BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Tekanan Darah - Ade Sidik Gunawan BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Tekanan Darah a. Pengertian Tekanan Darah Tekanan darah adalah tekanan di dalam pembuluh darah ketika

  jantung memompakan keseluruh tubuh. Umumnya semakin rendah tekanan darah, semakin sehat anda untuk jangka panjang (kecuali dalam kondisi tertentu ketika tekanan darah sangat rendah merupakan bagian suatu penyakit) (Hayens, 2008).

  Darah mengambil oksigen dari dalam paru-paru. Darah yang mengandung oksigen ini memasuki jantung dan kemudian dipompakan keseluruh bagian tubuh melalui pembuluh darah yang disebut arteri. Pembuluh darah yang lebih besar bercabang-cabang menjadi pembuluh-pembuluh darah yang lebih kecil hingga berukuran mikroskopik, yang akhirnya membentuk jaringan yang terdiri dari pembuluh-pembuluh darah yang sangat kecil yang disebut kapiler. Jaringan ini mengalirkan darah ke sel-sel tubuh dan menghantarkan oksigen untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan demi kelangsungan hidup. Kemudian darah yang tidak beroksigen kembali ke jantung melalui pembuluh darah vena, dan dipompa kembali ke paru-paru untuk mengambil oksigen lagi (Hayens, 2008).

  Saat jantung berdetak, otot jantung berkontraksi untuk memompakan darah ke seluruh tubuh. Tekanan tertinggi berkontraksi dikenal sebagai tekanan sistolik. Kemudian otot jantung rileks sebelum kontraksi berikutnya, dan tekanan ini paling rendah, yang dikenal sebagai tekanan diastolik. Tekanan sistolik dan diastolik ini diukur ketika Anda memeriksakan tekanan darah (Hayens, 2008).

  Tekanan sistolik dan diastolik bervariasi untuk tiap individu.

Namun, secara umum ditetapkan, tekanan darah normal untuk orang dewasa (≥18 tahun) adalah 120/80, angka 120 disebut tekanan sistolik

  dan angka 80 disebut tekanan diastolik (Hayens, 2008).

  Tekanan darah seseorang dapat lebih atau kurang dari batasan normal. Jika melebihi nilai normal, orang tersebut menderita tekanan darah tinggi/hipertensi. Sebaliknya, jika kurang dari nilai normal, orang tersebut menderita tekanan darah rendah/hipotensi) (Hayens, 2008).

  b.

  Faktor yang Mempertahankan Tekanan Darah Faktor yang mempertahankan tekanan darah menurut Hayens (2008) antara lain: 1)

Kekuatan memompa jantung

  Gerakan jantung terdiri atas dua jenis, yaitu kontraksi atau sistol dan pengendoran atau diastol. Kontraksi dari kedua atrium terdiri serentak dan disebut sistol atrial, pengendorannya adalah diastol atrial. Serupa dengan itu kontraksi dan pengendoran ventrikel disebut juga sistol dan diastol ventrikel.

  Kontraksi kedua atrium pendek, sedangkan kontraksi ventrikel lebih lama dan lebih kuat. Dan yang dari ventrikel kiri adalah yang terkuat karena harus mendorong darah ke seluruh tubuh untuk mempertahankan tekanan darah arteri sistemik.

  Meskipun ventrikel kanan juga memompa volume darah yang sama, tetapi tugasnya hanya mengirimkannya ke sekitar paru-paru dimana tekanannya jauh lebih rendah. 2)

Viskositas (kekentalan) darah

  Viskositas disebabkan oleh protein plasma dan oleh jumlah sel darah yang berada di dalam aliran darah. Setiap perubahan pada kedua faktor ini akan merubah tekanan darah. Besarnya geseran yang ditimbulkan oleh cairan terhadap dinding tabung yang dilaluinya, berbeda-beda sesuai dengan viskositas cairan. Makin pekat cairan makin besar kekuatan yang diperlukan untuk mendorongnya melalui pembuluh.

  3)

Elastisitas dinding pembuluh darah

  Di dalam arteri tekanan lebih besar dari yang ada dalam vena sebab otot yang membungkus arteri lebih elastis daripada yang ada pada vena.

  4) Tahapan tepi (resistensi perifer)

  Ini adalah tahanan yang dikeluarkan oleh geseran darah yang mengalir dalam pembuluh. Tahanan utama pada aliran darah dalam sistem sirkulasi besar berada di dalam arteriol. Dan turunnya tekanan terbesar terjadi pada tempat ini. Arteriol juga menghaluskan denyutan yang keluar dari tekanan darah sehingga denyutan tidak kelihatan di dalam kapiler dan vena.

  5)

Keadaan pembuluh darah kecil pada kulit

  Arteri-arteri kecil di kulit akan mengalami dilatasi (melebar) kalau kena panas dan mengadakan kontraksi (mengecil) apabila kena dingin, sehingga bekerja seperti termostat yang mempertahankan suhu tubuh agar tetap normal. Kalau arteri-arteri kecil ini mangalami dilatasi, tekanan darah akan turun, oleh karena itu panas akan menurukan tekanan darah. Apabila tekanan darah turun, sel-sel otak menjadi kurang aktif karena sel-sel ini tidak mendapatkan cukup oksigen dan glukose yang biasanya tersedia.

  c.

Pengukuran Tekanan Darah

  Kebanyakan orang memeriksakan tekanan darahnya paling sedikit sekali seumur hidupnya, baik dilakukan oleh dokter, bidan ataupun sendiri dengan menggunakan alat khusus (Palmer, 2007). Meskipun metode yang ideal adalah mengukur tekanan darah di dalam arteri, hal ini tidak dapat dilakukan secara mudah karena menggunakan jarum. Namun, gambaran tekanan yang akurat saat darah sedang dipompakan dapat diperoleh dengan pendekatan yang kurang invasif (Palmer, 2007).

