ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA
This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:33:17 2017 / +0000 GMT
ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA
A. PENGERTIANAngiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung menimbulkan perdarahan
yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja. Angiofibroma nasofaring belia merupakan neoplasma
vaskuler yang terjadi hanya ada laki-laki, biasanya selama masa prepubertas dan remaja Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d
21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak
nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leherB. ETIOLOGIEtiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai
jenis teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal. Secara histopatologi tumor ini
termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang
kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya
dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor
ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar
tengkorak . C. TANDA DAN GEJALAGejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal,
pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.
Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat
menimbulkan perdarahan yang ekstensif. D. PENEGAKAN DIAGNOSISDiagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto
polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila4. Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang
masif dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan
yang tinggi. Tumor ini dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan lain-lain.E.
PENATALAKSANAANPenatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan; dimana 6-24% rekuren, stereotactic radioterapi;
digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-kasus yang rekuren. Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan
pembedahan yang sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan
selama operasi2,4,5. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl
alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah
masing-masing. F. KOMPLIKASIKomplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan yang berlebihan dan transformasi maligna. G.
STADIUM ANGIOFIBROMAUntuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering
digunakan yaitu Sessions dan Fisch. Klasifikasi menurut Sessions sebagai erikut : 1.
Stage IA
: Tumor terbatas pada nares
posterior dan/atau nasofaring 2.
Stage IB
: Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu
sinus paranasal. 3.
Stage IIA
: Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila. 4.
Stage IIB
: Mengisi
seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita. 5.
Stage IIIA
: Mengerosi dasar tengkorak; perluasan
intrakranial yang minimal. 6.
Stage IIIB
: Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch : Stage I
:
Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang. Stage II
:Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang. Stage III
:Tumor
menginvasi fossa
infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai
sinus kavernosus. Stage IV
:
Tumor menginvasi sinus
kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa
pituitary. H. PENGKAJIANa.
Faktor herediter atau riwayat kanker pada
keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudarab.
Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap
sejenis kayu tertentu.c.
Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang
terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).d.
Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut
keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)e.
Tanda dan gejala :·
AktivitasKelemahan atau
keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.·
SirkulasiAkibat
metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.·
Integritas egoFaktor
stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik
diri, marah.·
EliminasiPerubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi
abdomen.·
Makanan/cairanKebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa
kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.·
NeurosensoriSakit kepala,
tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus·
Nyeri/kenyamananRasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia),
rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan ·
PernapasanMerokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang
merokok)·
KeamananPemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.·
Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com
| Page 1/2 |
This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:33:17 2017 / +0000 GMT
Interaksi sosialKetidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
(Doenges, 2000)H. Diagnosa Keperawatan dan
IntervensiNyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi karingan sarafTujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrolKriteria hasil :
mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri .Intervensi :· Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi·
Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.· Dorong penggunaan ketrampilan manajemen
nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.· Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol·
Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik.2. Gangguan sensori persepsi
berubungan dengan gangguan status organ sekunder Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsiKriteria hasil
: mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahanIntervensi :S Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua
mata terlibat.S Orientasikan pasien terhadap lingkunganS Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasiS Perhatikan tentang suram
atau penglihatan kaburS Bicara dengan gerak mulut yang jelasS Bicara pada sisi telinga yang sehat 3. Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.Kriteria
hasil : § Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah§ Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat§ Menunjukkan
turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab§ Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan Intervensi :S
Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasienS Berikan dorongan higiene oral
yang seringS Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkanS Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum,
selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.S Pantau masukan makanan tiap hari.S Ukur TB, BB dan ketebalan
kulit trisep (pengukuran antropometri)S Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan
adekuat.S Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)4. Resiko infeksi berhubungan dengan
ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresiTujuan : tidak terjadi infeksiKriteria hasil : § Menunjukkan suhu normal dan
tanda-tanda vital normal§ Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.§ Menunjukkan bunyi nafas
normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratoriIntervensi :S Kaji pasienterhadap bukti adanya
infeksi :S Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status
mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemihS Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung,
batasi pengunjung yang mengalami infeksi.S Tekankan higiene personalS Pantau suhuS Kaji semua sistem (pernafasan, kulit,
genitourinaria)9. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik Tujuan : perdarahan dapat
teratasiKriteria hasil : § Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi§ Tidak menunjukkan adanya epistaksisIntervensi :S Kaji
terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombositS Kaji terhadap perdarahan : epsitaksisS Instruksikan cara-cara
meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/ gesekan pada hidungKepustakaan1.
Averdi R, Umar SD. Angiofibroma
Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I. 2.
Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke
5, Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2. 3.
Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL :
http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm 4.
Adams GL, et al. Boies ? Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 1997.5.
Sadeghi N. Sinonasal Papillomas, Treatment. Available from URL :
http://www.emedicine.com/ent/topic529.htm 6.
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;19997.
Efiaty Arsyad
Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
20018.
