Distribusi Morfologi Vertikal Skeletal Wajah Pasien Suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU Berdasarkan Analisis Steiner
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Keberhasilan perawatan ortodonti sering kali dikaitkan dengan adanya
perbaikan penampilan wajah termasuk morfologi vertikal skeletal. Morfologi vertikal
skeletal wajah merupakan pola pertumbuhan tulang wajah secara vertikal, dalam
istilah sehari-hari disebut dengan tinggi wajah. Ada tiga macam morfologi vertikal
skeletal menurut Steiner yaitu: normodivergent (wajah ideal), hypodivergent (wajah
pendek), dan hyperdivergent (wajah panjang).8,10,12 Masing-masing tipe wajah
tersebut memiliki karakteristik yang berbeda pada struktur gigi dan oklusi. 12 Analisis
morfologi vertikal skeletal dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu dengan
metode sefalometri dan fotometri.3
2.1
Radiografi Sefalometri
Radiografi sefalometri adalah metode standar yang digunakan untuk
mendapatkan gambaran radiografi tulang tengkorak, yang bermanfaat dalam
pengukuran kranium dan orofasial kompleks dari pasien yang sedang menjalani
perawatan ortodonti. Radiografi sefalometri pertama kali diperkenalkan oleh Pacini
pada tahun 1922. Kemudian pada tahun 1931 Hofrath (Jerman) dan Broadbent
(Amerika Serikat) menemukan teknik sefalometri yang telah terstandarisasi dengan
menggunakan alat sinar-X dan pemegang kepala yang disebut sefalostat atau
sefalometer. Foto radiografi yang diperoleh dengan alat chepalostat disebut foto
sefalometri.3,20
Universitas Sumatera Utara
6
2.1.1
Macam-macam Foto Sefalometri
Ada 2 jenis foto sefalometri yang dapat diperoleh yaitu:
a. Sefalometri Frontal
Sefalometri frontal adalah gambaran frontal atau anteroposterior dari
tengkorak kepala, memberikan informasi yang berkaitan dengan lebar tengkorak,
simetri dan proporsi vertikal tengkorak, kompleks kraniofasial dan struktur oral.10
b. Sefalometri Lateral
Sefalometri lateral adalah gambar dua dimensi tulang tengkorak kepala dari
samping (lateral), memperlihatkan hubungan antara gigi, tulang, jaringan lunak dan
vertical vertebra untuk diteliti secara horizontal dan vertikal.20
Gambar 1.(A) Sefalometri lateral, (B) Sefalometri frontal 10
2.1.2
Titik-titik (Landmarks) Jaringan Keras pada Sefalometri Lateral
Titik-titik sefalometri pada jaringan keras yang biasa digunakan dalam
analisis sefalometri, yaitu:3,6,9,10
a. Sella (S) : titik pusat geometri dari fossa pituitary.
Universitas Sumatera Utara
7
b. Nasion (N) : titik yang paling anterior dari sutura frontonasalis atau sutura
antara tulang frontal dan tulang nasal.
c. Orbitale (Or) : titik paling rendah dari dasar rongga mata yang terdepan.
d. Sub-spina (A) : titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan
prosthion, biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis maksila.
e. Supra-mental (B) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion
dan biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis mandibula.
f. Pogonion (Pog) : titik paling depan dari tulang dagu.
g. Gnathion (Gn) : titik di antara pogonion dan menton.
h. Menton (Me) : titik paling bawah atau inferior dari tulang dagu.
i. Gonion (Go) : titik bagi yang dibentuk oleh garis bagi dari sudut yang
dibentuk oleh garis tangen ke posterior ramus dan batas bawah dari
mandibula.
j. Articulare (Ar) : titik perpotongan antara batas posterior ramus dan batas
inferior dari basis kranial posterior.
k. Porion (Po) : titik paling superior dari meatus acusticus externus.
l. Pterygomaxilary (PTM) : kontur fissura pterygomaxulary yang dibentuk
di anterior oleh tuberositas retromolar maksila dan di posterior oleh kurva
anterior dari prosesus pterygoid dari tulang sphenoid.
m. Posterior Nasal Spine (PNS) : titik paling posterior dari palatum durum
n. Anterior Nasal Spine (ANS) : ujung anterior dari prosesus maksila pada
batas bawah dari cavum nasal.
o. Basion (Ba) : titik paling bawah dari foramen magnum.
p. Bolton (Bo) : titik paling tinggi di titik kondil tulang oksipital.
