Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Model GBHN (Konsistensi Antara Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Nasional)

Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Model GBHN
(Konsistensi Antara Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Nasional)
Muryanto Amin1
Pendahuluan
Wacana yang sedang menarik dibahas oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) saat ini adalah diskursus tentang gagasan kembalinya Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) sebagai arah pembangunan di Indonesia yang pernah
digunakan pada masa Orde Baru. Ide tersebut menjadi penting karena evaluasi
program pembangunan tidak selalu dilaksanakan secara konsisten oleh hampir seluruh
lembaga negara khususnya pemerintah. Ketika Orde Baru, GBHN yang ditetapkan
oleh TAP MPR bersumber UUD 1945. Sementara setelah Orde Baru, pelaksanaan
pembangunan dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) yang ditetapkan oleh UU dan diterjemahkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) melalui ketetapan Peraturan Presiden sesuai Visi dan Misi
calon Presiden/Wakil Presiden.2
Sejak tahun 2004, perubahan GBHN menjadi RPJPN mengalami dinamika
fluktuatif terkait hasil pembangunan. Perubahan tersebut juga mengakibatkan tidak
selalu konsisten arah pembangunan ketika terjadi pergantian aktor yaitu Presiden,
Gubernur, Bupati/Walikota maupun lembaga negara lainnya. Salah satu penyebabnya
yang sangat penting adalah tidak adanya struktur yang tetap dapat dijadikan rujukan
program pembangunan jangka panjang yang akan dilakukan oleh aktor pengelola

lembaga negara khususnya pemerintah.
Rumusan rencana program pembangunan jangka panjang yang dimaksud
sebaiknya merupakan rumusan yang lahir dari sebuah paradigma pembangunan yang
bersifat ideal. Hasil perencanaan pembangunan tersebut merupakan cerminan
interaksi yang terus menerus antara aktor pemimpin bangsa, pengambil keputusan dan
rakyat. RPJPN menjadi rujukan bagi satu siklus pemerintahan dan belum tentu
menjadi bagian rujukan program pembangunan ketika terjadi pergantian kepala
pemerintahan. Makalah ini menjelaskan mana yang lebih penting antara sumber


1
2

Dosen Ilmu Politik FISIP USU dan Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Cabang Medan.
Lihat UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.




1


rujukan untuk menetapkan skala prioritas pembangunan nasional GBHN/RPJPN atau
aktor yang melaksanakannya.

MPR, GBHN, Presiden dan Wakil Presiden, dan Otonomi Daerah
Pertanyaan penting dalam studi Ilmu Politik tentang keberhasilan ketika
merencanakan, menetapkan, melaksanakan sebuah kebijakan dan tindakan dalam
sebuah sistem apakah ditentukan oleh struktur atau prilaku aktor? Struktur akan
membingkai dan mengarahkan tindakan tokoh-tokoh yang berada di dalamnya
sehingga suatu struktur tertentu akan menghasilkan prilaku tertentu. Sedangkan
peranan atau prilaku dan karakter aktor dapat mewarnai setiap struktur berikut
kebijakan strategisnya. Ilmu Politik menjelaskan dua pendekatan yang bertolak
belakang yaitu pendekatan strukturalis yang mengedepankan keutamaan struktur
(structuralist) dan pendekatan perilaku (behaviouralist)

3

yang menonjolkan

idosyncracy seorang pemimpin dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu

sistem. Pragmatisnya, dikotomi antara struktur dan aktor tersebut tidak setajam seperti
perdebatan teoritis karena keduanya saling mempengaruhi. Setiap individu merupakan
produk dari struktur yang membentuk cara berpikir dan membatasi atau
mendorongnya untuk bertindak dalam arah tertentu, sementara struktur adalah produk
dari pemikiran dan tindakan manusia-manusia yang ada di dalamnya.
Pembahasan ringkas tentang struktur dan aktor dalam Ilmu Politik tersebut
dapat diasosiasikan dengan kasus antara GBHN atau RPJPN dengan pelaksananya
yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Struktur dapat disebut sebagai hasil produk dari
pemikiran manusia yaitu GBHN atau RPJPN, sedangkan Aktor adalah produk dari
struktur yang membentuk tindakan ke arah tertentu yaitu Presiden dan Wakil
Presiden. Persoalan menariknya adalah ketika perubahan-perubahan besar terjadi –
apakah perubahan itu merupakan hasil mekanistis dari suatu perubahan struktur
sehingga para aktor hanya beraksi terhadap perubahan lingkungan besar yang
dialaminya, atau justru para aktor memainkan peran yang strategis dalam mendorong,
menentukan arah dan kecepatan perubahan atau bahkan menghambat dan
membelokkan tekanan dari luar yang menuntut adanya perubahan. Terhadap
persoalan tersebut, para analis akan berbeda pendapat dalam masalah ini. Misalnya,
runtuhnya kolonialisme di Asia dan Afrika disebabkan oleh kontradiksi internal

3


Lihat Scott Mainwaring, G. O’Donnell dan Samuel Velenzuela (eds). 1992. Issues in Democratic
Consolidation. Notre Dame: University of Notre Dame Press.



2

dalam sistem kapitalisme atau karena munculnya kaum elit terpelajar baru di wilayah
tersebut.
Begitu juga penafsiran tentang reformasi yang telah terjadi 18 tahun silam dan
meruntuhkan rezim Orde Baru di Indonesia yang menghasilkan perubahan-perubahan
besar dalam bidang politik dan hukum. Perubahan tersebut berakibat pada munculnya
perbedaan peran aktor yang semakin beragam, baik corak maupun kepentingannya.
Ada kelompok yang menginginkan perubahan secara cepat, radikal, dan fundamental,
ada juga kelompok yang percaya bahwa perubahan perlu dilakukan secara bertahap
untuk menghindari gejolak-gejolak yang dapat membahayakan kehidupan nasional.
Sementara ada kelompok yang sesungguhnya menentang setiap perubahan menuju
demokrasi yang kompetitif karena mereka menilai perubahan itu tidak sesuai dengan
nilai-nilai budaya bangsa. Selain itu, ada juga kelompok yang tidak terlalu peduli

tentang sistem pembangunan selama kebutuhan ekonominya terpenuhi atau justru
hanya memandang politik sebagai kesempatan untuk mendapatkan akses ekonomi.
Tarik ulur antara setiap kelompok yang berbeda pandangan tersebut berlangsung
selama proses demokrasi Indonesia sejak tahun 1998.
Pluralitas kepentingan dari para kelompok tersebut kemudian diputuskan
melalui sistem kompetisi yang menjadi persyaratan penting dalam demokrasi.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung merupakan bentuk keputusan
yang terkait dengan Aktor penting pelaksana pembangunan dan setelah terpilih diberi
ruang

kebebasan

oleh

peraturan

perundang-undangan

dalam


melaksanakan

pembangunan. Sementara kajian struktur (arah pembangunan dan kelembagaannya)
yang komprehensif bukan menjadi agenda prioritas dalam membentuk cara berpikir
dan bertindak Presiden dan Wakil Presiden untuk membatasi kebebasan tersebut.
Pada rentang waktu yang relatif terbatas dan ruang yang dibenarkan dalam peraturan,
maka arah pembangunan nasional lebih banyak diserahkan oleh Presiden dan Wakil
Presiden yang terpilih secara langsung ketimbang memberikan arah yang jelas tentang
agenda prioritas berikut waktunya kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Akibat yang terjadi dari situasi ini adalah terdapat kesenjangan, ketidakjelasan, dan
terputusnya kesinambungan program pembangunan nasional setiap terjadinya
pergantian Presiden dan Wakil Presiden.
Pelaksanaan otonomi daerah semakin menambah rumit persoalan pelaksanaan
pembangunan nasional. Keberhasilan atau kegagalan dalam berbagai bidang
kehidupan nasional semakin banyak ditentukan oleh kinerja daerah, karena dengan


