PELAKSANAAN ADAT ISTIADAT LELUHUR ATAU TRADISI LELUHUR SEBAGAI WUJUD NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DI DESA KARANGBENDA KECAMATAN ADIPALA KABUPATEN CILACAP - repository perpustakaan
jarak ke ibukota Kabupaten Cilacap 26 km dan ke pusat ibu kota provinsi 278 km, dengan luas 448.689 Ha. Batas wilayah desa Karangbenda adalah sebelah utara dengan desa Pedasong, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat dengan desa Adiraja, dan sebelah timur dengan desa Glempang Pasir (Wawancara dengan Suradi, 13 Maret 2017). Nama Karangbenda memiliki arti hubungan antar manusia beserta alamnya, dalam tatanan meraih harta dunia. Karang digambarkan pikiran manusia yang penuh gagasan, dan canangan dunia. Benda digambarkan harta benda berlimpah ruah yang ada di bumi (Sidik Purnama Negara, 2010: 47).
Berdasarkan data monografii di balai desa Karangbenda, dapat diketahui
bahwa wilayah desaKarangbenda terbagi menjadi empatdusun, empat RW, dan
empat RT. Adapun empat dusun tersebut masing-masing dipimpin oleh kepala
dusun yaitu kepala dusun I Bapak Sayidi di dusun Karangbenda dengan
wilayahnya meliputi RT 03 RW 01, kepala dusun II Bapak Fatoni di dusun
Congot dengan wilayahnya meliputi RT 04 RW 02, kepala dusun III Ibu Tasiyem
di dusun Babakan dengan wilayahnya meliputi RT 02 RW 03, dan kepala dusun
IV Bapak Samijan di dusun Sodong dengan wilayahnya meliputi RT 01 RW 04.
Jumlah penduduk desa Karangbenda secara keseluruhan 3.552 jiwa yang terbagi
dalam 847 KK, dengan komposisi sebagai berikutlaki-laki 1.577 jiwa dan
perempuan 1.975 jiwa. Jika ditinjau dari segi usia penduduk desa Karangbenda
dapat dikelompokkan sebagai berikut usia 0-15 tahun 1.199 jiwa, usia 15-65 tahun
2.019 jiwa, dan usia 65 tahun ke atas 334 jiwa.Lingkungan sosial masyarakat desa Karangbenda masih terjaga dengan baik dalam hidup yang rukun saling tolong menolong tanpa adanya perdebatan antar masyarakatnya.Prinsip menghormati ajaran agama dan praktek keagamaan yang berbeda-beda sudah menjadi keseharian masyarakat sehingga interaksi sosial yang menuju ke arah kompetisi yang tidak sehat dan konflik tidak terjadi.
Sesuai hasil pengamatan di lokasi, dan hasil wawancara dengan informan, bahwa morfologi daerah Karangbenda adalah daerah yang agraris dan dekat dengan pantai, yang ada di daerah tersebut adalah pantai Sodong. Selain itu di wilayah desa Karangbenda ini, terdapat Gunung Selok yang merupakan area
hutan yang di kelola oleh Perum Perhutani KPH Banyumas Timur, seluas 236,7
Ha yang merupakan sebuah bukit dengan ketinggian ± 0 sampai dengan 300 meter
di atas permukaaan laut. Gunung Selok yang kental dengan kharisma
mistiknya,karena letaknyaberhadapan langsung dengan pantai selatan Jawa, saat ini menjadi wisata spiritual.Masyarakat desa Karangbenda pada khususnya, dan masyarakat di Kecamatan Adipala pada umumnya tetap percaya adanya kekuatan gaib yang melebihi kekuatan mereka yang kemudian dijadikan sandaran dan pegangan atas hal-hal yang belum bisa dijelaskan secara rasional. Maksudnya adalah masyarakat percaya adanya alam gaib disekitar mereka dan merasa tidak mampu mengalahkannya, sehingga perlu “berdamai” dengan alam tersebut dengan melakukan beberapa ritual yang diyakini mampu mengharmoniskan alam manusia dengan alam gaib. Tidak jarang ritual ini juga merupakan upaya untuk meminta keperluan dan tujuan hidup (mencari berkah). Melalui ritual masyarakat bisa memenuhi kebutuhannya dan mencapai tujuan hidupnya melalui kekuatan- kekuatan yang berperan dalam tindakan gaib (Wawancara dengan Supardiman, 13 Maret 207).
Gambar.1 Gunung Selok dari Daratan sumber :
Gambar.2 Gunung Selok Sebelah Selatan sumber :
Gambar.3 Gunung Selok Sebelah Utara
Sumber : Dokumen pribadi Sebenarnya Gunung Selok merupakan tempat wisata yang nyaman mengasyikan dan unik, karena lokasi ini menyajikan perpaduan keindahan alam berupa hutan, bukit, gua-gua alam,benteng peninggalan Jepang yang konon ada 25 benteng dan pantai laut selatan. Selain itu di Gunung Selok ini terdapat petilasan/pedepokan yaitu Padepokan Jambe Lima dan Padepokan Jambe Pitu. Padepokan Jambe Lima atau Cemara Seta, yang di ketemukan oleh Eyang Mara Diwangsa, saudara Patih Cakraningrat yang merupakan ayah kandung dari Cakrawerdaya II Bupati Cilacap pertama, padepokan yang terdapat di puncak bukit sangat baik untuk bersemedi. Menurut legenda masyarakat setempat konon Padepokan Jambe Lima dahulu merupakan markas pendekar-pendekar sakti pengawal bunga sakti Kembang Wijaya Kusuma yaitu sekuntum bunga lambang kebesaran raja-raja Jawa pada masa lampau.Untuk mendapat bunga tersebut orang harus mendapat ijin, dari ketua pengawal yang bernama Kyai Jambe Lima dengan empat anggotanya, yaitu Pak Cilik Sukmoyo Renggo, Kyai Kampret Ireng kemudian terkenal dengan nama Tunggul Wulung, Kyai Sambung Langu yang dikenal dengan Anggaswati, dan Kyai Wesi Putih atau disebut Sang Hyang Jati.
