Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Secara historis, desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat dan
pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum bangsa-negara modern terbentuk, kelompok
sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi bagian
yang penting dalam suatu tatanan negara.1 Oleh karenanya, sering terdengar bahwa
desa merupakan wilayah yang paling otonom di Indonesia. Hal ini kemudian
dikuatkan bahwa kelompok masyarakat di dalamnya, memiliki tradisi, adat istiadat
dan hukumnya sendiri yang telah mengakar kuat, serta relatif mandiri dari campur
tangan entitas kekuasaan dari luar.2
Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo desa di Indonesia sebagai daerah
hukum yang paling tua menjalankan otonomi sangat luas, lebih luas dari otonomi
daerah-daerah hukum diatasnya yang menyusul dikemudian hari baik yang dibentuk
oleh desa-desa bersama-sama dengan sukarela maupun yang dipaksakan oleh pihakpihak yang lebih kuat. Daerah-daerah yang lebih tinggi tersebut kemudian
memberikan pembatasan-pembatasan tertentu terhadap otonomi desa.3 Selain itu,
adanya unsur religius magis juga memperluas dimensi kepentingan pemenuhan hak
dan kewajiban di desa, terutama desa adat yang diatur dalam hukum adat karena
terdapat konsep kepentingan kerohanian.

Menurut Taliziduhu Ndraha, otonomi desa berbeda dengan otonomi daerah
yang diatur di dalam UU No. 5 Tahun 1974. Perbedaannya antara lain: a) otonomi
desa sudah ada sejak zaman dahulu; b)berdasarkan hukum adat (asli Indonesia); c)
pada hakekatnya tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat; d) isinya seakan-akan
tidak terbatas; e) isinya fleksibel, elastis, kenyal; f) diperoleh secara tradisional
bersumber dari hukum adat; g) aspek ‘mengatur’ (hal-hal yang sifatnya mandiri diatur
oleh desa) semakin merosot karena satu persatu diatur oleh pemerintah yang lebih

1 Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara (Perdebatan dan Gagasan Penyempurnaan), FH
UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm.361
2 Saparin, Tata Pemerinahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, 1977, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.
119, dalam Ni’matul Huda, Ibid.
3 Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa, Balai Pustaka, jakarta, 1984, hlm. 282 dalam Ni’matul Huda, Ibid, hlm.
367

1

tinggi; h) bobotnya di wilayah perkotaan (urban) semakin ringan; dan i) lebih bersifat
nyata dan materiil.4
Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum

perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih
kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa
di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan
sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia
menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara
yang mengenai daerah-daerah tersebut akan mengingati hak-hak asasi usul daerah
tersebut.5
Apabila ditinjau dari segi historis, yakni dari sejarah pembentukan UUD 1945,
Moh. Yamin-lah yang pertama kali membahas permasalahan Pemerintahan Daerah
dalam Sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, termasuk di dalamnya Moh. Yamin
menyinggung tentang Desa dan bagaimana hubungannya dengan wilayah lainnya:6
“Negeri, Desa, dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan
jaan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagai
bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah
sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Pemerintahan Urusan
Dalam, Pangreh Raja,”
Pemikiran Moh. Yamin mengenai Pemerintahan Daerah dapat dijumpai lagi
dalam pidatonya tanggal 11 Juli 1945 di hadapan BPUPKI yang antara lain
mengatakan:7

“Pemerintahan dalam Republik ini pertama-tama akan tersusun dari badanbadan masyarakat seperti desa, yaitu susunan pemerintahan yang paling
bawah, pemerintahan ini saya namakan pemerintahan bawahan.”
“antara pemerintahan atasan dan pemerintahan bawahan itu adalah
pemerintahan yang baik saya sebut pemerintahan tengahan. Perkara desa
barngkali tidak perlu saya bicarakan disini melainkan kita harapkan saja,
supaya sifatnya diperbaharui atau disesuaikan dengan keperluan zaman baru,”

4 Taliziduhu Ndraha, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, Cetakan Ketika, Bumi Aksara, Jakarta 1991, hlm.
6-7 dalam Ni’matul Huda, Ibid, hlm. 367
5 Penjelasan Umum atas UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
6 Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Penerbit Siguntang, Jakarta 1971,
hlm. 100 dalam Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hlm.1
7 Moh. Yamin, Naskah Persiapan...., Ibid, hlm. 230-231, dalam Ni’matul Huda, Ibid, hlm. 2

