ARAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL. pdf

BAB 3 ARAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DAN STRATEGI BIDANG CIPTA KARYA KABUPATEN KEPAHIANG

3.1 KONSEP PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN PROGRAM DITJEN CIPTA KARYA

Rencana pembangunan infrastruktur permukiman disusun dengan yang mengacu pada rencana tata ruang maupun rencana pembangunan, baik skala nasional maupun skala

provinsi dan kabupaten/kota. Dengan memperhatikan kondisi eksisting, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya juga mengacu pada amanat pembangunan nasional dan amanat internasional seperti Agenda Habitat, Amanat RIO +20, amanat Milenium Development Goals, dan amanat pembangunan internasional lain. Pembangunan bidang Cipta Karya juga memperhatikan Isu-isu Strategis yang mempengaruhi pembangunan pada suatu wilayah seperti lokasi rawan bencana alam, dampak terjadinya perubahan iklim, faktor daya beli masyarakat akibat kemiskinan, reformasi birokrasi, kepadatan penduduk khususnya pada kawasan perkotaan, serta green economy. Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan melibatkan unsur masyarakat dan stakeholder dari dunia usaha (swasta) supaya tercipta permukiman yang Layak Huni dan Berkelanjutan.

Penjabaran rencana pembangunan tersebut akan disusun secara sistematis dengan berlandaskan pada rencana kerangka jangka menengah yang menjadi dasar pada penjabaran rencana kerja bidang Cipta Karya, dan juga mengacu pada Rencana Strategis

(Renstra) Cipta Karya. Untuk itu, sesuai dengan yang telah digariskan pada Rencana Strategis, diperlukan penyusunan rencana yang lebih teknis, yang didasarkan pada skenario pemanfaatan dan perwujudan struktur dan pola ruang yang diwujudkan dalam strategi

pengembangan wilayah dan strategi pengembangan sektor. Rencana yang lebih teknis tersebut disusun dalam kerangka jangka menengah dan dijabarkan pada tataran kegiatan yang lebih rinci dari berbagai macam aspek, seperti rencana pendanaan, sumber pendanaan dan kerangka pelaksanaannya. Dokumen perencanaan tersebut diwujudkan dalam bentuk Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2JM) bidang Cipta Karya.

Dalam pelaksanaannya RPI2JM Bidang Cipta Karya yang merupakan perencanaan investasi jangka menengah, akan menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan dalam penyusunan anggaran atau rencana kerja tahunan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat

provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam arti bahwa rencana pembangunan dalam RPI2JM tersebut harus tertuang dalam rencana kerja /RKP/RKPD.

Dengan demikian jelas bahwa RPI2JM Bidang Cipta Karya merupakan perwujudan rencana dari berbagai macam kebijakan yang menyangkut pembangunan infrastruktur Bidang Cipta

Karya, sesuai dengan sistem perencanaan pembangunan nasional yang berlaku Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Penyusunan Program bidang Cipta Karya merupakan rangkaian aktivitas penyiapan usulan kegiatan ke-Cipta Karya-an di tingkat kabupaten/kota sampai dengan provinsi yang selaras dengan pencapaian sasaran kinerja DJCK dan penanganan isu-isu strategis bidang Cipta Karya bersumber pada dokumen RPI2JM.

Gambar 3.1 Konsep Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

Dasar penyusunan program DJCK yaitu Renstra Kementerian PU 2014-2019 dan Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPI2JM) Kab/Kota bidang Cipta Karya. Keluaran proses Penyusunan Program berupa Memorandum Program (MP) Provinsi.

Gambar 2.1 memaparkan konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya, yang membagi amanat pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dalam 4 (empat) bagian, yaitu amanat penataan ruang/spasial, amanat pembangunan nasional dan

direktif presiden, amanat pembangunan Bidang Pekerjaan Umum, serta amanat internasional.

3.2 AMANAT PEMBANGUNAN NASIONAL TERKAIT BIDANG CIPTA KARYA

Amanat pembangunan nasional dimaksudkan sebagai suatu panduan dalam perencanaan pembangunan. Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan nasional karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,

mengurangi angka kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, Ditjen Cipta Karya berperan penting dalam implementasi amanat kebijakan pembangunan dan perencanaan nasional. Adapun dalam amanat pembangunan nasional yang

dimaksudkan meliputi RPJP Nasional, RPJM Nasional, MP3EI, MP3KI, KEK dan Direktif Presiden.