Alkisah pada tahun 1676 kerajaan Mataram jatuh ke Trunajaya. Kemudian Pangeran Adipati Anom mengangkat diri sebagai raja Mataram menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Amangkurat I yang telah meninggal di Ajibarang dan di makamkan di Tegal Arum .Adipati Anom bergelar Amangkurat II yang mengutus seorang kepercayaannya bernama Ki Suropati untuk mencari kembang wijayakusuma untuk mengukuhkan kedudukanya sebagai raja Mataram. Pangeran Puger yang merupakan adik Adipati Anom, yang mengangkat dirinya sebagai raja Mataram mengutus tokoh sakti Ki Tambak Yudo.sedangkan Trunojoyo yang sudah merebut tahta Kerajaan Mataram, juga mengutus seorang yang bernama Gedug Gandamana untuk mendapatkan kembang wijayakusuma.
Ketiga utusan tersebut datang dan ditolak oleh Kiai Jambe Lima dengan alasan belum waktunya, ketiga utusan tidak mau menerima keterangan Kiai Jambe Lima terjadi pertempuran yang menewaskan kelima pengawal bunga tersebut termasuk tiga utusan tersebut juga tewas, sebagai penghormatan dan peringatan maka oleh penduduk sekitar Gunung Selok dibangunlah Padepokan Jambe Lima. Pemberian nama Jambe Lima ini disesuaikan dengan jumlah hari pasaran atau rangkap dari ketujuh hari yaitu ada pon, pahing, wage, kliwon,dan legi.Menurut penghayat kepercayaan bahwa Jambe Lima mengibaratkan pancaindra manusia, yang semestinya tepat guna manfaatnya. Jambe artinya sebuah pohon pinang berupasatu batang pohon berdaun dan bunga yang menjadi buah. Sedangkan lima artinya hitungan jumlah lima, maksudnya dalam penggunaan pancaindra sedapat mungkin seperti lurusnya pohon pinang, sehingga hanya berdaun, berbunga dan berbuah. Maknanya kita tidak boleh senonoh atau sembarangan, dalam melihat, mendengar, mencium atau menghirup, meraba dan merasakannya (Sidik Purnama, 2010 : 44-48).
Gambar. 4 Gerbang Pertama Masuk Kawasan Gunung Selok
Sumber : Dokumen pribadi Pada Padepokan Jambe Lima terdapat empat tempat ritual yaitu Pak Cilik
Sukmaya Rengga bermakna tentang ketenangan daan kejelasan adanya sukma pada setiap organ hidup manusia, Tunggul Wulung bermakna murninya kehendak keutamaan hidup yang berdasarkan asas kejujuran dan tenggang rasa demi tercapainya tugas hidup mulia, Anggas Walukat Jati bermakna kebersahajaannya hidup dalam landasan kejujuran dan tenggang rasa, dan Sang Hyang Sejati bermakna kebesaran Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyediakan bumi untuk memfasilitasi kehidupan (Sidik Purnama Negara, 2010: 51).
Gambar. 5 Jalan Menuju Padepokan
S
umber : Padepokan Jambe Pitu atau pertapaan Ampel Gading berada di atas petilasan Jambe Lima, menempati puncak paling tinggi di Gunung Selok mendekati pantai Selatan.Luas kompleks Padepokan Jambe Pitu adalah sekitar 30 m² x 50 m² dan dikelilingi tembok setinggi dua meter.Jalan berlantai batu hitam sepanjang 300 m² merupakan penghubung bangunan petilasan dengan area parkir kendaraan.Bangunan padepokan terbagi menjadi beberapa sanggar, yaitu Sanggar Pamujan, Sanggar Palereman Kakung, Sanggar Palereman Puteri, dan Sanggar Supersemar. Padepokan Jambe Pitu dianggap sangat keramat karena ada tiga petilasan Sang Hyang Wisnu Murti bermakna menggunakan seluruh organ berpusat pada akal pikiran semuanya untuk kebaikan, Eyang Lengkung Kusuma bermakna tingginya kepentingan perilaku manusia di dunia mengemban amanat kemuliaan kemanusiaan, dan Cakra Baskara atau Eyang Lengkung Cuwiri bermakna bahwa dalam kehidupan manusia wajib mengembangkan rasa kasih sayang . Meski disebut jambe pitu namun di sana tidak ada pinang berjumlah pitu (tujuh). Pemberian nama Jambe Pitu diambil berdasarkan dari jumlah hari dalam satu minggu. Makna lain dari Jambe Pitu adalah penjelasan adanya tujuh lapisan organ manusia yaitu rambut, kulit, daging, darah, tulang, otot, dan sum sum. Pengertian jambe adalah jumbuh atau kemanunggalan, sedangkan pitu diartikan tujuh lapisan. Maksudnya bahwa menyatunya tujuh lapisan terbentuknya organ tubuh manusia, merupakan sarana fungsi kemuliaan atas akal, hati, dan perasaan (Sidik Purnama Negara, 2010: 51)
Gambar.6 Pintu Gerbang Padepokan
Sumber : Dokumen pribadi
Gambar.7 Gerbang Masuk Pura Sumber : Dokumen pribadi
Gambar. 8 Pura di Gunung Selok
Sumber : Dokumen pribadi Didepan petilasan Jambe Lima terdapat bangunan komplek persembahyangan atau Vihara untuk penganut Budha. Dikenal sebagai Vihara Agung Shang Yang Jati, yang dipimpin seorang biksu Banthe Dharma Teja asal Cilacap.Pedepokan Agung tersebut berupa komplek bangunan yang didirikan di atas ketinggian 200 m. Ada lima bangunan untuk persembahyangan, sebagai simbol rumah dewa. Seperti rumah Dewa Brahma CiMen Fu lengkap dengan patungnya. DewaBumi, Dewi Kwan Im dan Dewa Kwan Kong.Padepokan ini merupakan tempat ibadah agama Siwa-Budha, dua agama paling tua di dunia digabungkan dalam satu ajaran dan bisa berasimilasi dengan baik tanpa menimbulkan pertentangan (Wawancara dengan Tikun, 15 Maret2017).