  Biasanya seseorang diminta untuk duduk dan pada lengan akan dililitkan manset karet, kira-kira sama tingginya dengan jantung pasien. Pasien harus benar-benar rileks dan lengan akan bertopang pada siku yang diletakkan di atas meja. Karena gerakan mengangkat tangan dapat menghasilkan pengukuran yang tidak tepat (Palmer, 2007). Tekanan darah tiap orang sangat bervariasi. Tekanan darah akan dapat meningkat jika seseorang merasa cemas atau stres. Jadi cobalah untuk serileks mungkin ketika dilakukan pengukuran. Orang yang memeriksa tekanan darah akan melilitkan semacam manset karet, bagian dari alat yang disebut sphygmomanometer, di lengan dan memompanya dengan menggunakan sebuah pompa tangan kecil untuk menghentikan sebentar aliran darah di lengan. Stetoskop di tempelkan pada arteri tepat di bawah manset tersebut untuk mendengarkan suara saat manset dikempiskan secara perlahan-lahan dan darah mengalir kembali ke lengan (Palmer, 2007).

  Ketika manset dipompa sampai pada tekanan di antara tekanan sistolik dan diastolik, darah dalam arteri mengalir dengan cepat pada tiap detak jantung. Aliran inilah yang menimbulkan suara. Tekanan dalam manset ketika terdengar pertama kali berkaitan dengan tekanan darah sistolik. Hilangnya suara berkaitan dengan tekanan darah diastolik yang terjadi ketika jantung rileks (Palmer, 2007).

  Suara yang di dengar melalui stetoskop ditimbulkan oleh pergolakan darah di dalam arteri di depan engsel siku (denyut pada lengan atas), dan disebut suara Korotkoff sebagai penghargaan kepada dokter tentara Rusia Nicholas Korotkoff, yang pertama kali menggunakan cara ini pada tahun 1905 (Palmer, 2007).

  Sebuah pengukur merkuri yang ditempelkan di manset tersebut membuat ke dua tekanan tersebut dapat diukur dan dicatat. Tekanan dalam manset tersebut diukur dengan satuan milimeter merkuri (mmHg), yang merupakan tinggi merkuri yang dapat dipompa dalam tabung kaca (Palmer, 2007).

  d.

  Klasifikasi Tekana Darah

  The seventh Report of the Joint National Commite on Detection,

Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) 2003

  dan World Health Organization-International Society of Hypertension

  (WHO-ISH) 1999 telah memperbaharui klasifikasi, definisi, serta stratifikasi risiko untuk menentukan prognosis jangka panjang.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah dari JNC-VII 2003

  Kriteria Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

  Normal < 120 < 80 Prehipertensi 120-139 80-89 Hipertensi

  Derajat I 140-159 90-99 Derajat II

  ≥ 160 ≥ 100

Pengertian

  Seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg (milimeter air raksa) dan bisa juga disertai tekanan diastoliknya yang diatas 90 mmHg pada dua atau tiga kali pemeriksaan (Prince & Wilson, 2005).

  Hipertensi untuk orang dewasa adalah tekanan darah sistolik sama dengan atau lebih besar dari 160 mmHg dan atau diastolik sama dengan atau lebih besar dari 95 mmHg. Tekanan darah normal pada orang dewasa adalah tekanan darah sistolik kurang dari 140 mmHg dan diastolik kurang dari 90 mmHg. Dalam WHO terdapat istilah “Borderline Hypertesion” yang dipergunakan untuk menunjukkan tekanan darah diantara kedua nilai tersebut diatas (Wirapranata, 2008).

  Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi medis dimana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu yang lama). Pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka, angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi atau sistolik, angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi atau diastolik. Tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg didefinisikan sebagai normal. Tekanan darah tinggi biasanya terjadi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik. Hipertensi biasanya terjadi pada tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, diukur dikedua lengan tiga kali dalam jangka waktu beberapa minggu (Guyton dan Hall, 2001).

  Hipertensi disebut sebagai pembunuh bisu karena biasanya tidak menimbulkan gejala-gejala sampai pada tahap lanjut penyakit. Satu- satunya cara untuk mengetahui apakah tekanan darah meningkat adalah dengan mengukurnya menggunakan alat pengukur tekanan darah (Hayens, 2008).

  b.

Etiologi

  Sembilan puluh persen sampai 95% hipertensi bersifat idiopatik (hipertensi esensial), yang memungkinkan umur panjang, kecuali apabila infark miokardium, kecelakaan serebrovaskular, atau penyulit lainnya. Selain itu terdapat pula jenis hipertensi lainnya yang disebut dengan hipertensi sekunder, yaitu hipertensi yang disebabkan oleh gangguan organ lainya. Gangguan ginjal yang dapat menimbulkan hipertensi yaitu, glomerulonefritis akut, penyakit ginjal kronis, penyakit polikistik, stenosis arteria renalis, vaskulitis ginjal, dan tumor penghasil renin. Gangguan pada sistem endokrin juga dapat menyebabkan hipertensi, dintaranya seperti hiperfungsi adrenokorteks (sindrom Cushing, aldosteronisme primer, hiperplasia adrenal kongenital, ingesti

  

licorice ), hormon eksogen (glukokortikoid, estrogen, makanan yang

  mengandung tiramin dan simpatomimetik, inhibitor monoamin oksidase), feokromositoma, akromegali, hipotiroidisme, dan akibat kehamilan. Gangguan pada sistem kardiovaskular seperti koarktasio aorta, poliarteritis nodosa, peningkatan volume intravaskular, peningkatan curah jantung, dan rigiditas aorta juga dapat menyebabkan hipertensi, begitu pula dengan gangguan neurologik seperti psikogenik, peningkatan intrakranium, apnea tidur, dan stres akut (Cohen, 2008).

  c.

