BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Citra Tubuh 1. Pengertian - BAB II bismillah bendel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Citra Tubuh 1. Pengertian Menurut Benfield dan McCabe (2001) citra tubuh dimaknai sebagai

  evaluasi seseorang yang mencakup perasaan tentang penampilan fisiknya, persepsi remaja mengenai penampilannya apakah sudah menarik atau tidak dan perilaku remaja yang mementingkan dan membentuk penampilannya dengan berbagai cara. Menurut Castle (dalam Bestiana, 2007) dalam bukunya yang berjudul Living with Your Looks mendefinisikan citra tubuh sebagai gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya.

  Citra Tubuh menurut Honigam dan Castle (Januar, 2007) adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya bagaimana seseorang mempersepsikan, memberikan penilaian atas apa yag dipikirkan dan dirasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, selain itu penilaian dari orang lain terhadap dirinya. Citra tubuh menurut Hoyt (Naimah, 2008) adalah sikap seseorang terhadap ukuran tubuhnya bentuk maupun estetika berdasarkan evaluasi remaja dan pengalaman efektif terhadap atribut fisiknya. Citra tubuh merupakan sikap yang dimiliki seseorang terhadap tubuhnya berdasarkan penilaian positif dan negatif (Cash dan Pruzinky dalam Mellina (2002).

  Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa citra tubuh merupakan evaluasi atau gambaran seseorang terhadap penampilan fisiknya.

2. Aspek- aspek Citra Tubuh

  Banfield dan McCabe (2001) mengemukakan aspek-aspek yang terkandung dalam citra tubuh diantara lain: a.

  Aspek perasaan Ketidakpuasan remaja terhadap penampilan fisik disebabkan oleh pertumbuhan yang begitu cepat mulai dari bentuk dan ukuran tubuh remaja, yang tidak sesuai dengan harapan remaja, sedangkan remaja sudah memiliki konsep tubuh ideal menurut remaja tersebut didalam pikirannya, namun remaja merasa bahwa tubuh yang dimiliki belum termasuk dalam kriteria tubuh ideal menurut Cash (dalam Murasmutia,2000) sehingga remaja yang merasa kurang puas dengan citra tubuh yang dimiliki akan memunculkan pikiran dan perasaan negatif tentang citra tubuh yang dimiliki remaja tersebut.

  Contohnya remaja merasa memiliki tubuh gemuk namun kenyataanya berat badannya normal.

  b.

  Aspek perilaku Remaja yang mengutamakan bentuk tubuhnya akan berusaha untuk tampil menjadi seorang individu yang menarik dengan menonjolkan hal-hal fisik yang nampak dari luar sehingga remaja akan mengupayakan supaya bentuk tubuhnya langsing dan berusaha menghindari kegemukan atau berusaha memiliki bentuk tubuh yang ideal (Dariyo, 2004). Pada umumnya Perilaku ramaja yang mementingkan membentuk tubuh dan penampilannya dengan cara-cara seperti diet, olahraga yang berlebihan, body building, perawatan digunakan bisa membahayakan kesehatan (Deccy & Kenny dalam andea, 2010) contohnya remaja yang melakukan diet dengan cara tidak sehat remaja sengaja tidak makan.

  c.

  Aspek persepsi Furnham (dalam Caroline, 2002) menyatakan bahwa perempuan cendrung menggambarkan atau mempersepsi bahwa mereka memiliki badan gemuk, namun pada kenyataannya mereka sudah memiliki berat ideal. Remaja dalam mempersepsikan diri dengan memberikan penilaian terhadap apa yang dipikirkan dan dirasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuh yang dimiliki remaja, serta bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya. Karna pada dasarnya apa yang dipikirkan dan dirasakan remaja belum tentu merepsentasikan dirinya, namun lebih hasil penilaian subyektif. Contohnya remaja merasa berat badannya belum sesuai dengan keinginannya. Adapun menurut Thompson (2000), aspek-aspek citra tubuh meliputi sebagai berikut : a.

  Persepsi Persepsi individu terhadap penampilannya berkaitan dengan bagian-bagian tubuhnya dan penampilan secara keseluruhan. Bentuk tubuh merupakan suatu simbol dari diri seorang individu, karena dalam hal ini individu dinilai orang lain dan individu menilai diri sendiri, selain itu bentuk tubuh serta penampilan dapat mempengaruhi baik dan buruk dapat mendatangkan perasaan senang atau tidak senang terhadap tubuhnya sendiri menurut Papalia (dalam Lidya, 2009). b.