Gambar.9
Vihara Agung Shang Yang Jati di Gunung Selok
Sumber : Dokumen pribadi
Gambar.10 Patung Budha Sumber : Dokumen pribadi
Gambar. 11 Suasana Dalam Pendopo
Sumber : Dokumen pribadi Selain Padepokan Jambe Lima dan Jambe Pitu di Gunung Selok ini masih terdapat tempat yang ramai dikunjungi yaitu Gua Rahayu, Gua Naga Raja, Gua Bolong, Gua Paku Waja , Gua Putih, Gua Grujugan, Gua Tikus, Gua Lawa, dan Kaendran serta makam Kyai Sumolangu yang ada diatas benteng peninggalan Jepang. Beberapa Gua dijelaskan sebagai berikutGua Rahayu dan Gua Ratu, kedua gua ini terletak di kaki Gunung Selok sebelah selatan menghadap pantai Samudra Indonesia. Gua Rahayu pintu masuknya telah dibuat tertutup dengan bangunan semen, didalamnyaterdapat ruangan petilasan yang cukup luas dengan ukuran 80 m². Di Gua Rahayu ada dua tempat ritual yaitu, Dewi Kencanawati dan Dewi Suci Rahayu.Menurut legenda Gua Rahayu adalah Raden Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati pendiri Keraton Mataram saat akan membabat alas Mentaok untuk bisa masuk dan membabat alas Mentaok sebagai syarat harus membawa tanah yang ada di dalam gua yang dekat dengan batu, dengan tanah srana tersebut Danang Sutawijaya dapat masuk dan membabat alas Mentaok dengan selamat atau Rahayu sehingga gua tersebut disebut Gua Rahayu.Sedangkan gua Ratu yang letaknya berhimpitan dengan Gua Rahayu di dalamnya terdapat ritual Eyang Banda Yuda dan Dewi Sekar Jagat.Gua ini konon ceritanya adalah bekas petilasan Eyang Jaring Bandayuda salah satu pendiri Kabupaten Banyumas. Dalam persemediannya Eyang Jaring Bandayuda bertemu dengan puteri cantik Nyi Sekar Jagat dan disarankan kalau akan mendirikan kabupaten jangan melangkahi Sungai Serayu atau tepatnya di dekat pegunungan Pageralang dan kesemuannya dilaksanakan oleh Eyang Jaring Bandayuda maka berdirilah Kabupaten Banyumas dekat Pegunungan Pageralang. (2) Gua
Nagarajaterletak masih di kaki Gunung Selok di sebelah barat Gua Rahayu dan Gua Ratu ± 1 km ke arah barat dengan menelusuri alur sungai. Gua Nagaraja ini bersebelahan dengan Gua Lawa. (3) Gua Pakuwaja terletak di kaki Gunung Selok bagian timur tenggara, tempat ini banyak dikunjungi orang yang berziarah dan ada tempat untuk sholat dan di dekatnya ada air untuk berwudlu. Menurut legenda Pakuwaja adalah petilasan Pangeran Pakuwaja yaitu putera mahkota Kerajaan Majapahit terakhir, pada masa runtuhnya Majapahit beliau berkehendak perang demi mempertahankan kerajaannya.Disamping gua-gua tersebut masih ada gua-gua yang lain dikunjungi para peziarah yang letaknya disebelah barat kaki Gunung Selok yaitu Gua Sri Bolong, Gua Putih, Gua Grujugan, Untuk menuju Gua tersebut dari depan Balai desa Karangbenda ada jalan menuju selatan terus menelusuri jalan perhutani sampai ke Kaindran kemudian menuju Gua Sri Bolong, Gua Putih, Gua Grujugan disebut Gua Grujugan karena di mulut gua terdapat air yang terus menerus mengalir dari atas kebawah.
Gambar. 12 Salah Satu Gua di Gunung Selok
Sumber : Disamping gua-gua tersebut di Gunug Selok juga terdapat benteng peninggalan Jepang yang konon sebagai tempat pertahanan Jepang dan tempat pengintaian musuh yang datang dari laut.Berdasarkan keterangan informan, konon ceritanya ada 24 benteng peninggalan bala tentara Jepang namun yang masih utuh tinggal satu yang sudah direnovasi dan di atas benteng peninggalan Jepang kearah barat daya terdapat makam Kiai Sumolangu yang banyak dikunjungi para peziarah dari daerah Kebumen. Makam Kiai Sumolangu sementara ini masih ditutupi gubug dan disekelilingnya baru dibangun pondasi keliling.Konon Kiai Sumolangu berasal dari daerah Kebumen dan meninggal di Gunung Selok.
Kehidupan ekonomi masyarakat desa Karangbenda sangatberagam, dapat diketahui pada tabel berikut : Tabel.1
6 Pensiunan
10 Pekerja seni
27
9 Jasa
8 Peternak 672
95
7 Nelayan
6
85
Mata Pencaharian Masyarakat Desa Karangbenda
5 Buruh tani
99
4 Tukang
3 Petani 840
2 Wiraswasta/pedagang 150
7
1 PNS/TNI/Polri
NO Nama Mata Pencaharian Jumlah
2 (Sumber : Data Monografi desa Karangbenda) Berdasarkan data di atas ternyata kehidupan ekonomi masyarakat desa Karangbenda mayoritas dari sektor pertanian dan peternakan, disusul dari kegiatan perdagangan, tukang, nelayan, buruh tani, dan jasa. Berdasarkan data di kantor desa Karangbenda ternyata jumlah penduduk miskin berdasarkan standar BPS sebanyak 410 jiwa atau 201 KK.
