikan partai yang kurang siap membangun
konsolidasi internal dan popularitas serta kualitas partai semakin tidak mendapat tempat di masyarakat.
Contonhya adalah pada Partai Keadilan (Sejahtera)/PKS dan Partai Bulan Bintang/PBB. Kedua parpol ini dapat
e jadi o toh u tuk partai dala kategori siap da partai dala kategori tidak siap
e ghadapi
kompetisi. Perolehan suara PKS meroket dari pemilu 1999 ke pemilu 2004 hingga 2009. Sedangkan PBB
mengalami nasib tragis tidak asuk parle e dari hasil pe ilu 2009 kare a keja ya parliamentary
8

threshold (PT) yang diberlakukan. Perolehan suara PBB tidak mencapai 2,5% yang merupakan syarat minimal
PT.
Sebagai masyarakat awam, kita berhak memandang bahwa kemajemukan partai saat ini bersifat semu. Semu,
karena pada dasarnya jumlahnya saja yang banyak namun ideologinya sama. Semu, karena pada dasarnya
ideloginya sama namun lambang partainya saja yang beda. Semu, karena partainya berbeda-beda padahal
orang-orangnya sebelumnya berhimpun di partai yang sama. Semu, karena bahkan ada partai yang tidak jelas
ideologinya. Semu, karena mereka banyak yang semu, hanya mencari popularitas dan menjual kembali
popularitas semu. Dan, semu-semu lainnya….
Ketika ada alternatif memecah kejumudan ini kita menyambutnya dengan baik. Meski, tetap saja kita mesti
menghormati berbagai pandangan itu. Berbagai pandangan itu dapat saya rincikan sebagai berikut.

3

Wacana
Memperketat syarat partai
peserta pemilu
Menyederhanakan daerah
pemilihan melalui penambahan
jumlah dapil dibarengi
penciutan jumlah kursi yang
diperebutkan
Asimiliasi partai

4

Parliamentary threshold 5-7%

5

Electoral threshold 5%

6

Konfederasi partai-partai
politik

7

Sistem distrik

1
2

Maksud/Tujuan
Munculnya partai yang benarbenar representatif
Muculnya wakil rakyat yang
representatif

Kontrawacana
Membelenggu demokrasi

Partai-partai yang seide,
segagasan, sehaluan, yang
belum berhasil dapat
bergabung dengan partai lain
yang sudah berhasil
Optimalisasi fungsi kepartaian
di parlemen

Menafikan dinamika
politik masyarakat

Optimalisasi fungsi kepartaian
di masyarakat
Penggabungan beberapa partai
dengan tidak menghilangkan
eksistensinya masing-masing

Menonjolkan kualitas calon,
kedekatan dengan konstituen

Menguntungkan parpol
besar, menyuburkan
praktik uang, banyak
suara yang akan hangus

Terlalu besar, partai
kecil belum begitu siap
dan hanya
menguntungkan partai
besar
Membatasi hak politik
warga
Belum ada payung hukum,
berpotensi konflik dan
relatif lebih sulit
dibandingkan asimiliasi
ataupun fusi
“membunuh” partai kecil

Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Efektivitas Pemerintahan
Republik ini menganut sistem pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian yang multipartai. Sistem
multipartai lazim di sistem pemerintahan parlementer, sedangkan sistem presidensial lebih cenderung pada
9