Universitas Sumatera Utara
8
Gambar 2. Landmarks sefalometri lateral6
2.2
Analisis Steiner
Analisis Steiner pertama kali diperkenalkan oleh Cecil Steiner 1953, seorang
ortodontis di California. Banyak elemen dari analisis ini yang masih populer
digunakan sampai saat ini. Steiner memanfaatkan garis SN sebagai titik acuan
horizontal.2,9
Steiner membagi analisisnya menjadi 3 bagian yaitu:3,10
2.2.1 Analisis skeletal
a. Sudut SNA
Sudut SNA digunakan untuk menganalisis hubungan anteroposterior maksila
terhadap basis kranium. Sudut SNA dibentuk dari pertemuan garis S-N dan N-A.
Nilai normal sudut SNA adalah 82° ± 2°.2 Jika nilai SNA lebih besar dari nilai
normal, maka maksila diindikasikan mengalami prognasi. Sebaliknya jika nilai SNA
kurang dari nilai normal, maka maksila diindikasikan mengalami retrognasi. 3
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 3. Sudut SNA3
b. Sudut SNB
Sudut SNB digunakan untuk menganalisis hubungan anteroposterior
mandibula terhadap basis kranium. Sudut SNB dibentuk dari pertemuan garis S-N
dan N-B. Nilai normal sudut SNB adalah 80° ± 2°. 2 Jika nilai SNB lebih besar dari
nilai normal, maka mandibula diindikasikan mengalami prognasi. Sebaliknya jika
nilai SNB kurang dari nilai normal, maka mandibula mengalami retrognasi. 3
Gambar 4. Sudut SNB3
Universitas Sumatera Utara
10
c. Sudut ANB
Sudut ANB digunakan untuk menganalisis hubungan maksila terhadap
mandibula. Sudut ANB merupakan selisih dari sudut SNA dan SNB. Nilai normal
sudut ANB adalah 2° ± 2° (0° - 4°).2 Bila ANB bernilai positif menunjukkan posisi
maksila lebih ke depan dari mandibula. Ini menunjukkan profil cembung. Sedangkan
bila nilai ANB negatif menunjukkan posisi maksila lebih ke belakang dari mandibula.
Ini menunjukkan profil cekung.3
Pada analisis ini, Steiner membagi relasi rahang menjadi tiga kelas, yaitu:
1. Klas I Skeletal
Klas I mempunyai nilai ANB normal (0° - 4°) dan profil wajah cembung.
Nilai ANB yang normal juga dapat diperoleh bila keadaan kedua skeletal rahang
mengalami prognati ataupun retrognati.
2. Klas II Skeletal
Klas II mempunyai nilai ANB lebih besar dari nilai normal (ANB > 4°) dan
profil wajah cembung. Nilai ANB yang lebih besar ini dapat disebabkan oleh tiga hal,
yaitu maksila yang mengalami prognati, mandibula yang mengalami retrognati dan
kombinasi keduanya.
3. Klas III Skeletal
Klas III mempunyai nilai ANB lebih kecil dari nilai normal (ANB < 0°) dan
profil wajah cekung. Nilai ANB yang lebih kecil ini dapat disebabkan oleh tiga hal,
yaitu maksila yang mengalami retrognati, mandibula yang mengalami prognati, dan
kombinasi keduanya.
Universitas Sumatera Utara
11
Gambar 5. Sudut ANB3
d. Sudut OP-SN
Sudut ini menyatakan hubungan antara dataran oklusal terhadap kranium dan
wajah serta mengindikasikan pola pertumbuhan wajah. Sudut ini terbentuk dari
pertemuan garis S-N dan dataran oklusal. Nilai normal sudut ini adalah 14°. Sudut ini
akan meningkat pada individu yang berwajah panjang atau mengalami pertumbuhan
vertikal dan kasus open bite skeletal. Sebaliknya, sudut ini akan menurun pada
individu berwajah pendek atau mengalami pertumbuhan horizontal dan kasus deep
bite skeletal.3
Gambar 6. Sudut OP-SN3
Universitas Sumatera Utara
12
e. Sudut MP-SN
Sudut MP-SN adalah inklinasi dari dataran mandibula terhadap basis kranium
anterior.21 Sudut ini dibentuk dari pertemuan dataran mandibula (Go-Gn) dan garis SN. Besar sudut MP-SN dapat menentukan pola pertumbuhan wajah seseorang. Nilai
normal sudut ini 32°. Nilai sudut MP-SN yang lebih kecil mengindikasikan pola
pertumbuhan wajah ke arah horizontal, sedangkan sudut MP-SN yang lebih besar
mengindikasikan pola pertumbuhan wajah ke arah vertikal. Inklinasi bidang
mandibula sangat menentukan dimensi vertikal wajah. Tipe vertikal wajah menurut
Steiner dapat dibagi 3 yaitu tipe pendek (hypodivergent) dengan sudut MP-SN 37°.3,8,9