  Perbandingan dengan orang lain Kemampuan remaja dalam mengevalusi penampilannya dan remaja akan membandingkan dirinya dengan orang lain (Cash,2002) remaja akan memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri dengan orang lain mengenai baik buruk citra tubuh yang dimilikinya, sehingga akan akan menimbulkan prasangka yang negatif terhadap diri sendiri jika tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal- hal yang menjadi perbandingan individu ialah ketika remaja menilai bentuk fisiknya dengan bentuk fisik orang lain.Contoh remaja membandingkan tinggi badannya dengan orang lain.

  c.

  Aspek sosial budaya (reaksi terhadap orang lain) Pada beberapa wilayah yang rata-rata penduduknya miskin dan mengalami kesulitan dalam makanan, maka tubuh kurus identik dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan penyakit menular. Seseorang yang memiliki tubuh gemuk dianggap sesuatu yang positif yang melambangkan kemakmuran. Setiap kelompok masyarakat memiliki cara penilaian yang berbeda terkait dengan menarik atau tidak menarik citra tubuh yang dimilikinya misalnya gemuk atau kurus, pendek atau tinggi, cantik atau jelek karena konsep ideal tubuh cantik dari kalangan masyarakat memiliki penilaian yang berbeda-beda (Wolf, 2004).

  Contohnya di Afrika memiliki tubuh kurus dianggap kekuranagn gizi, sedangakan di Indonesia memiliki tubuh kurus termasuk tubuh ideal.

  Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek citra tubuh ada aspek pembanding menurut Thompson (2000) diantaranya aspek persepsi perbandingan dengan orang lain, aspek sosial budaya (reaksi terhadap orang lain). Aspek yang akan digunakan dalam penelitian ini aspek menurut Banfield dan McCabe (2002) diantarnya aspek perasaan, aspek prilaku, dan aspek persepsi.

  Perasaan yang negatif akan mempengaruhi prilaku yang mementingkan penampilan walaupaun cara yang digunakan bisa membahayakan kesehatan.

  Perasaan dan perilaku yang negatif muncul karena persepsi remaja terhadap bentuk tubuh atau citra tubuhnya belum termasuk ideal atau menarik. Dipertegas juga oleh Slade (dalam Banfield dan McCabe, 2002) citra tubuh merupakan evalausi subjektif tentang perasaan, perilaku dan persepsi terhadap penampilan baik dari segi ukuran dan bentuknya.

3. Faktor –Faktor Citra Tubuh

  Menurut Thompson (dalam Januar, 2007), ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi citra tubuh, yaitu budaya, media sosial, hubungan interpersonal, usia dan keperibadian.

  a.

  Budaya Citra tubuh pada remaja dipengaruhi lingkungan dan norma-norma budaya tentang penampilan fisik dan bagaimana ukuran tubuh yang menarik.

  Dipertegas juga oleh Bestiana (dalam Lidya, 2012) adanya penelitian mengenai paham bahwa “tubuh langsing itu ideal” sudah menyebar luas diberbagai negara misalnya Korea, Jepang dan Amerika, perkembangan industrilisasi dan budaya konsumerisme di negara-negara barat yang begitu cepat berkembang ke penjuru dunia yang membentuk citra tubuh dan standar tubuh yang ideal. membentuk tubuhnya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya wanita-wanita dengan paras cantik, tinggi, putih dan langsing yang dijadikan sebagai tokoh

  Date

  utama atau pemeran utama dalam drama contoh film Movie produksi

  th

  20 Century Fox (2006) dan drama musikal Korea Dream High produksi KBS (2011). Namun banyak juga tokoh atau pemeran utama yang awalnya memiliki tubuh gemuk atau obesitas yang menjadi bahan ejekan dan tertawaan orang- orang sekitarnya, yang akhirnya memiliki tubuh yang langsing dan cantik. Contohnya di majalah atau di iklan kebanyakan wanita-wanita yang memiliki tubuh langsing tinggi, putih yang dijadikan model-model atau iklan kecantikan.

  b.