Berdasarkan tingkat pendidikan masyarakat desa Karangbenda mayoritas berpendidikan SD, sehingga wajib belajar 9 tahun di desa Karangbenda belum berhasil. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah tamatan SD sebanyak 1.368 siswa yang melanjutkan ke SMP/MTs hanya 613 orang. Untuk lebih jelasnya tentang tingkat pendidikan masyarakat desa Karangbenda dapat dilihat pada tabel 2, sebagai berikut :
5
1 Jumlah Total 3.552
9 Sarjana/S2
22
8 Sarjana S1
11
7 Akademi/D3
6 Akademi/D1-DII
Tabel.2 Tingkat Pendidikan Masyarakat Karangbenda
5 SMA/SMK 322
4 SMP/sederajat 613
3 Tamat SD/sederajat 1.368
2 Belum tamat SD/sederajat 372
1 Tidak / belum sekolah 838
NO Jenjang Sekolah Jumlah
(Sumber : Data Monografi desa Karangbenda)
Berdasarkan data di atas, ternyata tingkat pendidikan masyarakat desa
Karangbenda masih banyak yang tidak meneruskan dari SD ke SMP/MTs, yang
melanjutkan kuliah juga masih sangat sedikit. Kenyataan inilah yang berpengaruh
juga pada pola pikir masyarakat desa Karangbenda.Sesuai dengan data dari kantor desa Karangbenda sebenarnya agama mayoritas yang dianut masyarakatnya adalah Agama Islam. Untuk mengetahui jenis agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat desa Karangbenda disajikan tabel berikut :
Tabel.3 Data Pemeluk Agama dan Penganut Kepercayaan Masyarakat Desa Karangbenda
RW NO Agama dan Kepercayaan Jumlah
1
2
3
4
1 Islam 865 915 730 961 3.471
3
- 2 Kristen
1
2
6
3 Katholik -
3
4 7 -
4 Hindu
2
1
1
3
7
- 5 Budha
2
1
2
5
6 Kepercayaan
10
11
11
21
53 Jumlah Keseluruhan 880 932 748 989 3.552 (Sumber : Data Monografi desa Karangbenda)
Seperti telah peneliti sampaikan di atas bahwa secara formal, penduduk desa Karangbenda adalah penganut agama Islam.Jumlah penduduk 3.552 jiwa hanya 7 orang yang beragama Katholik, 6 orang beragama Kristen,7orang beragama Hindu, 5 orang beragama Budha. Bentuk-bentuk pluralisme agama di Karangbenda muncul dalam wujud adanya penganut Islam dengan berbagai aliran
(Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Kejawen), Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan kepercayaan.Penganut Islam mayoritas adalah dari ormas Nahdlatul Ulama. Dari 9 musholla, hanya satu yang merupakan mushola dari ormas Muhammadiyah. Sebagian adalah penganut Islam KTP karena sebenarnya mereka melaksanakan ajaran dan praktik Kejawen. Banyaknya kaum Nahdliyin di Karangbenda dimungkinkan karena dalam ajaran dan praktiknya Nahdlatul Ulama dianggap lebih akomodatif terhadap tradisi masyarakat desa Karangbenda.
Sementara itu, penganut Muhammadiyah hanya sedikit, yaitu ada di satu musholla di Babakan.Pada kenyataannya di dusun Congot terdapat penganut HPK bernama Paguyuban Cahaya Sejati yang dipimpin oleh bapak Witomiarso dengan anggotanya sekitar 328 orang. Tujuannya adalah memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa diberi keselamatan di dunia dan di akherat.
Gambar. 13 Ketua Paguyuban Cahaya Sejati
Sumber : Dokumen pribadi Selain itu, di dusun Karangbenda RT 01 RW 04 juga terdapat kelompok kejawen yang bernama Ngudi Luhur dengan ketuanya bapak Noto Miharjo. Anggota dari paguyuban ini lebih sedikit dibanding anggota Paguyuban Cahaya Sejati, yaitu sekitar 75 orang.
Gambar. 14 Ketua Paguyuban Ngudi Luhur Bersama Peneliti
Sumber : Dokumen pribadi Gambar. 15
Kartu Tanda Penduduk Ketua Ngudi Luhur Sumber : Dokumen pribadi Padahal pada data di kantor desa Karangbenda penganut HPK dari 4 RW hanya 53 orang. Para penganut HPK umumnya terdiri dari orang tua yang berumur di atas 40-an tahun karena secara tidak tertulis ada aturan bahwa yang boleh menuntut ngelmu kejawen adalah mereka yang dianggap sudah cukup umurnya.
Di samping itu, pluralisme agama dan agama mayoritas masyarakat desa Karangbenda adalah Agama Islam, sedang agama lainnya dan kepercayaan hanya minoritas.Namun seperti telah disampaikan bahwa masyarakat desa Karangbenda masih kental sekali dengan adat leluhur yang dilaksanakan secara turun-temurun yang pelaksanaannya tanpa memandang dari agama dan kepercayaan, bahkan dari masyarakat mana tidak dihiraukan, mereka secara bersama-sama melakukan kegiatan ritual.Berbagai penganut agama yang mengadakan ritual di beberapa tempat yang ada di Gunung Selok tersebut, baik mereka yang berasal dari desa Karangbenda maupun yang berasal dari luar desa Karangbenda hidup secara harmonis. Masyarakat bersikap toleran dan saling menghormati antara pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda sehingga tidak pernah terjadi pertikaian atau konflik serius yang berbasis agama.Para pendatang atau peziarah yang datang dari berbagai agama dan kepercayaan, dan dari segenap penjuru daerah, tidak pernah mendapatkan halangan dari warga Karangbenda dan sekitarnya. Para peziarah melakukan berbagai ritual sesuai dengan keyakinannya, misalnya membakar kemenyan, menabur bunga (nyekar), bertapa, bersemedi, melaksanakan tahlil, dan sebagainya.Pluralisme agama yang terdapat dalam masyarakat Karangbenda selama ini tidak menimbulkan masalah yang berarti, baik dalam interaksi internal masyarakat, maupun antara masyarakat Karangbenda dengan masyarakat yang datang dari berbagai agama dan wilayah. Mereka pada umumnya ber-KTP dengan agamanya Islam.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Karangbenda pada khususnya, dan masyarakat Jawa pada umumnya, merupakan tradisi. Pada kenyataannya tradisi ini merupakan suatu bagi andari kebudayaan. Koentjaraningrat memandang bahwa kebudayaan sebagai keseluruan dari kelakuan dan hasil kelakuan yang didapatkan dengan cara belajar dan kesemuanya itu tersusun didalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat,1990:45) Kebudayaan merupakan elemen yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, dimana pada satu sisi manusia menciptakan budaya sekaligus produk dari budaya tempat diahidup, hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya. Betapapun awamnya, kehidupan berbudaya merupakan cirri khas manusia dan akan terus hidup melintasi alur jaman. Kebudayaan akan selalu menjadi warisan nenek moyang, karena kebudayaan membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang diwariskan turun-temurun. Kebudayaan tumbuhdan berkembang dalam kehidupan manusia dan hamper selalu mengalami proses penciptaan kembali.
