BAB II KAJIAN TEORI A. DESKRIPSI KONSEPTUAL 1. Bahan Ajar - SUMENTI BAB II

BAB II KAJIAN TEORI A. DESKRIPSI KONSEPTUAL 1. Bahan Ajar Pannen (2001:9) mengungkapkan bahwa bahan ajar adalah bahan-

  bahan atau materi pelajaran yang disusun secara sistematis, yang digunakan guru atau peserta didik dalam proses pembelajaran. Sementara itu, Prastowo (2011:17) mengungkapkan bahwa bahan ajar merupakan segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran.

  Lestari (2013) menjelaskan bahwa bahan ajar adalah seperangkat materi pelajaran yang mengacu pada kurikulum yang digunakan dalam rangka mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditentukan. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Widodo dan Jasmadi (2008: 40), bahan ajar adalah seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang berisikan materi pembelajaran, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mencapai kompetensi atau subkompetensi dengan segala kompleksitasnya. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar adalah segala

  9 bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru dan siswa dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Bahan ajar sangat menentukan dalam keberhasilan suatu pembelajaran. Bahan ajar harus dikuasai dan dipahami oleh siswa karena membantu dalam pencapaian tujuan pembelajaran.

  e. Fungsi Bahan Ajar

  Suryaman (2012: 1) mengungkapkan salah satu tugas pendidik adalah merencanakan pembelajaran. Di dalam tugas merencanakan pembelajaran terdapat tugas mengembangkan materi bahan ajar. Ketersediaan bahan ajar merupakan tanggung jawab pendidik yang berfungsi sebagai berikut.

  1) Sebagai pedoman bagi pendidik yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya di ajarkan kepada peserta didik. 2) Sebagai pedoman bagi peserta didik yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari/ dikuasai. 3) Sebagai alat evaluasi pencapaian/ penguasaan hasil pembelajaran.

  f. Jenis-jenis Bahan Ajar

  Secara umum bahan ajar dapat dibedakan ke dalam bahan ajar cetak dan noncetak. Bahan ajar cetak dapat berupa, handout, buku, modul, brosur, dan lembar kerja siswa. Sedangkan bahan ajar noncetak meliputi, bahan ajar audio seperti, kaset, radio, piringan hitam, dan compact disc audio. Bahan ajar audio visual seperti, CAI (Computer Assisted Instruction), dan bahan ajar berbasis web (web based learning materials) (Ika Lestari, 2013: 5).

  Lebih lanjut Mulyasa (2006: 96) menambahkan bahwa bentuk bahan ajar atau materi pembelajaran antara lain adalah bahan cetak (hand out, buku, modul, LKS, brosur, dan leaflet), audio (radio, kaset, cd audio), visual (foto atau gambar), audio visual (seperti; video/film atau VCD) dan multi media (seperti; CD interaktif, computer based, dan internet).

  Bahan ajar yang dimaksud dalam kajian ini lebih ke bahan ajar cetak berupa buku teks. Hal ini dikarenakan, buku teks sangat erat kaitannya dengan kurikulum, silabus, standard kompetensi, dan kompetensi dasar. Rudi Susilana (2007: 14) mengungkapkan bahwa buku teks adalah buku tentang suatu bidang studi atau ilmu tertentu yang disusun untuk memudahkan para guru dan siswa dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran.

  Buku teks merupakan salah satu unsure yang dibutuhkan dalam pengajaran. Buku teks dapat juga menjadi wadah untuk menuliskan ide-ide terkait kebudayaan nasional suatu bangsa. Sebagaimana yang diungkapkan Pingel (2009: 7) g.

   Karakteristik Bahan Ajar

  Karakteristik bahan ajar menurut Widodo dan Jasmadi (2008: 50), yaitu: 1) Self instructional, melalui bahan ajar siswa dapat membelajarkan dirinya sendiri. Di dalam bahan ajar harus memuat mengenai tujuan pembelajaran yang jelas agar siswa dapat mengukur sendiri pencapaian hasil belajarnya. 2) Self contained, di dalam bahan ajar harus berisi satu kesatuan materi yang utuh.

  3) Stand alone, bahan ajar yang dikembangkan bisa digunakan sendiri tanpa harus melibatkan bahan ajar yang lain.

  4) Adaptive, bahan ajar hendaknya menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang ada serta sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

  5) User friendly, bahan ajar haruslah sesuai dengan perkembangan penggunanya sehingga siswa dapat dengan mudah memahami isi bahan ajar tersebut.