  Media sosial Ketidakpuasan remaja tidak lepas dari pengaruh teknologi yang semakin berkembang. Dengan perkembangan tehnologi yang semakin pesat dan memfasilitasi remaja dalam mengakses mengenai perkembangan standar tubuh ideal sehingga akan memudahkan wanita untuk mengikuti standar tubuh idela tersebut khusunya remaja putri, remaja akan menilai tubuh ideal berdasarkan informasi dari media masa sehingga remaja kan terus mengidetifikasi tubuh ideal yang tujukan oleh media masa tersebut (Hernita dalam Wiranatha dkk, 2006).

  Hal ini dibuktikan dengan penelitian Hoyt (dikutip Na’imah dan Pambudi Rahardjo, 2008 ) menemukan bahwa media masa memegang peran penting yang signifikan dalam membentuk persaan remaja terkait dengam citra tubuh, remaja sering membandingkan citra tubuhnya dengan cultural ideal, di Na’imah dan Pambudi Rahardjo, 2008 h.3) menemukan bahwa 23 % dari 3.542 responden menyatakan citra tubuh dipengaruhi oleh selebriti yang muncul di media massa, 22 % citra tubuh dipengaruhi oleh model dalam majalah.

  c.

  Hubungan interpersonal Perubahan fisik serta perhatian remaja terhadap penampilan akan mempengaruhi remaja dalam menilai citra tubuh yang dimiliki. Perubahan citra tubuh yang tidak sesuai dengan keinginan remaja akan menyebabkan penolakan terhadap citra tubuhnya. Persepsi remaja terkait citra tubuh dengan memiliki penampilan fisik yang ideal seperti gambar gadis-gadis di cover majalah atau bintang film akan lebih mudah mendapatkan perhatian dari teman-teman sebayanya (Dian dalam Ratnasari, 2006 ). Persepsi negatif remaja terhadap citra tubuh akan menghambat perkembangan kemampuan interpersonal remaja dan kemampuan membanguan hubungan yang positif dengan orang lain (Decay & Kenay dalam Nourmalita, 2004).

  d.

  Usia Pada usia remaja, perubahan fisik menjadi hal yang sangat penting.

  Perubahan fisik yang terjadi pada remaja akan menjadi perhatian remaja untuk lebih memperhatikan ciri-ciri fisik pada remaja tersebut (Santrok dalam Wahyuni, 2003). Di usia remaja perhatian remaja terhadap citra tubuh cukup kuat sehingga akan membawa pengaruh yang buruk, remaja akan berusaha mencari beragai macam cara untuk membentuk tubuh yang diharapkan, cara yang digunakan remaja yaitu diet ketat (Rahayu & Dieny, 2012). Kartono dalam Bestiana, 1990 menyatakan remaja putri khusunya rermaja akhir mulai sibuk merencanakan masa depannya, misalnya dengan siapa akan menikah pekerjaan apa yang akan dikerjakan setelah lulus, hal-hal tersebut yang akan mempengaruhi citra tubuh remaja putri.

  e.

  Keperibadian Masing-masing individu mendapatkan pola asuh yang berbeda-beda dari lingkungan yang akan membentuk keperibadian remaja. Gaya hidup disekitar individu akan mempengaruhi individu terutama dalam berpenampilan, individu akan menyesuaikan diri dalam berpenampilan sesuai dengan lingkungan sosialnya (Shorf dan Thomson dalam, Pertiwi). Remaja akan merasa ini adalah tuntutan dari lingkungan sosialnya sehingga individu aka terus-menerus mengkritik dan mengevaluasi penampilan fisiknya secara berulang-ulang maka hal tersebut akan membentuk kepribadian perfeksionis. Di pertegas juga oleh Lewin dan Flet’s (dalam Stairs dkk, 2012) menyatakan perfeksionis merupakan kepribadian yang memiliki karakteristik berjuang dengan standar yang tingi untuk citra tubuhnya, dan akan memberikan evaluasi dan kritik untuk mencapai kesempurnaan dalam berpenampilan. Hal tersebut di tegaskan oleh (Debraganza dan Hausenblas, 2010) remaja dengan perfeksionis tidak hanya terfokus pada kinerja tetapi juga akan memperhatikan hal yang paling melekat pada dirinya yaitu tubuh.

  Menurut Rice (1995), faktor

  • –faktor yang mempengaruhi citra tubuh sebagai
a.