Tradisi dan adat kebiasaan yang berlangsung di desa Karangbenda ini, merupakan unsur budaya daerah potensial sebagai lokal genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan hingga sampai sekarang. Ciri-ciri dari lokal genius tersebut adalahmampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya.Berikut merupakan pedoman untuk beradat-istiadat sebagai bekal bermasyarakat yaitu pertama, empan papan maksudnya diperlukan kecakapan dalam membaca situasi dan kondisi sehingga akan bisa bijaksana dalam mengetuk pintu interaksi dan masuk ruang adaptasi; kedua,lambe ati maksudnya dalam berbicara harus tertata dan jangan sampai meninggalkan etika dan estetika, sehingga pembicaraan akan menyentuh hati seseorang atau sekelompok orang (Sidik Purnama Negara, 2010: 47).
Beberapa kegiatan ritualsebagai tradisiturun-temurun yang dilaksanakan oleh masyarakat desa Karangbenda sebagai bentuk kerukunan masyarakat tanpa memandang latar belakang agama dan kepercayaan akan penulis paparkan, antara lain tradisi kehamilan sampai dengan kelahiran, selamatan setelah kematian, tradisi nyadran,suran, dan ritual yang dilakukan pada setiap bulan Sura, setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, serta setiap tanggal 15 setiap bulannya dengan mengambil tempat pada petilasan yang ada di Gunung Selok.
Gambar. 16. Tempat Ritual Kompleks Jambe Lima Sumber : Dokumen pribadi
Gambar. 17 Tempat Ritual Kompleks Jambe Lima
Sumber : Dokumen pribadi Gambar. 18
Tempat Ritual Presiden Sukarno dan Presiden Suharto Sumber : Dokumen pribadi Pada kegiatan ritual tersebut pelakunya tidak hanya intern masyarakat Karangbenda tetapi dari berbagai penjuru daerah, dengan berbagai agama dan kepercayaan.
Gambar. 19 Padepokan Jambe Pitu
Sumber : Dokumen pribadi B.
Tradisi Kehamilan Sampai dengan Kelahiran.
Pada tradisi kehamilan sampai dengan kelahiran yang dilakukan oleh masyarakat desa Karangbenda antara lain ngupati, mitoni, puputan dan selapanan.
Tradisi kehamilan sampai dengan kelahiran di desa Karangbenda di mulai ketika bayi berumur empat bulan dalam kandungan.Tradisi empat bulan bayi dalam kandungan disebut ngapati atau ngupati. Saat janin atau embrio berusia 120hari atau e m p a t bulan dimulailah kehidupan dengan ruh,dan saat itulah ditentukan bagaimana ia berkehidupan selanjutnya,didunia sampai di akhirat.
Maka menyongsong penentuan ini, hendaklah diadakan upacara ngapati(ngupati) yaitu berdoa (sebagai sikap bersyukur, ketundukan dan kepasrahan) mengajukan permohonan kepada Allah agar nanti anak lahir sebagai manusia yang utuh sempurna, yang sehat, yang dianugerahi rezeki yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh dengan nilai-nilai ibadah, beruntung didunia dan diakhirat. Begitupula, selain berdoa hendaklah bersedekah, karena doa dan sedekah adalah dua kekuatan yang bisa menembus takdir (Chafidh, 2006 : 25).
Sebelum diadakan kegiatan kenduri terlebih dahulu dilakukan kegiatan membaca ayat suci Al Quran. Adapun perlengkapan kenduri yang disiapkan adalah nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauknya dengan kluban yang utama tanpa ingkung ayam, lalaban, ketupat, dan lepet. Kenduri dilaksanakan pada siang hari setelah sholat dhuhur, dengan maksud agar kegiatan cepat selesai tanpa berlama-lama. Kegiatan ini diawali dengan pengkabulan yang dipimpin oleh sesepuh desa dan membaca doa yang dipimpin oleh tokoh agama. Sudah menjadi tradisi bahwa setelah selesai kenduri semua tamu langsung pulang tidak menunggu lama dan tanpa berpamitan dengan tuan rumah.Hal tersebut dimaksudkan agar bayi yang masih dalam kandungan nantinya jika sudah waktunya lahir dengan lancar tanpa halangan apapun.
Gambar. 20 Ketupat
Sumber : Dokumen pribadi Dalam bahasa Jawa, Mitoni berasal dari kata pitu artinya tujuh. Ritual
Mitoni ini dilaksanakan pada bulan ke tujuh pada kehamilan pertama. Kata pitu juga bisa berarti pitu lungan untuk memohon berkah Gusti Allah (Tuhan) untuk keselamatan calon orang tua dan anaknya. Doa dipanjatkan agar sang bayi lahir pada masanya dengan sehat, selamat dan sang ibu juga diharapkan agar melahirkan dengan lancar, sehat dan selamat. Selanjutnya diharapkan seluruh keluarga hidup bahagia.
Serangkaian upacara yang diselenggarakan pada upacara mitoni adalah pertama, siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak sicalon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancer. Upacara siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kedua upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain sarung si calon ibu oleh sang suami melalui perut dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan ditempat siraman (kamar mandi) sebagai symbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang (Chafidh, 2006 : 38).
