BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Nur Widiyawati BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit menular merupakan salah satu masalah kesehatan global baik di

  negara maju dan di negara berkembang. Di Indonesia penyakit menular merupakan salah satu masalah penting yang menjadi perhatian dalam upaya peningkatan kesehatan, dari data statistik menunjukkan bahwa penyakit menular merupakan penyebab kematian kedua di negara berkembang termasuk Indonesia setelah penyakit jantung (Ridwan, 2012).

  Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan kematian bayi dan balita. Menurut World Health

  

Organization (WHO) (2003), ISPA terutama pneumonia menduduki peringkat

  pertama dari enam penyebab kematian postnatal yang berkontribusi dengan 63% dari 10,4 juta kematian pada anak di bawah lima tahun di seluruh dunia. Penyebab utama kematian anak tersebut atara lain infeksi saluran pernapasan akut (17%), diare (16%), prematur dan berat badan lahir rendah (11%), infeksi neonatal seperti sepsis (9%), asfiksi kelahiran dan trauma (8%) serta malaria (7%).

  WHO (2003) memperkirakan kejadian ISPA di negara berkembang dengan angka kematian bayi di atas 40 per 1.000 kelahiran hidup adalah 15% - 20%

  1 pertahun pada golongan usia Balita. Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Rikesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi ISPA pada usia Balita sebesar 17,1% (Depkes, 2008). Sedangkan menurut Survei Kematian Balita di Indonesia tahun 2005, 23,6% kematian balita disebabkan penyakit ISPA khususnya pneumonia (Depkes, 2010). Berdasarkan Dinas Kesehatan Jawa Tengah (2011), Di Jawa Tengah jumlah kasus pneumonia pada Balita adalah 66.702 kasus (3%), sedangkan presentase kasus ISPA pada Balita 29%, dari 2.204.187 Balita di Provinsi Jawa Tengah.

  Proporsi kematian Balita yang disebabkan oleh ISPA mencangkup 20%- 30%, kematian oleh ISPA ini sebagian besar adalah pneumonia (Song et al., 2009).

  Di Indonesia rata-rata setiap bayi dan anak akan mengalami sakit ISPA sebesar 3-6 kali per tahun dan kunjungan penderita penyakit ISPA ke Puskesmas sebanyak 40- 60% rawat jalan serta 15-30% menjalani rawat jalan dan rawat inap. Dengan demikian kematian bayi dan anak balita akibat penyakit ISPA termasuk cukup tinggi.

  Menurut Depkes (2004), faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya

  ISPA adalah kualitas rumah, antara lain jenis atap, jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian, dan jenis bahan bakar memasak yang dipakai. Adapun lingkup penilaian rumah sehat dilakukan dengan kelompok komponen rumah, sarana sanitasi, dan perilaku penghuni. Hal ini dimaksudkan agar penghuni mampu meningkatkan mutu hunian sekaligus meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat (Depkes, 2002).

  Kualitas lingkungan berhubungan dengan status kesehatan masyarakat. Dari studi tentang kesehatan lingkungan tersirat informasi bahwa status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor hereditas, nutrisi, pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan. Faktor lingkungan yang berhubungan dengan status kesehatan seseorang itu dapat berasal dari lingkungan pemukiman, lingkungan social, lingkungan rekreasi dan lingkungan kerja.

  Penyakit ISPA dipengaruhi oleh kualitas udara di dalam rumah. Menurut Wardhana (2004), partikel-partikel dari paparan asap yang disebabkan karena hasil pembakaran kayu atau asap rokok dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan, sebab pada saat menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup masuk ke dalam paru-paru.

  Secara umum, efek pencemaran udara dengan pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan macrofage di saluran pernafasan. Akibat dari dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Mukono, 2008).

  Kebiasaan merokok dapat memberikan dampak kesehatan yang jelas merugikan dengan lingkungan sekitar dan kesehatan orang lain sebagai perokok pasif, terutama dampak tersebut dengan keluarga. Berdasarkan laporan Badan Lingkungan Hidup Amerika mencatat tidak kurang dari 300 ribu anak anak berusia 1 sampai 5 tahun menderita bronchitis dan pneumonia, karena turut menghisap asap rokok yang dihembuskan orang di sekitarnya terutama ayah dan ibunya (Karlinda dan Warni, 2012).