3.2.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005 – 2025

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007 adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang merupakan

jabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional untuk masa 20 tahun ke depan yang mencakupi kurun waktu mulai dari tahun 2005 hingga tahun 2025. RPJP Nasional ditetapkan dengan maksud memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi, dan arah pembangunan yang disepakati bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif, dan saling melengkapi satu dengan lainnya di dalam satu pola sikap dan pola tindak.

Dalam penjabarannya RPJPN mengamanatkan beberapa hal sebagai berikut dalam pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu:

a. Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya a. Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya

pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan.

b. Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan maka Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam

penyediaan air minum dan sanitasi, (2) pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional, dan (4) penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah

dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.

c. Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama untuk proyek- proyek yang bersifat komersial.

d. Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap tahapan RPJMN, yaitu:

 RPJMN ke 2 (2010-2014): Daya saing perekonomian ditingkatkan melalui percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerjasama antara pemerintah dan dunia usaha dalam pengembangan perumahan dan permukiman.

 RPJMN ke 3 (2015-2019): Pemenuhan kebutuhan hunian bagi seluruh masyarakat terus meningkat karena didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh.

 RPJMN ke 4 (2020-2024): terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung sehingga terwujud kota tanpa permukiman kumuh.

3.2.2 Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2010 – 2014

RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden hasil Pemilihan Umum tahun 2009. RPJM Nasional memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RPJM Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat berfungsi sebagai:

a. Pedoman bagi Kementerian/Lembaga dalam menyusun Rencana Strategis Kementerian/Lembaga;

b. Bahan penyusunan dan perbaikan RPJM Daerah dengan memperhatikan tugas pemerintah daerah dalam mencapai sasaran Nasional yang termuat dalam RPJM Nasional;

c. Pedoman Pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah. RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 ini

menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dengan mendorong

partisipasi masyarakat Dalam rangka pemenuhan hak dasar untuk tempat tinggal dan lingkungan yang layak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28H, pemerintah memfasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah serta memberikan dukungan penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman, seperti air minum, air limbah, persampahan dan drainase.

Dokumen RPJMN juga menetapkan sasaran pembangunan infrastruktur permukiman pada periode 2010-2014, yaitu:

a. Tersedianya akses air minum bagi 70 % penduduk pada akhir tahun 2014, dengan perincian akses air minum perpipaan 32 persen dan akses air minum non-perpipaan terlindungi 38 %.

b. Terwujudnya kondisi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) hingga akhir tahun 2014, yang ditandai dengan tersedianya akses terhadap sistem pengelolaan air

limbah terpusat (off-site) bagi 10% total penduduk, baik melalui sistem pengelolaan air limbah terpusat skala kota sebesar 5% maupun sistem pengelolaan air limbah terpusat skala komunal sebesar 5 % serta penyediaan akses dan peningkatan kualitas sistem pengelolaan air limbah setempat (on-site) yang layak bagi 90 % total penduduk.

c. Tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80 % rumah tangga di daerah perkotaan.

d. Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan strategis perkotaan. Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan diarahkan untuk

meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air minum dan sanitasi yang memadai, melalui:

a. menyediakan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah,

b. memastikan ketersediaan air baku air minum,

c. meningkatkan prioritas pembangunan prasarana dan sarana permukiman,

d. meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan air minum, penanganan air limbah, dan pengelolaan persampahan,

e. meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan sanitasi,

f. meningkatkan cakupan pelayanan prasarana permukiman,

g. Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS),

h. Mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur,

i. meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta, j. mengurangi volume air limpasan, melalui penyediaan bidang resapan.

3.2.3 Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

Dalam rangka transformasi ekonomi menuju negara maju dengan pertumbuhan ekonomi 7-9 persen per tahun, Pemerintah menyusun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang ditetapkan melalui Perpres No. 32 Tahun 2011. MP3EI merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut, Dalam rangka transformasi ekonomi menuju negara maju dengan pertumbuhan ekonomi 7-9 persen per tahun, Pemerintah menyusun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang ditetapkan melalui Perpres No. 32 Tahun 2011. MP3EI merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut,

Berdasarkan arahan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, Masterplan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode

15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2025 dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 dan melengkapi dokumen perencanaan.

