Latar Belakang - ANALISIS RETROSPEKTIF SELAMA 9 TAHUN KASUS ANGIOFIBROMA NASOFARING DI RSU PROPINSI NTB - Repository UNRAM

  

ANALISIS RETROSPEKTIF SELAMA 9 TAHUN KASUS ANGIOFIBROMA

NASOFARING

DI RSU PROPINSI NTB

  Hamsu Kadriyan, Markus Rambu, I Gusti Ayu Trisnawati, Muhammad Alfian Bagian THT FK Unram/RSUP NTB

  Abstrak

  Pendahuluan Angiofiroma nasofaring merupakan tumor jinak yang jarang ditemukan dan biasanya ditemukan pada laki-laki usia muda. Pada makalah ini, penulis akan menyampaikan hasil analisis retrospektif kasus angiofibroma nasofaring belia sejak Maret 2006 sampai Maret 2015.

  Metode Data penelitian dikumpulkan secara retrospektif dengan menulusuri rekam medik selama periode tersebut. Pasien dengan diagnosis akhir angiofibroma nasofaring pada rekam medik diambil sebagai subyek pada penelitian ini. Hasil Penelitian Berdasarkan data yang dikumpulkan pada periode tersebut ditemukan 11 kasus yang terdiri dari 9 (81,8%) kasus baru dan 2 (18,2%) kasus rekuren. Sebagian besar kasus ditemukan pada laki-laki (89,9%) dengan rerata usia 15,8 tahun. Ditemukan juga 1 kasus pada pasien wanita yang telah berumur 35 tahun. Angka rekurensi kasus tersebut di RSUP NTB sebanyak 22%. Kesimpulan Selama 9 tahun evaluasi ditemukan 9 kasus baru dan 2 kasus rekuren. Kasus Angiofibroma nasofarings perlu mendapatkan perhatian dari spesialis THT-KL mengingat angka rekurensi yang masih cukup tinggi (22%).

  Latar Belakang

  Angiofiroma nasofaring merupakan tumor jinak yang jarang ditemukan dan biasanya ditemukan pada laki-laki usia muda. Berdasarkan beberapa kepustakaan, angiofibroma nasofarings dapat pula ditemukan pada orang dewasa dan juga pada wanita.

  Pada tahun 2006, jumlah kunjungan poli THT-KL sebanyak 9544 kunjungan dari 4936 pasien dengan rata-rata jumlah kunjungan per pasien 1,94 kali. Hampir setiap tahun ditemukan kasus angiofibroma nasofarings, pada tahun 2006 1 ditemukan 1 kasus.

  Pada makalah ini, penulis akan menyampaikan hasil analisis retrospektif kasus angiofibroma nasofaring belia sejak bulan Maret 2006 sampai Maret 2015.

  Metode Penelitian

  Desain pada penelitian ini adalah retrospektif observasional dengan mengamati rekam medis pasien yang berkunjung ke poli THT-KL RSUP NTB selama periode bulan Maret 2006 sampai dengan Maret 2015. Adapun kriteria inklusi sebagai subyek penelitian adalah pasien yang data rekam medisnya lengkap dengan diagnosis akhir angiofibroma nasofarings berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi.

  Data dikumpulkan dan diolah dengan sistem komputer lalu dianalisis untuk mendapatkan gambaran mengenai beberapa karakteristik pasien angiofibroma nasofarings.

  Hasil Penelitian

  Pada periode penelitian didapatkan 11 kasus angiofibroma nasofarings, yang terdiri dari dari 9 kasus baru dan 2 kasus rekuren. Diantara 11 pasien tersebut, 10 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 1 orang perempuan (seperti terlihat pada gambar 1).

  1; 9.09% 10; 90.91%

  

Laki-laki Perempuan

  Gambar 1. Perbandingan jumlah pasien laki-laki dan perempuan Berdasarkan usia pasien pada kasus baru, ditemukan usia termuda adalah 13 tahun sedangkan yang tertua berusia 35 tahun dengan rata-rata usia sebesar 17,89 tahun. Grafik sebaran usia pasien terlihat pada gambar 2. Sedangkan pada kasus rekuren, data pasien yang ditemukan berumur 15 dan 19 tahun.

  40

  35

  30

  25

  20

  15

  10

  5

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7

  8

  9 Gambar 2. Sebaran Usia Pasien

  Sebagian besar kasus didiagnosis awal dengan angiofibroma nasofaring, sedangkan 1 kasus didiagnosis awal sebagai polip nasi. Berdasarkan stadium, angiofibroma nasofarings yang ditemukan sebagian besar merupakan stadium 2 (6:55%), berikutnya stadium 3 sebanyak (3:28%) dan stadium 1 sebanyak

  Gambar 3. Salah satu hasil CT scan pasien Angiofibroma stadium I Dari keseluruhan pasien tersebut, sebgaian besar (10 pasein) dilakukan tindakan pengangkatan tumor dengan kombinasi teknik rotasi, elevasi dan ekstirpasi (Roelex), sedangkan 1 pasien dilakukan ekstirpasi dengan pendekatan transpalatal (Gambar 4). Berdasarkan rekurensinya, ditemukan 1 pasien dengan operasi Roelex mengalami kekambuhan, demikian juga pada pasien yang dioperasi dengan pendekatan transpalatal ditemukan 1 pasien mengalami kekambuhan. Seluruh pasien yang kambuh berjenis kelamin laki-laki. Pasien pertama yang mengalam kekambuhan berusia 14 tahun dioperasi dengan pendekatan Roelex dan mengalami kekambuhan pada usia 15 tahun. Pasien kedua yang mengalami kekambuhan berusia 17 tahun dilakukan operasi dengan pendekatan transpalatal dan mengalami kekambuhan pada usia 19 tahun (Gambar 5).