  Patofisiologi Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya

  angiotensin

  II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru- paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.

  Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfusi jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadangkadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.

  Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-30 tahun (dengan meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi hipertensi dini pada pasien umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer meningkat) kemudian menjadi hipertensi pada umur 30-50 tahun dan akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun (Sharma, 2008 dalam Anggreini, 2009). d.

  Kriteria Hipertensi Untuk mengetahui tingkatan hipertensi dipergunakan klasifikasi sebagai berikut (Hayens, 2008):

Tabel 2.2. Klasifikasi Hipertensi.

  

Kriteria Sistolik Diastolik

  Normal 120 – 130 mmHg 85 – 95 mmHg Normal tinggi 130 – 139 mmHg 85 – 89 mmHg Stadium I (Hipertensi ringan) 140 – 159 mmHg 90 – 99 mmHg Stadium II (Hipertensi sedang) 160 – 179 mmHg 100 – 109 mmHg Stadium III (Hipertensi berat) 180 – 209 mmHg 110 – 119 mmHg Stadium IV (Hipertensi maligna)

  ≥ 210 mmHg ≥ 120 mmHg Sumber: Hayens (2008) e.

Komplikasi

  Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung, gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun.

  Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata, ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma yang dapat mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA) (Anggreini, 2009).

  f.

  Petalaksanaan Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah: 1)

  Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg. 2) Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. 3) Menghambat laju penyakit ginjal.

  Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis seperti penjelasan dibawah ini.

  1. Terapi Non Farmakologis

  a) Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih. Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh terhadap tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat penting dalam prevensi dan kontrol hipertensi.

  b) Meningkatkan aktifitas fisik. Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50% daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit sebanyak >3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi.

  c) Mengurangi asupan natrium. Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian obat anti hipertensi oleh dokter. d) Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol. Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi.

  2. Terapi Farmakologis Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta blocker, calcium chanel blocker atau

  calcium antagonist, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor

  (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist / blocker (ARB).

  g.

  Faktor-Faktor yang mempengaruhi Hipertensi Berbagai faktor yang turut berperan sebagai penyebab hipertensi adalah:

  1. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol

  a)

Riwayat Keluarga/Hereditas/Genetik

  Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) mepertinggi resiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi essensial (primer). Faktor genetik mempunyai peran yang besar untuk timbulnya penyakit hipertensi pada seorang penderita. Pada 70-80% kasus hipertensi primer disebabkan oleh factor riwayat hipertensi di dalam keluarga. Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu telur), apabila salah satunya menderita hipertensi. Di Amerika timbulnya penyakit hipertensi lebih besar di antara orang-orang Amerika keturunan Afrika dari pada di antara orang-orang Asia Para peneliti Amerika telah mengidentifikasi satu varian gen yang mempengaruhi cara kerja ginjal memproses garam, sehingga pada gilirannya mempengaruhi tekanan darah tinggi.

  Pada individu-individu yang mempunyai satu atau dua orang tua dengan hipertensi, mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi dibandingkan dengan yang tidak memiliki orang tua penderita hipertensi Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar 45 % akan turun ke anak-anaknya, dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka 30% akan turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006).

  b)

Umur

  Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. dengan bertambahnya umur, resiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40%. Hipertensi biasanya muncul seiring dengan bertambahnya usia, karena semakin bertambah usia seseorang pengaturan metabolisme zat kapur (kalsium) terganggu, sehingga banyak zat kapur yang beredar bersama darah, Banyaknya kalsium dalam darah menyebabkan darah menjadi kental, sehingga tekanan darah menjadi meningkat.

  Endapan kalsium di dinding pembuluh darah (arteriosclerosisi) menyebabkan penyempitan pembuluh darah.

  Akibatnya aliran darah menjadi terganggu, hal ini dapat memicu peningkatan tekanan darah. Bertambahnya usia juga menyebabkan elastisitas arteri berkurang. Arteri tidak dapat lentur dan cenderung kaku, sehingga volume darah yang mengalir sedikit dan kurang lancar, agar kebutuhan darah di jaringan mencukupi, maka jantung harus memompa darah lebih kuat lagi.

  Awalnya kombinasi faktor herediter dan faktor lingkungan menyebabkan perubahan homeostasis kardiovaskuler

  (prehypertension) usia (0 -30 tahun), namun belum cukup

  meningkatkan tekanan darah sampai tingkat abnormal, walaupun demikian cukup untuk memulai kaskade (proses) yang beberapa tahun kemudian dapat menyebabkan tekanan darah biasanya meningkat (early hypertension) usia 20 – 40 tahun. Sebagian orang dengan perubahan gaya hidup dapat menghentikan kaskade tersebut dan kembali ke normotensi, sebagain lainnya akhirnya berubah menjadi established hypertension (hipertensi menetap) pada usia (30 -50 tahun), dan jika berlangsung lama dapat menyebabkan komplikasi pada target organ, yaitu jantung, mata, ginjal dan otak (serebrovaskuler) (Sugiyanto, 2007). c)

Jenis kelamin

  Faktor jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya hipertensi, di mana pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan resiko 2,29 untuk peningkatan darah sistolik. Pada populasi umun kejadian tekanan darah tinggi tidak terdistribusi secara merata. Hingga 55 tahun lebih banyak ditemukan pada pria. Namun setelah terjadi menopause (biasanya setelah usia 50 tahun), tekanan darah pada wanita meningkat terus hingga usia 75 tahun tekanan darah tinggi lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria. Berdasarkan kriteria baru

  (JNC VII) prevalensi hipertensi tingkat 1 dan 2 di tiga kecamatan

  daerah Jakarta Selatan pada tahun 2007 mencapai tingkat 40,1 % pada laki-laki dan 44,4% pada perempuan (Kusmana, 2009).

  a)

Obesitas

  Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan obesitas. Secara fisiologis obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan dari jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan (Sudoyo, 2006).