Pelaksanaan MP3EI dilakukan untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi melalui pengembangan 8 (delapan) program utama yang terdiri dari 22 (dua puluh dua) kegiatan ekonomi utama. Strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan

mengintegrasikan 3 (tiga) elemen utama yaitu:

1. Mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 (enam) Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu: Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali –Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku

2. Memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected)

3. Memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi.

Dalam dokumen MP3EI tersebut pembangunan setiap koridor ekonomi dilakukan sesuai tema pembangunan masing-masing dengan prioritas pada kawasan perhatian investasi

(KPI MP3EI). Ditjen Cipta Karya diharapkan dapat mendukung penyediaan infrastruktur permukiman pada KPI Prioritas untuk menunjang kegiatan ekonomi di kawasan tersebut. Kawasan Perhatian Investasi atau KPI dalam MP3EI adalah adalah satu atau lebih kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat atau terhubung dengan satu atau lebih faktor konektivitas dan SDM IPTEK. Pendekatan KPI dilakukan untuk mempermudah identifikasi, pemantauan, dan evaluasi atas kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat dengan faktor konektivitas dan SDM IPTEK yang sama.

Pengembangan MP3EI difokuskan pada Kawasan Perhatian Investasi (KPI) yang diidentifikasikan sebagai satu atau lebih kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang Pengembangan MP3EI difokuskan pada Kawasan Perhatian Investasi (KPI) yang diidentifikasikan sebagai satu atau lebih kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang

SDM IPTEK yang sama. KPI dapat menjadi KPI prioritas dengan kriteria sebagai berikut:

a. Total nilai investasi pada setiap KPI yang bernilai signifikan

b. Keterwakilan Kegiatan Ekonomi Utama yang berlokasi pada setiap KPI

c. Dukungan Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap sentra-sentra produksi di masing-masing KPI

d. Kesesuaian terhadap beberapa kepentingan strategis (dampak sosial, dampak ekonomi, dan politik) dan arahan Pemerintah (Presiden RI)

Berdasarkan arahan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 Kabupaten Kepahiang termasuk ke dalam wilayah pengembangan MP3EI Koridor Ekonomi Sumatera dengan kegiatan sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan Lumbung Energi Nasional.

3.2.4 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI)

Sesuai dengan agenda RPJMN 2010-2014, pertumbuhan ekonomi perlu diimbangi dengan upaya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Dalam upaya menekan angka

kemiskinan, pemerintah sejak 2009 mendesain program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI). Dalam MP3KI, upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk mempercepat laju penurunan angka kemiskinan dan memperluas jangkauan penurunan tingkat kemiskinan di semua daerah dan di semua kelompok masyarakat. Program ini langsung menyasar masyarakat bawah yang mengalami kemiskinan ekstrim di Indonesia.

Dalam mencapai misi penanggulangan kemiskinan pada tahun 2025, MP3KI bertumpu pada sinergi dari tiga strategi utama, yaitu:

a. Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh, terintegrasi,dan mampu melindungi masyarakat dari kerentanan dan goncangan,

b. Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di masa mendatang, b. Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di masa mendatang,

Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Ditjen Cipta Karya, berperan penting dalam pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat (PNPMPerkotaan/P2KP, PPIP, Pamsimas, Sanimas dsb) serta Program Pro

Rakyat.

3.2.5 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

Dalam UU No. 39 Tahun 2009, Kawasan Ekonomi Khusus, yang selanjutnya disebut KEK, adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. KEK terdiri atas satu atau beberapa zona, yaitu: Pengolahan ekspor; Logistik; Industri; Pengembangan teknologi; Pariwisata; Energi; dan/atau dan Ekonomi lain.