  Sebuah bahan ajar juga harus memenuhi standar kelayakan. Standar kelayakan tersebut dapat dilihat dari isi, sajian, bahasa, dan grafika. Menurut Muslich (2010) kelayakan isi memiliki tiga indikator yang harus diperhatikan, yaitu kesesuaian materi dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar, keakuratan materi, dan materi pendukung pembelajaran. Kelayakan penyajian meliputi teknik penyajian, penyajian pembelajaran, dan kelengkapan penyajian. Dalam hal kelayakan bahasa, ada beberapa indikator yang harus diperhatikan, yaitu kesesuaian pemakaian bahasa dengan tingkat perkembangan siswa, pemakaian bahasa yang komunikatif, dan memenuhi syarat keruntutan dan keterpaduan alur berpikir. Kelayakan kegrafikan meliputi bentuk, desain kulit, dan desain isi.

  Bahan ajar dalam penelitian ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan bahan ajar yang lainnya. Bahan ajar dalam penelitian ini digunakan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SD kelas III. Bahan ajar disusun berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar dari kurikulum yang berlaku, yaitu menulis petunjuk melakukan sesuatu dengan urutan yang tepat dan menggunakan bahasa yang efektif.

  Tujuan dari penyusunan bahan ajar ini adalah agar siswa mampu mencapai tujuan pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran dapat diukur melalui indikator-indikator yang dicapai. Bahan ajar berorientasi kepada kegiatan belajar siswa sehingga bahan ajar disusun berdasarkan kebutuhan dan motivasi siswa. Hal itu bertujuan agar siswa lebih antusias dan semangat dalam proses pembelajaran.

  Bahan ajar ini juga dapat digunakan siswa secara mandiri tanpa harus melibatkan guru. Bagi guru, bahan ajar ini hendaknya bisa mengarahkan guru dalam menentukan langkah-langkah pembelajaran di kelas. Pola sajian bahan ajar disesuaikan dengan perkembangan intelektual siswa sehingga mudah dipahami.

h. Bentuk Bahan Ajar

  Ada beragam bahan ajar yang beredar di sekolah. Bahan ajar tersebut ada yang berbentuk buku, modul, maupun bahan ajar yang berbasis komputer. Lestari (2013) membedakan bahan ajar menjadi dua, yaitu bahan ajar cetak dan noncetak. Bahan ajar cetak berupa handout, buku, modul, brosur, dan lembar kerja siswa. Bahan ajar noncetak meliputi 1) bahan ajar dengar (audio), seperti kaset, radio, piringan hitam, compact disc audio, 2) bahan ajar pandang dengar (audio visual) seperti video compact disc dan film, 3) multimedia interaktif, seperti CAI (Computer Assisted Instruction), compact disc (CD) multimedia interaktif, dan bahan ajar berbasis web.

  Berdasarkan bentuknya, Prastowo (2011:40) membedakan bahan ajar menjadi empat macam, yaitu (1) bahan ajar cetak, (2) bahan ajar dengar atau audio, (3) bahan ajar pandang dengar (audio visual), dan (4) bahan ajar interaktif. Berdasarkan beberapa pendapat mengenai bentuk bahan ajar di atas, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar ada empat macam, yaitu bahan ajar cetak, bahan ajar audio, bahan ajar audio visual, dan bahan ajar interaktif.

2. Pengembangan Bahan Ajar

  Terdapat sejumlah alasan, mengapa guru perlu untuk mengembangkan bahan ajar, yakni antara lain: ketersediaan bahan sesuai tuntutan kurikulum, karakteristik sasaran, dan tuntutan pemecahan masalah belajar. Pengembangan bahan ajar harus memperhatikan tuntutan kurikulum, artinya bahan belajar yang akan kita kembangkan harus sesuai dengan kurikulum. Pada kurikukulum tingkat satuan pendidikan, standar kompetensi lulusan telah ditetapkan oleh pemerintah, namun bagaimana untuk mencapainya dan apa bahan ajar yang digunakan diserahkan sepenuhnya kepada para pendidik sebagai tenaga profesional. Dalam hal ini, guru dituntut untuk mempunyai kemampuan mengembangkan bahan ajar sendiri. Untuk mendukung kurikulum, sebuah bahan ajar bisa saja menempati posisi sebagai bahan ajar pokok ataupun suplementer. Bahan ajar pokok adalah bahan ajar yang memenuhi tuntutan kurikulum. Sedangkan bahan ajar suplementer adalah bahan ajar yang dimaksudkan untuk memperkaya, menambah ataupun memperdalam isi kurikulum.

  Apabila bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum tidak ada ataupun sulit diperoleh, maka membuat bahan belajar sendiri adalah suatu keputusan yang bijak. Untuk mengembangkan bahan ajar, referensi dapat diperoleh dari berbagai sumber baik itu berupa pengalaman ataupun pengetahauan sendiri, ataupun penggalian informasi dari narasumber baik orang ahli ataupun teman sejawat. Demikian pula referensi dapat kita peroleh dari buku-buku, media masa, internet, dll. Namun demikian, kalaupun bahan yang sesuai dengan kurikulum cukup melimpah bukan berarti kita tidak perlu mengembangkan bahan sendiri. Bagi siswa, seringkali bahan yang terlalu banyak membuat mereka bingung, untuk itu maka guru perlu membuat bahan ajar untuk menjadi pedoman bagi siswa.