  Jumlah lemak yang diperlukan tubuh maksimum 150 mg/dl, kandungan lemak baik (HDL) optimum 45 mg/dl dan kandungan lemak jahat maksimum 130 mg/dl. Lemak baik masih diperlukan oleh tubuh, sedang lemak jahat justru merusak organ tubuh.

  Penimbunan lemak di pembuluh darah menyebabkan penyempitan pembuluh darah, akibatnya aliran darah menjadi kurang lancar. Pada orang yang memiliki kelebihan lemak

  (hyperlipidemia) , dapat menyebabkan penyumbatan darah

  sehingga mengganggu suplai oksigen dan zat makanan ke organ tubuh. Penyempitan dan sumbatan lemak memacu jantung untuk memompa darah lebih kuat, agar dapat memasok kebutuhan darah ke jaringan, akibatnya tekanan darah menjadai meningkat, maka terjadilah tekanan darah tinggi. Resiko relatif untuk penderita pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Sedangkan pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih

  (overweight).

  b)

Merokok

  Rokok mengandung ribuan zat kimia yang berbahaya bagi tubuh, seperti tar, nikotin, dan gas karbon monoksida. Tar merupakan bahan yang dapat meningkatkan kekentalan darah, sehingga memaksa jantung untuk memompa darah lebih kuat lagi.

  Nikotin dapat memacu pengeluaran zat catecholamine tubuh seperti hormone adrenalin, hormone adrenalin mamacu kerja jantung untuk berdetak 10–20 kali permenit, dan meningkatkan tekanan darah 10–20 skala. Hal ini berakibat volume darah meningkat dan jantung menjadi cepat lelah. Karbon monoksida (CO) dapat meningkatkan keasaman sel darah sehingga darah menjadi lebih kental dan menempel di dinding pembuluh darah.

  Penyempitan pembuluh darah memaksa jantung memompa darah lebih kuat lagi, sehingga tekanan darah meningkat.

  Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya arterosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Selain orang yang merokok (perokok aktif), orang yang tidak merokok tetapi menghisap asap rokok (perokok pasif) juga memiliki resiko hipertensi. Resiko perokok pasif bahayanya 2 kali dari perokok aktif (Depkes, 2007).

  c)

Minuman Alkohol Alkohol dapat merusak fungsi syaraf pusat maupun tepi

  Apabila syaraf simpatis terganggu, maka pengaturan tekanan darah akan mengalami gangguan. Pada seorang yang sering minum-minuman dengan kadar alcohol tinggi, tekanan darah mudah berubah dan cenderung meningkat tinggi. Alkohol juga meningkatkan keasaman darah. Darah menjadi lebih kental. Kekentalan darah ini memaksa jantung memompa darah lebih kuat lagi, agar darah dapat sampai ke jaringan yang membutuhkan dengan cukup, ini berarti terjadi peningkatan tekanan darah (Depkes, 2007). Di negara Barat seperti Amerika konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjdinya hipertensi, sekitar 10% hipertensi di Amerika Serikat disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebiham di kalangan pria separuh baya.

  d)

Stress dan Tekanan Mental

  Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang anak ginjal mengeluarkan hormon ad enalin. Hormon ini dapat mengakibatkan jantung berdenyut lebih cepat dan menyebabkan penyempitan kapiler darah tepi, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang timbul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag.

  Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumberdaya (biologis, psikologis, dan sosial) yang ada pada diri seseorang. Peningkatan tekanan darah akan lebih besar pada individu yang mempunyai kecenderungan stress emosional yang tinggi (Depkes, 2006).

  Studi eksperimental pada laboratorium animal telah membuktikan bahwa faktor psikhologis stress merupakan faktor lingkungan sosial yang penting dalam menyebabkan tekanan darah tinggi, namun stress merupakan faktor resiko yanh sulit diukur secara kuantitatif, bersifat spekulatif. Tekanan darah tinggi mudah muncul pada orang yang sering stress dan mengalami ketegangan pikiran yang berlarut-larut. Masih dipertanyakan apakah stress yang bersifat aterogenik atau hanya mempercepat serangan. Teori aterogenesis disebabkan oleh stress dapat merumuskan pengaruh neuroendokrin terhadap dinamika sirkulasi lemak serum dan pembekuan darah (Anderson, 1992).

  e)

Konsumsi Garam (Natrium)

  Natrium memegang peranan penting terhadap timbulnya hipertensi. Natrium dan klorida merupakan ion utama cairan ekstraseluler. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat, untuk menormalkannya, cairan intraseluler ditarik keluar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume ekstrseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak timbulnya hipertensi (Astawan, 2009).

  Sumber natrium/sodium yang utama adalah natrium klorida (garam dapur), penyedap masakan (monosodium glutamat =

  

MSG) , dan sodium karbonat. Konsumsi garam sulit dikontrol

terutama jika terbiasa mengkonsumsi makanan di luar rumah.

