Aspek Psikosomatik Pada Gangguan Hati

ASPEK PSIKOSOMATIK PADA GANGGUAN HATI
Wika Hanida Lubis, Habibah Hanum, Ricky Rivalino Sitepu
Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan
Gangguan hati telah lama diketahui memiliki dampak signifikan terhadap aspek
psikosomatik. Gejala klinis psikosomatis dari gangguan hati mulai mulai diteliti pada
1950-an menyusul munculnya hepatologi sebagai spesialisasi medis. Gejala-gejala ini
pada dasarnya merupakan gangguan mental organik yang merupakan konsekuen dari
gangguan metabolik yang berat disertai sirkulasi kolateral portal sistemik. Sebagian besar
bentuk penyakit hati kronis mengarah ke sirosis yang dapat mengakibatkan terjadinya
ensefalopati hepatik dan bermanifestasi dengan gejala psikosis seperti mania, depresi,
apatis, atau kebingungan sebelum akhirnya menjadi delirium. Gangguan psikosomatik
juga dapat terjadi akibat pemberian terapi jangka panjang dan pada pasien yang menjalani
transplantasi hati. Pendekatan psiokosomatik pada pasien dengan penyakit hati kronis
sangat penting untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup dan juga memfasilitasi
pengobatan terhadap gangguan hati. Tulisan ini membahasa hubungan antara aspek
psikosomatik pada pasien dengan gangguan hati [1].

Definisi Gangguan Psikosomatik dan Gangguan Hati

Gangguan psikosomatik merupakan salah satu gangguan jiwa yang biasa
digunakan untuk penyakit fisik yang disebabkan atau diperburuk oleh faktor kejiwaan
atau psikologis. Di kalangan dokter dan masyarakat awam sekalipun, istilah gangguan
psikosomatik digunakan ketika faktor kejiwaan menyebabkan gejala fisik, tetapi penyakit
fisiknya sendiri tidak ada atau tidak dapat dijelaskan secara medis. Stres dan kecemasan
merupakan contoh gangguan psikosomatis yang paling sering dijumpai dan dapat
menyebabkan beberapa penyakit fisik seperti gangguan kulit, muscoskeletal (otot, sendi
dan saraf), pernafasan, jantung, kemih, kelenjar, mata dan saraf [2].
1
Universitas Sumatera Utara

Gangguan fungsi hati didefinisikan sebagai peningkatan dari enzim-enzim hati
seperti serum glutamic pyruvic transferase (SGPT) dan serum glutamic ocsaloasetic
transaminase (SGOT) sebanyak tiga kali lipat dari batas normal. Biasanya disertai

dengan gejala-gejala penyakit hati seperti jaundice, urin yang coklat seperti teh, warna
feces yang pucat, nyeri abdomen pada bagian kanan atas, dan sebagainya [3].

Prevalensi Gangguan Psikosomatis pada Gangguan Hati
Gangguan depresi dan ansietas merupakan gangguan psikosomatis yang paling

banyak terjadi di masyarakat. Bahkan di antara kita sesekali dalam perjalanan hidup
menempuh spesialis penyakit dalam pernah mengalami depresi sekalipun dalam derajat
yang ringan atau setidaknya depresi terselubung. Berdasarkan departemen sosial pada
tahun 2011 ada sebanyak 11.6% atau sekitar 24.708.000 dari jumlah penduduk Indonesia
yang mengalami depresi dan sebanyak 8.3% mengalami ansietas [4, 5].
Prevalensi gangguan hati di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh virus
hepatitis B dan C yaitu sebesar 40-50% dan 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya
tidak diketahui. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 melaporkan prevalensi
hepatitis di Indonesia sebesar 0.2%. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2008,
jumlah kasus baru hepatitis B di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 1.727 pasien
sedangkan hepatitis C mencapai 7.234 pasien [6, 7].
Gangguan psikosomatik pada pasien yang mengalami gangguan hati masih belum
diketahui jumlahnya di Indonesia. Meski demikian, penelitian di Eropa oleh Golden et al
menyatakan bahwa terdapat sekitar 30% pasien hepatitis C yang mengalami depresi dan
25% diantaranya mengalami ansietas. Sebagian besar dari pasien yang mengalami
gangguan psikosomatis tersebut belum terdiagnosis sebelumnya [8].