  Standar kecantikan dari setiap budaya Kecantikan didalam masyarakat nilai berbeda-beda antar budaya, salah satu ukuran kecantikan yang diperhatikan masyarakat yaitu mengenai bentuk tubuh Di negara-negara non-Barat, seperti di Afrika, tubuh yang gemuk diinterpretasikan sebagai suatu simbol kematangan seksual, kesuburan, kemakmuran, kekuatan, dan kebijaksanaan (Sheinin, dalam Rice, 1995). Sedangkan untuk Negara berkembang termasuk Indonesia mengukur kecantikan dari keserasian antara berat badan dan tinggi badan.

  b.

  Kontrol Diri Kontrol Diri merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan, mengatur, mengarahkan perilakunya. Kontrol diri yang dimaksud adalah keinginan menurunkan berat badan atau yang sering disebut dengan diet. Keyakinan bahwa dengan kontrol diri mampu memberikan bentuk tubuh yang sempurna, memang pada kenyataanya salah satu bentuk tubuh yang kemungkinan bisa diubah adalah berat badan sehingga berat badan menjadi pusat perhatian dalam usaha-usaha peningkatan diri, cara yang sering digunakan dengan mengatur pola makan atau diet, mengkonsumsi suplemen pelangsing untuk mengurangi nafsu makan, hal tersebut dilakukan karena ketidakpuasan remaja terhadap penampilan fisiknya (Grogan dkk dalam Pratiwi, 2006).

  c.

  Ketidakpuasan terhadap diri sendiri dan kehidupan.

  Ketidakpuasan terhadap citra tubuh sendiri menyebabkan rasa rendah diri, remaja yang merasa tidak puas dengan citra tubuh mereka akan berisiko lebih

  (2001) yang menemukan adanya hubungan antara ketidakpuasan terhadap citra tubuh dengan kecenderungan gangguan makan yang menyebabkan gangguan anorexia nervosa dan bulimia nervosa. Berdasarkan dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa faktor-faktor citra tubuh yaitu, budaya, media sosial, hubungan interpersonal, usia, dan keperibadian. Sedangkan faktor pembanding citra tubuh yaitu standar kecantikan dari setiap budaya, kontrol diri, ketidakpuasan terhadap diri sendiri dan kehidupan. Faktor yang akan peneliti gunakan faktor keperibadian menurut Thomson seperti halnya remaja yang mengalami kelebihan berat badan atau yang sering disebut dengan gemuk secara langsung akan mempengaruhi fisik dan tidak dapat dipungkiri bahwa penampilan dapat mempengaruhi bagaimana individu memandang dirinya. Dipertegas juga Cash dan Purnziky (2002) menyatakan kepribadian seseorang berpengaruh pada pandangannya mengenai citra tubuh yang dimiliki

B. Perfeksionis 1. Pengertian Perfeksionis

  Lewin dan F let’s (dalam stairs dkk, 20I2) menyatakan bahwa kecendrungan perfeksionis merupakan kepribadian yang memiliki karateristik berjuang dengan standar yang tinggi dan berlebihan pada krtikan dan evalutaif.

  Ditambahkan juga oleh Shafran (dalam Maceddo dkk, 20I4) menyatakan bahwa perfeksionis merupakan kecendrungan kepribadian untuk mengevaluasi diri secara berlebihan demi pencapaian diri dengan menerapkan standar yang tinggi.

  Menurut Hamchek (dalam peter, I996) perfeksionis dibagi menjadi dua yaitu perfeksionis normal dan perfeksionis neurotik. Perfeksionis normal merupakan persaan kesenagan atau kenimakmatan yang sangat nyata dari usaha yang sungguh-sungguh. Sedangkan perfeksionis neurotik ketika seseorang tidak mendapatkan kenikmatan maka tidak mersakan kepuasan, dalam pandangan atau penilaian remaja tersebut karena tidak sesuai dengan keinginan remaja tersebut.

  Ditambahkan juga oleh Pachts (dalam Codd,200I) yang menyatakan perfeksionis merupakan sikap seseorang untuk mencapai kesempurnaan yang akan membuat remaja menjadi kacau.

  Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa perfeksionis merupakan sikap yang dimiliki seseorang untuk terus-menrus berjuang dengan menerapkan standar yang tinggi pada krtik dan evaluatif pada diri sendiri yang dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan yang tidak aman atau penolakan dari lingkungan.