  Sumber natrium yang perlu diwaspadai yang berasal dari penyedap masakan (MSG), budaya penggunaan MSG sudah sampai taraf yang sangat mengkhawatirkan, di Indonesia penggunaan MSG begitu bebas. Pada sekitar 60% hipertensi primer terjadi respos penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam.

  f)

Konsumsi Kopi

  Tekanan darah dapat meningkat jika seseorang sering minum kopi. Kafein dalam kopi memacu kerja jantung dalam memompa darah. Peningkatan tekanan dari jantung juga diteruskan pada arteri, sehingga tekanan darah meningkat. Efek tersebut tergantung pada dosis yang dikonsumsi dan kondisi kesehatan seseorang. Pada orang yang tidak terbiasa minum kopi, mengkonsumsi kafein 250-350 mg dapat meningkatkan laju jantung dan tekanan darah (sistolik dan diastolik, dan pada orang yang sudah biasa minum kopi, efek tersebut kadang-kadang tidak terjadi. Namun dilaporkan juga bahwa konsumsi kopi dengan dosis tinggi secara terus menerus dapat mengakibatkan takkardi dan aritmia jantung. Efek kafein terhadap sirkulasi jantung sampai saat ini masih menjadi kontraversi (Rahajeng, 2004). Mengkonsumsi kopi pada penderita hipertensi akan membahayakan karena akan meningkatkan resiko terjadinya stroke dan meningkatkan ekskresi kalsium yang berakibat peningkatan tekanan darah (Simon, 2007).

  g)

Aktifitas Fisik

  Pola hidup pasif cenderung meningkatkan kegemukan dan aterosklerosis, yang beresiko terhadap timbulnya hipertensi. Pada fisik yang senantiasa aktif, pembuluh darah cenderung elastis, sehingga mengurangi tahanan perifer (Warburton, 2006).

  Peningkatan tekanan darah sistolik terjadi sebagai akibat dari peningkatan curah jantung, tergantung intensitas aktifitas/latihan, sementara tekanan darah diastolik hanya mengalami sedikit perubahan selama aktifitas/latihan, tidak tergantung intensitas latihan. Tekanan darah kemudian akan mengalami kondisi stabil selama aktifitas mencapai maksimal steady state. Apabila latihan terus dilanjutkan, maka secara bertahap tekanan darah sistolik akan menurun sebagai reaksi atas peningkatan dilatasi arteriola di dalam otot-otot yang aktif. Aktifitas fisik yang teratur menyebabkan jantung bekerja dengan lebih efisien, denyut jantung berkurang, dan akan menyebabkan tekanan darah.

  Penelitian Berube-Parent et .al (dalam Trembay & Therrin, 2006; Anung, 2007), mendapatkan bahwa setelah dilakukan latihan yang terprogram selama 6 minggu, responden mengalami penurunan denyut jantung dan tekanan diatolik. Dengan latihan daya tahan dapat menurunkan tekanan darah 10 mm Hg, baik tekanan sistolik maupun diastolik pada penderita hipertensi tingkat sedang. Aktifitas fisik diperlukan untuk membakar energi dalam tubuh. Bila pemasukan energi berlebih dan tidak diimbangi dengan aktifitas fisik yang seimbang akan memudahkan seseorang untuk menjadi gemuk.

  h)

Pemakaian KB Hormonal

  Selama penggunaan kontrasepsi terjadi peningkatan ringan tekanan darah sistolik dan diastolik, terutama pada 2 tahun pertama penggunaannya. Tekanan darah tinggi dijumpai pada 2– 4% wanita pemakai kontrasepsi hormonal, terutama yang mengandung etinilestradiol. Keadaan ini erat kaitannya dengan usia wanita dan lama penggunaan.

  Kejadian hipertensi meningkat sampai 2-3 kali lipat setelah 4 tahun penggunaan kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen. Jika tekanan darah > 160/95 mm Hg sebaiknya jangan diberikan kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen, dan bila tekanan darah >200/120 mmHg semua jenis kontrasepsi hormonal merupakan kontraindikasi. Etinilestradiol merupakan penyebab terjadianya hipertensi, progesterone memiliki pengaruh minimal terhada tekanan darah. dijumpai peningkatan angiostensinogen dan angiostensin II. Etinilestradiol dapat meningkatkan angiostensinogen 3–5 kali kadar normal (Baziad, 2002)

  Penelitian di Belgia yang dilakukan oleh Ernst Rietzschel seorang proffesor cardiolog dari university of Ghent, dengan memantau 1.300 wanita Belgia berusia 35–55 tahun, dimana 81% dari mereka menggunakan kontrasepsi hormonal selama 13 tahun terakhir, menyatakan bahwa para wanita yang memakai kontrasepsi hormonal akan mengalami resiko terjadinya pengerasan pada saluran arteri, yang merupakan dampak kontrasepsi hormonal yang akan membuat plag dan menimbulkan lemak (atherosclerosis) bila dibandingkan dengan wanita yang tidak memakai, dan dampak ini tergantung usia wanita Penelitian dengan menggunakan ultrasound scan mampu melihat femoral artery bagian kaki dan carotid artery di bagian tenggorokan.

  Penyebab gejala timbulnya tekanan darah tinggi, adalah karena pengaruh estrogen terhadap pembuluh darah sehingga terjadi hypertropi arteriole dan vasokonstriksi, selain itu estrogen mempengaruhi sistem Renin–Aldosteron-angiostensin sehingga terjadi perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit (Depkes, 1984). Penelitian RCGP mendapatkan bahwa selama tahun pertama penggunaan kontrasepsi hormonal, jumlah penderita tekanan darah tinggi di antara pengguna pil KB sebanding dengan kontrol (dengan umur yang sama) . Namun, terjadinya tekanan darah tinggi bertambah selama penggunaan pil 5 tahun, terjadinya peningkatan tekanan darah 2–2,5 kali dari jumlah normal (Cedric, W Porter, 1975).