3

adanya otonomi daerah sebagian besar tanggung jawab dan tugas-tugas pemerintahan

telah diserahkan ke daerah.4 Pertanyaannya adalah sejauh mana daerah mampu dan
berhasil

menerjemahkan

serta

mengaplikasikan

desain-desain

politik

dan

pembangunan yang dirancang di pusat sehingga di satu pihak dapat mencapai sasaran
sesuai visi dan misi rancangan awalnya secara konsisten? Tetapi di lain pihak tetap
dapat mempertahankan pluralitas lokal yang menjiwai konsep otonomi daerah sesuai
semboyan nasional Bhinneka Tunggal Ika.
Pertanyaan-pertanyaan berikut yang harus menjadi bagian penting dalam

rencana pembangunan adalah apakah cetak biru sistem demokrasi dan good
governance yang didesain putra-putri terbaik bangsa di tingkat nasional dengan
mengacu pada best practices internasional dapat diaplikasikan dengan baik di tingkat
lokal dengan nilai budaya yang beragam dan aktor yang beragam pula? Sejauh mana
sistem demokrasi dapat mendorong terjadinya perubahan substansial pada prilaku
pelaku politik yang lahir dan tumbuh dalam budaya yang mungkin bertolak belakang
dengan nilai-nilai demokrasi? Atau justru praktik demokrasi di tingkat lokal yang
mengalami distorsi dan kembali menyuburkan feodalisme dan patrimonialisme yang
merupakan sistem tradisional yang dominan di Indonesia? Apakah kekuatan sosial
politik yang semakin plural dan kehadiran civil society yang cukup dinamis di tingkat
pusat mampu berperan sebagai kontrol terhadap aktor-aktor formal negara dan
pemerintah juga terefleksikan di tingkat daerah secara merata? Siapa pelaku utama
dalam kegiatan politik di daerah dan apa dampaknya terhadap demokrasi di tingkat
lokal?
Agar serangkaian pertanyaan yang disebutkan di atas mendapat skala prioritas
dalam perencanaan pembangunan, maka sangat perlu merancang struktur rencana
pembangunan yang adaptif dan berlekanjutan berikut penataan institusi negara yang
terintegratif dan terkoordinasi. Jika GBHN dipandang sebagai model dalam
perencanaan pembangunan sebagaimana yang dimaksud tersebut, akan sangat perlu
disusun langkah strategis dan taktisnya. Langkah strategis misalnya GBHN berisi


4

Berbagai hasil kajian pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sebagain besar mengalami persoalan
kesenjangan, munculnya orang kuat lokal, ketidaksetaraan, dan prinsip lainnya yang bertentangan
dengan demokrasi. Lihat Henk S. Nordholt dan Gerry van Klinken. 2007. Politik Lokal di Indonesia.
Jakarta: YOI & KITLV-Jakarta; Muryanto Amin. 2014. “Relasi Jaringan Organisasi Pemuda dalam
Pemilihan Gubernur Sumatera Utara”. Jurnal Komunitas 6 (1). Semarang: Unnes. hal. 151-158.



4

tentang skala prioritas pembangunan yang mampu memperkecil permasalahan yang
sangat kompleks di Indonesia baik skala nasional maupun lokal. Langkah taktis
misalnya GBHN harus dirumuskan oleh rakyat dengan menggunakan prinsip
keterwakilan melalui Pemilu. MPR dapat diposisikan sebagai perumus dan pengambil
keputusan untuk menetapkan GBHN karena MPR berasal dari gabungan lembaga
perwakilan rakyat hasil pemilihan umum (DPR dan DPD). GBHN menjadi rujukan
Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pembangunan.