2

“Tetapi yang perlu ditegaskan disini, yaitu bahwa desa-desa negeri-negeri,
warga-warga dan lainnya tetaplah menjadi kaki Pemerintahan Republik
Indonesia. Dan di tengah-tengah pemerintahan atasan dan bawahan, kita

pusatkan Pemerintah Daerah.”
Dalam kutipan gagasan serta pidato Moh. Yamin, dapat ditarik beberapa
catatan. Pertama, pengakuan atas masyarakat hukum adat serta wilayahnya telah
digagas sejak perumusan UUD 1945 dalam rapat BPUPKI 1945, pengakuan ini
menunjukkan bahwa eksistensinya berperan sebagai penguat kaki bangsa Indonesia.
Kedua, Moh. Yamin, pada saat itu berpendapat bahwa pemerintahan desa merupakan
pemerintahan yang mendapatkan stratifikasi di bawah sehingga disebut sebagai
pemerintahan paling bawah8 dan pemerintahan atasan (pemerintah pusat). Moh.
Yamin hanya menyebutkan pemerintahan bawah dan pemerintahan atasan, dan
kemudian baru mengatakan “ditengah-tengah pemerintah atasan dan bawahan, kita
pusatkan pemerintah daerah” yang seolah memiliki fungsi sebagai menghubung
antara urusan di desa dan pusat. Ketiga, terdapat harapan bahwa desa sebaiknya tetap
dipertahankan akan tetapi butuh pembaharuan dan disesuaikan dengan kebutuhan
zaman. Peraturan desa serta perangkat desa, kebanyakan menggunakan hukum-hukum
asli desa dan hukum adat yang memiliki kesesuaian dan perbedaan dengan hukum
nasional,

oleh

karenanya


pada

perkembangannya

dipandang

perlu

untuk

mengakomodir pembaharuan tersebut dalam satu instrumen peraturan perundangundangan.
Pembahasan mengenai pemerintahan daerah yang dilontarkan beberapa kali
oleh Moh. Yamin dan Soepomo yang menjadi tunas ketentuan Pasal 18 UUD 1945
yang memiliki esensi sebagai berikut: pertama, keberadaan daerah otonomi dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah didasarkan pada asas desentralisasi. Kedua,
satuan pemerintahan tingkat daerah menurut UUD 1945 dalam penyelenggaraannya
dilakukan dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara”. Ketiga, pemerintahan tingkat daerah harus disusun dan
diselenggarakan dengan “memandang dan mengingati hak-hak asal usul dalam

daerah-daerah yang bersifat istimewa.”9
Pada perkembanganya, terdapat penambahan Pasal 18 UUD 1945 yang
memuat hubungan dan pengakuan atas satuan daerah-daerah yang dianggap istimewa.
8 Hal ini mengingat pada perkembanganya, terdapat sekitar 73.000 Desa (Penjelasan Umum UU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa)
9 Ni’matul Huda, Ibid, hlm. 3-4

3

Namun munculnya Pasal 18 ayat (1) maupun dalam Pasal 18 B ayat (2) tidak muncul
pengakuan secara tegas bahwa desa memiliki otonomi asli. Apabila kedua pasal
tersebut dihubungkan, dapat dipahami bahwa keberadaan masyarakat hukum adat
diakui secara konstitusional, namun eksistensi daerah-daerah yang mempunyai
susunan asli yang dihuni masyarakat hukum ada tersebut tiddak mendapat jaminan.
Tegasnya, subyeknya diakui namun daerah tempat tinggalnya tidak mendapat
pengakuan. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 hanya membagi wilayah negara atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten/kota yang dikelola
menurut asas otonomi.10 Menurut Kushandajani, terdapat kecenderungan kuat
memaknakan otonomi desa sebagai bagian dari otonomi daerah. Pemaknaan tersebut
menciptakan cara pandang yang menyamakan desa sebagaimana pusat memandang
daerah yakni sebagai “bagian dari wilayah negara” yang harus taat pada pemerintah

atasnya.11
Pandangan yang demikian memberikan beberapa konsekuensi, seperti
kekuasaan membuat kebijakan maupun implementasi tergantung pada bupati/walikota
sehingga terkadang kurang mengakomodir kebutuhan desa, mengaburkan makna
otonomi desa, serta mereduksi kreatifitas pengembangan desa.
Sebelum adanya UU No. 6 Tahun 2014, kita mengetahui bahwa hubungan
antara pusat dan daerah, termasuk di dalamnya hubungannya dengan desa terdapat
pada UU No. 5 Tahun 1974 yang sifatnya cenderung sentralistik-otokratis-korporatis,
UU No. 22 Tahun 1999 yang bersifat devolutif-liberal, dan UU No. 32 Tahun 2004
yang cenderung gagal menjembatani perbedaan pandangan yang justru membuahan
kemenangan bagi kekuatan nasionalis kolot dan pemerintah pusat terhadap daerah dan
desa.12 Hal ini dikarenakan UU No. 32 Tahun 2004 hanya mengakui keberadaan desa,
tetapi tidak membagi kekuasaan dan kewenangan (desentralisasi) kepada desa.
Pemerintah desa dianggap sebagai subsistem atau bagian dari pemerintah
kabupaten/kota, karenanya ia menjalankan sebagian kewenangan pemerintah
kabupaten/kota.

