Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita dalam Keluarga Perokok di Kelurahan Gundaling I tahun 2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya pembanguan nasional
untuk mencapai kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi seluruh
masyarakat agar tercapainya derajat kesehatan yang optimal (PP RI Nomor 19 Tahun
2003). Salah satu tantangan terbesar dalam pencapaian tersebut adalah kejadian
penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Penyakit ISPA merupakan penyebab
utama kesakitan dan kematian akibat penyakit menular di dunia terutama pada balita.
Hal ini dikarenakan ISPA dapat menular dengan cepat dan sering menimbulkan
dampak besar terhadap kesehatan masyarakat. WHO mencatat sekitar empat juta
orang meninggal dunia setiap tahunnya karena ISPA dan penyakit ISPA menjadi
penyebab utama mortalitas pada balita di dunia (WHO, 2007)
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteri, partikel yang bersifat
iritan terhadap saluran pernafasan seperti debu, dan jamur. Virus influenza dan
Rhinovirus adalah contoh virus yang dapat menyebabkan ISPA dan Streptococcus
pneumonia adalah contoh bakteri yang dapat menyebabkan ISPA. ISPA dapat
diderita tanpa gejala berupa infeksi ringan tetapi dapat pula berupa infeksi berat dan
mematikan (WHO, 2007).
Penelitian membuktikan bahwa faktor resiko ISPA pada balita adalah
kurangnya pemberian ASI ekslusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruangan (indoor

air pollution), BBLR, kepadatan penduduk, dan kurangnya imunisasi campak
1

2

(Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012).
Sebagai salah satu penyebab indoor air pollution, rokok juga menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita.
Menurut PP RI Nomor 19 tahun 2003, rokok adalah zat adiktif yang dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan bagi individu dan masyarakat. Rokok sangat
berbahaya bagi kesehatan karena mengandung lebih dari 4000 jenis zat kimia dan
sebagian besar berbahaya.
Paparan asap rokok pada perokok aktif, perokok pasif dan bukan perokok
dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan termasuk ISPA serta gangguan
pernafasan pada balita. Hal ini disebabkan karena 60 bahan toksik yang terkandung
pada asap rokok diketahui besifat karsinogen. Tidak ada tingkat paparan yang aman
dari terpapar asap rokok (WHO, 2011).
Salah satu golongan umur yang juga terpapar asap rokok, balita juga sering di
sebut perokok pasif (second hand smoker). Second hand smoke adalah gabungan dari
asap rokok yang dihasilkan dari pembakaran rokok dan asap rokok yang keluar dari

pernafasan perokok aktif. Menurut WHO, second hand smoke lebih berbahaya karena
mengandung ribuan zat kimia dan sedikitnya, 250 diantaranya dikenal sebagai zat
yang bersifat karsinogenik dan beracun dan sangat berpengaruh pada kesehatan dan
perkembangan balita (WHO, 2007).
Hal lain yang memperburuk akibat dari second hand smoke adalah bahwa
asap rokok yang berasal dari sebatang rokok dapat melayang di dalam ruangan
selama 2,5 jam meskipun jendela terbuka. Kemudian polutan dari asap tersebut akan

3

mengendap di lantai dan menempel di dinding rumah dan akan dilepaskan kembali ke
udara.

Penelitian

menunjukkan

bahwa

dengan


membuka

jendela

ataupun

menempatkan perokok di ruangan khusus tidak cukup membantu dalam mencegah
paparan second hand smoke (ASH, 2014).
Di dunia sekitar 2 juta balita meninggal karena ISPA dari 9 juta kematian
balita. Dari 5 kematian balita, satu di antaranya disebabkan oleh ISPA. Di negara
berkembang, kejadian penyakit ISPA 60% disebabkan oleh bakteri dan oleh virus di
negara maju. ISPA menduduki peringkat kedua penyebab kematian balita setelah
diare di Indonesia (sebesar 13,2%). Walaupun demikian, ISPA tidak banyak
mendapat perhatian

sehingga sering disebut sebagai pembunuh balita yang

terlupakan (Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
2012).