Gambar 7. Sudut MP-SN3
2.2.2 Analisis dental.
Analisis dental meliputi posisi insisivus rahang atas, posisi insisivus rahang
bawah, sudut interinsisal dan posisi insisivus rahang bawah ke dagu. 10
Universitas Sumatera Utara
13
2.2.3 Analisis jaringan lunak.
Analisis jaringan lunak meliputi penilaian dari adaptasi dari jaringan lunak
dengan ukuran, bentuk, dan postur bibir, ketebalan jaringan lunak dan struktur hidung
yang berkaitan dengan wajah bagian bawah.10
2.3
Pertumbuhan Skeletal Vertikal Wajah
Pertumbuhan skeletal vertikal wajah dimulai dengan cepat pada awal masa
kelahiran, dan akan melambat sampai usia pra pubertas. Percepatan pertumbuhan
akan terjadi kembali pada masa pubertas hingga mencapai puncak pada usia
pradewasa dan menjadi lambat sampai mencapai dewasa. Tulang wajah akan
mencapai 60% ukuran dewasa pada usia empat tahun. Pada usia 12 tahun, ukuran
tulang wajah telah mencapai 90% ukuran dewasa.22
Hubungan rahang atas dan rahang bawah sangat menentukan keharmonisan
wajah. Daerah tuberositas merupakan salah satu pusat pertumbuhan rahang atas.
Pertumbuhan rahang atas dalam arah vertikal terjadi karena proses aposisi tulang
pada sisi lateral tuberositas dan sepanjang tulang alveolar. 3,22
Gambar 8. Pertumbuhan rahang atas pada daerah
tuberositas maksila23
Rahang bawah merupakan bagian wajah yang mempunyai struktur paling
kokoh diantara struktur wajah lain. Rahang bawah memiliki daerah kartilago sebagai
Universitas Sumatera Utara
14
pusat pertumbuhan, yaitu pada simfisis dan kondilus. Pertumbuhan kondilus
bersamaan dengan pertumbuhan alveolus menyebabkan rahang bawah bertambah
tinggi. Arah pertumbuhan rahang bawah pada daerah kondilus dan ramus
menyebabkan rahang bawah bertambah tinggi dan panjang. 3,22
Gambar 9. Pertumbuhan rahang bawah pada
daerah kondilus dan ramus23
2.4
Tipe Pertumbuhan Vertikal Wajah
Basis kranii anterior (Sella-Nasion) sering digunakan sebagai garis acuan
untuk menentukan kemiringan bidang mandibula (MP). Individu dengan sudut MPSN yang lebih besar akan cenderung memiliki wajah panjang karena rotasi mandibula
menjauhi maksila sehingga menghasilkan pertambahan panjang vertikal wajah.