Gejala Psikosomatis Pada Gangguan Hati
Gejala psikosomatis dari gangguan hati sangat dipengaruhi dari apakah gangguan
hati tersebut bersifat akut atau kronis. Pada gagal hati akut seperti hepatitis fulminan,

nekrosis akibat obat atau kerusakan akut pada penyakit hati kronis, gambaran klinis
2
Universitas Sumatera Utara

didominasi oleh tanda-tanda yang jelas dari disfungsi hati. Pasien biasanya mengalami
kuning pada tubuh dengan sirkulasi hiperdinamik, demam, septisemia, dan mengalami
gangguan perdarahan. Gangguan kesadaran pada pasien seperti delirium menunjukkan
adanya ensefalopati hepatikum. Gejala psikologis utama pada penyakit hati kronis
diantaranya adalah depresi, anxietas, insomnia, kelelahan dan gangguan kognitif yang
progresif [9].

Patofisiologi Gangguan Psikosomatik pada Gagal hati
Gangguan psikosomatis seperti depresi dan anxietas biasanya disebabkan
perubahan-perubahan fisiologis dan biokemis pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologi
ini berkaitan erat dengan adanya gangguan pada sistem saraf otonom vegetative, sistem
endokrin dan sistem imun. Hipotesis yang paling banyak dikenal ialah adanya gangguan
konduksi impuls melalui neurotransmitter. Gangguan konduksi ini disebabkan adanya
kelebihan atau kekurangan neurotransmitter di presinaps atau adanya gangguan
sensitivitas pada reseptor-reseptor postsinaps. Beberapa neurotransmitter yang telah
diketahui berupa amin antara lain serotonin, noradrenalin, dan dopamine [10].

Psikopatologi depresi dan anxietas pada gangguan hati, seperti sirosis, masih tidak
sepenuhnya diketahui. Dari sebuah penelitian yang berbasis di Cina didapatkan bahwa
tekanan psikologis pada pasien sirosis, seperti depresi, kecemasan, dan insomnia,
berkorelasi secara khusus dalam peningkatan kadar aspartat aminotransferase, yang
merupakan mediator penting dari proses inflamasi. Hal ini menunjukkan adanya peran
peradangan pada sirosis yang menyebabkan depresi. Selain itu, gangguan neurotransmisi
serotonergik pada pasien sirosis dapat berkontribusi pada patologi yang mendasari. Hati
memainkan peran penting dalam metabolisme serotonin dalam pembentukan dan
inaktivasi. Sebuah studi Rusia mengungkapkan bahwa konten serotonin darah menurun
pada pasien sirosis yang didiagnosis dengan gangguan depresi. Gangguan dalam
homeostasis melatonin juga terlihat pada pasien dengan sirosis. Ketidakteraturan dalam
irama dan kurangnya sekresi melatonin dapat menyebabkan gejala gangguan tidur dan
mood pada pasien sirosis [11-13].

3
Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Etiologi gangguan psikosomatis pada gangguan hati

Perlu diketahui bahwa kelainan depresi pada gagal hati tidak hanya disebabkan

oleh perubahan-perubahan fisiologis dan biokemis dalam tubuh. Pasien dengan gangguan
hati akibat alkohol biasanya memiliki riwayat gangguan psikis. Sangat sulit untuk
membedakan apakah depresi pada pasien berkorelasi dengan konsumsi zat beralkohol
atau tidak. Pemberian terapi interferon jangka panjang pada pasien hepatitis juga dapat
menyebabkan gangguan psikosomatis. Selain itu, gejala sirosis seperti kelelahan dapat
merusak 'kualitas hidup’ dan mempengaruh persepsi pasien pada status kesehatannya,
sehingga membuat pasien lebih rentan terhadap depresi [14, 15].