  Pertimbangan lain adalah karakteristik sasaran. Bahan ajar yang dikembangkan orang lain seringkali tidak cocok untuk siswa kita. Ada sejumlah alasan ketidakcocokan, misalnya: lingkungan sosial, geografis, budaya, dll. Untuk itu, maka bahan ajar yang dikembangkan sendiri dapat disesuaikan dengan karakteristik sasaran. Selain lingkungan sosial, budaya, dan geografis, karakteristik sasaran juga mencakup tahapan perkembangan siswa, kemampuan awal yang telah dikuasai, minat, latar belakang keluarga dll. Untuk itu, maka bahan ajar yang dikembangkan sendiri dapat disesuaikan dengan karakteristik siswa sebagai sasaran.

  Selanjutnya, pengembangan bahan ajar harus dapat menjawab atau memecahkan masalah ataupun kesulitan dalam belajar. Terdapat sejumlah materi pembelajaran yang seringkali siswa sulit untuk memahaminya ataupun guru sulit untuk menjelaskannya. Kesulitan tersebut dapat saja terjadi karena materi tersebut abstrak, rumit, asing, dsb. Untuk mengatasi kesulitan ini maka perlu dikembangkan bahan ajar yang tepat. Apabila materi pembelajaran yang akan disampaikan bersifat abstrak, maka bahan ajar harus mampu membantu siswa menggambarkan sesuatu yang abstrak gersebut, misalnya dengan penggunaan gambar, foto, bagan, skema, dll. Demikian pula materi yang rumit, harus dapat dijelaskan dengan cara yang sederhana, sesuai dengan tingkat berfikir siswa, sehingga menjadi lebih mudah dipahami.

3. Menulis Puisi a. Hakikat Menulis

  Menulis adalah salah satu dari empat komponen dalam keterampilan berbahasa. Menurut Tarigan (2008) komponen-komponen tersebut adalah menyimak (listening skills), berbicara (speaking skills), membaca (reading skills ) dan menulis (writing skills).

  Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang dipergunakan dalam komunikasi secara tidak langsung. Keterampilan menulis didapatkan melalui proses belajar dan berlatih. Seseorang yang tidak pernah berlatih menulis akan mengalami kesulitan dalam menuangkan ide atau gagasan ke dalam tulisan.

  Menulis adalah kegiatan melahirkan pikiran dan perasaan dengan tulisan. Dapat juga diartikan bahwa menulis adalah berkomunikasi mengungkapkan pikiran, perasaan, dan kehendak kepada orang lain secara tertulis (Suriamiharja dkk. 1996: 2). Dengan demikian, keterampilan menulis menjadi salah satu cara berkomunikasi karena dalam pengertian tersebut muncul kesan adanya pengirim dan penerima pesan.

  Menurut Wiyanto (2006: 1), menulis memiliki dua arti, pertama berarti mengubah bunyi yang dapat didengar menjadi tanda-tanda yang dapat dilihat.

  Kedua, kegiatan mengungkapkan gagasan secara tertulis. Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain tanpa melakukan tatap muka. Menurut Tarigan (2008), menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif.

  Dalam kegiatan menulis, penulis harus terampil dalam menyusun kalimat dan memanfaatkan kosa kata. Keterampilan menulis dapat diperoleh jika sering melakukan latihan dan praktik yang teratur serta berkelanjutan. Menulis seperti halnya keterampilan berbahasa lainnya, merupakan suatu proses perkembangan. Menulis menuntut pengalaman, waktu, kesempatan, latihan, keterampilan khusus, dan pengajaran langsung menjadi seorang penulis.

  Menulis bukan pekerjaan yang sulit, namun juga bukan pekerjaan yang mudah. Untuk memulai menulis, setiap penulis tidak perlu menunggu menjadi seorang penulis yang terampil. Dengan sering berlatih akan menjadikan seseorang terampil dalam bidang tulis-menulis. Dalam kegiatan menulis, penulis harus terampil memanfaatkan kosa kata yang baik dan benar. Sehingga, pembaca dapat memahami tulisan penulis. Selain itu, penulis juga harus terampil dalam pengembangan paragraf agar pembaca lebih mengerti inti dari pokok permasalahan.

  Keterampilan menulis mempunyai tiga komponen penting, yaitu penguasaan bahasa tulis, yang akan berfungsi sebagai media tulisan, penguasaan isi karangan sesuai dengan topik yang akan di tulis, penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan (Wagiran dan Doyin 2009: 12) .

  Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa menulis adalah suatu kegiatan mengkomunikasikan gagasan, perasaan atau pesan dengan menggunakan kosakata dan kaidah kebahasaan dalam bentuk tulisan serta dapat disampaikan kepada orang lain tanpa harus bertatap muka secara langsung.

b. Pengertian Puisi

  Istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti membuat atau poesis yang berarti pembuatan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan

  poem atau poetry. Pada prinsipnya puisi banyak ditafsirkan dengan beberapa

  pemahaman sebagai suatu hasil karya seni dengan mengalami perubahan dan perkembangan, karena itu, ”puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetikanya” (Riffaterre dalam Pradopo, 2009:3). Meskipun demikian, tidak banyak orang yang memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu merupakan karya estetis yang bermakna dan mempunyai arti.

  Menurut Wirjosoedarmo (dalam Pradopo, 2009: 5), mengemukakan bahwa puisi bisa didefinisikan sebagai suatu karangan yang terikat sedangkan prosa merupakan bentuk karangan bebas, yang mana puisi itu terikat oleh : (1) banyak baris dalam tiap bait (kuplet/strofa, suku karangan); (2) banyak kata dalam tiap baris; (3) banyak suku kata dalam tiap baris; (4) rima dan (5) irama.

  ”Puisi diartikan membuat atau pembuatan karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah” (Aminuddin, 2009: 134).

  Pendapat di atas berdasarkan etimologi, sedang secara terminologi pengertian puisi dapat didefinisikan sebagai berikut: M enurut Hudson (dalam Aminuddin, 2009:134),”Puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya”.

  Menurut Altenbernd (dalam Pradopo, 2009: 5-6) ”Puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum) (as the interpretive dramatization of experience

  in metrical language

  )”. Sedangkan menurut Dunton (dalam Pradopo, 2009:6) ”Puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama”. Pradopo (2009: 7) mendefinisikan ”Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama”. Pada dasarnya bentuk sebuah puisi terletak pada bentuk formalnya walaupun kadang-kadang orang masih terikat dengan bentuk puisi lama sehingga bentuk formal itu sangat penting, berbeda dengan puisi baru yang lebih menekankan pada pengekspresian makna yang terkandung dalam isi puisi tersebut.

  Setidaknya ada tiga aspek dalam pengertian hakikat puisi, diantaranya : (a) sifat seni atau fungsi seni; (b) kepadatan; dan (c) ekspresi tidak langsung.

  Masing-masing aspek tersebut memberikan arahan yang jelas sehingga pengekspresiannya sesuai dengan konsep estetik.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas, pengertian puisi dapat disimpulkan bahwa puisi merupakan ekspresi pemikiran seseorang yang dituangkan lewat bahasa yang estetis sehingga menimbulkan efek yang sangat kuat terhadap pembaca.

c. Struktur Puisi

  Bangun struktur puisi bisa dilihat secara konkrit terhadap teks puisi yang telah selesai diciptakan. Unsur dalam puisi menurut Aminuddin (2009: 136) meliputi :

  a) Unsur Bunyi meliputi : 1). Rima

  Rima adalah bunyi yang berselang/berulang, baik di dalam larik puisi maupun pada akhir larik- larik puisi” (Aminuddin, 2009: 137)

  2). Irama

  Irama yakni paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalitas, baik berupa alunan keras-lunak, tinggi-rendah, panjang-pendek, dan kuat- lemah yang keseluruhannya mampu menumbuhkan kemerduan, kesan suasana serta nuansa makna tertentu (Aminuddin, 2009: 137).

  3). Ragam bunyi Ragam bunyi dibagi menjadi tiga yaitu bunyi euphony, bunyi

  

cacophony, dan bunyi anomatope. Euphony sebagai salah satu ragam

  bunyi yang mampu menuansakan suasana keriangan, vitalitas, maupun gerak, dan biasanya sering menggunakan bunyi-bunyi vokal. Bunyi

  

cacophony adalah bunyi yang menuansakan suasana ketertekanan batin,

  kebekuan, kesepian ataupun kesedihan. Anomatope sebagai bunyi dalam puisi yang umumnya hanya memberikan sugesti suara yang sebenarnya.

  (Aminuddin, 2009: 138-139)

  b) Unsur Kata Unsur kata di dalam puisi menjadi sangat penting karena kata dapat menentukan baik tidaknya sebuah karya sastra puisi. Menurut

  Pradopo (2009: 48), ”satuan arti yang menentukan struktur formal linguistik karya sastra adalah kata”.

  Menurut Aminuddin (2009: 140), mengemukakan bahwa berdasarkan bentuk bentuk dan isi, kata-kata di dalam puisi dapat dibedakan antara (1)

  

lambang , yakni bila kata-kata mengandung makna seperti makna dalam

  kamus (makna leksikal) sehingga acuan maknanya tidak menunjuk pada berbagai macam kemungkinan lain (makna denotatif), (2) utterance atau

  

indice , yakni kata-kata yang mengandung makna sesuai dengan

  keberadaan dalam konteks pemakaian. (3) simbol, yakni bila kata-kata itu mengandung makna ganda (makna konotatif) sehingga untuk memahaminya seseorang harus menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat bagaimana hubungan makna kata tersebut dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual), sekaligus berusaha menemukan fitur semantisnya lewat kaidah proyeksi.

  c) Unsur Baris Istilah baris atau larik di dalam puisi, pada dasarnya sama dengan istilah kalimat dalam karya prosa.