Sebaliknya, individu dengan sudut MP-SN yang lebih kecil cenderung mempunyai
wajah yang lebih pendek karena rotasi mandibula mendekati maksila.8,24
Rotasi mandibula dapat terjadi dalam dua arah, yaitu searah jarum jam atau
berlawanan arah jarum jam. Rotasi mandibula yang searah jarum jam mengarahkan
pertumbuhan mandibula ke bawah dan ke belakang. Ini menyebabkan pengurangan
overbite atau bahkan menjadi anterior open bite. Rotasi pertumbuhan mandibula yang
berlawanan arah jarum jam mengarahkan pertumbuhan mandibula ke atas dan ke
depan. Ini menyebabkan pertambahan overbite.8
Universitas Sumatera Utara
15
Schudy membagi tipe pertumbuhan vertikal wajah atas 2, yaitu:10,23,24
a. Wajah Pendek ( Hypodivergent )
Tipe pertumbuhan ini memiliki ciri wajah yang pendek dan lebar.23 Ini
disebabkan pertumbuhan anteroposterior yang berlebihan dibanding pertumbuhan
vertikal. Tinggi wajah posterior lebih besar dibanding tinggi wajah anterior. 24 Wajah
hypodivergent memiliki sudut bidang mandibula yang kecil. Gigitan dalam (deep
bite) sering dijumpai pada pasien dengan jenis wajah ini. Pola pertumbuhan ini akan
mengakibatkan lengkung dentoalveolar yang lebar pada lengkung rahang atas dan
menghasilkan rotasi berlawanan jarum jam mandibula selama pertumbuhan.12 Pasien
hypodivergent (sindrom wajah pendek) cenderung memiliki rasa sakit myofascial
parah dan gangguan temporomandibular karena jaringan keras kepala kondilus
cenderung menekan fossa glenoid sehingga menimpa struktur vital seperti saraf
auriculotemporal dan arteri temporalis superfisial yang dapat membuat rasa sakit.25
Gambar 10. Hypodivergent memiliki sudut
Gonial ≤ 69°.26
Universitas Sumatera Utara
16
b. Wajah Panjang ( Hyperdivergent )
Tipe pertumbuhan ini memiliki ciri wajah yang panjang dan sempit. 23 Ini
disebabkan rahang atas menunjukkan pertumbuhan vertikal yang berlebihan. Tinggi
wajah anterior lebih besar dibanding tinggi wajah posterior. 24 Wajah hyperdivergent
memiliki sudut bidang mandibula yang lebih besar dan kadang-kadang menyebabkan
gigitan terbuka (open bite). Pola pertumbuhan ini akan mengakibatkan lengkung
dentoalveolar yang sempit pada lengkung rahang atas dan menghasilkan rotasi searah
jarum jam mandibula selama pertumbuhan. 12 Pasien hyperdivergent (sindrom wajah
panjang) cenderung memiliki hambatan saluran nafas atas dan gangguan sendi
temporomandibular karena jaringan keras dari rongga sinus sempit dan tertekan.25
Gambar 11. Hyperdivergent memiliki sudut
Gonial ≥76°.26
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 12. (a) Hypodivergent, sudut MP-SN lebih kecil.
(b) Hyperdivergent, sudut MP-SN lebih besar.10
2.5
Suku Batak
Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Paleomongoloid yang
disebut ras Melayu. Ras Melayu terdiri dari kelompok Proto-Melayu (Melayu Tua)
dan Deutro-Melayu (Melayu Muda). Kelompok Proto-Melayu datang ke Indonesia
pada 2000 SM dan kelompok Deutro-Melayu pada 1500 SM.27
Kelompok Proto-Melayu menempati pantai-pantai Sumatera Utara (Batak),
Kalimantan Barat (Dayak) dan Sulawesi Barat (Toraja) kemudian pindah ke
pedalaman karena terdesak oleh kelompok Deutro Melayu. Suku yang termasuk
kelompok ras Deutro-Melayu adalah orang-orang Aceh, Minangkabau, Lampung,
Rejang Lebong, Jawa, Madura, Bali, Makasar, Melayu, Bugis, Betawi, Manado dan
Sunda.27
Suku Batak merupakan salah satu suku di Sumatera Utara yang merupakan
penduduk terbesar. Suku Batak memiliki lima sub suku dan masing-masing
mempunyai wilayah utama walaupun sebenarnya wilayah itu tidak sedominan batasbatas pada zaman yang lalu. Sub suku yang dimaksud yakni:28
Universitas Sumatera Utara
18
a. Batak Karo yang mendiami wilayah Dataran Tinggi Karo, Deli Hulu,
Langkat Hulu dan sebagian Tanah Dairi.
b. Batak Simalungun yang mendiami wilayah induk Simalungun.
c. Batak Pakpak yang mendiami wilayah induk Dairi, sebagian Tanah Alas
dan Gayo.
d. Batak Toba yang mendiami wilayah daerah Danau Toba, Pulau Samosir,
Dataran Tinggi Toba, Silindung, daerah Pegunungan Pahae, Sibolga dan Habincaran.
e. Batak Angkola Mandailing yang mendiami wilayah induk Angkola,
Sipirok, Batang Toru, Sibolga, Padang Lawas, Barumun, Mandailing, Pakantan dan
Batang Natal.