Pembentukan KEK tersebut dapat melalui usulan dari Badan Usaha yang didirikan di Indonesia, pemerintah kabupaten/kota, dan pemerintah provinsi, yang ditujukan kepada Dewan Nasional. Selain itu, Pemerintah Pusat juga dapat menetapkan suatu wilayah sebagai KEK yang dilakukan berdasarkan usulan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian. Sedangkan lokasi KEK yang diusulkan dapat merupakan area baru maupun perluasan dari KEK yang sudah ada. Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus memenuhi kriteria:

a. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung

b. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan mendukung KEK;

c. Terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan internasional atau dekat dengan jalur pelayaran internasional di Indonesia atau terletak pada wilayah potensi sumber daya unggulan, dan

d. Mempunyai batas yang jelas.

Di samping zona ekonomi, didalam KEK juga dilengkapi fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan

perusahaan yang berada di dalam KEK. Ditjen Cipta Karya dalam hal ini diharapkan dapat mendukung infrastruktur permukiman

pada kawasan tersebut sehingga menunjang kegiatan ekonomi di KEK. Berdasarkan arahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi

Khusus, Kabupaten Kepahiang tidak termasuk ke dalam Kawasan Ekonomi Khusus maupun usulan lokasi Kawasan Ekonomi Khusus. Kawasan Ekonomi Khusus di wilayah Sumatera meliputi KEK Sei Mangke dan KEK Tanjung Api-api.

3.2.6 Direktif Presiden Progam Pembangunan Berkeadilan

Dalam Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh Kementerian, Gubernur, Walikota/Bupati, untuk menjalankan program pembangunan berkeadilan yang meliputi

Program pro rakyat, Keadilan untuk semua, dan Program Pencapaian MDGs. Ditjen Cipta Karya memiliki peranan penting dalam pelaksanaan Program Pro Rakyat terutama program air bersih untuk rakyat dan program peningkatan kehidupan masyarakat perkotaan. Sedangkan dalam pencapaian MDGs, Ditjen Cipta Karya berperan dalam peningkatan akses pelayanan air minum dan sanitasi yang layak serta pengurangan permukiman kumuh.

3.3 AMANAT PERATURAN PERUNDANGAN PEMBANGUNAN TERKAIT BIDANG CIPTA KARYA

Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi peraturan perundangan yang terkait dengan bidang Cipta Karya, antara lain UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU No. 7 tahun 2008 tentang Sumber Daya Air, UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan, target Direktorat Jenderal Cipta Karya, dan Standar Pelayanan Minimal.

3.3.1 Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman

Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman membagi tugas dan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan permukiman mempunyai tugas: Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman membagi tugas dan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan permukiman mempunyai tugas:

b. Menyusun dan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

c. Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman,

lingkungan hunian, dan kawasan permukiman.

d. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan

kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

e. Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota.

f. Melaksanakan melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

g. Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman.

h. Melaksanakan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman berpedoman pada kebijakan nasional.

i. Melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman.

j. Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

k. Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba. Adapun wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya yaitu:

a. Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

b. Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

c. Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

d. Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundangundangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

e. Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi MBR.

f. Menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi MBR pada tingkat kabupaten/kota.

g. Memfasilitasi kerja sama pada tingkat kabupaten/kota antara pemerintah kabupaten/kota dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

h. Menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.

i. Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.

Di samping mengatur tugas dan wewenang, Undang-Undang ini juga mengatur penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan,

pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah pendanaan dan pembiayaan, hak kewajiban dan peran masyarakat. Undang-Undang ini mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Untuk itu perlu dilakukan upaya pencegahan, terdiri dari pengawasan, pengendalian, dan pemberdayaan masyarakat, serta upaya peningkatan kualitas permukiman, yaitu pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali.

3.3.2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Undang-Undang No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung merupakan undang – undang yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam mengatur semua pekerjaan yang berkaitan dengan pembangunan terutama Gedung, sehingga dapat dikontrol dan diuji kualitasnya. Undang –undang ini menjadi dasar pedoman pelaksanaan semua proses pembangunan geduang di Indonesia. Dalam Undang –Undang No 28 Tahun 2002 dijelaskan bahawa bangunan gedung adalah

wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya,

khusus. Adapun penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran.

Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan administratif meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin

mendirikan bangunan. Sedangkan persyaratan teknis meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung. Persyaratan tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung,

dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yang ditetapkan melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

Di samping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal sebagai berikut:

a. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Di samping itu, sistem

penghawaan, pencahayaan, dan pengkondisian udara dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan energi dalam bangunan gedung

(amanat green building).

b. Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan. Pelaksanaan

perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya.

c. Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung.