Perlengkapan kenduri pada acara tujuh bulan atau mithoni pada dasarnya hampir sama dengan acara ngupati yaitu nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk disertai kluban, kupat, lepet, lalaban. Perbedaannya pada acara mithoni ini ada rujak tebu, cengkir gading, dan tujuh nasi kuning. Kegiatan kendurinya dilakukan juga pada siang hari.
Gambar.21 Tumpeng Tujuh Sumber : dokumen pribadi Puputan, kalanganmasyarakat Jawa masihmelakukantradisiyang berkenaan dengan pemberian nama. Tradisi inilah yang pada gilirannyamembuatnama tidakhanya sekedar sebagaitanda pengenal saja, tetapi juga mengandung arti tertentu agar si pemilik nama selamat-sentosa dalam menjalani kehidupannya .Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, pemberian nama yang tidak tepat kepada seorang anak akan mengakibatkan anak yang bersangkutan selalu sakit atau bernasib sial. Pemberian nama pada masyarakat Jawa umumnya bertepatan dengan upacara selamatan sepasaran bayi yang baru dilahirkan.
Pemberian nama tersebut dapat dilakukan oleh ayah, ibu, nenek, atau boleh juga orang lain(misalnya kiai, dukun bayiatau lurah)dengan persetujuan orangtua bayi.
Menurut Purwadi(2007:108), Cuplaknya atau lepasnya tali pusat atau puser bayi karena mengering ditandai dengan satu upacara tersendiri. Biasanya terjadi pada hari kelima dari hari kelahiran. Istilah cuplakan disebut juga dengan istilah sepasaran, sepasar artinya lima hari. Upacara untuk menandai cuplaknya tali pusat si bayi ini disebut cuplakan.Sepasar adalah perhitungan waktu Jawa yang lamanya lima hari. Selamatan sepasaran adalah selamatan yang diadakan pada waktu bayi berumur lima hari. Namun demikian adakalanya sementara orang yang mengadakan selamatan sepasaran menunggu apabila tali pusat putus(puputpuser),yang biasanya terjadi pada waktu si bayi berumur lima hari. Oleh karena itu sementara orang menyebut selamatan sepasaran itu dengan istilah puputan atau cuplak puser. Adapun makanan atau sajian untuk keperluan selamatan sepasaran atau puputan ini adalah sebagai berikut nasi tumpeng dan
nasi golong dengan lauk-pauk yang terdiri dari kluban, panggang ayam, telur
rebus, lodheh kluwih, Pisang raja dua sisir atau dalam istilah Jawa setangkep, jajan pasar yang berupa beberapa macam makanan kecil (kue-kue) dan buah- buahan, bubur merah, bubur putih, jenang sengkolo yaitu bubur merah yang diatasnya diberi bubur putih, nasi brok yaitu nasi yang ditaruh di dalam satu piring dengan lauk-pauknya. Sajian tersebut dikendurikan dengan mengundang para tetangga seperti pada waktu selamatan brokohan. Disamping sajian untuk
kenduri pada selamatan sepasaran ada sementara orang yang membuat sajian
tulakan yaitu alat untuk menolak bala. Tulakan ini terdiri dari sebungkus kecil nasi dan lauk-pauk serta kue-kue sama seperti untuk kenduri. Kecuali sajian untuk kenduri dan tulakan ada suatu bingkisan yang diberikan kepada dhukun bayi. Bingkisan itu berupa nasi tumpeng dengan lauk-pauk, pisang duasisir,kelapa satu biji, gula merah, beras satu kilo gram, ayam hidup satu ekor, kembang telon.
Bersamaan dengan selamatan sepasaran, sibayi diberi nama. Secara resmi nama diumumkan pada waktu berlangsungnya kenduri sepasaran itu. Pemberian nama ini ada beberapa dasar. Disamping pemberian nama bersamaan dengan upacara sepasaran ini ada sementara orang yang mengadakan upacara tindhik. Tindhik adalah cara yang dilakukan untuk member lubang pada telinga sebagai tempat meletakkan subang bagi kaum wanita.
Selamatan selapanan adalah upacara selamatan yang diselenggarakan pada saat bayi berumur tiga puluh lima hari. Kata selapanan berasal dari kata dasar
selapan yakni dalam bahasa Jawa berarti tigapuluh lima hari. Tujuan diadakan
selapanan ini adalah memperingati bayi yang berumur selapan.Perlengkapanyang disiapkan berupa tumpeng weton, sayur tujuh macam, telor ayam, cabai, bawang merah, kluban, saringan santan, kembang setaman, dan bubur merah putih.
Selapanan sebagai peringatan nepton, maksudnya, masyarakat di desa Karangbenda mengetahui bahwa peringatan selapanan bertujuan untuk memperingati hari neptonsi bayi. Sebagian masyarakat merasa bahwa, jika belum mengadakan peringatan selapanan,maka hati dan pikirannyabelum tentram, karena ada sebagianmasyarakat yang dalam keluarganyamemang tertanam tradisi untuk selalumemperingati harinepton, maka tradisi selapananini merupakan halyang istimewa, karena merupakanperingatan nepton pertama untuk si bayi.Selapanan untuk mencari keselamatan dan menghormati hal gaib.Dalam aktivitas kebudayaan Jawa, terdapat hal-hal yang berbau mistis yang terkadang tidak bisa di nalar dengan akal pikiran. Namun hal itu tidak berlaku bagi masyarakat yang paham akan kebudayaan Jawa,hal-hal semacam ini merupakan bagian dari ritual dan tradisi yang harus dijalankan. Tradisi selapanan merupakan upaya untuk orang Jawa dalam mencari keselamatan dan mengurangi beban batin. Melalui hidangan yang terlebih dahulu didoakan merupakan media untuk bersyukur kepada Allah, sehingga melalui peringatan selapanan, masyarakat berharap bahwa, kesejahteraan, keselamatan, keberkahan, dan pahala akan senantiasa dilimpahkan, sehingga setelah melaksanakan tradisi ini, hati orang tua akan menjadi tentram. Dalam melaksanakan adat-adatnya, masyarakat Karangbenda masih mempercayai bahwa tidak bisa lepasdengan hal-hal mistis. Masyarakat Karangbenda khususnya, dan masyarakat Jawa pada umumnya, kehidupannya penuh dengan hal-halyang berbau tabu, karena dalam menyelenggaraan kegiatan adat, tidak terlepas dari tujuannya untuk menghormati hal gaib seperti roh-roh leluhur, penunggu suatu benda, dan lain-lain. Seorang bayi atau anakbelum dapat melakukan perlindunganterhadap dirinya,karena merekamasih terlalu kecil dan rapuh,sehinggamembutuhkan bantuanorangdewasa.Oleh sebab itu,diadakan tradisi selapanansebagaiupaya untuk melindungi si anak.Perlindungan tersebut bukanhanyasebatas perlindungan fisik, tetapimasyarakat Karangbenda juga percayadengan perlindungan terhadap hal-hal yang gaib.Oleh sebab itu, paraorang tuamengadakan peringatan-peringatan kelahiran sebagai bagiandari perlindungan terhadap bayi.Masyarakat desa Karangbenda tidak hanyamempercayai roh-roh jahat yangkerap mengganggu anak-anak,namun juga mengenal apa yangdisebut denganpamomong,yangmenurut mereka adalah penjaga diri.