10 Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara..., Op.Cit, hlm. 369
11 Kushandajani, Elit Desa-Ditinjau dari Sumberdaya Kekuasaan, Tesis Magister Ilmu Politik Universitas
Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 126 – 127. Konsep ini sejalan dengan pemikiran Moh. Yamin sebagaimana

dikutip diatas.
12 Sutoro Eko, Masa Lalu, Masa Kini, dan masa Depan Otonomi Desa, dalam Soetandyo Wignosubrto dkk
(tim penulis), Pasang Surut Otonomi Daerah, Skettsa Perjalanan 100 Tahun , Institute for Local
Development dan Yayasan Tifa, Jakarta, 2005, hlm. 513, dalam Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata
Negara..., Op.Cit, hlm. 370

4

Undang-Undang Nomorr 6 Tahun 2014 tentang Desa yang hadir kini menjadi
sebuah bahan diskusi yang menarik, karena UU Desa ini memberikan hubungan yang
lebih tegas dan jelas antara desa dengan pemerintah pusat dan desa dengan
pemerintah daerah.
1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis ingin menarik dua (2) rumusan masalah
yakni:
1. Bagaimana hubungan desa dengan pemerintah pusat menurut UU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah?
2. Bagaimana hubungan antara desa dengan pemerintah daerah?


5

BAB II
PEMBAHASAN
1.1.

Hubungan Desa dengan Pemerintah Pusat
Perjalanan panjang sejarah ketatanegaraan membawa desa sebagai unit
administratif terendah dari struktur pemerintahan di Indonesia. Permasalahan tata
negara terkait desa sejak dahulu, yakni:
-

Hubungan antar tingkatan : Desa berada di dalam kabupaten atau berada di luar
kabupaten?

-

Ketidakjelasan letak dan kedudukan desa, merancukan hubungan antar tingkatan,
yaitu: Desa-Kabupaten dengan Kepala Desa dan Bupati, serta hubungan hukum

yang kacau (Perda-Perdes).
Secara yuridis normatif, desa telah diberikan atau lebih tepatnya diakui

kewenangan-kewenangan tradisionalnya menurut Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun
1945 yang menegaskan:“negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-undang”. Jadi, menururt UUD 1945 pengakuan
terhadap kesatuan maasyarakat hukum adat termasuk didalamnya dalah desa berserta hakhak tradisionalnya harus didasarkan pada prinsip “tetap dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.13 Beberapa pengertian Desa menurut UU terdahulu seperti dalam:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adatistiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di
Daerah Kabupaten
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

13 Ateng Syafrudin, Republik Desa Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern Dalam Desain
Otonomi Desa, PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm. 43

6

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakatat hak asal-usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sifat dasar manusia adalah hidup secara berkelompok dan berkomunikasi satu
dengan yang lainnya. Setiap kelompok terbentuk oleh adanya suatu faktor pengikat
yang diakui dan ditaati bersama, melebihi faktor-faktor lain yang bersifat membedabedakan satu nggot kelompok dengan yang lainnya.14 Faktor pengikat tersebut ada
bermacam-macam, salah satu di antaranya adalah adat. Studi tentang keanekaragaman
adat di Indonesia menghasilkan kesimpulan antara lain bahwa sistem hukum adat di
Indonesia dapat dipandang sebagai terbagi atas 19 lingkaran atau sub sistem hukum
adat.
Suatu masyarakat yang tingkah laku dan kehidupannya diatur lurus dan diurus
menurut hukum adat tertentu disebut dengan masyarakat hukum adat. Dalam hal adat
yang bersangkutan mengikat masyarakat menurut pertalian daerah atau kekerabatan,
masyarakat itu disebut masyarakat genealogis. Jika menurut daerah tertentu maka
disebut dengan masyarakat teritorial.
Dengan pendekatan tersebut pengertian desa diambil dari istilah bahasa Jawa
yang menunjukkan satu bentuk satuan masyarakat hukum adat Jawa. Kendatipun
istilah desa adalah bahasa Jawa namun telah diterima dan lazim digunakan. Istilah
desa dimaksudkan sebagai penganti istilah Inlandsche Gementee (IG) dalam
perundang-undangan Hindia Belanda terdahulu yang tidak hanya meliputi desa-desa
di Jawa melainkan juga mencakup satuan-satuan seperti itu di luar jawa yang nama
aslinya disebut kampung, negeri, marga, dan lain-lain.15
Desa-desa asli yang telah ada sejak jaman dahulu kala memiliki hak dan
wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya. Hak dan wewenang
untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri disebut dengan hak otonomi.
Dalam hal ini berarti desa memiliki hak itu disebut dengan desa otonom.
Unsur-unsur otonomi desa yang penting antara lain adalah:
1. Adat tertentu yang mengikat daan ditaati oleh masyarakat di desa yang
bersangkutan
14 Talizidhuhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1981, hlm. 14
15 Ibid, hlm. 16

7

2. Tanah, pusaka dan kekayaan desa
3. Sumber-sumber pendapatan desa
4. Urusan rumah tangga desa
5. Pemerintah desa yang dipilih oleh dan dari kalangan masyarakat desa yang
bersangkutan yang sebagai alat desa yang memegang fungsi “mengurus”
6. Lembaga

atau

badan

“perwakilan”

atau

musyawarah

yang

sepanjang

penyelenggaraaan urusan rumah tangga desa memegang fungsi mengatur.16
A.