3.3.3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Air merupakan salah satu sumber kehidupan mutlak untuk mahkluk hidup. Ketersediaan dan kebutuhan harus seimbang untuk menjamin keberlanjutan sumber daya air. Kelebihan air terutama di musim hujan di suatu tempat bisa menjadi masalah seperti banjir atau Air merupakan salah satu sumber kehidupan mutlak untuk mahkluk hidup. Ketersediaan dan kebutuhan harus seimbang untuk menjamin keberlanjutan sumber daya air. Kelebihan air terutama di musim hujan di suatu tempat bisa menjadi masalah seperti banjir atau

saling memberikan dampak baik yang positif maupun negatif. Sejarah terbitnya Undang- Undang Sumber Daya Air ini merupakan suatu proses yang cukup panjang. Ada yang pro maupun ada yang kontra untuk diterbitkan. Isu-isu timbul selama proses penerbitannya,

antara lain privatisasi, ekspor air, peningkatan fungsi ekonomi dan berkurangnya fungsi sosial yang akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa air merupakan kepentingan semua pihak (water is everyone's business).

Kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat mendorong lebih menguatnya nilai ekonomi air dibanding nilai dan fungsi sosialnya. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antarsektor, antarwilayah dan berbagai

pihak yang terkait dengan sumber daya air. Di sisi lain, pengelolaan sumber daya air yang lebih bersandar pada nilai ekonomi akan cenderung lebih memihak kepada pemilik modal serta dapat mengabaikan fungsi sosial sumber daya air. Berdasarkan pertimbangan

tersebut undang-undang ini lebih memberikan perlindungan terhadap kepentingan kelompok masyarakat ekonomi lemah dengan menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya air yang mampu menyelaraskan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi.

Hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi dijamin oleh Pemerintah atau

pemerintah daerah. Hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat tersebut termasuk hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya. Pemerintah atau pemerintah daerah menjamin alokasi air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat tersebut dengan tetap memperhatikan kondisi ketersediaan air yang ada dalam wilayah sungai yang bersangkutan dengan tetap menjaga terpeliharanya ketertiban dan ketentraman.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air pada dasarnya mengatur pengelolaan sumber daya air, termasuk didalamnya pemanfaatan untuk air minum. Dalam hal ini, negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif. Pengaturan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan sumber daya air oleh

Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota didasarkan pada keberadaan wilayah sungai yang bersangkutan, yaitu:

a. Wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan/atau wilayah sungai strategis nasional menjadi kewenangan Pemerintah.

b. Wilayah sungai lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah provinsi;

c. Wilayah sungai yang secara utuh berada pada satu wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota;

Di samping itu, undang-undang ini juga memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain sepanjang kewenangan yang ada belum dilaksanakan oleh masyarakat dan/atau oleh pemerintah di atasnya. Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan sumber daya air tersebut termasuk mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas peruntukan, penyediaan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dengan tetap dalam kerangka konservasi dan pengendalian daya rusak air.

Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan tetap memperhatikan fungsi sosial sumber daya air dan kelestarian lingkungan hidup. Pengusahaan sumber daya air yang

meliputi satu wilayah sungai hanya dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara keduanya, dengan tujuan untuk tetap mengedepankan prinsip pengelolaan yang selaras antara fungsi sosial, fungsi lingkungan hidup, dan fungsi ekonomi sumber daya air.

3.3.4 Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan

Definisi sampah, sebagaimana yang tertulis dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Yang

termasuk jenis sampah adalah sampah rumah tangga (tidak termasuk tinja), sampah sejenis sampah rumah tangga yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum dan fasilitas lainnya serta sampah spesifik. Yang terakhir ini adalah sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya dan beracun, sampah yang timbul akibat bencana, puing bongkaran bangunan, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah, dan sampah yang timbul secara tidak periodik.

Pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah yang ditujukan Pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah yang ditujukan

Upaya pengurangan sampah dilakukan dengan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi:

a. pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah,

b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah

terpadu,

c. pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu

menuju ke tempat pemrosesan akhir,

d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik,komposisi, dan jumlah sampah,

e. pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

Dalam undang-undang pengelolaan sampah ini juga disebutkan larangan bagi setiap orang untuk memasukkan sampah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,

mengimpor sampah, mencampur sampah dengan limbah berbahaya dan beracun, mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan, melakukan

penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir serta membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Oleh karena itu, Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang

menggunakan sistem pembuangan terbuka dan mengembangkan TPA dengan sistem controlled landfill ataupun sanitary landfill.

3.3.5 Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya turut serta dalam pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2011. Dalam undang-undang tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya turut serta dalam pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2011. Dalam undang-undang tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang

bersama, dan tanah bersama. Peraturan ini juga mengatur perihal pembinaan, perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan, peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan, tugas dan wewenang, hak dan

kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan peran masyarakat.

3.3.6 Target Direktorat Jenderal Cipta Karya

Dalam konteks nasional terdapat target dalam Bidang Cipta Karya yang diharapkan tercapai pada tahun 2020. Target tersebut adalah target 100-0-100, yaitu:

a. Target capaian air minum tahun 2020 adalah 100% seluruh masyarakat Indonesia

b. Target capaian rumah kumuh tahun 2020 adalah 0% di Indonesia

c. Target capaian sanitasi tahun 2020 adalah 100% seluruh masyarakat Indonesia.

3.3.7 Permen PU No. 01 Tahun 2014 (Standar Pelayanan Minimal Bidang Cipta Karya)

Standar Pelayanan Minimal untuk Bidang Cipta Karya menurut Permen PU No. 01 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang

adalah:

a. Penyediaan Air Minum. Air minum adalah air minum rumah tangga yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Penyediaan air minum adalah kegiatan menyediakan air minum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat agar mendapatkan kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif. Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya kualitas layanan air minum permukiman perkotaan. Adapun target capaian tahun 2019 untuk SPM ini adalah 81,77% penduduk mendapatkan akses air minum yang aman melalui SPAM dengan jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan terlindungi dengan kebutuhan pokok minimal 60 liter/orang/hari.

b. Penyehatan Lingkungan Permukiman (Sanitasi Lingkungan dan Persampahan). Sanitasi adalah upaya untuk menjamin dan meningkatkan penyehatan lingkungan dalam suatu kawasan permukiman, termasuk pengumpulan, pengolahan, dan pembuangan air limbah, air hujan/drainase, dan sampah. Secara umum, sasaran yang ingin dicapai oleh SPM di sektor ini adalah meningkatnya kualitas sanitasi (air b. Penyehatan Lingkungan Permukiman (Sanitasi Lingkungan dan Persampahan). Sanitasi adalah upaya untuk menjamin dan meningkatkan penyehatan lingkungan dalam suatu kawasan permukiman, termasuk pengumpulan, pengolahan, dan pembuangan air limbah, air hujan/drainase, dan sampah. Secara umum, sasaran yang ingin dicapai oleh SPM di sektor ini adalah meningkatnya kualitas sanitasi (air

i. Pengelolaan Air Limbah Permukiman. Target SPM untuk pengelolaan air limbah permukiman adalah 60% penduduk terlayani sistem pengelolaan air

limbah yang memadai.

ii. Pengelolaan Sampah. Target SPM untuk pengelolaan sampah adalah 20% penduduk pengurangan sampah di perkotaan, 70% penduduk terlayani sistem

pengangkutan sampah di perkotaan, dan 70% pengoperasian Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah.

iii. Drainase. Target SPM untuk drainase adalah 50% penduduk terlayani sistem jaringan drainase skala kota dan pengurangan luas genangan (lebih dari 30 cm selama 2 jam, lebih dari 2 kali setahun) sebanyak 50%.

c. Penataan Bangunan dan Lingkungan. Penataan bangunan dan lingkungan ini sangat terkait dengna penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota,

dan oleh pemerintah atau pemerintah provinsi untuk bangunan gedung fungsi khusus kepada pemilik bangunan gedung untuk kegiatan meliputi:

 Pembangunan bangunan gedung baru, dan/atau prasarana bangunan gedung;  Rehabilitasi/renovasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan gedung

meliputi perbaikan/perawatan, perubahan, perluasan/pengurangan; dan  Pelestarian/pemugaran. Sasaran untuk SPM ini adalah meningkatnya tertib pembangunan gedung. Adapun

target untuk SPM in pada tahun 2019 adalah jumlah IMB yang diterbitkan sebanyak 60%.

d. Penanganan Permukiman Kumuh Perkotaan. Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan, kepadatan, dan

kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Sasaran untuk SPM ini adalah berkurangnya luasan permukiman kumuh di kawasan perkotaan. Adapun target capaian SPM ini untuk tahun 2019 adalah berkurangnya luasan permukiman kumuh di kawasan perkotaan sebanyak 10%.

3.4 AMANAT INTERNASIONAL

Pemerintah Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog internasional dan perumusan kesepakatan bersama di bidang permukiman. Beberapa amanat internasional yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan dan program bidang Cipta Karya meliputi Agenda Habitat, Konferensi Rio+20, Millenium Development Goals, serta Agenda Pembangunan Pasca 2015.

3.4.1 Agenda Habitat

Pada tahun 1996, di Kota Istanbul Turki diselenggarakan Konferensi Habitat II sebagai kelanjutan dari Konferensi Habitat I di Vancouver tahun 1976. Konferensi tersebut menghasilkan Agenda Habitat, yaitu dokumen kesepakatan prinsip dan sasaran pembangunan permukiman yang menjadi panduan bagi negara-negara dunia dalam menciptakan permukiman yang layak dan berkelanjutan.

Salah satu pesan inti yang menjadi komitmen negara-negara dunia, termasuk Indonesia, adalah penyediaan tempat hunian yang layak bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali, serta meningkatkan akses air minum, sanitasi, dan pelayanan dasar terutama bagi

masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok rentan. Pemukiman manusia harus direncanakan, dikembangkan dan ditingkatkan dengan cara yang memperhitungkan penuh prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan semua komponennya, sebagaimana

tercantum dalam Agenda 21 dan terkait hasil dari Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan. Pembangunan pemukiman manusia berkelanjutan harus menjamin

pembangunan ekonomi, kesempatan kerja dan kemajuan sosial, selaras dengan lingkungan. Ini mencakup prinsip-prinsip Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan, yang merupakan hasil dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan, prinsip-prinsip pendekatan kehati-hatian, pencegahan polusi, perhatian terhadap daya dukung ekosistem, dan pelestarian peluang untuk generasi masa depan. Produksi, konsumsi dan transportasi harus dikelola dengan cara yang dapat melindungi dan melestarikan stok sumber daya. Ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki peran penting dalam membentuk pemukiman manusia yang berkelanjutan dan mempertahankan ekosistem mereka.

3.4.2 Rio + 20

Pada Juni 2012, di Kota Rio de Janeiro, Brazil, diselenggarakan KTT Pembangunan Berkelanjutan atau lebih dikenal dengan KTT Rio+20. KTT Rio+20 merupakan konferensi

PBB terbesar yang pernah diselenggarakan dengan jumlah peserta sebanyak 29.373 orang yang terdiri dari para pemimpin Pemerintah, bisnis dan organisasi kemasyarakatan, pejabat PBB, akademisi, wartawan dan masyarakat umum (Delegasi sekitar 12.000 orang, LSM dan

Kelompok Utama 10.047 orang dan Media 3.989 orang). KTT Rio+20 menyepakati Dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi

pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen memuat kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh

dunia (common vision) dan penguatan komitmen untuk menuju pembangunan berkelanjutan (renewing political commitment). Dokumen ini memperkuat penerapan Rio Declaration 1992 dan Johannesburg Plan of Implementation 2002.

Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu:

1. Green Economy in the context of sustainable development and poverty eradication,

2. pengembangan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat global (Institutional Framework for Sustainable Development), serta

3. kerangka aksi dan instrumen pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Framework for Action and Means of Implementation). Kerangka aksi tersebut

termasuk penyusunan Sustainable Development Goals (SDGs)post-2015 yang mencakup 3 pilar pembangunan berkelanjutan secara inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium Development Goals (MDGs).