sistem pluralisme sederhana seperti di Amerika Serikat. Sistem multipartai bagi pemerintahan presidensial,
diakui ataupun tidak, turut memberi andil bagi terjadinya horse trading politics atau politik daga g sapi .
Karena tidak terdapat satu partai mayoritas, maka partai pemenang yang tidak mayoritas akan merangkul
partai-partai lain untuk mencapai suara mayoritas membentuk pemerintahan. Atas dasar ini maka partai-partai
kecil yang diajak berga u g itu e gajuka se a a ko trak politik. Bahasa kasar ya, gue dapat apa kalau
erga u g a a loe . Posisi di kabinet dan di sejumlah direksi BUMN menjadi incaran.
Sistem multipartai yang kita anut sekarang ini berpengaruh pada efektivitas pemerintahan dan kualitas partai
politik. Dengan fragmentasi yang besar, tarik-menarik kepentingan itu pun akan marak terjadi. Di parlemen,
partai pemerintah akan berusaha menghimpun sebanyak mungkin kekuatan politik lainnya untuk membentuk
koalisi pendukung pemerintah. Karena bukan sistem parlementer, maka koalisi ini cenderung rapuh. Anggota
koalisi akan berpindah ke kubu lain manakala terdapat satu isu atau wacana yang tidak menguntungkan
dirinya. Dengan kata lain, koalisi yang dibangun bukan koalisi ideologis yang berumur panjang, tetapi koalisi
kontekstual tergantung wacana dan bersifat pragmatis. Akibatnya, kekuatan koalisi pemerintah di parlemen
seperti gelang karet, kadang kuat kadang lemah, tergantung isu yang bermuara pada kepentingan. Akibatnya
lagi, pemerintah selalu gagal memprediksi kekuatannya di parlemen setiap mengajukan draft kebijakan.
Karena, hal ini tergantung konstelasi politik yang terjadi saat itu.
Kita tidak bisa menyalahkan pilihan kita terhadap sistem multipartai yang dianut. Pada dasarnya, sistem ini
telah mengakomodasi kemajemukan dan dinamika politik masyarakat (inklusif). Sistem multipartai
memungkinkan terwakilinya beragam aspirasi politik rakyat yang menghendaki dibentuknya wadah berupa
parpol. Dalam sistem politik demokrasi yang kita anut, tidak ada pembatasan terhadap kehendak rakyat itu.
Namun demikian, demokrasi secara prosedural telah dikenal di berbagai negara. Secara substansial, demokrasi
itu bercermin pada kehendak rakyat, tetapi secara prosedural, negara demokratis berhak menentukan
langkah-langkah apa yang ditempuh untuk mewujudkan demokrasi itu.
Sistem multipartai dengan pemerintahan presidensial merupakan tantangan terberat bagi negara ini
membangun demokrasi yang terkonsolidasi. Salah satu cara agar keberadaan parta-partai politik tidak
kontraproduktif terhadap jalannya pemerintahan adalah menyederhanakan sistem kepartaian yang ada.
Sebagaimana diutarakan di atas, koalisi yang dibangun oleh ragamnya partai politik sifatnya kasuistik. Oleh
karena itu, kita perlu adanya koalisi yang tegas dibarengi oleh adanya oposisi yang jelas pula. Hal itu
dimungkinkan bila sistem pemerintahan kita parlementer. Sekali lagi, karena kita masih alergi dan trauma oleh
istilah parle e ter di asa Orde La a, aka kita harus a pu ewujudka stabilitas politik dan efektivitas
pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai yang sederhana.
Dalam sistem parlementer, bergonta-gantinya pemerintahan merupakan hal yang lazim. Pemerintah dapat
jatuh ketika terdapat mosi tidak percaya. Sedangkan dalam sistem presidensial, jatuhnya pemerintah
erupaka hal ya g ta u . Pe gala a pahit kita ala i ketika Gus Dur dile gserka . Hi gga sekara g,
polemik itu tidak berkesudahan, kecuali karena kita yang memang tidak senang adanya konflik
berkepanjangan.
Penyederhanaan sistem kepartaian seyogyanya dapat dilihat dalam konteks demikian. Kita mesti dapat
eradaptasi a tara siste
ultipartai da siste pe eri taha preside sial. Me a g, pada awal ya—
termasuk hingga saat ini—kita susah menerima kenyataan ini. Beragamnya pandangan sebagaimana diuraikan
pada tabel di atas merupakan ekspresi kekageta kita e eri a ke yataa politik. Maka, se agia ada ya g
memandangnya sebagai suatu usaha pemberangusan hak politik rakyat, ada yang mensinyalir adanya skenario
dari parpol-parpol besar, dan seterusnya.
Padahal, penyederhaaan sistem kepartaian itu harus mampu dilihat dari kacamata bagaimana agar yang
muncul itu adalah partai-partai yang berkualitas, bagaimana agar pemerintahan bisa berjalan dengan efektif
10