  ”Hanya saja, sesuai dengan hak kepengarangan yang diistilahkan dengan lecentia poetica, maka wujud, ciri-ciri, dan peranan lirik dalam puisi tidak begitu saja disamakan secara menyeluruh dengan kalimat dalam karya sastra prosa” (Aminuddin, 2009: 144).

  d) Unsur Tipografi ”Pengertian bait adalah kesatuan larik yang berada dalam satu kelompok dalam rangka mendukung satu kesatuan pokok pikiran, terpisah dari kelompok larik ( bait) lainnya” (Aminuddin, 2009: 145-146).

d. Jenis-jenis Puisi

  Menurut Aminuddin (2009: 134-1 36) ”Puisi berdasarkan bentuk dan isinya dapat dibagi 10 macam”, antara lain : a. Puisi Epik, yakni puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawanan yang berhubungan dengan legenda, kepercayaan maupun sejarah.

  b. Puisi Naratif, yakni puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita, dengan pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita. Termasuk dalam jenis puisi naratif ini adalah apa yang disebut dengan balada, yang dibedakan antara folk

  

ballad, dengan literary ballad, sebagai suatu ragam puisi yang

  berkisah tentang kehidupan manusia dengan segala macam sifat pengasihnya, kecemburuan, kedengkian, ketakutan, kepedihan, dan keriangannya. Jenis puisi lain yang termasuk dalam puisi naratif adalah poetic tale sebagai puisi yang berisi dongeng-dongeng rakyat.

  c. Puisi Lirik, yakni salah satu jenis puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap maupun suasana batin yang melingkupinya. Jenis puisi lirik pada umumnya paling banyak terdapat dalam khazanah sastra modern di Indonesia seperti tampak dalam puisi-puisi Chairil Anwar, Sapardi Djokodamono, Goenawan Muhammad, dan lain sebagainya.

  d. Puisi Dramatik, yakni salah satu jenis puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku seseorang, baik lewat lakuan, dialog, maupun monolog sehingga sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertetntu. Dalam puisi dramatik bisa saja penyair berkisah tentang dirinya atau orang lain yang diwakilinya lewat monolog. e. Puisi Didaktik, yakni puisi yang mengandung nilai-nilai kependidikan yang umumnya tertampil eksplisit.

  f. Puisi Satirik, yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat.

  g. Puisi Romance, yakni puisi yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap sang kekasih.

  h. Puisi Elegi, yakni puisi ratapan yang mengungkapkan rasa pedih seseorang. i. Puisi Ode, yaitu puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa ataupun sikap kepahlawanan. j. Puisi Himne, yaitu puisi yang berisi pujian terhadap tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap bangsa ataupun tanah air.

e. Unsur Stile

  Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005:289) mengemukakan bahwa unsur stile (ia menyebutnya dengan istilah stylistics features) yang terdiri dari unsur fonologi, sintaksis, leksikal, retorika (rhetorical, yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan dan sebagainya).

  Sedangkan menurut Leech & Short (dalam Nurgiyantoro, 2005:289) mengemukakan bahwa ”unsur stile (ia memakai istilah stylistic catagories) terdiri dari unsur leksikal, gramatikal, figures of speech, konteks dan kohesi”.

  Dalam karya sastra puisi unsur stile sangat banyak mempengaruhi karena saling berkaitan satu dengan yang lain dalam membentuk karya sastra. Adapun yang mempengaruhi bentuk karya sastra diantaranya :

  1. Unsur leksikal Unsur ini yang dimaksud sama dengan pengertiannya dengan diksi, yaitu mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang.

  2. Unsur gramatikal Unsur yang dimaksud adalah menyarankan pada pengertian struktur kalimat. Dalam artian kalimat lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata walau kegayaan kalimat dalam banyak hal dipengaruhi oleh pilihan kata.

  3. Retorika Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis, baik menyangkut masalah pilihan kata dan ungkapan, struktur kalimat, segmentasi, penyusunan dan penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk citraan dan lain-lain yang disesuaikan dengan situasi dan tujuan penuturan.

4. Media Pembelajaran

  Media pembelajaran sesungguhnya merupakan bagian dari sumber pengajaran yang didalamnya pembelajaran disampaikan, dimana didalam media pembelajaran memiliki dua unsur, yakni (a) pesan atau bahan yang akan disampaikan, dan (b) alat penampil. Dengan media pembelajaran yang dipakai diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami objek yang dipelajari.