  3. Pasangan Usia Subur

  Pasangan suami istri yang pada saat ini hidup bersama, baik bertempat tinggal resmi dalam satu rumah ataupun tidak, dimana umur istrinya antara 15 tahun sampai dengan 44 tahun. Batasan umur yang digunakan disini adalah 15 sampai 44 tahun dan bukan 15–49 tahun. Hal ini tidak berarti berbeda dengan perhitungan fertilitas yang menggunakan batasan 15–49, tetapi dalam kegiatan keluarga berencana mereka yang berada pada kelompok 45–49 bukan merupakan sasaran keluarga berencana lagi. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa mereka yang berada pada kelompok umur 45–49 tahun, kemungkinan untuk melahirkan lagi sudah sangat kecil sekali (Wirosuhardjo, 2009).

  4. Kontrasepsi a.

Definisi

  Kontrasepsi berasal dari kata kontra dan sepsi. Kontra berarti mencegah atau melawan, sedangkan konsepsi berarti pertemuan antara sel telur dan sperma yang dapat mengakibatkan kehamilan/sebagai usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan, dimana usaha- usaha tersebut dapat bersifat sementara maupun permanen (Winkjosastro, 2007). Manfaat Kontrasepsi secara umum adalah disamping dapat mencegah dan menjarangkan kehamilan dapat juga menurunkan angka kesakitan dan angka kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat kehamilan yang dialami oleh wanita (Hartanto, 2008).

  Kontrasepsi yang ideal harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: dapat dipercaya, tidak menimbulkan efek yang mengganggu kesehatan, daya kerja dapat diatur menurut kebutuhan, tidak menimbulkan gangguan sewaktu melakukan koitus, tidak memerlukan motivasi secara terus menerus, mudah pelaksanaannya, murah harganya sehingga dapat dijangkau seluruh lapisan masyarakat, dapat diterima penggunaannya oleh pasangan yang bersangkutan (Maryani, 2005).

  b.

  Macam-Macam Kontrasepsi Menurut Winkjosastro (2007), kontrasepsi dapat dibagi menurut macam-macamnya, yaitu :

  1) Kontrasepsi Non Hormonal

  Suatu metode kontrasepsi tanpa menggunakan alat yang penggunaannya tanpa membutuhkan bantuan orang lain ataupun obat-obatan (Manuaba, 2007). Metode ini meliputi :

  a)

Senggama terputus

  Metode senggama terputus merupakan cara kontrasepsi yang paling lama dikenal manusia, metode ini dilakukan dengan cara pria mengeluarkan alat kelaminnya dari vagina sebelum pria mencapai ejakulasi. Jadi pada saat pria mencapai ejakulasi, alat kelaminnya berada diluar vagina, sehingga sperma tidak masuk ke dalam vagina (Saifuddin, 2004).

  (1) Manfaat

  (a) Tidak mengganggu produksi ASI

  (b) Dapat digunakan sebagai pendukung metode KB lainnya

  (c) Tidak ada efek samping

  (d) Dapat digunakan setiap waktu

  (e) Tidak membutuhkan biaya

  (2) Keterbatasan

  (a) Memutus kenikmatan dalam berhubungan seksual

  (b) Efektifitas akan jauh menurun pada koitus berulang

  (repeated coitus)

  b)

Pembilasan pasca senggama (postcoital douche)

  Pembilasan pasca senggama adalah pembilasan vagina dengan air biasa atau tanpa tambahan larutan obat-obatan lain segera setelah coitus. Tujuan dari metode ini adalah untuk mengeluarkan sperma secara mekanik dari vagina. Metode ini mempunyai efektifitas yang kurang, karena dimungkinkan sebelum dilakukan pembilasan, spermatozoa dalam jumlah yang besar sudah memasuki serviks uteri. c)

Perpanjangan masa menyusui anak (prolonged lactation)

  Metode ini merupakan metode kontrasepsi sementara yang cukup efektif digunakan oleh ibu pasca persalinan.

  Metode ini mengandalkan pemberian Air Susu Ibu (ASI). Metode ini dilakukan dengan memberi ASI eksklusif kepada bayi sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan. Mekanisme dari metode ini adalah pemberian ASI mampu meningkatkan produksi prolaktinemi dan prolaktin yang menekan adanya ovulasi. Ibu yang memberikan ASI eksklusif pada bayinya, masa tidak subur dapat diperpanjang sampai 6 bulan pasca persalinan. Keuntungan dari metode ini adalah : tingkat efektifitas yang tinggi (98 % pada 6 bulan pasca persalinan),praktis dan tanpa biaya serta tidak menimbulkan efek secara sistemik (Saifuddin, 2004).

  d)

Pantang berkala

  Metode ini dilakukan dengan cara pasangan secara sukarela menghindari senggama pada masa subur ibu, ketika ibu dapat menjadi hamil (Saifuddin, 2004). Masa subur ibu terjadi 48 jam sebelum dan 24 jam sesudah fase ovulasi.

  Ovulasi biasanya terjadi pada 12 – 16 hari sebelum haid berikutnya. Kesulitan dari penggunaan metode ini adalah sulitnya memprediksi waktu yang tepat dari ovulasi, khususnya pada wanita yang mempunyai siklus haid tidak teratur. Wanita dengan siklus haid tidak teratur sulit bahkan tidak bisa diprediksi kapan ovulasi terjadi. Manfaat dari metode ini adalah tidak ada resiko kesehatan yang berhubungan dengan kontrasepsi, tidak ada efek samping sistemik dan murah (Winkjosastro, 2007).

  e) Kontrasepsi secara mekanis (metode barrier)

  Kontrasepsi secara mekanis adalah dengan menggunakan alat kontrasepsi tertentu. Alat yang digunakan oleh pria adalah kondom, sedangkan pada wanita, alat yang digunakan adalah diafragma vaginal.