Universitas Sumatera Utara
19
Kerangka Teori
Suku Batak
Sefalometri Lateral
Vertikal
Lateral
Steiner
Sudut MP-SN
Wajah Pendek
Wajah Normal
Wajah Panjang
Persentase
Universitas Sumatera Utara
20
Kerangka Konsep
Wajah Pendek (Hypodivergent)
Sudut MP-SN
Wajah Normal (Normodivergent)
Wajah Panjang (Hyperdivergent)
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Keberhasilan perawatan ortodonti sering kali dikaitkan dengan adanya
perbaikan penampilan wajah termasuk morfologi vertikal skeletal. Morfologi vertikal
skeletal wajah merupakan pola pertumbuhan tulang wajah secara vertikal, dalam
istilah sehari-hari disebut dengan tinggi wajah. Ada tiga macam morfologi vertikal
skeletal menurut Steiner yaitu: normodivergent (wajah ideal), hypodivergent (wajah
pendek), dan hyperdivergent (wajah panjang).8,10,12 Masing-masing tipe wajah
tersebut memiliki karakteristik yang berbeda pada struktur gigi dan oklusi. 12 Analisis
morfologi vertikal skeletal dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu dengan
metode sefalometri dan fotometri.3
2.1
Radiografi Sefalometri
Radiografi sefalometri adalah metode standar yang digunakan untuk
mendapatkan gambaran radiografi tulang tengkorak, yang bermanfaat dalam
pengukuran kranium dan orofasial kompleks dari pasien yang sedang menjalani
perawatan ortodonti. Radiografi sefalometri pertama kali diperkenalkan oleh Pacini
pada tahun 1922. Kemudian pada tahun 1931 Hofrath (Jerman) dan Broadbent
(Amerika Serikat) menemukan teknik sefalometri yang telah terstandarisasi dengan
menggunakan alat sinar-X dan pemegang kepala yang disebut sefalostat atau
sefalometer. Foto radiografi yang diperoleh dengan alat chepalostat disebut foto
sefalometri.3,20
Universitas Sumatera Utara
6
2.1.1
Macam-macam Foto Sefalometri
Ada 2 jenis foto sefalometri yang dapat diperoleh yaitu:
a. Sefalometri Frontal
Sefalometri frontal adalah gambaran frontal atau anteroposterior dari
tengkorak kepala, memberikan informasi yang berkaitan dengan lebar tengkorak,
simetri dan proporsi vertikal tengkorak, kompleks kraniofasial dan struktur oral.10
b. Sefalometri Lateral
Sefalometri lateral adalah gambar dua dimensi tulang tengkorak kepala dari
samping (lateral), memperlihatkan hubungan antara gigi, tulang, jaringan lunak dan
vertical vertebra untuk diteliti secara horizontal dan vertikal.20
Gambar 1.(A) Sefalometri lateral, (B) Sefalometri frontal 10
2.1.2
Titik-titik (Landmarks) Jaringan Keras pada Sefalometri Lateral
Titik-titik sefalometri pada jaringan keras yang biasa digunakan dalam
analisis sefalometri, yaitu:3,6,9,10
a. Sella (S) : titik pusat geometri dari fossa pituitary.
Universitas Sumatera Utara
7
b. Nasion (N) : titik yang paling anterior dari sutura frontonasalis atau sutura
antara tulang frontal dan tulang nasal.
c. Orbitale (Or) : titik paling rendah dari dasar rongga mata yang terdepan.
d. Sub-spina (A) : titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan
prosthion, biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis maksila.
e. Supra-mental (B) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion
dan biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis mandibula.
f. Pogonion (Pog) : titik paling depan dari tulang dagu.
g. Gnathion (Gn) : titik di antara pogonion dan menton.
h. Menton (Me) : titik paling bawah atau inferior dari tulang dagu.
i. Gonion (Go) : titik bagi yang dibentuk oleh garis bagi dari sudut yang
dibentuk oleh garis tangen ke posterior ramus dan batas bawah dari
mandibula.
j. Articulare (Ar) : titik perpotongan antara batas posterior ramus dan batas
inferior dari basis kranial posterior.
k. Porion (Po) : titik paling superior dari meatus acusticus externus.
l. Pterygomaxilary (PTM) : kontur fissura pterygomaxulary yang dibentuk
di anterior oleh tuberositas retromolar maksila dan di posterior oleh kurva
anterior dari prosesus pterygoid dari tulang sphenoid.
m. Posterior Nasal Spine (PNS) : titik paling posterior dari palatum durum
n. Anterior Nasal Spine (ANS) : ujung anterior dari prosesus maksila pada
batas bawah dari cavum nasal.
o. Basion (Ba) : titik paling bawah dari foramen magnum.
p. Bolton (Bo) : titik paling tinggi di titik kondil tulang oksipital.