Hubungan tentang Dana Desa
Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah
desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.17
Dari ketentuan regulasi a quo, secara tersirat telah ditandaskan bahwasanya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, memberi pengakuan desa
merupakan fragmen terkecil dari wilayah pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Beranjak dari kausa tersebut, bisa dikatakan kalau desa adalah
mitra Pemerintah Pusat untuk memacu kesejahteraan masyarakat Indonesia di
pedesaan.18
Adapun hubungan Pemerintahan Desa dengan Pemerintah Pusat (the relation
village government with central government) telah termaktub dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Salah satu titah atau amanat dari undang-undang
(wet) tersebut ialah ihwal kepastian dari anggaran pusat untuk desa (vide Pasal 72 ayat
(1) huruf b juncto Pasal 113 huruf h). In casu a quo, adalah adanya dana alokasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diderivasikan langsung ke
desa.19

16 Ibid, hlm. 18
17 Pasal 1 angka ke (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
18http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2015/02/27/dana-desa-dari-hulu-sampai-hilir-726683.html, diakses
10 Maret 2015, pukul 18.30 Wib.
19http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2015/01/11/akuntabilitas-pemerintah-daerah-terhadap-uu-desa-no6-2014-716018.html, diakses 10 Maret 2015, pukul 19.45 Wib.

8

Indonesia sendiri memiliki jumlah desa kurang lebihnya 74.000. Adapun hak
per desa dari hal itu tetaplah sama, baik yang maju ataupun tertinggal. Dana tersebut
sepenuhnya milik tanggung jawab daerah, sehingga hak penuh berada di tangan
daerah setempat.20
Sehingga masing-masing desa diperkirakan akan memperoleh kalkulasi dana
sekitar Rp 1,2 miliar sampai dengan Rp1,4 miliar per tahun, yang bila dibagi rata
perbulannya akan mendapat sekitar 100 juta perbulan. Tentu saja dana yang cukup
besar tersebut menuntut desa untuk melakukan perubahan, penguatan secara internal
secara organisasi pemerintahan desa yang lebih efektif, profesional, transparan, dan
akuntabel.
Pengaturan desa seperti tersebut dalam undang-undang, merupakan upaya
(middel) untuk memajukan perekonomian dan pembangunan sektor-sektor penting
nan urgen di pedesaan. Atas dasar premis tersebut, sesuai amanat Undang-Undang

Desa, mak dengan dukungan dana yang cukup besar, desa dituntut lebih mampu
mengorganisasi diri. Tumpuan pembangunan (development) yang bergulir ke
pinggiran, yaitu desa-desa, maka daya dukung desa perlu ditingkatkan.21
Dana desa menjadi salah satu isu krusial dalam UU No. 6 Tahun 2014.
Penghitungan anggarannya berdasarkan jumlah desa dengan mempertimbangkan
julah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.
Selebihnya, kedua hal ini diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksana UU Desa serta PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa. Salah satu
yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana penyaluran dan pembinaannya?
Dana desa nantinya akan disalurkan melalui kabupaten. Hal ini menjawab
perbedaan persepsi yang sebelumnya diperdebatkan tentang kewenangan terhadap
desa dari nomenklatur kementerian di kabinet kerja. Kemendagri sebelumnya
mendasarkan pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang melihat
urusan pemerintahan mulai dari pusat hingga desa yang tidak boleh terputus.
Sementara, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
menggunakan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan bahwa
masalah-masalah desa diurus oleh kementerian yang membidangi desa.

20 Tajuk Rencana, Kedaulatan Rakyat, 1 Maret 2015, hlm. 12
21 Herry Firdaus, 2014, Membangun Desa Mandiri, Koran Sindo, 24 Desember 2014, hlm. 7

9

Dengan demikian, jika fungsi pemerintahan desa tetap dijalankan melalui
insentif dana dan program seperti selama ini, bisa diletakkan pada Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.22 Sementara urusan pemerintahan
desa tetap berada di bawah Kementerian Dalam Negeri dan ada dirjen yang khusus
menangani hal tersebut.
B.

Hubungan Fungsional dalam UU No. 23 Tahun 2014
Secara struktural Presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam
penyelenggaraan pemerintahan ditingkat nasional, sedangkan kepala daerah (provinsi
atau kabupaten/kota) merupaka penyelenggara pemerintahan diwilayah darha masingmasing, sesuai dengan prinsip otonomi seluas-uasnya. Dapat diketahui secara
struktural kepala daerah kabupaten/kota tidak memiliki garis struktural dengan
pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat karena memiliki otonomi seluasluasnya.
Pemerintah pusat dan daerah memiliki hubungan secara fungsional yang
menyangkut atas pembagian tugas dan kewenangan yang harus dijalankan oleh
pemerintah pusat dan daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik
“Good Goverment”. Pembagian tugas, wewenang dan kewajiban pemerintahan
daerah pada yang dasarnya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hubungan fungsional antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah
Provinsi, kabupaten/kota dan desa. Dalam hubungan pemerintah pusat antara provinsi
dengan kabupaten dan kota serta hubungan desa dan pusat saat ini telah diatur dalam
UU dengan memperhatikan kekhususan dengan keragaman daerah. Hubungan
fungsional tersebut menyangkut tentang tugas dan kewenangan antara pemerintah
pusat dan desa.
Pola hubungan pusat dan desa dari segi tugas dan kewenangan telah diatur
dalam undang-undang. Dalam urusan pemerintahan hubungan pusat dan desa ternasuk
dalam pola hubungan urusan pemerintahan yang bersifat konkuren, yaitu urusan
pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota.