  Abuddin Nata (2009:300), berpendapat bahwa : Dilihat dari jenisnya, media pengajaran dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : (a) media auditif yaitu media yang hanya mengandalkan kekuatan suara saja, seperti radio, cassette recorder dan piringan audio, (b) media visual yaitu media yang hanya mengandalkan indra penglihatan, seperti foto, gambar, film strip, (c) audio visual yaitu media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar dengan berbagai variasi, seperti televisi, film dan VCD.

  Selanjutnya Abuddin Nata (2009:300) menjelaskan bahwa : Dilihat dari segi liputannya, media pengajaran juga dibagi menjadi tiga, yaitu : (a) media yang mempunyai daya liput yang luas dan serentak, seperti radio dan televisi, (b) media yang mempunyai daya liput terbatas oleh ruangan dan tempat, seperti film, sound slide, film rangkai yang semuanya memerlukan tempat dan ruangan tertutup, (c) media pengajaran individual, seperti modul berprogram dan pengajaran melalui komputer.

a. Peran Media dalam Pembelajaran

  Dalam serangkaian pembelajaran, untuk memberikan atau memindahkan informasi dari sumber ke tujuan tertentu diperlukan komunikasi yang terarah, sehingga mendapat pencapaian tujuan. Pengajaran yang efektif tidak akan terjadi apabila tidak terjalin komunikasi yang baik, oleh sebab itu diperlukan media pembelajaran yang dapat digunakan secara efektif.

  Media mempunyai banyak peran dalam pembelajaran. Media pembelajaran yang menciptakan kondisi belajar dengan pengalaman langsung akan dapat membantu peserta didik dalam membangun sendiri pengetahuan dan keterampilannya. Media sangat diperlukan dalam mempermudah peserta didik untuk lebih memahami terhadap apa yang mereka pelajari. Ada beberapa manfaat dalam penggunaan media, antara lain: 1) Penyampaian materi dapat diseragamkan, 2) Proses pembelajaran menjadi jelas dan lebih menarik, 3) Proses pembelajaran lebih interaktif, 4) Efisiensi dalam waktu dan tenaga, 5) Meningkatkan hasil belajar siswa, 6) Memungkingkan proses belajar dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja, 7) Dapat menumbuhkan sikap positif siswa terhadap materi dan proses belajar, 8) Dapat merubah peran guru menjadi positif dan produktif.

  Dengan menggunakan media bantu dalam proses pembelajaran akan dapat membuat perubahan terhadap pembelajaran. Pelajaran yang semula abstrak dapat dikonkritkan, dapat mengatasi kendala ruang dan waktu, mengatasi keterbatasan indra serta dapat menjadikan informasi yang disampaikan oleh guru lebih mempunyai kesan yang lebih mendalam dan lebih lama tersimpan dalam memori siswa, sehingga guru dapat mengefektifkan proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan analisis Setiawan (2008: 5.14) Yang mengelompokkan tiga tujuan dalam pembuatan media sederhana yaitu: (a) membangun komunitas berbasis pendidikan kreatif; (b) mengembangkan berbagai alternatif media sederhana yang kreatif dan berkesinambungan; (c) mengembangkan jaringan kerja (network) para guru dan pendidik untuk menggalang kerja sama dalam upaya mengembangkan berbagai media alternatif.

  b. Gambar Sebagai Media Pembelajaran Puisi

  Puisi sebagai karya sastra yang dituangkan dengan menggunakan bahasa konotatif, metafor, majas, dan lain sebagainya sangat erat kaitannya dengan berbagai fenomena yang berkembang disekitarnya. Alam sekitar, dan berbagai peristiwa bisa dikemas menjadi bahasa puitis yang mampu membangkitkan pembaca atau penikmat puisi, termasuk media gambar yang menyajikan berbagai peristiwa yang terjadi dibelahan muka bumi.

  Media gambar bisa menjadi inspirasi bagi para pelajar yang terbatas jangkauan visualnya selama mengikuti materi pelajaran menulis puisi di dalam kelas. Maka sangat tepat sekali dan erat hubungannya dalam rangka penulisan karya sastra puisi.

  Peningkatan kemampuan siswa dalam menulis karya sastra puisi khususnya, akhir-akhir ini lepas dari perhatian guru sebagai salah satu unsur yang memiliki peran penting dalam pengajaran menulis di bidang sastra. Penggunaan media yang inovatif kerapkali terlupakan dan hanya memanfaatkan teori yang selama ini banyak digunakan dalam proses pembelajaran, dirasa kurang membangkitkan inspirasi siswa dalam

  

mengeksplor kepekaan perasaan untuk menuangkan bahasa tulis ke

  dalam bentuk puisi. Akibatnya, siswa banyak mengalami kesulitan dalam mencipta sebuah karya puisi. Kenyataan ini berimbas pada rendahnya kualitas karya puisi yang dihasilkan.