2. Pembentukan Kepribadian Perfeksionis

  Keperibadian dengan perfeksionis terbentuk dari lingkungan terutama keluarga, karena keluarga merupakan guru pertama yang memberikan contoh kepada anak sehingga akan terbentuk berbagai macam keperibadian (Stober dalam pertiwi,20I4). Didalam keluarga, individu terbentuk dari budaya yang membentuk kebiasaan melekat pada individu (Triand dan Suh, 2002). Di sisi lain individu akan meniru atau modelling dari pengasuh atau orang tua (Egan percaya diri dan memiliki permasalahan dengan perasaannya (Ellis dan Kellibert dkk, 20I5). Permasalahan tersebut terus-menerus terjadi pada individu sampai menginjak masa remaja dan berkembang ketika berada di lingkungan masyarakat, permasalahan yang terjadi bukan hanya karena perasaan tetapi bisa juga dengan pemikiran individu tersebu (Egan dkk, 20I4). Remaja yang berkembang dilingkungan masyarakat akan memiliki sebuah permasalahan dan remaja akan mengkompensasikan ke hal yang lain agar bisa diterima oleh masyarakat, remaja akan cendrung individual dan mengembangkan diri agar bisa diterima di lingkungan (Triand dan Suh, 2002).

  Remaja tidak hanya ingin diterima lingkungan akan tetapi remaja juga tidak ingin mendapatkan kritik maupun evaluasi dari orang lain atau masyarakat, sehingga cendrung akan menerapkan standar yang tinggi untuk diri sendiri dan orang lain, standar yang tinggi terus-menerus dilakukan tanpa ada rasa puas Kellibert dkk, 20I5).

  Tanpa disadari remaja menerapkan standar yang tidak realistik untuk dirinya sendiri dan orang lain (Anthony dan Swinson dalam Egan dkk, 20I4).

  Remaja sering menekan dirinya sendiri dengan terus menerus, sehingga terbentuk perfeksionis.

3. Aspek-Aspek Perfeksionis

  Stair dkk (20I2), mengemukakan aspek-aspek yang terkandung dalam perfeksionis diantara lain: a.

  Standar yang tinggi

  Remaja dengan perfeksionis akan menerapkan standar yang tinggi untuk diri sendir maupun orang lain, remaja dengan perfeksionis memliki standar yang tidak realistik dan akan sangat sulit untuk bisa dicapai, karena pada dasarnya remaja dengan kepribadian perfeksionis sangat menuntut kesempurnaan (Huelsman dalam Ananda, 2004) b. Keteraturan

  Remaja dengan perfeksionis mengarah pada hal-hal yang tersetrukutur, rapi, terorganisir, mengatur orang-orang disekitar lingkungannya, dalam penataan barang-barang atau benda sangat tersusun rapi, mengerjakan sutau pekerjaan harus detail dan rapi, dalam mengerjakan tugas secara sistematik sesuai dengan aturan.

  c.

  Perfeksionis terhadap orang lain Remaja dengan perfeksionis tidak hanya memberikan aturan pada dirinya sendiri tetapi menarapkan juga kepada orang lain. Menuntut orang lain dalam menyelesikan pekerjaan harus sempurna jika hal tersebut tidak sesuai maka akan menimbulkan kekacuan, kemarahan dan tidak memberi toleransi kepada orang lain. Permintaan dan harapan ke orang lain seringkali membuat individu terkesan sombong dan dominan pada orang lain. Individu tersebut merasa khawatir ketika menyerahkan tugas kepada orang lain karena takut hasilnya tidak sempurna.

  d.

  Reaktvitas terhadap kesalahan Reaktvitas terhadap kesalahan mengarah kepada perilaku-perilaku menyeleseikan pekerjaan. Individu akan sangat teliti dalam memperhatikan kesalahan yang telah diperbuat.

  e.