Di Indonesia jumlah balita penderita ISPA pada tahun 2007 sekitar 477.429
balita yang tercatat dari 31 provinsi di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa 21,52%
dari jumlah keseluruhan balita yang tercatat di Indonesia pada tahun 2007 menderita
ISPA. Di Sumatera Utara sendiri, 148.431 balita menderita ISPA pada tahun 2012
(Profil Kesehatan Sumatera Utara 2012). Sebagai salah satu kecamatan dari
Kabupaten Karo, Kecamatan Berastagi tercatat 210 orang dari 965 penderita ISPA
adalah anak golongan usia balita atau sekitar 7,6% dari 2758 balita yang ada di
Berastagi mengalami ISPA (data Puskesmas Berastagi Tahun 2013).
Banyak aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan. Banyak
pula penyakit yang disebabkan, dipengaruhi, dan ditularkan oleh faktor- faktor

4

lingkungan. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan lingkungannya merupakan
hal yang penting dalam kesehatan masyarakat (Moeller, 2005).
Rumah merupakan salah satu bagian dari lingkungan sangat berpengaruh
dalam kejadian suatu penyakit. Lingkungan rumah memegang kontribusi yang besar
terhadap kejadian ISPA. Sebagai faktor resiko ISPA, indoor air pollution sangat
dipengaruhi oleh lingkungan rumah. Kualitas udara dalam ruang sangat dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti langit-langit, ventilasi, kepadatan hunian, dan

kelembaban (Permenkes RI No.1077 Tahun 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Meita (2013), bahwa ventilasi memiliki
pengaruh dengan kejadian ISPA. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ventilasi
yang tidak memenuhi syarat dapat memberikan kontribusi dalam kejadian ISPA.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa rumah juga berperan dalam kejadian
ISPA.
Rumah adalah bangunan gedung yang difungsikan sebagai tempat tinggal
yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Rumah sehat adalah rumah yang dapat
memenuhi kebutuhan manusia termasuk terhindar dari penularan penyakit
(Candra,2007).
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan, dari 10 kelurahan yang
terdapat pada Kecamatan Berastagi, kelurahan yang memiliki kasus ISPA tertinggi
yaitu di Kelurahan Gundaling I. Data Puskesmas Berastagi menunjukkan sebanyak

5

38 balita terkena ISPA pada kelurahan tersebut dari awal Januari hingga akhir April
2014.
Dari referensi diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang apakah ada

hubungan antara karakteristik rumah dengan kejadian ISPA pada balita dalam
keluarga perokok di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo
tahun 2014.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil survei awal di Puskesmas Berastagi, terdapat 38 balita yang
menderita ISPA dari awal Januari hingga akhir April 2014 yang ada di Kelurahan
Gundaling I. Masyarakat karo juga memiliki kebiasaan merokok yang cukup tinggi
bahkan menjadikan rokok sebagai salah satu pelengkap dalam acara kebudayaan. Dan
dari tinjau lokasi yang dilakukan, masih banyak rumah yang ada di daerah tersebut
yang belum memenuhi syarat kesehatan. Oleh karena itu peneliti ingin melihat
apakah ada hubungan karakteristik rumah dengan kejadian ISPA pada Balita dalam
keluarga perokok di Kelurahan Gundaling I tahun 2014.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1

Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik rumah dengan kejadian ISPA pada

balita dalam keluarga perokok di Kelurahan Gundaling I Kecamatam Berastagi
Tahun 2014.


6

1.3.2

Tujuan khusus
1. Mengetahui karakteristik rumah responden penderita ISPA dan bukan
penderita ISPA yang berada di Kelurahan Gundaling I Kecamatan
Berastagi
2. Mengetahui karakteristik balita penderita ISPA dan bukan penderita ISPA
di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi
3. Mengetahui hubungan karakteristik rumah dengan kejadian ISPA pada
balita di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi
4. Mengetahui hubungan asap rokok terhadap kejadian ISPA di Kelurahan
Gundaling I Kecamatan Berastagi.

1.4

Manfaat Penelitian
1. Sebagai


masukan

bagi

pelaksana

program

kesehatan

lingkungan

pemukiman pada instansi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo.
2. Bagi peneliti, kegiatan ini dijadikan sebagai sarana belajar untuk dapat
membantu mencegah penyakit ISPA yang ada di masyarakat serta mampu
menerapkan ilmu dan pengalaman yang didapat selama belajar di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Sebagai syarat bagi peneliti untuk mendapat gelar sarjana dari Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.