ta pa diga ggu oleh kepe ti ga -kepentingan politik kelompok tertentu di parlemen yang sesungguhnya
melelahkan masyarakat. Macetnya komunikasi akibat fragmentasi yang sangat besar di parlemen
menimbulkan minimnya produk kebijakan dan konflik melelahkan yang kontraproduktif.
Penyederhanaan sistem kepartaian dapat dilakukan dengan berbagai ide yang dilontarkan oleh beberapa
kalangan. Misalnya, memperketat syarat partai peserta pemilu, baik bagi partai baru maupun partai lama.
Persentasi keterwakilannya di sejumlah wilayah harus ditingkatkan untuk menjamin keseriusan. Untuk partai
lama bisa dilakukan dengan menerapkan electoral threshold yang persentasinya dari pemilu ke pemilu harus
meningkat. Angka 5% merupakan sesuatu yang cukup rasional. Penyederhaan itu dapat juga dilakukan dengan
parliamentary thershold (PT), sehingga wakil yang duduk di parlemen itu hendaknya berasal dari partai-partai
yang diinginkan masyarakat luas.
Asimilasi partai dan konfederasi partai-partai politik turut meramaikan wacana penyederhanaan kepartaian.
Pada asimilasi partai, maka partai-partai yang seide, segagasan dan sehaluan, yang belum berhasil dapat
bergabung dengan partai lain yang sudah berhasil, misalnya dengan partai yang lolos PT. Yang patut
diperhatikan adalah adanya ide konfederasi partai-partai politik, di mana terjadinya penggabungan beberapa
partai politik namun tidak menghilangkan eksistensinya masing-masing. Hal ini harus dikaji lebih lanjut,
terutama dari aspek legalitas wakil partai konfederasi di parlemen dan yang jelas apakah aturan perundangundangan mengakomodasi hal demikian.
Muculnya ide menyederhanakan daerah pemilihan (dapil) melalui penambahan jumlah dapil dan penciutan
jumlah kursi merupakan ide yang patut dipertimbangkan. Dengan jumlah kursi yang minim, katakanlah 3-7
kursi perdapil, maka setiap calon dan partai harus bekerja ekstrakeras untuk mendapatkan kepercayaan
rakyat. Hasil jerih payah yang luar biasa itu tentu saja melahirkan sosok calon yang kredibel dari partai yang
mantap. Sinyalemen akan munculnya politik uang memang akan terjadi, namun tentunya masyarakat saat ini
sudah semakin cerdas. Saat inilah kita dapat membuktikan hasil pendidikan politik masyarakat yang telah kita
lakukan selama ini, baik oleh pemerintah, akademisi, ormas-ormas, dan tentu saja partai-partai politik.
Ide ya g ukup ekstri
aru-baru ini datang dari Ryaas Rasyid. Meskipun ide ini bukanlah ide mutakhir,
a u ketika u ul di asa di a a kita seperti ya sudah pasrah de ga siste proporsio al aka ide i i
dapat dipandang revolusioner. Seolah menghentakkan alam bawah sadar kita, kita akui distrik merupakan cara
paling cepat menyederhanakan sistem kepartaian dari multipartai kategori pluralisme moderat menuju
pluralisme sederhana. Namun, sudah barang tentu ditolak mentah-mentah oleh legislator yang berwenang
membuat undang-u da g pe ilu. “iste distrik e ge al istilah satu distrik satu wakil , ya g akhir ya wakil
yang benar-benar dikenal baiklah yang memenangi suara di distriknya. Namun hal ini dipandang dapat
menafikan dinamika politik masyarakat.

Penutup
Baiklah, sistem proporsional dengan berbagai variannya dianggap sudah sesuai bagi kita sementara ini dari sisi
inklusivitasnya dan keterjangkauannya terhadap kemajemukan masyarakat. Dengan tenggang waktu yang
tidak lama kita berharap DPR segera mengintervarisasi ide-ide dan berbagai wacana yang berkembang untuk
diformulasikan dalam bentuk undang-undang pemilu. Harapan kita, sistem kepartaian dengan multipartai
(pluralisme) sederhana mulai menampakkan perwujudannya. Sedikit, tapi pasti. Oleh karena itu, kita berharap
tahun 2012 tidak kiamat, karena DPR belum menyelesaikan UU Pemilu.

Bahan Bacaan
Amal, Ichlasul, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998.
11

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1977.
--------, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Dhakidae, Daniel (peny.), Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi, Program, Jakarta: Kompas, 1999.
Feith, Herbert, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1999.
Grofman, Bernard, and Arend Lijphart, Electoral Laws and Their Political Consequences, New York: Agathon
Press Inc., 1986.
Haris, Syamsuddin, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI,
1998.
Karim, M. Rusli, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1983.
Kingemann, Hans Dieter, Richard Hoffebert, and Ian Budge, Parties, Policies and Democracy, Boulder:
Westview Press, 1994.
Lawson Key, and Peter Merkl, When Parties Fail, New Jersey: Princeton University Press, 1988.
Lipow, Arthur, Political Parties and Democracy, Chicago: Pluto Press, 1996.
Panebianco, Angelo, Political Parties: Organization and Power, Cambridge UK: Cambridge University Press,
1998.
Purwantana, PK., Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Reynolds, Andrew, and Ben Reilly, Electoral System Design, Stockholm: International IDEA, 1997.
Robertson, David, A Theory of Party Competition, New York: John Wiley and Son, 1976.
Sachsenroder, Wolfgang, and Ulrike Frings, Political Party System and Democratic Development in East and
Souteast Asia, Vermont: Ashgate Publishing Co., 1998.
Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1981.
Sartori, Giovanni, Parties and Party Systems: A Framework for Analysis, Cambridge UK: Cambridge University
Press, 1976.
Simbolon, Parakitri, Menjadi Indonesia: Akar-akar Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kompas, 1995.
Sundquist, James L., Dinamics of the Party System, Washington DC: The Brookings Institution, 1983.
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana, Jakarta, 1992.
Thaha, Idris (ed.), Pergulatan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
12

13