Universitas Sumatera Utara
8
Gambar 2. Landmarks sefalometri lateral6
2.2
Analisis Steiner
Analisis Steiner pertama kali diperkenalkan oleh Cecil Steiner 1953, seorang
ortodontis di California. Banyak elemen dari analisis ini yang masih populer
digunakan sampai saat ini. Steiner memanfaatkan garis SN sebagai titik acuan
horizontal.2,9
Steiner membagi analisisnya menjadi 3 bagian yaitu:3,10
2.2.1 Analisis skeletal
a. Sudut SNA
Sudut SNA digunakan untuk menganalisis hubungan anteroposterior maksila
terhadap basis kranium. Sudut SNA dibentuk dari pertemuan garis S-N dan N-A.
Nilai normal sudut SNA adalah 82° ± 2°.2 Jika nilai SNA lebih besar dari nilai
normal, maka maksila diindikasikan mengalami prognasi. Sebaliknya jika nilai SNA
kurang dari nilai normal, maka maksila diindikasikan mengalami retrognasi. 3
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 3. Sudut SNA3
b. Sudut SNB
Sudut SNB digunakan untuk menganalisis hubungan anteroposterior
mandibula terhadap basis kranium. Sudut SNB dibentuk dari pertemuan garis S-N
dan N-B. Nilai normal sudut SNB adalah 80° ± 2°. 2 Jika nilai SNB lebih besar dari
nilai normal, maka mandibula diindikasikan mengalami prognasi. Sebaliknya jika
nilai SNB kurang dari nilai normal, maka mandibula mengalami retrognasi. 3
Gambar 4. Sudut SNB3
Universitas Sumatera Utara
10
c. Sudut ANB
Sudut ANB digunakan untuk menganalisis hubungan maksila terhadap
mandibula. Sudut ANB merupakan selisih dari sudut SNA dan SNB. Nilai normal
sudut ANB adalah 2° ± 2° (0° - 4°).2 Bila ANB bernilai positif menunjukkan posisi
maksila lebih ke depan dari mandibula. Ini menunjukkan profil cembung. Sedangkan
bila nilai ANB negatif menunjukkan posisi maksila lebih ke belakang dari mandibula.
Ini menunjukkan profil cekung.3
Pada analisis ini, Steiner membagi relasi rahang menjadi tiga kelas, yaitu:
1. Klas I Skeletal
Klas I mempunyai nilai ANB normal (0° - 4°) dan profil wajah cembung.
Nilai ANB yang normal juga dapat diperoleh bila keadaan kedua skeletal rahang
mengalami prognati ataupun retrognati.
2. Klas II Skeletal
Klas II mempunyai nilai ANB lebih besar dari nilai normal (ANB > 4°) dan
profil wajah cembung. Nilai ANB yang lebih besar ini dapat disebabkan oleh tiga hal,
yaitu maksila yang mengalami prognati, mandibula yang mengalami retrognati dan
kombinasi keduanya.
3. Klas III Skeletal
Klas III mempunyai nilai ANB lebih kecil dari nilai normal (ANB < 0°) dan
profil wajah cekung. Nilai ANB yang lebih kecil ini dapat disebabkan oleh tiga hal,
yaitu maksila yang mengalami retrognati, mandibula yang mengalami prognati, dan
kombinasi keduanya.
Universitas Sumatera Utara
11
Gambar 5. Sudut ANB3
d. Sudut OP-SN
Sudut ini menyatakan hubungan antara dataran oklusal terhadap kranium dan
wajah serta mengindikasikan pola pertumbuhan wajah. Sudut ini terbentuk dari
pertemuan garis S-N dan dataran oklusal. Nilai normal sudut ini adalah 14°. Sudut ini
akan meningkat pada individu yang berwajah panjang atau mengalami pertumbuhan
vertikal dan kasus open bite skeletal. Sebaliknya, sudut ini akan menurun pada
individu berwajah pendek atau mengalami pertumbuhan horizontal dan kasus deep
bite skeletal.3
Gambar 6. Sudut OP-SN3
Universitas Sumatera Utara
12
e. Sudut MP-SN
Sudut MP-SN adalah inklinasi dari dataran mandibula terhadap basis kranium
anterior.21 Sudut ini dibentuk dari pertemuan dataran mandibula (Go-Gn) dan garis SN. Besar sudut MP-SN dapat menentukan pola pertumbuhan wajah seseorang. Nilai
normal sudut ini 32°. Nilai sudut MP-SN yang lebih kecil mengindikasikan pola
pertumbuhan wajah ke arah horizontal, sedangkan sudut MP-SN yang lebih besar
mengindikasikan pola pertumbuhan wajah ke arah vertikal. Inklinasi bidang
mandibula sangat menentukan dimensi vertikal wajah. Tipe vertikal wajah menurut
Steiner dapat dibagi 3 yaitu tipe pendek (hypodivergent) dengan sudut MP-SN 37°.3,8,9