Hubungan pusat dengan Desa dalam hal urusan pemerintahan dapat dilihat
dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni:
22 Ivanovich Agusta, Berebut Pemerintahan Desa, Kompas, 10 Januari 2015, hlm. 6

10

Pasal 20 ayat (1)
Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah provinsi
diselenggarakan:
a. sendiri oleh Daerah provinsi;
b. dengan cara menugasi Daerah kabupaten/kota
berdasarkan asas Tugas Pembantuan; atau
c. dengan cara menugasi Desa.
Pasal 285
(2) Pendapatan transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. transfer Pemerintah Pusat terdiri atas:
1. dana perimbangan;
2. dana otonomi khusus;
3. dana keistimewaan; dan
4. dana Desa.
Pasal 294 ayat (2)
Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 4
dialokasikan oleh Pemerintah Pusat untuk mendanai penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan,
serta pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan kewenangan dan kebutuhan
Desa sesuai dengan ketentuan undangundang mengenai Desa.
Pasal 372
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dapat menugaskan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangannya kepada Desa.
(2) Pendanaan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan
kepada Desa oleh Pemerintah Pusat dibebankan kepada APBN.
(3) Pendanaan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan
kepada Desa oleh Pemerintah Daerah Provinsi dibebankan kepada APBD
provinsi.
(4) Pendanaan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan
kepada Desa oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dibebankan kepada
APBD kabupaten/kota.
Dari beberapa uraian penjelasan pasal diatas dapat dilihat beberapa hubungan
pusat dan desa yang diatur secara langsung dalam hal urusan pemerintahan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan antara daerah dan desa memiliki
kedudukan yang sama secara horizontal, utamanya adalah mengenai sifat otonom dari
desa itu sendiri. Salah satu implikasinya adalah Peraturan Desa tidak dikategorikan
sebagai peraturan daerah berdasar UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, walaupun undang-undang tersebut mengakui
keberadaan “peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa atau pejabat yang setingkat
(cek Pasal 8 ayat (1)). Tetapi secara vertikal urusan pemerintahan desa tersebut secara
11

fungsional dalam hal ini melaksanakan tugas pelaksanaan yang diberikan oleh
pemerintah pusat, provinsi dan daerah. Hal ini ditegaskan dalam pasal 5 yakni “Desa
berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota”. Pasal tersebut berimplikasi pada
Peraturan Kepala Desa dapat dibatalkan oleh Bupati/Walikota (Pasal 87 PP No. 43
Tahun 2014).
2.2.

Hubungan Desa dengan Pemerintah Daerah
Terdapat perbedaan pandangan ahli mengenai sejak kapan bangunan desa itu
ada. Tetapi bagaimanapun juga menurut penelitian beberapa ahli ternyata desa dari
abad ke abad telah berkembang menjadi kesatuan hukum di mana kepentingan
bersama dari penduduknya menurut hukum adat dilindungi dan dikembangkan. 23
Hukum tersebut memberi dua hal penting, yaitu hak untuk mengurus kepentingan
daerah sendiri (hak otonomi) serta untuk memilih kepala desanya sendiri.24
Rosjidi Ranggawjidjaja melanjutkan pendapatnya bahwa “Pemerintahan Desa
yang ada sekarang adalah kelanjutan dari Pemerintahan Desa jaman dahulu, hanya
saja Pemerintahan Desa sekarang sudah kehilangan “rohnya” sebagai Desa yang
mandiri. Desa yang ada sekarang bukan lagi sebagai ”inlandsche gemeenten”, sebagai
pemerintahan asli bangsa Indonesia, namun Pemerintahan Desa sekarang lebih tepat
disebut pemerintahan semu atau bayang-bayang (quasi government organization)”
(Ranggawidjaja: 2013).25
Secara konstitusional, bentuk negara Indonesia adalah kesatuan. Konsep
negara kesatuan ini tidak hanya berdampak pada desentralisasi kewenangan kepada
daerah, melainkan lebih dari itu yakni pengakuan dan perlindungan terhadap otonomi
desa.
NKRI
Otonomi Desa
Otonomi Daerah

23 I Nyoman Baratha, Desa: Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm
15.
24 Ibid, hlm 15.
25 Inna Junaenah, loc.cit.