Gangguan Psikosomatis Akibat Interferon
Keteraturan pengobatan pada hepatitis C merupakan hal yang tidak mudah
mengingat lamanya pengobatan dan beberapa efek samping, termasuk anemia,
leukopenia, fatigue, anoreksia, insomnia, gangguan kognitif, tiroiditis autoimun, dan
gejala kejiwaan. Efek samping yang tak tertahankan merupakan alasan utama pasien
menghentikan pengobatan sebelum waktunya. Upaya mengoptimalkan kepatuhan melalui
pemantauan dan pengelolaan efek samping obat sangatlah diperlukan [9, 16].
4
Universitas Sumatera Utara

Depresi akibat IFN
Depresi yang diakibatkan oleh pemberian interferon (IFN) dilaporkan terjadi pada

10%-40% pasien. Perbedaan persentase tersebut dipengaruhi oleh desain penelitian,
kriteria diagnostik, metode penilaian, dan populasi penelitian. Munculnya depresi juga
dipengaruhi oleh dosis dan lamanya pemberian terapi IFN. Gejala depresi biasanya
berkembang dalam 12 minggu pertama pengobatan dan sering disertai dengan lekas
marah daripada dysphoria atau merasa sedih. Gejala biasanya hilang dalam waktu
singkat setelah terapi IFN berakhir. Oleh karena dampaknya yang besar pada kepatuhan
pengobatan, upaya telah dilakukan untuk mengidentifikasi pasien yang berada pada
risiko besar untuk terjadinya depresi akibat IFN. Beberapa studi telah mengatakan
bahwa pasien dengan dasar subklinis depresi memiliki risiko yang lebih tinggi dalam
terjadinya depresi akibat IFN. Sebaliknya, riwayat depresi atau gangguan kejiwaan
lainnya belum terbukti menjadi faktor risiko yang signifikan. Mekanisme terjadinya
depresi yang diinduksi oleh IFN tidak diketahui tetapi mungkin terkait dengan
kemampuannya untuk menginduksi produksi sitokin pro-inflamasi (misalnya,
interleukin-6), mengubah sistem serotonergik, atau mengaktifkan sumbu hypothalamic–
pituitary–adrenal axis (HPA) [17-22].

Manajemen depresi yang disebabkan oleh IFN memerlukan diagnosis yang cepat,
diikuti oleh terapi inisiasi antidepresan. Pemberian antidepresan sebagai profilaksis
telah lama dipertimbangkan. Hampir semua studi seperti Gleason et al, Morasco et al,
Raison et al dan Kraus et al melaporkan penurunan insiden dan keparahan gejala depresi

setelah pemberian profilaksis antidepressan. Studi-studi tersebut juga mendukung untuk
memulai terapi antidepresan pada pasien dengan subklinis dasar depresi. Meskipun
demikian, pendekatan terapi ini tidak mendukung semua pasien, sebagian karena risiko
yang terkait dengan antidepresan (misalnya, perdarahan gastrointestinal). Selective
serotonin reuptake inhibitor (SSRI) telah menjadi pilihan utama dan telah efektif dan

ditoleransi dengan baik. Mirtazapine adalah pilihan bagi pasien dengan insomnia
dan/atau anoreksia. Bupropion dan venlafaxine juga pilihan yang biasa digunakan.
Triptofan sebagai monoterapi atau terapi tambahan baru-baru ini dilaporkan efektif
untuk tiga pasien. Perlu dicatat bahwa gejala depresi mungkin tidak memiliki respon
5
Universitas Sumatera Utara

yang sama terhadap farmakoterapi. Pasien dengan kelelahan dan anoreksia biasanya
kurang responsif terhadap terapi [23-26].
Gangguan fungsi kognitif akibat IFN
Pasien melaporkan adanya masalah kognitif selama terapi IFN, termasuk
kesulitan dengan memori, konsentrasi, dan pemecahan masalah. IFN dapat
mempengaruhi sistem frontal-subkortikal sehingga mengganggu memori kerja dan
perhatian kompleks. Efeknya tergantung pada dosis, durasi, dan rute pemberian IFN.