C. Tradisi Selamatan Kematian Seseorang
Pada setiap ada kematian salah satu warga, maka seluruh warga masyarakat pada umumnya, secara sukarela untuk memberikan bantuan. Begitu juga di desa Karangbenda, secara bergotong-royong mempersiapkan segala sesuatu untk kepentingan upacara pemakaman, dan berbagai hal yang berkaitan dengan peralatan penguburan. Beberapa rangkaian upacara kematian dilakukan,yaitu
brobosan, nyaur tanah, telung dina , pitung dina, patangpuluh dina, nyatus dina,
pendak pisan, pendak pindo , dan sewu dina.Brobosan , suatu upacara yang diselenggarakan di halaman rumah orang
yang meninggal.Waktunya pun dilaksanakan ketika jenazah akan diberangkatkan ke peristirahatan terakhir atau dimakamkan, dan dipimpin oleh salah satu anggota keluarga yang paling tua. Tata cara pelaksanaannya antara lain Keranda/peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah doa jenazah selesai; secara berturutan, para ahli waris yang ditinggal (mulai anak laki- laki tertua hingga cucu perempuan) berjalan melewati keranda yang berada di atasnya (mbrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam; secara urutan, yang pertama kali mbrobosi keranda adalah anak laki-laki tertua dan keluarga inti, selanjutnya disusul oleh anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.Upacara tradisional ini merupakan pengejawantahan dari pepatah Mikul
dhuwur mendhem jero yakni menjunjung tinggi, menghormati, mengenang jasa-
jasa almarhum semasa hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang baik dan tidak perlu diungkit-ungkit . Selain itu disediakan perlengkapan lain seperti adanya bunga ronce, sawur berupa bunga dicampur uang dan beras kuning, kelapa muda, dan lain-lain.
Surtanah berasal dari kata (Jawa: ngesur tanah), yang berarti nylameti wong
kang mentas mati (Poerwodarminto, 1989: 396) yang maksudnya melakukan
selamatan terhadap orang yang baru saja meninggal.Kegiatan selamatan surtanah merupakan tradisi yang sudah mengakar di desa Karangbenda. Adapun perlengkapan yang harus disiapkan adalah nasi putih yang ditaruh di atas piring dan disertai lauk-pauknya terdiri dari oseng tempe, tempe goreng, mie/sayur oseng, gebing/cincangan kelapa muda, lauk yang lain lagi adalah ikan asindicampur lombok hijau. Pelaksanaannya setelah pulang dari kuburan. Di samping kenduri, pihak tuan rumah juga membuat sesaji terdiri dari komaran berupa pisang raja dan pisang ambon, jajan pasar, bubur merah dan bubur putih, minuman kumplit, dan bunga telon yang di letakkan pada tempat bekas untuk memandikan, disertai dengan lampu sentir pada malam hari.
Selamtan nelung dina ini dilaksanakan tepat tiga hari sesudah kematian seseorang. Telu berarti tiga, dan dina berarti hari. Materi atau perlengkapan pada selamatan telung dina hampir sama pada selamatan surtanah, tetapi tanpa tumpeng pungkur beserta lauk pauknya, kemudian ditambah dengan takir pontang, yaitu wadah dari daun pisang dan daun kelapa yang masih muda, berisikan nasi putih dan nasi punar, yaitu nasi yang diberi kunyit, sehingga disebut juga disebut nasi/sega kuning. Selain itu juga ditambah ancah, yaitu sayur kecambah, kacang panjang yang telah dipotong-potong, bawang merah yang telah diiris-iris, garam dan lain sebagainya. Dalam hal penggunaan sajen juga sama.
Upacara selamatan pitung dina/tujuh hari itu tepat hari kematian seseorang. Rangkaian materinya sama dengan selamatan telung dina/tiga hari, tetapi ditambah dengan apem, ketan, dan kolak. Ada sebagian anggota masyarakat Karangbenda yang berpendapat bahwa apem, ketan, dan kolak itu diadakan hanya mulai pada selamatan patang puluh dina/empat puluh hari. Masalah sesajen masih sama.
Upacara selamatan patang puluh dina/empat puluh hari itu dilaksanakan tepat empat puluh hari dari kematian seseorang. Materi atau perlengkapannya sama dengan upacara selamatan pitung dina. Hanya saja materi yang berupa ingkung ayam biasanya diusahakan dari ayam jantan.Sehingga sejak empatpuluh hari mulai ada lauk yang berupa daging ayam. Pelaksanaan sesajen juga sama dengan upacara selamatan sebelumnya. Kegiatan dilakukan pada malam hari diawali dengan membaca tahlil, kemudian kenduri yang diawali oleh perwakilan tuan rumah menyampaikan sambutan dilanjut dengan ujudan oleh sesepuh desa.