Gambar 7. Sudut MP-SN3
2.2.2 Analisis dental.
Analisis dental meliputi posisi insisivus rahang atas, posisi insisivus rahang
bawah, sudut interinsisal dan posisi insisivus rahang bawah ke dagu. 10
Universitas Sumatera Utara
13
2.2.3 Analisis jaringan lunak.
Analisis jaringan lunak meliputi penilaian dari adaptasi dari jaringan lunak
dengan ukuran, bentuk, dan postur bibir, ketebalan jaringan lunak dan struktur hidung
yang berkaitan dengan wajah bagian bawah.10
2.3
Pertumbuhan Skeletal Vertikal Wajah
Pertumbuhan skeletal vertikal wajah dimulai dengan cepat pada awal masa
kelahiran, dan akan melambat sampai usia pra pubertas. Percepatan pertumbuhan
akan terjadi kembali pada masa pubertas hingga mencapai puncak pada usia
pradewasa dan menjadi lambat sampai mencapai dewasa. Tulang wajah akan
mencapai 60% ukuran dewasa pada usia empat tahun. Pada usia 12 tahun, ukuran
tulang wajah telah mencapai 90% ukuran dewasa.22
Hubungan rahang atas dan rahang bawah sangat menentukan keharmonisan
wajah. Daerah tuberositas merupakan salah satu pusat pertumbuhan rahang atas.
Pertumbuhan rahang atas dalam arah vertikal terjadi karena proses aposisi tulang
pada sisi lateral tuberositas dan sepanjang tulang alveolar. 3,22
Gambar 8. Pertumbuhan rahang atas pada daerah
tuberositas maksila23
Rahang bawah merupakan bagian wajah yang mempunyai struktur paling
kokoh diantara struktur wajah lain. Rahang bawah memiliki daerah kartilago sebagai
Universitas Sumatera Utara
14
pusat pertumbuhan, yaitu pada simfisis dan kondilus. Pertumbuhan kondilus
bersamaan dengan pertumbuhan alveolus menyebabkan rahang bawah bertambah
tinggi. Arah pertumbuhan rahang bawah pada daerah kondilus dan ramus
menyebabkan rahang bawah bertambah tinggi dan panjang. 3,22
Gambar 9. Pertumbuhan rahang bawah pada
daerah kondilus dan ramus23
2.4
Tipe Pertumbuhan Vertikal Wajah
Basis kranii anterior (Sella-Nasion) sering digunakan sebagai garis acuan
untuk menentukan kemiringan bidang mandibula (MP). Individu dengan sudut MPSN yang lebih besar akan cenderung memiliki wajah panjang karena rotasi mandibula
menjauhi maksila sehingga menghasilkan pertambahan panjang vertikal wajah.
Sebaliknya, individu dengan sudut MP-SN yang lebih kecil cenderung mempunyai
wajah yang lebih pendek karena rotasi mandibula mendekati maksila.8,24
Rotasi mandibula dapat terjadi dalam dua arah, yaitu searah jarum jam atau
berlawanan arah jarum jam. Rotasi mandibula yang searah jarum jam mengarahkan
pertumbuhan mandibula ke bawah dan ke belakang. Ini menyebabkan pengurangan
overbite atau bahkan menjadi anterior open bite. Rotasi pertumbuhan mandibula yang
berlawanan arah jarum jam mengarahkan pertumbuhan mandibula ke atas dan ke
depan. Ini menyebabkan pertambahan overbite.8
Universitas Sumatera Utara
15
Schudy membagi tipe pertumbuhan vertikal wajah atas 2, yaitu:10,23,24
a. Wajah Pendek ( Hypodivergent )
Tipe pertumbuhan ini memiliki ciri wajah yang pendek dan lebar.23 Ini
disebabkan pertumbuhan anteroposterior yang berlebihan dibanding pertumbuhan
vertikal. Tinggi wajah posterior lebih besar dibanding tinggi wajah anterior. 24 Wajah
hypodivergent memiliki sudut bidang mandibula yang kecil. Gigitan dalam (deep
bite) sering dijumpai pada pasien dengan jenis wajah ini. Pola pertumbuhan ini akan
mengakibatkan lengkung dentoalveolar yang lebar pada lengkung rahang atas dan