MPR sebagai gabungan lembaga perwakilan rakyat tidak mesti menjadi
lembaga yang juga memilih Presiden dan Wakil Presiden mandataris untuk
melaksanakan GBHN sebagaimana yang pernah dilakukan Orde Baru. Presiden dan
Wakil Presiden sebagai pelaksana GBHN tetap dipilih secara langsung oleh rakyat
dengan menawarkan konsep dan cara melaksanakan GBHN yang diamanahkan oleh
rakyat melalui MPR. Begitu juga pada pemilihan kepala daerah (gubernur dan
bupati/walikota), GBHN dan konsep serta cara presiden melaksanakan pembangunan,
harus menjadi acuan yang ditawarkan kelapa daerah ketika ingin dipilih oleh rakyat di
daerah secara langsung. Pelaksanaan otonomi daerah dalam perspektif keberagaman
seharusnya telah tertulis dalam GBHN sebagai amanat rakyat. Bupati/walikota
diberikan ruang untuk mengadaptasi konteks lokal yang berbeda-beda namun telah
tertulis di GBHN.
Pendekatan struktural untuk melihat GBHN dan lembaga negara yang
merumuskan dan menetapkannya memerlukan pendekatan prilaku dari aktor utama
(presiden dan wakil presiden serta bupati/walikota) yang akan melaksanakannya.
Untuk kepentingan praktik penyelenggaraan negara, tidak perlu mendikotomikan
antara struktur dan perilaku karena keduanya dapat berjalan secara linier.
Keberhasilan Presiden dan Wakil Presiden, Bupati/Walikota harus diukur dari
pelaksanaan GBHN yang membentuk cara berpikir dan membatasi atau
mendorongnya untuk bertindak dalam arah tertentu. Oleh karena itu, GBHN harus

dipandang sebagai sebuah struktur yang berasal dari pemikiran dan tindakan manusiamanusia yang berwenang menetapkannya. Reformulasi GBHN sebagai model untuk
sistem perencanaan pembangunan nasional memerlukan upaya kepastian hukum dan
pembenahan institusinya.



5

Substansi GBHN
Konstitusi Negara Republik Indonesia berisi tentang aturan untuk mencapai
cita-cita kemerdekaan sebagaimana yang dituliskan dalam Pancasila dan Pembukaan
UUD 1945. Cita-cita harus dianggap sebagai aspirasi kekal suatu bangsa mengenai
kesejahteraan, keamanan dan pengembangan yang dibentuk oleh nilai kultural dan
etik, serta asas yang akan digunakan untuk mencapainya. Cita-cita tersebut telah
mengalami dinamika seiring dengan perkembangan kehidupan manusia yang semakin
kompleks pada saat sumber daya sifatnya terbatas. Mengingat adanya keterbatasan
tersebut, sangat perlu merancang pola pembangunan utama atau rujukan induk yang
mampu menampung beragam kepentingan rakyat Indonesia. Pola perencanaan
pembangunan nasional harus bersifat tetap namun adaptif, menggambarkan alur
penyelesaian permasalahan rakyat yang beraneka ragam, dan sesuai perkembangan
kehidupan lokal, nasional maupun internasional. Substansi isi GBHN menjelaskan
tentang pokok-pokok pembangunan nasional yang disepakati untuk dilaksanakan oleh
seluruh lembaga negara.
Sistem perencanaan pembangunan nasional tersebut dilakukan untuk
menghindari perencanaan dan pelaksanaan kegiatan masyarakat yang dilakukan
sendiri-sendiri. Perencanaan pembangunan menjadi tidak terkait satu dengan lainnya,
bahkan saling bertentangan dan berpotensi menciptakan situasi yang kacau (chaotic).
GBHN merupakan bentuk catatan rencana pembangunan negara Indonesia dan
keinginan bersama rakyat Indonesia secara menyeluruh yang dibuat oleh MPR.
Seluruh tulisan dalam GBHN adalah rencana haluan pembangunan negara yang
dibuat oleh MPR dan dilaksanakan oleh Presiden. GBHN meletakkan peraturan
jalannya pembangunan negara yang harus berlandaskan dan tidak boleh bertentangan
dengan UUD 1945. Oleh karena itu, GBHN adalah visi dan misi tertinggi kedua
setelah UUD 1945 dalam melaksanakan pembangunan nasional. GBHN kemudian
harus dijabarkan dan dilaksanakan oleh lembaga eksekutif yaitu presiden dan wakil
presiden, bupati/walikota. Sehingga penjabaran program eksekutif tidak boleh
bertentangan dari GBHN sebagai landasan pembangunan nasional.
Substansi GBHN tersebut harus diperlukan untuk mengatasi pokok
permasalahan terkait kesinambungan program pembangunan. Penentuan jenis strategi
unggulan yang dapat menjadi solusi, mekanisme pelaksanaan dan penerapan
penagakan hukum dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh juga dituliskan
dalam GBHN dan diterapkan dengan sasaran, arah kebijakan, strategi yang jelas,