Gambar.22 Ingkung Ayam
Sumber : Dokumen pribadi Upacara selamatan satus dina/seratus hari ini dilaksanakan tepat seratus hari sejak kematian seseorang. Macam materi atau perlengkapan dan sesajen juga sama dengan kegiatan selamatan empatpuluh hari.
Upacara selamatan pendak pisan ini dilaksanakan tepat tempo setahun sejak kematian seseorang, sedangkan upacara selamatan pendak pindo ini dilaksanakan tepat tempo dua tahun sejak hari kematian seseorang. Materi dan perlengkapan serta sesajennya juga sama dengan di atas.
Upacara selamatan sewu dina atau 1000 hari ini dilaksanakan tepat 1000 hari sejak kematian seseorang. Selamatan sewu dina ini biasanya diadakan secara besar-besaran, sebab yang dianggap terakhir kalinya. Materinya sama dengan di atas, tetapi biasanya ditambah dengan potong kambing, di samping juga ayam.
Ada syarat-syarat tertentu bagi binatang yang akan dipotong pada upacara selamatan kematian ini yang memotong juga harus kayim, baru penyelesaiannya dilakukan oleh orang lain yang telah ditunjuk.
Tujuan dari kegiatan selamatan kematian ini mendoakan kepada si mayat agar jembar kuburane (luas kuburanya) dan leres lampahane (lurus jalannya) menjalani kehidupan dialam kubur dengan memohon kepada pangerang kang Maha Kuasa. Acara ini dikenal dengan acara dzikiran atau muji. Adapun makna dari bilangan-bilangan tersebut adalah sebagai berikut:hari ketiga adalah masa menyempurnakan bulu kuku (wulu kuku ),hari ketujuh adalah masa meyempurnakan daging, hari keempat puluh adalah masa menyempurnakan otot, hari keseratus adalah masa menyempurnakan tulang, dan hari keseribu adalah masa menyempurnakan sumsum.
D. Tradisi Nyadran
Tradisi nyadran ini merupakan penghormatan kepada leluhur dan bias juga menjadi bentuk syukuran massal. Menjelang bulan Ramadhan, masyarakat melaksanakan upacara nyadran; kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan dengan ziarah ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan. Kegiatan dalam ziarah tersebut diantaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabor bunga. Biasanya para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja,jajananpasar, dan kolak. Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bungak has Indonesia, seperti mawar, melati, dan kenanga (Wawancara dengan Noto Miarso, 23 April 2017).
Dalam kontek sinilah pentingnya pemeliharaan tradisi itu, karena tumbuh dalam masyarakat itu sendiri, tradisi biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan dan secara langsung atau pun tidak langsung member pengetahuan tentang keadaan lokal. Ini yang akan member bekal bagi manusia yang mempelajarinya, atau juga bagi generasi muda yang masih peduliakan kondisi disekitar mereka, karena tradisi itu tumbuh dari masyarakatnya sendiri.
Nyadran dilakukan setiap bulan
Sya‟ban atau dalam kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Lazimnya kegiatan nyadran dilakukan dengan ziarah kemakam-
makamleluhur atau orang besar (para tokoh) yang berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu. Masyarakat disatu daerah memiliki lokasi ziarah masing-masing. Seperti di desa Karangbenda, nyadran dilaksanakan dimakam Punden dan makam leluhur.
Tujuan utama dari upacara ini adalah rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas hasil tangkapan ikan yang berlimpah karena masyarakat disini sebagian besar nelayan. Setelah melaksanakan nyadran, masyarakat lazimnya melakukan tradisi padusan. Padusan berasal dari bahasa Jawa yaitu adus maksudnya mandi. Padusan merupakan kegiatan mandi untuk bersih diri, yang mempunyai makna persiapan lahir dan batin menuju bulan Ramadhan. Biasanya padusan dilakukan disumber-sumber air yang dianggap sakral atau suci.
Dalam nyadran juga terdapat inti budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan. Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta, bahkan dengan roh-roh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji diberikan. Sesaji bukan ber tujuan untuk“ menyembah” roh-roh gaib, melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam.
Aneka makanan, kemenyan, dan bunga memiliki arti simbolis. Tumpeng, melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul; Ingkung yaitu ayam yang dimasak utuh melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan; pisang raja melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia; jajan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan; ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna permohonan ampun jika melakukan kesalahan; kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa; dan bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati yang tulus. Beraneka bawaan ini merupakan unsure sesaji sebagai dasar landasan doa. Setelah berdoa, makanan-makanan tersebut menjadi rebutan parape ziarah yang hadir, . inilah artike bersamaan dalam nyadran
Pada tradisinyadranini, dari paguyuban yang bernama Ngudi Luhur melakukan ritual jalan kaki bersama paguyuban dari daerahlain, sepertiDoplang, Adiraja, Adireja Wetan, Adireja Kulon (Kecamatan Adipala) serta sejumlah desa di Kecamatan Kroya dan Maos,serta dari desa Pesanggrahan, Kecamatan Kesugihan. Mereka menuju makam Bonokeling di desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Kecamatan Adipala dengan melalui sejumlah ruas jalan. Selain mengenakan pakaian adat, mereka juga membawa berbagai perbekalan seperti beras dan kelapa yang dipanggul menggunakan pikulan oleh kaum laki-laki maupun digendong oleh kaum perempuan.Sepanjang perjalanan, mereka melakukan tapa bisu atau dilarang berbicara.Sesampainya di kompleks makam Bonokeling, para penganut Kejawen akan "muji" (semacam zikir) sebagai wujud permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang digelar pada Jumat mulai pukul 00.00 WIB hingga 04.00 WIB. Sementara perbekalan yang mereka bawa, akan dimasak pada hari Jumat pagi di sekitar makam Bonokeling (Wawancara dengan Noto Miharjo,
23 April 2017).
Gambar. 23 Ritual Jalan Kaki Komunitas HPK
Sumber : Dokumen pribadi E.