  Sehubungan dengan itu, kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik dapat diatasi diantaranya dengan mengadakan inovasi dalam pemanfaatan media pembelajaran di sekolah. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan media pembelajaran dengan menggunakan media gambar. Penyajian suatu peristiwa dengan gambar akan mampu mengilhami ide-ide yang tertanam dalam naluri peserta didik. Diharapkan dengan penggunaan media visual ini, siswa lebih mudah dan terbantu untuk berekspresi dengan menghasilkan sebuah karya sastra puisi yang berkualitas.

c. Teknik Kata Kunci

  Secara harafiah kata kunci adalah kata pokok yang dijadikan pangkal untuk mengeksplorasikan pilihan kata yang dimiliki siswa.

  (Prasetyo, 2004: 7

  • –8). Teknik kata kunci adalah cara khusus yang dipilih guru untuk merangsang daya kreasi siswa supaya memiliki kemampuan yang terlatih. (Prasetyo, 2004: 8). Jadi, teknik kata kunci adalah cara
khusus untuk merangsang daya kreasi siswa dengan menyediakan beberapa kata pokok sebagai media untuk mengembangkan gagasan/ide kreatif siswa (Prasetyo, 2004: 8).

  Melalui aplikasi teknik kata kunci, merupakan salah-satu upaya inovatif untuk mengemas pembelajaran menulis kreatif puisi. Pada awalnya guru bertindak sebagai pemancing dengan menawarkan kata kunci yang bernuansa lingkungan, misalnya bidang pertanian. Waktu berikutnya, para siswa dengan daya imajinasinya mengembangkan kata- kata kunci itu menjadi baris-baris puisi, begitu seterusnya. Secara sistematis, para siswa akan terbiasa memadukan kemampuan berimajinasi dengan kata kunci untuk membuahkan sebuah karya kreatif berbetuk puisi. (Prasetyo, 2004: 1).

  Ada tiga tahapan dalam pelaksanaan teknik pancingan kata kunci : 1) Tahap melihat puisi model (bertema lingkungan)

  Pada tahap ini guru memberikan kesempatan siswanya untuk melihat puisi model yang bertema lingkungan, agar dapat mengenal secara langsung tipografi, gagasan yang tersirat, pilihan kata, dan pemakaian rima. Pada tahap ini pun siswa diajak, menelusuri tiga hal pokok yang menjadi bahan kajian, yakni, (1) gagasan penyair yang tersembunyi, (2) pilihan kata, dan (3) pembentukan rima.

  2) Tahap penyajian kata kunci

  Pada tahap ini siswa mencari kata kunci yang bertemakan lingkungan (pertanian). Ini bertujuan untuk merangsang imajinasi siswa, agar dapat menggunakan ide/gagasan sendiri dalam mengembangkannya. 3) Tahap pengembangan kata kunci

  Pada tahap ini, siswa mulai mengembangkan kata kunci yang telah mereka dapatkan, dengan menggunakan ide/gagasan sendiri. (Esroq, 2004: 19 – 20).

B. PENELITIAN RELEVAN

  Penelitian dilakukan Andayani (2008) dalam Pengembangan Model Pembelajaran Apresiasi Sastra Berbasis Quantum Learning di Sekolah Dasar, mengungkapkan bahwa pembelajaran apresiasi sastra dapat menghantarkan anak didik ke dalam kemampuan berbahasa sampai pada tataran apresiasi, ekpresi, dan kreasi. Kekuatan karya sastra terletak pada pesan yang terkandung didalamnya. Pesan yang dihasilkan dari karya sastra dapat sangat kuat dan lebih bersifat abadi jika dibandingkan dengan pesan secara harfiah. Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, dari studi pendahuluan ditemukan permasalahan dan kebutuhan guru dan murid yang berkaitan dengan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dasar. Kebutuhan yang segera harus dipenuhi dalam pembelajaran apresiasi sastra adalah silabus pembelajaran apresiasi sastra, RPP, dan alat evaluasi. Kebutuhan murid adalah pembelajaran apresiasi sastra yang sangat mudah dipelajari dan menyenangkan.

  Suryatin. Efektivitas Model Mengajar Resepsi dan Pendekatan Resepsi Sastra dalam Pengajaran Sastra untuk Meningkatkan Kemampuan Apresiasi Sastra (studi deskriptif experimentasi- teknik penelitian subjek tunggal). Pendidikan Nasional bertujuan untuk mencerdaskan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yang seimbang, serasi, selaras dalam hidup dan kehidupannya serta sehat jasmani dan rohani. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pendidikan humaniora disamping pendidikan non humaniora.

  Pendidikan humaniora terdapat pada pengajaran apresiasi sastra, karena pada hakikatnya dan secara kodrati, sastra itu memiliki sifat ganda yang sangat menguntungkan, yaitu dulce et utile (Wellek, 1977) yang berarti memberi kesenangan atau kenikmatan dan kegunaan serta manfaat.