Mekanisme IFN dalam menyebabkan disfungsi kognitif belum diketahui, meskipun
demikian pada pemeriksaan PET scans diketahui terjadi hypometabolism pada korteks
prefrontal. MRI menunjukkan aktivasi korteks anterior cingulate, yang dapat
menghasilkan kesulitan dalam pengenalan dan pengolahan masalah. Namun, peneliti
belum mampu mengidentifikasi bukti obyektif penurunan nilai kognitif dan berhipotesis
bahwa gejala hanya bersifat subjektif dan alami. Meski demikian, disfungsi kognitif
tidak berkaitan dengan gejala depresi dan biasanya sembuh setelah terapi IFN
dihentikan [27-30].
6.2 Kelelahan akibat IFN
Kelelahan adalah efek samping yang paling mengganggu bagi kebanyakan pasien
karena

mempengaruhi

aktivitas

sehari-hari.

Kelelahan


akibat

IFN

mungkin

berhubungan dengan perubahan dalam basal ganglia, termasuk nucleus accumbens dan
putamen. Beberapa pasien dapat diberikan terapi erythropoietin jika anemia atau
suplemen hormon tiroid jika terdapat hipotiroid. SSRI mungkin tidak secara signifikan
mengurangi kelelahan akibat IFN, tetapi stimulan seperti modafinil mungkin efektif.
Meski demikian, hanya sedikit data yang ada mengenai kelelahan akibat IFN [31, 32].
Pasien dengan risiko tinggi pemberian IFN
Perlunya kepatuhan pengobatan dan seringnya terjadi efek samping kejiwaan
membutuhkan perhatian yang tinggi pada kemampuan pasien terutama pada mereka
yang memiliki riwayat gangguan kejiwaan dan / atau penyalahgunaan zat. Hal ini agar
6
Universitas Sumatera Utara

dapat menjalani terapi IFN hingga selesai. Kekhawatiran akan ketidakmampuan untuk
mematuhi pengobatan dan risiko yang berpotensi tinggi untuk terjadinya efek samping

kejiwaan menyebabkan banyaknya pasien yang tidak mendapat pengobatan. Beberapa
penelitian yang melibatkan populasi berisiko tinggi menunjukkan bahwa keberhasilan
pengobatan adalah hal yang sangat mungkin. Namun beberapa kelompok mencatat
tingkat putus obat yang lebih besar dan rendahnya penurunan tingkat penurunan
virologi pada pasien dengan risiko tinggi. Saat ini, hampir semua pedoman pengobatan
hepatitis merekomendasikan pasien berisiko tinggi untuk melibatkan koordinasi
perawatan antara penyedia kesehatan mental dan hepatologi [3, 33, 34].

Ensefalopati Hepatikum
Semua berkontribusi dalam perubahan dalam fungsi otak. Faktor kontributor
lainnya termasuk neurosteroids, endogenous benzodiazepine receptor ligands, sitokin
inflamasi, manganese, mercaptans, dan asam oktanoat. Diagnosis ensefalopati hatikum
merupakan hasil eksklusi penyebab lain perubahan status mental pada pasien dengan
penyakit hati yang signifikan (misalnya, infeksi, penyalahgunaan zat, dan perdarahan
intrakranial). Tes psikometri seperti Digit Symbol, Line Tracing, Trail-making Test dapat
membantu,

terutama

jikat


terjadi

penurunan

kognitif

yang

ringan.