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 19974. Smeltzer Suzanne C. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta :
EGC; 2001
Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com
| Page 2/2 |
Export date: Sun Sep 3 1:33:17 2017 / +0000 GMT
ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA
A. PENGERTIANAngiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung menimbulkan perdarahan
yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja. Angiofibroma nasofaring belia merupakan neoplasma
vaskuler yang terjadi hanya ada laki-laki, biasanya selama masa prepubertas dan remaja Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d
21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak
nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leherB. ETIOLOGIEtiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai
jenis teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal. Secara histopatologi tumor ini
termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang
kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya
dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor
ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar
tengkorak . C. TANDA DAN GEJALAGejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal,
pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.
Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat
menimbulkan perdarahan yang ekstensif. D. PENEGAKAN DIAGNOSISDiagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto
polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila4. Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang
masif dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan
yang tinggi. Tumor ini dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan lain-lain.E.
PENATALAKSANAANPenatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan; dimana 6-24% rekuren, stereotactic radioterapi;
digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-kasus yang rekuren. Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan
pembedahan yang sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan
selama operasi2,4,5. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl
alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah
masing-masing. F. KOMPLIKASIKomplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan yang berlebihan dan transformasi maligna. G.
STADIUM ANGIOFIBROMAUntuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering
digunakan yaitu Sessions dan Fisch. Klasifikasi menurut Sessions sebagai erikut : 1.
Stage IA
: Tumor terbatas pada nares
posterior dan/atau nasofaring 2.
Stage IB
: Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu
sinus paranasal. 3.
Stage IIA
: Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila. 4.
Stage IIB
: Mengisi
seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita. 5.
Stage IIIA
: Mengerosi dasar tengkorak; perluasan
intrakranial yang minimal. 6.
Stage IIIB
: Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch : Stage I
:
Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang. Stage II
:Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang. Stage III
:Tumor
menginvasi fossa
infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai
sinus kavernosus. Stage IV
:
Tumor menginvasi sinus
kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa
pituitary. H. PENGKAJIANa.
Faktor herediter atau riwayat kanker pada
keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudarab.
Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap
sejenis kayu tertentu.c.
Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang
terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).d.
Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut
keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)e.
Tanda dan gejala :·
AktivitasKelemahan atau
keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.·
SirkulasiAkibat
metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.·
Integritas egoFaktor
stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik
diri, marah.·
EliminasiPerubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi
abdomen.·
Makanan/cairanKebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa
kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.·
NeurosensoriSakit kepala,
tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus·
Nyeri/kenyamananRasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia),
rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan ·
PernapasanMerokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang
merokok)·
KeamananPemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.·
Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com
| Page 1/2 |
This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 1:33:17 2017 / +0000 GMT
Interaksi sosialKetidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
(Doenges, 2000)H. Diagnosa Keperawatan dan
IntervensiNyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi karingan sarafTujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrolKriteria hasil :
mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri .Intervensi :· Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi·
Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.· Dorong penggunaan ketrampilan manajemen
nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.· Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol·
Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik.2. Gangguan sensori persepsi
berubungan dengan gangguan status organ sekunder Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsiKriteria hasil
: mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahanIntervensi :S Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua
mata terlibat.S Orientasikan pasien terhadap lingkunganS Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasiS Perhatikan tentang suram
atau penglihatan kaburS Bicara dengan gerak mulut yang jelasS Bicara pada sisi telinga yang sehat 3. Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.Kriteria
hasil : § Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah§ Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat§ Menunjukkan
turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab§ Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan Intervensi :S
Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasienS Berikan dorongan higiene oral
yang seringS Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkanS Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum,
selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.S Pantau masukan makanan tiap hari.S Ukur TB, BB dan ketebalan
kulit trisep (pengukuran antropometri)S Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan
adekuat.S Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)4. Resiko infeksi berhubungan dengan
ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresiTujuan : tidak terjadi infeksiKriteria hasil : § Menunjukkan suhu normal dan
tanda-tanda vital normal§ Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.§ Menunjukkan bunyi nafas
normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratoriIntervensi :S Kaji pasienterhadap bukti adanya
infeksi :S Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status
mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemihS Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung,
batasi pengunjung yang mengalami infeksi.S Tekankan higiene personalS Pantau suhuS Kaji semua sistem (pernafasan, kulit,
genitourinaria)9. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik Tujuan : perdarahan dapat
teratasiKriteria hasil : § Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi§ Tidak menunjukkan adanya epistaksisIntervensi :S Kaji
terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombositS Kaji terhadap perdarahan : epsitaksisS Instruksikan cara-cara
meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/ gesekan pada hidungKepustakaan1.
Averdi R, Umar SD. Angiofibroma
Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I. 2.
Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke
5, Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2. 3.
Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL :
http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm 4.
Adams GL, et al. Boies ? Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 1997.5.
Sadeghi N. Sinonasal Papillomas, Treatment. Available from URL :
http://www.emedicine.com/ent/topic529.htm 6.
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;19997.
Efiaty Arsyad
Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
20018.
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 19974. Smeltzer Suzanne C. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta :
EGC; 2001
Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com
| Page 2/2 |