  (1)

Kondom

  Kondom merupakan selubung/Sarung karet yang dapat terbuat dari berbagai bahan, dantaranya lateks (karet) atau bahan alami (produk hewani) yang dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Kondom berbentu silinder dengan muara berpinggir tebal yang bila digulung berbentuk rata atau mempunyai bentuk seperti puting susu (Saifuddin, 2004).

  Cara kerja kondom adalah dengan menghalangi terjadinya pertemuan sperma dan sel telur dengan cara mengemas sperma di ujung selubung karet yang dipasang pada penis. Kondom juga dapat mencegah penularan mikroorganisme (HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya). Efektifitas dari kondom tergantung dari mutu dan kualitas kondom tersebut. Selain itu, banyak pasangan yang kurang menyukai penggunaan kondom karena dianggap dapat mengurangi kenikmatan hubungan seksual karena mengurangi sentuhan langsung. Keuntungan penggunaan alat kontrasepsi kondom adalah tidak mengganggu produksi ASI, tidak mengganggu kesehatan klien, tidak mempunyai pengaruh sistemik, murah, tidak perlu resep dokter atau tenaga kesehatan dan merupakan metode kontrasepsi sementara bila metode kontrasepsi lainnya harus ditunda (Winkjosastro, 2007). (2)

Diafragma vaginal

  Diafragma vagina terdiri atas kantong karet yang berbentuk mangkuk dengan per elastis pada pinggirnya.

  Ukuran diafragma yang beredar di pasaran mempunyai diameter 55-100 mm. Besarnya ukuran diafragma yang akan digunakan ditentukan secara individual (Winkjosastro, 2007).

  Penggunaan diafragma vaginal adalah dengan memasukkan diafragma ke dalam vagina sebelum hubungan seksual dilakukan untuk menjaga sperma jangan sampai masuk ke dalam uterus. Selain untuk menahan sperma, diafragma juga dilapisi spermaside (Saifuddin, 2004).

  Manfaat dari penggunakan diafragma pada dasarnya sama dengan kondom. Keterbatasan alat ini adalah diperlukannya motivasi yang cukup kuat bagi wanita untuk menggunakan diafragma, umumnya hanya cocok untuk wanita yang terpelajar, tidak cocok untuk penggunaan secara massal, tingkat kegagalan yang lebih tinggi, perlu pemeriksaan pelvik oleh petugas kesehatan untuk memastikan ketepatan pemasangan, dapat menimbulkan reaksi alergi pada wanita yang sensitif, pada 6 jam pasca hubungan alat masih harus berada di posisinya (Saifuddin, 2004 & Winkjosastro, 2007). (3)

  Spermisida Spermisida adalah bahan kimia (biasanya non oksinol-9) yang digunakan untuk menonaktifkan atau membunuh sperma. Spermisida dapat dikemas dalam bentuk aerosol (busa), tablet vaginal, suppositoria,

  dissolvable film dan krim (Manuaba, 2007).

  Cara kerja spermisida adalah dengan memecah sel membran sperma, memperlambat pergerakan sperma dan menurunkan kemampuan pembuahan sel telur (Saifuddin, 2004). Penggunaan setiap jenis spermisida tidak sama, spermisida berbentuk busa efektif setelah insersi, sedangkan tablet vagina, supppsitoria dan film penggunaannya menunggu 10-15 menit. Lama kerja spermisida pada umumnya hanya 20 menit – 1 jam setelah pemasangan (Winkjosastro, 2007). (4)

Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)

  Menurut Manuaba (2007) dan Winkjosastro (2007), sampai saat ini mekanisme kerja AKDR belum diketahui secara pasti. Pendapat ahli yang paling banyak menyebutkan bahwa AKDR dalam kavum uteri menimbulkan reaksi peradangan endometrium yang disertai dengan sebukan leukosit yang dapat menghancurkan blastokista atau sperma. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa cara kerja AKDR adalah dengan cara menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii dan mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri (Saifuddin, 2004).

  Keuntungan yang didapat dari penggunaan AKDR adalah efektifitasnya sangat tinggi, dapat efektif langsung setelah pemasangan, merupakan metode jangka panjang, tidak mempengaruhi hubungan seksual, meningkatkan kenyamanan hubungan seksual, tidak ada efek samping hormonal, tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI, dapat dipasang sesudah melahirkan, dapat digunakan sampai menopause, tidak ada interaksi dengan obata- obatan lain, kontrol medis yang ringan, penyulit tidak terlalu berat dan segera pulihnya kesuburan setelah AKDR di cabut (Saifuddin, 2004 & Manuaba, 2007).

  AKDR bukanlah alat kontrasepsi yang sempurna (Winkjosastro, 2007). Hal ini disebabkan AKDR juga mempunyai beberapa kekurangan yaitu : dapat menimbulkan efek samping (berupa perubahan siklus haid, haid lebih lama dan banyak, perdarahan antar menstruasi, kejang dan nyeri di perut, dismenorhea, dan dapat menimbulkan gangguan pada suami saat senggama), dapat menimbulkan beberapa komplikasi (infeksi, perforasi dinding uterus dan perdarahan berat saat haid), tidak dapat mencegah penularan penyakit seksual, tidak baik digunakan pada wanita dengan IMS atau wanita yang sering berganti pasangan, dapat menguras protein tubuh sehingga liang senggama menjadi lebih basah (Manuaba, 2007). AKDR tidak dapat dilepas sendiri dan dapat keluar dengan sendirinya, tidak semua wanita dapat menggunakan metode ini serta tali AKDR dapat menimbulkan melukai portio uteri (Saifuddin, 2004).