Bagi Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam pelaksanaan rencana pembangunan nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005-2025). Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup, instansi Pemerintah terkait dan seluruh pemangku kepentingan akan menyusun langkah tindak lanjut yang lebih konkrit untuk pelaksanaan kebijakan di lingkup masing-masing.

Kebijakan Pemerintah Indonesia “pro-growth, pro-poor, pro-job, pro-environment” pada dasarnya telah selaras dengan dokumen The Future We Want. Dalam sesi debat umum, Presiden RI menekankan bahwa untuk mewujudkan tujuan utama pembangunan berkelanjutan yaitu pengentasan kemiskinan, diperlukan tidak hanya sekedar pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan yang berkelanjutan dengan pemerataan atau “Sustainable Growth with Equity”.

Konferensi Rio+20 ini menghasilkan lebih dari US$ 513 Milyar yang dialokasikan dalam komitmen untuk pembangunan berkelanjutan, termasuk di bidang energi, transportasi, ekonomi hijau, pengurangan bencana, kekeringan, air, hutan dan pertanian. Selain itu

terbangun sebanyak 719 komitmen sukarela untuk pembangunan berkelanjutan oleh pemerintah, dunia usaha, kelompok masyarakat sipil, universitas dan lain-lain.

3.4.3 Millenium Development Goals

Millennium Development Goals (MDGs) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Tujuan Pembangunan Milenium, adalah sebuah paradigma pembangunan global, dideklarasikan Konperensi Tingkat Tinggi Milenium oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada bulan September 2000. Dasar hukum dikeluarkannya deklarasi MDGs adalah Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor 55/2 Tangga 18 September 2000, (A/Ris/55/2 United Nations Millennium Development Goals).

Deklarasi MDGs merupakan hasil perjuangan dan kesepakatan bersama antara negara- negara berkembang dan maju. Negera-negara berkembang berkewajiban untuk melaksanakannya, termasuk salah satunya Indonesia dimana kegiatan MDGs di Indonesia mencakup pelaksanaan kegiatan monitoring MDGs. Sedangkan negara-negara maju berkewajiban mendukung dan memberikan bantuan terhadap upaya keberhasilan setiap tujuan dan target MDGs.

Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut berkomitment untuk mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang pemenuhan

hak asasi dan kebebasan manusia, perdamaian, keamanan, dan pembangunan. Deklarasi ini merupakan kesepakatan anggota PBB mengenai sebuah paket arah pembangunan global yang dirumuskan dalam beberapa tujuan yaitu:

1. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan,

2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk semua,

3. Mendorong Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan,

4. Menurunkan Angka Kematian Anak,

5. Meningkatkan Kesehatan Ibu,

6. Memerangi HIV/AIDs, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya,

7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup, dan

8. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan. Setiap tujuan menetapkan satu atau lebih target serta masing-asing sejumlah indikator

yang akan diukur tingkat pencapaiannya atau kemajuannya pada tenggat waktu hingga tahun 2015. Secara global ditetapkan 18 target dan 48 indikator. Meskipun secara global

ditetapkan 48 indikator namun implementasinya tergantung pada setiap negara disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan dan ketersediaan data yang digunakan untuk mengatur tingkat kemajuannya. Indikator global tersebut bersifat fleksibel bagi setiap negara.

Setiap tujuan (goals) dalam MDGs memiliki satu ataupun beberapa target pencapaian. Dimana antara satu goals MDGs satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Adapun

pencapaian target (goals) MDGs dalam bidang Cipta Karya tercantum dalam Goal 7:

Menjamin kelerstarian lingkungan hidup, dengan memaparkan target :

 Target 7C: Menurunkan hingga separuhnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan

terhadap air minum layak dan sanitasi layak pada tahun 2015.  Target 7D:

Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020.

Adapun indikator MDGs dalam bidang Cipta Karya meliputi:

1. Air Minum yang Layak

Air minum yang layak, adapun indikator yang digunakan dalam pencapaian tersebut adalah:

 Sumber air minum yang layak meliputi air minum perpipaan dan air minum non- perpipaan terlindung yang berasal dari sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari kontaminasi lainnya

 Sumber air minum layak meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan.

 Air Kemasan tidak dikategorikan sebagai sumber air minum layak terkait akses berkelanjutannya.

2. Sanitasi yang Layak