12

Diagram di atas menunjukkan bahwa otonomi desa harus menjadi inti dari
konsep NKRI, dengan catatan bahwa otonomi desa bukan merupakan cabang dari
otonomi daerah karena yang memberi inspirasi adanya otonomi daerah yang khas
bagi NKRI adalah otonomi desa.26 Otonomi desa harus menjadi pijakan dalam
pembagian struktur ketatanegaraan Indonesia mulai dari pusat sampai ke daerah yang
kemudian bermuara pada regulasi otonomi desa yang tetap berpedoman pada keaslian
desa sebagai keastuan masyarakat hukum.
Antara hukum pemerintahan desa dengan hukum otonomi desa senyatanya
tidak dapat dipisahkan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Bagir Manan bahwa
semestinya pemerinatahan desa menjadi bagian yang integral dari pemerintahan
daerah, pemisahan yang dipengaruhi oleh pikiran “memperbaiki keaslian desa” adalah
suatu pendekatan yang keliru. Oleh karena iu juga pengaturan mengenai pemerintahan
desa sebelumnya diatur menjadi satu dalam UU Pemerinatahan Daerah yakni UU 22
Tahun 1999 serta UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerinatahan Daerah sebelum
hingga saat ini, pemerinatahan Desa memiliki payung hukum sendiri yakni UU
Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang secara yuridis terpisah dari UU Nomor 32
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain itu, kepala desa sejak dahulu, walaupun memimpin satuan
pemerintahan yang bersifat otonom (desa) tidak bertindak untuk dan atas nama negara
sebagaimana karakter yang melekat pada “pejabat negara”.Namun tetap sebagai
pejabat pemerintahan karena merupakan salah satu penyelenggara pemerintahan desa.
Sebelum disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pengaturan
tentang desa dari berbagai rezim dapat dilihat sebagai berikut:
a. Rezim UU Nomor 5 tahun 1979
Tahun 1979 ditetapkan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerinatahan Desa sebagai pengganti Inlandsche Gementee Ordonantie
(IGO) dan Inlandse Gementee Ordonantie voor Buitengewesten (IGOB)
yang secara substansial UU itu sepenuhny mencerminkan stelsel
pendekatan IGO dan IGOB yang memisahkan pmerintahan desa dari
pemerintahan daerah. Masalah prinsipil lain yang terdapat dalam UU ini
adalah

penyeragaman

(uniformitas)

nama,

susunan,

bentuk,

dan

kedudukan pemerintahan desa Kebijakan mengenai desa dalam UU ini

26 Ibid, hlm. 11

13

diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa
dengan corak nasional
b. Rezim UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Salah satu politik hukum dalam UU ini kaitannya dengan
pemerinatahan desa adalah kembali memasukkan pengaturan tentang
pemerintahan desa sebagai satu kesatuan integral dalam UU Pemerintahan
Daerah. Desa dalam rezim UU ini juga diperkenankan mengggunakan
nama-nama lains esuai dengan adat yang berkembang di desa tersebut
seperti nagari, marga, gampong, negorij, dusun, dsb.
c. Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Desa berada di bawah kecamatan (di mana kecamatan di bawah
kabupaten secara langsung). Pemerintah desa dapat secara langsung
berhubungan dengan pemerintahan kabupaten dan kecenderungan seperti
itu telah muncul di berbagai provinsi, tentunya hal ini akan menguras
energi desa bila banyak persoalan mesti diselesaikan di kabupaten, padahal
persoalan tersebut dapat diselesaikan di tingkat kecamatan. UU No. 22
Tahun 1999 menyebutkan bahwa Camat berperan sebagai Pembina
Pemerintahan Desa. Bupati di beberapa daerah di Indonesia berperan
menguatkan hubungan dengan camat, untuk menguatkan posisi para
camatnya. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa kemampuan
pemerintahan desa masih perlu dibina, sehingga Bupati memposisikan
Camat sebagai Pembina Pemerintahan Desa. Selanjutnya, menurut UU 32
Tahun 2004: Camat juga berperan sebagai Pembina Pemerintahan Desa.
Pasal 126 menegaskan kewenangan camat selain sebagai koordinator
pemerintahan juga merupakan Pembina Desa.
Mengenai hubungan antara Pemerintah Desa dengan Pemerintah Daerah
berdasarkan UU sebelumnya (UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah),27
maka UU sebelumnya memberikan kedudukan desa sebagai bagian dari aspek
ketatanegaraan karena desa merupakan satuan pemerintahan otonom. Desa bukan
satuan pemerintahan administrasi belaka yang sewaktu-waktu bisa dibubarkan atau
dibentuk kembali bila diperlukan. Seperti biasanya, pemerintahan desa yang terdiri

27 Aan Eko Widianto, Kedudukan Desa (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/ KEDUDUKANDESA.pdf, 2011, diakses 11 Maret 2014.