menghasilkan rotasi berlawanan jarum jam mandibula selama pertumbuhan.12 Pasien
hypodivergent (sindrom wajah pendek) cenderung memiliki rasa sakit myofascial
parah dan gangguan temporomandibular karena jaringan keras kepala kondilus
cenderung menekan fossa glenoid sehingga menimpa struktur vital seperti saraf
auriculotemporal dan arteri temporalis superfisial yang dapat membuat rasa sakit.25
Gambar 10. Hypodivergent memiliki sudut
Gonial ≤ 69°.26
Universitas Sumatera Utara
16
b. Wajah Panjang ( Hyperdivergent )
Tipe pertumbuhan ini memiliki ciri wajah yang panjang dan sempit. 23 Ini
disebabkan rahang atas menunjukkan pertumbuhan vertikal yang berlebihan. Tinggi
wajah anterior lebih besar dibanding tinggi wajah posterior. 24 Wajah hyperdivergent
memiliki sudut bidang mandibula yang lebih besar dan kadang-kadang menyebabkan
gigitan terbuka (open bite). Pola pertumbuhan ini akan mengakibatkan lengkung
dentoalveolar yang sempit pada lengkung rahang atas dan menghasilkan rotasi searah
jarum jam mandibula selama pertumbuhan. 12 Pasien hyperdivergent (sindrom wajah
panjang) cenderung memiliki hambatan saluran nafas atas dan gangguan sendi
temporomandibular karena jaringan keras dari rongga sinus sempit dan tertekan.25
Gambar 11. Hyperdivergent memiliki sudut
Gonial ≥76°.26
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 12. (a) Hypodivergent, sudut MP-SN lebih kecil.
(b) Hyperdivergent, sudut MP-SN lebih besar.10
2.5
Suku Batak
Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Paleomongoloid yang
disebut ras Melayu. Ras Melayu terdiri dari kelompok Proto-Melayu (Melayu Tua)
dan Deutro-Melayu (Melayu Muda). Kelompok Proto-Melayu datang ke Indonesia
pada 2000 SM dan kelompok Deutro-Melayu pada 1500 SM.27
Kelompok Proto-Melayu menempati pantai-pantai Sumatera Utara (Batak),
Kalimantan Barat (Dayak) dan Sulawesi Barat (Toraja) kemudian pindah ke
pedalaman karena terdesak oleh kelompok Deutro Melayu. Suku yang termasuk
kelompok ras Deutro-Melayu adalah orang-orang Aceh, Minangkabau, Lampung,
Rejang Lebong, Jawa, Madura, Bali, Makasar, Melayu, Bugis, Betawi, Manado dan
Sunda.27
Suku Batak merupakan salah satu suku di Sumatera Utara yang merupakan
penduduk terbesar. Suku Batak memiliki lima sub suku dan masing-masing
mempunyai wilayah utama walaupun sebenarnya wilayah itu tidak sedominan batasbatas pada zaman yang lalu. Sub suku yang dimaksud yakni:28
Universitas Sumatera Utara
18
a. Batak Karo yang mendiami wilayah Dataran Tinggi Karo, Deli Hulu,
Langkat Hulu dan sebagian Tanah Dairi.
b. Batak Simalungun yang mendiami wilayah induk Simalungun.
c. Batak Pakpak yang mendiami wilayah induk Dairi, sebagian Tanah Alas
dan Gayo.
d. Batak Toba yang mendiami wilayah daerah Danau Toba, Pulau Samosir,
Dataran Tinggi Toba, Silindung, daerah Pegunungan Pahae, Sibolga dan Habincaran.
e. Batak Angkola Mandailing yang mendiami wilayah induk Angkola,
Sipirok, Batang Toru, Sibolga, Padang Lawas, Barumun, Mandailing, Pakantan dan
Batang Natal.
Universitas Sumatera Utara
19
Kerangka Teori
Suku Batak
Sefalometri Lateral
Vertikal
Lateral
Steiner
Sudut MP-SN
Wajah Pendek
Wajah Normal
Wajah Panjang
Persentase
Universitas Sumatera Utara
20
Kerangka Konsep
Wajah Pendek (Hypodivergent)
Sudut MP-SN
Wajah Normal (Normodivergent)
Wajah Panjang (Hyperdivergent)
Universitas Sumatera Utara