  2) Kontrasepsi Hormonal

  Kontrasepsi hormonal adalah alat atau obat kontrasepsi yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kehamilan dimana bahan bakunya mengandung preparat estrogen dan progesterone (Hartanto, 2008). Beberapa macam metode kontrasepsi yang menggunakan kontrasepsi hormonal, antara lain : a)

Pil Kombinasi

  Pil kombinasi merupakan pil kontrasepsi yang sampai saat ini dianggap paling efektif. Pil kombinasi mempunyai 3 jenis, yaitu monofasik (mengandung hormon aktif dalam dosis yang sama), bifasik (mengandung hormon aktif dalam dua dosis yang berbeda) dan trifasik (mengandung hormon aktif dalam tiga dosis yang berbeda). Cara kerja dari pil kombinasi adalah dengan menekan ovulasi, mencegah implantasi dan mengentalkan lendir servik sehingga sperma tidak dapat melaluinya (Winkjosastro, 2007).

  Tidak semua wanita dapat menggunakan metode ini. Wanita yang tidak boleh menggunakan pil kombinasi adalah yang hamil atau dicurigai hamil, sedang menyusui eksklusif, terdapat perdarahan pervagina yang belum diketahui penyebabnya, mempunyai penyakit hati akut, perokok dengan usia > 35 tahun, mempunyai riwayat penyakit jantung, riwayat gangguan jantung, stroke atau tekanan darah tinggi, riwayat kencing manis, dicurigai atau mempunyai kanker payudara, riwayat migrain dan gejala neurologik lokal serta tidak mempunyai keyakinan dapat menggunakan pil setiap hari (Winkjosastro, 2007).

  Efektifitas kontrasepsi pil kombinasi sangat tinggi, yaitu hampir sama dengan tubektomi (hanya 0,1 – 0,4 per 100 wanita pada tahun pertama penggunaan), selain itu risiko terhadap kesehatan sangat kecil, tidak mengganggu hubungan seksual, siklus haid menjadi teratur, dapat mencegah dismenorhea dan anemia, dapat digunakan sejak usia remaja hingga menopause, mudah dihentikan setiap saat dan kesuburan dapat kembali muncul segera setelah penghentian penggunaan (Saifuddin, 2004).

  Kontrasepsi pil kombinasi selain mempunyai banyak manfaat, metode ini juga mempunyai keterbatasan, yaitu mahal, membosankan karena penggunaannya setiap hari, dapat menimbulkan mual (terutama 3 bulan pertama pemakaian), dapat menimbulkan pusing, nyeri payudara, berat badan dapat naik, amenorhea, mempengaruhi pemberian ASI kepada bayi dan dapat meningkatkan tekanan darah (Saifuddin, 2004).

  b) Suntikan Kombinasi

  Jenis suntikan kombinasi adalah 25 mg depo

  

medrolsiprogesteron dan 5 mg estradiol sipionat yang diberikan injeksi IM (Intra Muscular) sebulan sekali (Cyclofem) dan 50 mg noretindron enantat dan 5 mg estradiol

  

valerat yang diberikan injkesi IM sebulan sekali. Cara kerja

  dari metode ini adalah membuat lendir servik menjadi kental, menghambat transportasi gamet oleh tuba dan menimbulkan atrofi endometrium sehingga implantasi terganggu.

  Efektifitas metode ini sama dengan pil kombinasi. Selain itu keuntungan dari metode suntikan kombinasi adalah tidak memerlukan pemeriksaan dalam, dapat digunakan dalam jangka panjang, efek samping sangat kecil dan tidak membosankan. Keterbatasan dan kontraindikasi dari metode ini sama dengan metode kontrasepsi pil kombinasi (Saifuddin, 2004).

  c) Suntikan Progestin

  Kontrasepsi suntikan progestin mempunyai 2 jenis suntikan, yaitu: (1)

  Depo medroksiprogesteron asetat (DMPA) (2)

Depo noretisteron enanta (Depo Noristerat)

  Cara kerja dan efektifitas dari suntikan progestin sama dengan metode hormonal lainnya. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh apabila menggunakan metode ini adalah tidak mengandung estrogen sehingga tidak berdampak serius terhadap penyakit jantung dan gangguan pembuluh darah, tidak mempengaruhi pemberian ASI, sedikit efek samping, klien tidak perlu menyimpan obat, dapat digunakan pada wanita usia > 35 tahun sampai perimenopause, membantu mencegah kanker endometrium, menurunkan kejadian tumor jinak payudara, mencegah beberapa penyebab radang panggul, tidak mengganggu hubungan seksual dan menurunkan krisis anemia.

  Keterbatasan dari metode ini adalah sering ditemukan gangguan haid, klien sangat bergantung pada tempat pelayanan kesehatan untuk suntikan ulang, tidak dapat dihentikan sewaktu-waktu sebelum suntikan berikutnya, permasalah berat badan merupakan efek samping tersering, terlambatnya kembali kesuburan setelah penghentian pemakaian, terjadinya perubahan pada lipid serum pada penggunaan jangka panjang dan pada penggunaan jangka panjang dapat menurunkan densitas tulang, kekeringan vagina, penurunan libido, sakit kepala dan jerawat (Saifuddin, 2004).

  d)