14

dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa dibentuk di dalam
pemerintahan daerah kabupaten/kota (Pasal 200 UU Nomor 32 Tahun 2004).
Dalam hubungannya dengan hukum pemerintahan daerah, pemerintahan desa
memang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan secara geografis karena
wilayah pemerintahan desa juga merupakan wilayah pemerintahan daerah. Mengutip
pendapat dari Bagir Manan bahwa :
“Semestinya pemerinatahan desa menjadi bagian integral pemerinatahan
daerah. Pemisahan ini dipengaruhi oleh pikiran mengenai “mempertahankan
keaslian desa”. Suatu pendekatan yang keliru. Maksud pembentuk UUD
mempertahankan pemerinatahan desa bukanlah dalam semangat agar desa asli
menjalankan fungsi pemerintahan tradisional sebagai masyarakat hukum adat.
Mempertahankan pemerinatahan desa dimakasudkan untuk menjamin
kehadiran satuan pemerintahan yang dekat dengan rakyat”.28
Inna Junaenah dalam hukum online menyebut bahwa untuk memosisikan
kedudukan desa dan kepala desa perlu diartikan berbeda dengan persepsi mengenai
urusan dan kelembagaan ketatanegaraan. Desa dalam ketatanegaraan dilihat dan
dipahami sebagai penyelenggaraan urusan dalam rangka pemerintahan arti luas untuk
melayani masyarakat.29 Urusan dan kelembagaan ketatanegaraan berbeda dengan urusan
dan kelembagaan pemerintahan, di mana hal ini sejalan dan dikuatkan dengan pendapat
Bagir Manan bahwa karena konstitusi/Undang-Undang Dasar merupakan kaidah dasar
bagi semua bidang hukum, belum tentu kaidah yang diatur merupakan kaidah
ketatanegaraan. Begitu pula lembaga-lembaga yang terdapat dalam Undang-Undang
Dasar belum tentu merupakan lembaga yang bersifat ketatanegaraan (Manan: 2009). 30
Berikut beberapa poin penting yang dapat dirangkum terkait kedudukan desa
berdasarkan kajian normatif Inna Junaenah dalam hukum online:
1.) Di dalam konstitusi terdapat distribusi kekuasaan secara vertikal dan horizontal.
Kerangka ketatanegaraan dibatasi sebatas pembagian kekuasaan antara pusat dan
daerah, di mana UUD 1945 secara eksplisit mengatur satuan pemerintahan yang
mempunyai pemerintahan daerah hanya Provinsi, Kabupaten, dan Kota (vide Pasal 18
ayat (1) UUD 1945 Perubahan Kedua).

28 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah MenurutUUD 1945,Jakarta,Sinar Harapan, 1994,
hlm.158-159 dalam Ateng Syafrudin,Op.cit, hlm. 41-42
29 Inna Junaenah, Kedudukan Desa dan Kepala Desa dalam Ketatanegaraan Indonesia (online),
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52f6ce3253a76/kedudukan-desa-dan-kepala-desa-dalamketatanegaraan-indonesia, 2014, diakses 18 Maret 2015.
30 Ibid.

15

2.) Mengenai

kedudukan

Desa

(atau

nama

lainnya),

Rosjidi

Ranggawidjaja

menautkannya dari pengakuan dan penghormatan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur UU
(Ranggawidjaja: 2013). Hal ini memisahkan urusan yang dikelola oleh satuan
pemerintahan daerah yang menunjukkan pemencaran kekuasaan, sementara,
sepanjang masih ada, urusan yang dikelola oleh Desa merupakan pengakuan. Diiringi
dengan dimungkinkan adanya tugas pembantuan yang diberikan oleh Kabupaten,
Provinsi, maupun Pemerintah Pusat. 31
Dalam Pasal 18 dan Pasal 19 UU Nomor 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa
kewenangan desa meliputi :
a.) Kewenangan berdasarkan hak asal usul
b.)Kewenangan lokal berskala desa
c.) Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemreintah Daerah Provinsi, atau
Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
d.)Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Dengan suatu catatan bahwa penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah kepada Desa meliputi:
1. Penyelenggaraan pemerintahan desa
2. Pelaksanaan pembangunan desa

disertai dengan biaya

3. Pembinaan kemasyarakatan desa
4. Pemberdayaan masyarakat desa
Sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tugas
dan wewenang yang diberikan kepada desa dari daerah baik pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota harus dilaksanakan berdasarkan Peraturan Gubernur (jika
pemberian

wewenang

dari

pemerintah

provinsi)

dan

berdasarkan

Peraturan

Bupati/Walikota (jika pemberian tugas/wewenang dari pemerintah kabupaten/kota). 32
Namun pemberian tugas tersebut bukan merupakan penerapan asas tugas pembantuan 33
sehingga tugas yang diserahkan kepada desa tidak menjadi kewenangan yang dikelola
31 Ibid.
32 Pasal 20 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
33 Penjelasan Pasal 372 UU Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

16

sendiri oleh pemerintah desa. Dalam hal ini, desa melakukan pertanggungjawaban
kepada Gubernur (jika tugas/wewenang berasal dari pemerintah Provinsi) serta
melakukan pertanggungjawaban kepada Bupati/Walikota melalui camat (jika tugas dan
wewenang berasal dari pemerintah kabupaten/kota) terhadap tugas yang diserahkan
kepadanya.
Cita utama dilahirkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 adalah ingin menggabungkan
fungsi self-governing community dengan local self government dengan harapan kesatuan
masyarakat hukum adat yang selama merupakan bagian dari wilayah Desa hendak ditata
sedemikian rupa menjadi desa dan desa adat. Desa dan desa adat pada dasarnya
melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam
pelaksanaan hak asal-usul terutama menyangkut pelestarian sosial desa adat, pengaturan
dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketentraman dan
ketertiban bagi masyarakat hukum adat serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan
berdasarkan susunan asli.34 Desa adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan desa,
pembangunan desa, serta mendapat fasilitas dan pembinaan dari pemerintah
Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti ini, desa dan desa adat mendapat perlakuan yang
sama dari pemerintah daerah.
Di bidang anggaran, setiap desa di seluruh Indonesia akan mendapatkan dana dari
alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bersumber dari belanja
pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa yang diajukan melalui Badan
Permusyawaratn Desa. Di sinilah terdapat peran pemerintah daerah, di mana pada
penyusunan proposal pengajuan anggaran ini, tidak berjalan sendiri. Pemerintah kota dan
pemerintah kabupaten bertugas melakukan pendampingan, termasuk penyusunan
budgeting35