Temuan

elektroensefalogram biasanya menunjukkan perlambatan gelombang otak secara umum
dan adanya gelombang triphasic tapi tidak spesifik untuk ensefalopati. Kadar amonia
dalam darah biasanya cenderung meningkat tetapi tidak pada semua pasien [35, 36].
Manajemen ensefalopati hatikum meliputi koreksi faktor pencetus seperti infeksi,
hiponatremia, asidosis atau alkalosis, sembelit, obat psikoaktif, dan perdarahan GI.
Pemberian disakarida nonabsorbable dan nonantibiotik sering dilakukan, namun bukti
keefektifannya masih kurang. Benzodiazepine antagonis reseptor flumazenil juga telah
digunakan; dua tinjauan sistematik review menyimpulkan bahwa pengobatan ensefalopati
dengan flumazenil diproduksi perbaikan gejala yang signifikan. Namun manfaatnya tidak
berlangsung lama dan tidak memberikan perbedaan signifikan pada pemulihan atau
kelangsungan hidup. Flumazenil juga dapat menimbulkan kejang pada pasien yang
memiliki ketergantungan terhadap benzodiazepin. L-acetylcarnitine dan aspartat ornithine
7
Universitas Sumatera Utara

juga dapat diberikan, tapi bukti tidak cukup untuk merekomendasikan penggunaannya
[37, 38].

Psikofarmakologi Pada Gangguan Hati
Tidak ada obat yang benar-benar berkontraindikasi pada pasien dengan gangguan
hati, tetapi beberapa obat memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya toksisitas hati yang
signifikan. Perhatian khusus perlu diberikan ketika meresepkan obat psikotropika untuk
pasien dengan penyakit hati, mengingat bahwa hati memiliki kapasitas fungsional yang
besar dan hanya pada kerusakan hati yang luas dimana resep harus diubah. Prinsipprinsip berikut harus diadopsi:
1. Semakin besar tingkat kerusakan hati semakin rendah dosis awal dan dosis
maksimum yang diberikan
2. Tes fungsi hati memberikan indikasi dari gangguan hati tetapi tidak selalu
berkorelasi dengan baik dengan kerusakan hati yang telah terjadi
3. Beberapa obat yang memiliki first-pass clearance effect yang menyebabkan sedasi
dan konstipasi sehingga dihindari pada gangguan hati yang luas
4. Selalu mulai dengan dosis rendah, meningkatkan dosis perlahan dan memantau tes
fungsi hati
Penderita gangguan hati yang memiliki ensefalopati juga sangat sensitif terhadap
obat sedatif-hipnotik seperti benzodiazepine dan barbiturat. Disfungsi hati mengubah
penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi sebagian besar agen psikotropika.
Tidak ada uji biokimia tertentu atau penanda yang dapat memberikan tingkat perubahan
farmakokinetik pada pasien. Meskipun demikian, skor Child-Pugh Scale (CPS) dapat
digunakan untuk memberikan pedoman untuk pemberian dosis obat (Tabel 1). Pada
pasien dengan skor CPS A, gagal hati ringan atau sirosis, dapat mentolerir 75%-100%
dari dosis awal pemberian obat psikotropika. Pasien dengan skor CPS B, gagal hati
sedang atau sirosis, pengurangan dosis awal 50% -75% dari dosis awal sangat dianjurkan.
Pemberian dosis tambahan yang lebih kecil dapat diberikan untuk mengimbangi eliminasi
waktu paruh obat. Biasanya, pasien dengan skor CPS B sering berhasil diobati hanya
8
Universitas Sumatera Utara

dengan pemberian 50% dari dosis konvensional obat psikotropika. Penderita disfungsi
hati dengan skor CPS C, kegagalan hati berat atau sirosis, perlu dilakukan titrasi obat,
bersama dengan pemantauan ketat untuk mencegah memburuknya status kognitif akibat
pemberian obat psikotropika potensial [26, 39].
TABEL 1. Skor Child-Pugh Scale
Faktor

1 Poin

2 Poin

3 Poin

Serum bilirubin (ilmol/L)

34

35-50

51

Serum albumin (g/dL)

>3.5

3.0-3.5