  Perilaku hidup sehat masyarakat merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung peningkatan status kesehatan. Kebiasaan merokok adalah salah satu perilaku masyarakat yang tidak sehat yang sering kita temui di lingkungan masyarakat. Proporsi penduduk dewasa yang merokok sebesar 31,8 %. Sementara itu, proporsi penduduk perokok yang mulai pada usiadi bawah 20 tahun meningkat dari 60% pada tahun1995 menjadi 68% pada tahun 2001 (Bappenas, 2004).

  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mishra, Smith, dan Retherford (2005) pada anak-anak di India, bahwa pemakaian biomasa sebagai bahan bakar memasak di negara berkembang meningkatkan level polusi udara di dalam ruangan. Asap rokok juga memberikan kontribusi menambah polusi udara di dalam ruangan. Penggunaan biomasa dan asap rokok menjadi faktor resiko terkena penyakit ISPA.

  Penelitian Ernawati dan Farich (2012), bahwa ada hubungan faktor lingkungan rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Faktor lingkungan rumah tersebut antara lain adanya anggota keluarga yang merokok dan penggunaan obat nyamuk bakar. Asap dari rokok maupun obat nyamuk bakar dapat langsung terhisap oleh anak balita, keadaan itu akan menurunkan pertahanan paru-paru sehingga menumbulkan penyakit ISPA. Penelitian Safitri dan Keman (2007) bahwa tidak ada hubungan antara tingkat kesehatan rumah dengan tingkat kejadian

  ISPA pada balita.

  Berdasarkan penelitian pendahuluan, menurut data yang tercatat dalam Puskesmas I Wangon, terdapat 420 orang yang terkena ISPA pada Bulan Desember 2013, diantaranya 165 orang adalah balita. Meningkat pada Bulan Januari 2014 tercatat berjumlah 477 orang terkena ISPA, dengan balita berjumlah 182 balita. Hanya selisih satu Bulan, penderita ISPA meningkat sejumlah 57 orang, dan pada balita mengalami peningkatan sebanyak 17 balita. Data terbaru menunjukkan, pada periode Bulan Agustus sampai dengan Bulan September tahun 2014, kejadian ISPA pada usia Balita berjumlah 468 kasus, dan pada awal Bulan Oktober sampai dengan akhir Oktober, tercatat 226 kunjungan Balita di Puskesmas I Wangon dengan keluhan ISPA.

  Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 9 pengunjung Puskesmas I Wangon dengan keluhan kesehatan pada Balita (1-5 tahun), didapatkan data bahwa terdapat 5 (55,6%) anak balita yang mengalami gejala

  ISPA, seperti demam, batuk dan pilek, sedangkan 4 (44,4%) anak balita lainnya tidak mengalami gejala ISPA. Seluruh responden penelitian awal masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Sedangkan pada keberadaan keluarga yang merokok, terdapat 8 keluarga dengan anggota keluarga ada yang merokok.

  Seluruh responden penelitian mengatakan balitanya mengikuti program imunisasi dasar. tiga Balita dengan gejala ISPA mengatakan Berat Badan Lahir Balitanya dibawah 2500 gram, dan terdapat dua Balita dengan gejala ISPA memiliki status gizi Bawah Garis Merah (BGM) pada KMS. Terdapat 5 Responden yang masih berpendidikan ≤12 tahun.

  Berdasarkan latar belakang tersebut, kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon masih tinggi, dan adanya beberapa faktor resiko yang menyertai seperti pendidikan orang tua/pengasuh, riwayat berat badan lahir, status imunisasi, keberadaan asap dapur, dan keberadaan perokok. Oleh karena itu, peneliti berkeinginan untuk mengadakan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon.

B. Rumusan Masalah

  ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di negara maju maupun berkembang, termasuk Indonesia. Angka kesakitan dan angka kematian yang disebabkan karena ISPA masih tinggi pada balita. Tingginya kejadian ISPA harus ditekan, melalui usaha promosi kesehatan atau usaha preventif. Kejadian

  ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kualitas udara di lingkungan tempat tinggal, pemakaian bahan bakar kayu, dan adanya anggota keluarga balita yang merokok yang diduga menjadi penyebabnya.

  Berdasarkan data Puskesmas I Wangon, menunjukan bahwa ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh masyarakat khususnya balita. Pada periode Agustus sampai dengan Oktober tahun 2014, ISPA pada Balita menempati urutan pertama dalam daftar 10 penyakit tertinggi di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon, dengan jumlah kasus sebanyak 694 (42,8%) balita mengalami ISPA. Rata-rata balita yang terkena ISPA tiap Bulan pada periode Agustus sampai dengan Oktober 2014 sebanyak 174 balita.

  Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian

  ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon

  ?” C.

   Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

  Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon .

2. Tujuan Khusus

  a. Diketahuinya gambaran usia ibu, usia balita, jenis kelamin balita, pendidikan ibu, berat badan lahir balita, status gizi balita, status imunisasi balita, keberadaan asap dapur, dan keberadaan perokok di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon.

  b. Diketahuinya hubungan pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon.

  c. Diketahuinya hubungan berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon. d. Diketahuinya hubungan status gizi balita dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon.

  e. Diketahuinya hubungan status imunisasi dengan keajdian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon.

  f. Diketahuinya hubungan keberadaan asap dapur dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon.

  g. Diketahuinya hubungan keberadaan perokok dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon.

  h. Diketahuinya faktor paling berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Puskesmas I Wangon

  Sebagai tambahan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon sehingga dapat dijadikan masukan bagi Puskesmas I Wangon dalam menentukan penatalaksanaan ISPA pada Balita.

2. Bagi Masyarakat

  Sebagai tambahan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita sehingga dapat dijadikan masukan bagi orang tua untuk menerapkan perilaku pencegahan ISPA pada Balita.

  3. Bagi Peneliti

  Sebagai pengetahuan dalam menambah ilmu dalam penelitian dan meningkatkan ketrampilan dalam melakukan penelitian, khususnya dalam menganalisa hasil penelitian.

  4. Bagi Institusi Pendidikan

  Hasil penelitian ini dapat menambah bahan referensi mahasiswa dan membantu pengembangan teori praktek ilmu keperawatan anak yang berhubungan dengan ISPA.

E. Keaslian Penelitian 1.

  Safitri dan Keman (2007) dengan judul “Hubungan Tingkat Kesehatan Rumah dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita di Desa Labuhan Kecamatan Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa”. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional study. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara tingkat kesehatan rumah meliputi komponen rumah (langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga dan ruang tamu, ventilasi, sarana pembuangan asap dapur, dan penca-hayaan), sarana sanitasi rumah, dan perilaku penghuni dengan kejadian

  ISPA pada anak Balita di Desa Labuhan Kecamatan Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 90 balita.

  Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan cara sistematyc

  random sampling. Data ini dianalisis secara univariat, bivariat, dan analisis multivariat dengan regresi logistik berganda. Hasil analisa menggunakan bivariat menunjukan tidak ada hubungan antara tingkat kesehatan rumah dengan tingkat kejadian ISPA pada balita.

  2. Marhamah, A. Arsunan Arsin, Wahiduddin (2013) dengan judul “Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita Di Desa Bontongan Kabupaten Enrekang”. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional study. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 127 sampel.

  Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan exhaustive sample. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara dan observasi. Data ini dianalisis secara bivariat. Hasil dari penelitian ini adalah ada hubungan antara pemberian kapsul vitamin A dengan kejadian ISPA pada anak balita. Analisis yang digunakan adalah uji chi square sehingga diperoleh nilai p = 0,039, sehingga ada hubungan antara pemberian kapsul vitamin A dengan kejadian ISPA pada anak balita. Selain itu, hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada anak balita (p-value 0,045).

  3. Suyami dan Sunyoto (2004) dengan judul “Karakteristik Faktor Resiko ISPA Pada Anak Usia Balita Di Puskesmas Pembantu Krakitan, Bayat, Klaten”.

  Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimen menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional study. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik faktor resiko ISPA pada anak usia balita.

  Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 40 balita. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode accidental sampling. Data ini dianalisis secara non statistik. Hasil penelitian bahwa kebiasaan memasak dan adanya anggota keluarga yang merokok mempengaruhi kejadian ISPA.

  Dibuktikan dengan persentase terbanyak pada balita yang terkena ISPA pada kebiasaan memasak dan keluarga yang merokok.

  Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian diatas adalah penelitian ini menggunakan metode survei analitik case control. Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas (independent) yaitu tingkat pendidikan orang tua (ibu), berat lahir, status gizi Balita, status imunisasi, keberadaan asap dapur, dan keberadaan perokok, serta variabel terikat (dependent) yaitu kejadian ISPA pada balita. Anilisis yang digunakan analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Lokasi penelitian di Puskesmas Wangon I Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas.

  Pengambilan data diperoleh dari data primer yaitu dari Kuisioner dan data sekunder diperoleh dari ibu yang menjadi responden.