34 Penjelasan UU Nomor 6 Tahun 2014
35 Viva News, UU Desa Disahkan, Tiap Desa dapat Rp 1 Miliar Per Tahun (Online),
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/467314-uu-desa-disahkan--tiap-desa-dapat-rp1-4-miliar-per-tahun,
2013, diakses 18 Maret 2015.

17

BAB III
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan ruang bagi
desa dan perangkat desa untuk berkreasi dan memiliki landasan hukum dalam
hal meningkatkan kesejahteraan desa, sebagaimana yang kita ketahui bahwa
desa adalah unit terendah dari ketatanegaraan di Indonesia. Melalui UU ini
pula, kini desa mendapatkan insentif Dana Desa yang jumlahnya cukup besar
hingga mencapai angka milyaran. Hal tersebut diharapkan mampu menjadi
modal untuk meningkatkan kesejahteraan desa dan mendukung program
pemerintah pusat. Dalam urusan pemerintahan hubungan pusat dan desa
ternasuk dalam pola hubungan urusan pemerintahan yang bersifat konkuren,
yaitu urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten/kota.
2. Dalam hubungannya dengan hukum pemerintahan daerah, pemerintahan desa
memang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan secara geografis
karena wilayah pemerintahan desa juga merupakan wilayah pemerintahan
daerah. Hal ini utamanya berhubungan dengan pembinaan serta kegiatan dan
urusan yang diserahkan dari daerah ke desa untuk dikerjakan secara bersama.
Namun uniknya, disatu sisi, desa juga tetap memiliki otonomi nya, yakni
dalam hal mengatur rumah tangga desa serta membuat peraturan desa.

3.2.

Saran
1. Sosialisasi mengenai landasan hukum desa yang baru ini harus lebih masif dilakukan,
mengingat jumlah desa di Indonesia mencapai puluhan ribu dan agar meminimalisir
ketidakpahaman dan kerancuan dalam pengelolaan desa.
2. Rekomendasi kami adalah partisipasi warga dalam kaitannya untuk ikut mengawasi
agar dapat dihindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang bisa saja
dilakukan oknum pemerintahan desa. Alokasi anggaran yang diberikan pemerintahan
pusat ke desa bukanlah angka yang kecil dan tidak berarti. Namun sebaliknya, sangat
fantastis dan begitu signifikan. Terlebih pemerintahan desa menjadi tumpuan yang
secara langsung bersinggungan dengan berbagai aspek masyarakat. Dalam hal ini,
kesadaran masyarakat harus lebih diintensifkan, selain untuk tindakan antisipatif, tapi
juga sebagai kontrol pelayanan publik yang dilakukan.
18

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Ateng Syafrudin, Republik Desa Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern
Dalam Desain Otonomi Desa, PT. Alumni, Bandung, 2010.
I Nyoman Baratha, Desa: Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1982.
Kushandajani, Elit Desa-Ditinjau dari Sumberdaya Kekuasaan, Tesis Magister Ilmu
Politik Universitas Indonesia, Jakarta, 1991
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hlm.1
Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara (Perdebatan dan Gagasan
Penyempurnaan), FH UII Press, Yogyakarta, 2014.
Talizidhuhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1981.
INTERNET
Aan Eko Widianto, Kedudukan Desa (online), http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/
KEDUDUKAN-DESA.pdf, 2011, diakses 11 Maret 2014.
Inna Junaenah, Kedudukan Desa dan Kepala Desa dalam Ketatanegaraan Indonesia
(online),
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52f6ce3253a76/kedudukandesa-dan-kepala-desa-dalam-ketatanegaraan-indonesia, 2014, diakses 18 Maret 2015.
Kompasiana, http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2015/01/11/akuntabilitas-pemerintahdaerah-terhadap-uu-desa-no-6-2014-716018.html, diakses 10 Maret 2015, pukul
19.45 Wib.
Kompasiana,
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2015/02/27/dana-desa-dari-hulusampai-hilir-726683.html, diakses 10 Maret 2015, pukul 18.30 Wib.
Viva News, UU Desa Disahkan, Tiap Desa dapat Rp 1 Miliar Per Tahun (Online),
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/467314-uu-desa-disahkan--tiap-desa-dapatrp1-4-miliar-per-tahun, 2013, diakses 18 Maret 2015.
KORAN
Herry Firdaus, Membangun Desa Mandiri, Koran Sindo, 24 Desember 2014.
Ivanovich Agusta, Berebut Pemerintahan Desa, Kompas, 10 Januari 2015,
hlm. 6
Tajuk Rencana, Kedaulatan Rakyat, 1 Maret 2015, hlm. 12

19