  

Roelex Transpalatal

9.09% 90.91%

  Gambar 4. Sebaran pasien berdasarkan jenis operasi

  8

  7

  6

  5

  4

  3

  2

  1 jumlah operasi Rekuren

roelex Transpalatal

  Gambar 5. Sebaran pasien rekuren berdasrkan jenis operasi Pembahasan Angiofiroma nasofaring termasuk kasus yang jarang ditemukan, angka kejadiannya sebesar 0,05% tumor kepala leher. Tumor ini hampir eksklusive 2 pada laki-laki dewasa muda berusia 7-29 tahun. Pada penelitian ini angka kejadian yang ditemukan sebesar 0,01% dari keseluruhan kunjuangan poli THT- KL. Pada penelitian ini kasus angiofibroma sangat rendah dibandingkan literatur, hal ini disebabkan oleh sebagaian besar kasus kemungkinan ditangani di rumah sakit swasta di kota Mataram sehingga tidak terdata di RSUP NTB, sebagian lagi pasien memilih untuk berobat lanjut ke rumah sakit di luar NTB. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini ditemukan rata-rata usia pasien sebesar 17,8 tahun dan ditemukan 1 kasus angiofibroma pada wanita yang telah berusia 35 tahun. Kasus angiofibroma pada wanita tersebut telah dilaporkan pada forum 1st ENT Head and Conference di Jakarta pada tahun 3

  2007. Kejadian angiofibroma pada wanita juga pernah dilaporkan di beberapa literatur bahkan pada wanita hamil juga pernah dilaporkan tetapi memang 4 sangat jarang. Laporan kasus di padang pernah melaporkan angiofibroma pada 5 usia dewasa (42 tahun).

  Terdapat beberapa klasifikasi stadium angiofibroma nasofarings. Pada penelitian ini penulis menggunakan klasifikasi menurut Fisch (Stadium I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang; Stadium II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang; Stadium III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah dan stadium 3 sebanyak (3:28%) sedangkan stadium 4 tidak ditemukan pada masa penelitian ini.

  

Sebagian besar ahli literatur menyebutkan bahwa terapi definitif masih

menganjurkan reseksi dengan pembedahan. Terdapat beberapa teknik

untuk mengangkat angiofibroma, antara lain secara endoskopik,

embolisasi yang dilanjutkan ekstirpasi baik secara konvensional dan atau

dengan insisi transpalatal, rinotomi lateral, degloving fasial, radiasi,

  2,4,7,8

krioterapi, elektrokoagulasi dan terapi hormonal. Pada penelitian ini

penulis menggunakan metode ekstirpasi konvensional dengan kombinasi

rotasi elevasi dan ekstirpasi serta insisi transpalatal. Hal ini karena di

RSUP NTB belum tersedia peralatan untuk embolisasi, radiasi ataupun

krioterapi.

  Angka kekambuhan pada angiofibroma nasofaring merupakan hal sering dijumpai dengan insiden 30%-46%. Howard seperti yang dikutip oleh Cummings menyatakan bahwa 93% dari angka rekurensi terjadi pada pasien dengan gambaran radiologi adanya invasi ke sinus sphenoid melaui kanalis pterigoid. Herman dkk seperti yang dikutip oleh Wang melaporkan 7 % angka kekambuhan pada stadium I dan II setelah pembedahan. Wang dkk juga melaporkan angka 4,9,10 kekambuhan 23 % pada teknik operasi tanspalatal. Angka rekurensi pada penelitian sebesar 22%, hal ini sedikit lebih rendah dibandingkan hasil penelitian lainnya, kecuali pada penelitian Herman dkk yang dikutip oleh Wang. Pada tahun 2011. Hal ini kemungkinan terjadi karena sebagian besar kasus pada penelitian ini merupakan kasus stadium 2.

  Kesimpulan

  Selama 9 tahun evaluasi ditemukan 9 kasus baru dan 2 kasus rekuren. Kasus Angiofibroma nasofarings perlu mendapatkan perhatian dari spesialis THT-KL mengingat angka rekurensi yang masih cukup tinggi (22%).

  Referensi

  1. Wahyudi SH. Profil pasien di poliklinik THT RSUP NTB periode Januari 2006

  • – 31 Desember 2006. Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. 2008.

  2. Boghani Z, Husain Q, Kanumuri V, Khan MN, Sangvhi S, Liu JK, et al.

  Juvenilenasopharyngeal angiofibroma: a systematic review and comparison of endo-scopic, endoscopic-assisted, and open resection in 1047 cases. Laryngoscope2013;123

  3. Kadriyan H, Rambu M, Aryani IGA. A first case of Nasopharyngeal Angiofibroma in female in Mataram. Presented in First ENT Head and Neck Conference. Jakarta 2007.

  4. Jatin shah. Head and neck surgery and oncology. 3rd ed.2003:85-92 5. Rahman S, Budiman BJ, Azani S. Angiofibroma nasofaring pada dewasa.

  Laporan kasus Universitas Andalas 2011.

  6. Asroel HA. Angiofibroma Nasofaring Juvenile. Laporan Kasus Universitas

  8. Danesi G, Panciera DT, Harvey RJ, Agostinis C. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma: evaluation and surgical management of advanced disease.

  Otolaryngol Head Neck Surg. 2008;138:581-6)

  9. Cummings. Angiofibroma. Head and Neck surgery. 4th ed

  10.Wang Ying Qing et al. Comparision of two approaches to the surgical management of juvenile nasopharyngeal angiofibroma stage I and II.

  Journal of otolaryngology-HNS. 2011;40: 14-18