  Tingkat kemampuan apresiasi sastra siswa di SMA/SMP masih memprihatinkan, karena itu penulis ingin mencari upaya apa kiranya untuk memperbaiki keadaan itu. Dengan alasan alasan tersebut, tujuan penelitian ini ingin mencari model mengajar yang efektif untuk meningkatkan kemampuan apresiasi sastra siswa. Permasalahannya difokuskan pada efektif tidaknya model mengajar resepsi dan pendekatan resepsi sastra dalam pengajaran sastra untuk meningkatkan kemampuan apresiasi sastra siswa, sehingga fokus permasalahan ini melahirkan sebuah hipotesis yang berbunyi sebagai berikut: Model mengajar resepsi dan pendekatan resepsi sastra dalam pengajaran sastra dapat meningkatkan kemampuan apresiasi sastra secara efektif.

  Retno Winarni 2004, kemampuan mahasiswa dalam meresepsi puisi Indonesia modern (sebuah survai studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia pada perguruan tinggi di Jawa Tengah). Pendidikan tanpa orientasi budaya akan menjadi gersang dan jauh dari nilai-nilai luhur. Sementara pada sisi yang lain, kebudayaan tanpa pendukung- pendukungnya yang sadar dan terdidik, akhirnya akan memudar sebagai sumber nilai. Pengelolaan kebudayaan tidak dilepaskan dari kerangka pendidikan. oleh karena itu, baik pendidikan maupun kebudayaan masing-masing memiliki tugas berat, yaitu menanggung tugas untuk berperan serta membangun kepribadian bangsa yang mantap, utuh, dan kokoh. Pembelajaran sastra selama ini dianggap tidak memenuhi sasarannya. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor antara lain siswa, guru, metode, bahan ajar, dan alat bantu atau media yang digunakan tidak mampu mewujudkan pengajaran yang diharapkan yakni pengajaran sastra yang apresiatif. Kemampuan meresepsi puisi perlu ditingkatkan, karena bukan hanya penting dalam upaya mempersiapkan mahasiswa memiliki kepekaan perasaan, daya imajinasi, dan kepekaan terhadap masyarakat, budaya serta lingkungan hidup.

  Mohammad Siddik, 2009, Pengembangan Model Pembelajaran Menulis Deskripsi Untuk Siswa Kelas IV Sekolah Dasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran menulis deskripsi, yaitu produk perencanaan, produk materi, dan produk evaluasi dalam upaya membantu pemecahan masalah ketiadaan model pembelajaran yang representatif agar masalah kemampuan menulis siswa kelas IV sekolah dasar (SD) dapat teratasi. Penelitian ini menggunakan desain penelitian pengembangan, yakni tahap penetapan fokus pendefinisian, pengembangan, dan penyebarluasan.

  Basuki, 2011, Pengembangan Model Pembelajaran Membaca dengan Teknik Pelabelan Objek Sekitar (POS) Bagi Murid Taman Kanak-kanak. Disertasi. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model pembelajaran membaca di TK yang mudah dilaksanakan, efektif mencapai tujuan dan sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran anak usia dini, yaitu “bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain”.

  Model pembelajaran membaca yang dikembangkan adalah pembelajaran membaca dengan teknik Pelabelan Objek Sekitar (POS). Model POS adalah model pembelajaran membaca awal dengan teknik pelabelan objek yang berada di sekitar anak yang bersifat konkret dan familier sehingga mudah diterima anak-anak. Objek dapat berupa benda dan tiruannya yang berupa gambar atau foto. Materi pembelajaran membaca dipilih dengan mempertimbangkan aspek-aspek perkembangan lingkungan yang terjadi baik lingkungan budaya, sosial, maupun religiusitas yang melatarbelakangi para siswa. Model POS merupakan model pembelajaran dengan nuansa menyenangkan karena dikemas dalam bentuk permainan dengan media gambar menarik, kartu huruf, kartu suku kata, dan kartu kata

C. KERANGKA PIKIR

  Penelitian ini berupa penelitian pengembangan bahan ajar menulis puisi dengan teknik kata kunci dan media gambar. Dalam bahan ajar ini ada tiga tahapan yang akan dipaparkan dalam bahan ajar. Pertama, siswa disajikan sebuah gambar dengan tema tertentu, misalnya alam, binatang atau gambar lain. Kedua, siswa disuruh menyebutkan bagian-bagian gambar tersebut di dalam sebuah kolom dengan gambar menarik, yang sudah disediakan dalam bahan ajar, tahap inilah yang disebut kata kunci, jadi bagian-bagian gambar tersebut yang nantinya akan disusun oleh siswa menjadi sebuah puisi. Ketiga, siswa merangkai bagian-bagian gambar yang sudah mereka dapatkan menjadi sebuah puisi. Setelah itu baru guru mengevaluasi hasil kerja siswa.