6

terstruktur dan massive (kokoh) serta oleh lembaga representasi rakyat yang kredibel
dan akuntabel. Merujuk pada Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Ketetapan MPR RI berada di urutan kedua setelah UUD 1945 maka sudah selayaknya
jika posisi itu dimanfaatkan dengan menjadikan MPR sebagai lembaga pembentuk
GBHN. Arah dan strategi pembangunan hukum Indonesia lima tahun ke depan harus
dituangkan dalam cetak biru (blue-print) yang diterapkan oleh eksekutif, legislatif,
yudikatif dan auxiliaries bodies. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan

GBHN

terkait

dengan

aspek

pelaksanaan/pengelolaan

program/kegiatannya, aspek pengawasan pelaksanaan program/kegiatan, dan aspek
penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran/penyimpangan terhadap ketentuan
pelaksanaannya.

Kesimpulan
Reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional menjadi agenda
priortas bagi negara untuk memastikan program pembangunan dilakukan secara tepat
dan berkesinambungan pada level nasional maupun lokal. Pendekatan struktural
untuk melihat GBHN dan lembaga negara yang merumuskan dan menetapkannya
memerlukan pendekatan prilaku dari aktor utama (presiden dan wakil presiden serta
bupati/walikota)

yang

akan

melaksanakannya.

Untuk

kepentingan

praktik

penyelenggaraan negara, tidak perlu mendikotomikan antara struktur dan perilaku
karena keduanya dapat berjalan secara linier. Keberhasilan Presiden dan Wakil
Presiden, Bupati/Walikota harus diukur dari pelaksanaan GBHN yang membentuk
cara berpikir dan membatasi atau mendorongnya untuk bertindak dalam arah tertentu.
Oleh karena itu, GBHN harus dipandang sebagai sebuah struktur yang berasal dari
pemikiran dan tindakan manusia-manusia yang berwenang menetapkannya.
Reformulasi GBHN sebagai model untuk sistem perencanaan pembangunan nasional
memerlukan upaya kepastian hukum dan pembenahan institusinya.
Jika GBHN akan dijadikan sebagai landasan pokok pembangunan nasional
maka harus dirumuskan secara komprehensif karena keragaman kultur dan
kemampuan rakyat Indonesia. GBHN harus adaptif dan mampu memprediksi ruang
waktu tertentu yang selalu berkembang dengan sangat cepat. Langkah-langkah
strategis dan taktis harus dilakukan oleh para pengambil keputusan dan MPR
dianggap sebagai leading sector untuk memastikan cepat atau lambatnya keputusan
GBHN sebagai model dalam perencanaan pembangunan nasional.


7

Daftar Pustaka
Amin, Muryanto. 2014. “Relasi Jaringan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan
Gubernur Sumatera Utara”. Jurnal Komunitas 6 (1). Semarang: Unnes. hal.
151-158.
Mainwaring, Scott, G. O’Donnell dan Samuel Velenzuela (eds). 1992. Issues in
Democratic Consolidation. Notre Dame: University of Notre Dame Press.
Nordholt, Henk S. dan Gerry van Klinken. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta:
YOI & KITLV-Jakarta
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.



8