  Persepsi tekanan dari orang lain Remaja dengan perfeksionis memiliki kepercayaan bahwa orang lain mengharapkan dirinya untuk menjadi yang sempurna, pada aspek ini diasosisikan dengan simpton depresif. Secara kongnitif individu dievaluasi oleh aturan-aturan yang menekan individu tersebut, aturan tersebut sangat penting bagi dirinya sehingga terjadi reaksi psikologis pada individu tersebut dalam berprilaku (Jahromi, 20I2). Individu memiliki kepercayaan bahwa ketika mengalami kegagalan akan mengakibatkan permasalahan interpersonal (seperti kehilangan kepercayaan orang lain, orang lain kehilangan ketertarikan dan membuat orang lain kecewa).

  f.

  Ketidakpuasan Remaja dengan perfeksionis tidak akan pernah merasa puas kalau belum mencapai standar yang sudah ditetapkan, individu akan berpikir keras apa ada yang tidak cukup atau ada yang tidak benar menurut individu tersebut. Sehingga akan berusaha semuanya harus sempurna.

  g.

  Detail dan memeriksa Remaja dengan perfeksionis seringkali di hubungkan dengan self-

  criticsm dan self-scrutiny yang tinggi dan tidak mampu mengatasi kesalahan atau ketidakmampuan dalam diri remaja tersebut.

  h.

  Kepuasan

  Remaja dengan perfeksionis untuk mengalami hal-halyang memuaskan dan positif, apabila mengerjakan atau menyeleseikan suatu hal dengan sempurna tanpa ada kesalahan sedikitpun. i.

  Pikiran hitam dan putih Remaja dengan perfeksionis akan berpikir bahwa sesuatu yang dikerjakan tidak sempurna, maka hal tersebut merupakan sebuah kegagalan dan remaja tersebut merasa bahwa dirinya tidak bisa melakukan hal dengan sempurna.

  Adapun aspek-aspek perfeksionis menurut Hill, dkk (2004) sebagai berikut:

  a.

   Conscientious perfectionism

  Kecendrungan meminta pihak lain agar memiliki standar yang sama, kecendrungan teratur dan sangat rapi, segala sesuatu direncanakan diawal atau membicarakan keptusan sebelum diambil dan akan mengejar hasil yang sempurna dengan standar yang tinggi.

  b.

   Self evaluatif perfectionism

  Remaja dengan kecendrungan perfeksionis mengalami sterss atau kecemasan akibat kesalahan yang dibuat, untuk mendapatkan evaluasi dari orang lain atau sensitif terhadap kritik. Merasa perlu tampil dengan sempurna untuk bisa mendapatkan penerimaan dari lingkungan sekitar, dan cendrung khawatir mengenai kesalahan yang dibuat dimasa lalu dan kesalahan di masa depan. Berdasarkan pemaparan diatas aspek-aspek menurut Hill, dkk (2004)

  Conscientious perfectionism, dan Self evaluatif perfectionism. Aspek yang

  akan digunakan dalam penelitian ini aspek menurut Stair dkk (20I2) sebagai berikut : Standar yang tinggi, keteraturan, perfeksionis terhadap orang lain, reaktifitas terhadap kesalahan, persepsi tekanan dari orang lain, ketidakpuasan, detail dan memeriksa, kepuasan, dan pikiran hitam putih.

  Alasan peneliti memilih aspek menurut Stair dkk (20I2) kerena aspek yang digunakan lebih mudah untuk dipahami.

  C.

  

Hubungan Antara Perfeksionis Dengan Citra Tubuh Pada Remaja

Putri

  Rasooli dan Lavasani (2011) menyatakan perfeksionis merupakan evaluasi dan kritik yang tidak hanya mengenai kinerja dan prestasi, tetapi juga evaluasi dan kritik penampilannya. Hasil evaluasi dan kritik inilah yang membentuk citra tubuh negatif pada remaja putri karena remaja merasa belum memiliki citra tubuh yang sesuai dengan yang diinginkan. Di tegaskan oleh Benfield dan McCabe (2001) citra tubuh dimaknai sebagai evaluasi seseorang yang mencakup perasaan tentang penampilan fisiknya. Hal ini menunjukkan bahwa remaja merasa belum memiliki tubuh ideal yang sesuai dengan yang diinginkan akan menyebabkan remaja putri untuk menerapkan standar yang tinggi untuk dirinya dalam membentuk dan memperbaiki citra tubuhnya dan memunculkan usaha-usaha misalnya, melakukan diet secara tidak sehat, memuntahkan makanan yang sudah dimakan, mengkonsumsi suplemen penurun berat badan, dan melakukan olahraga secara berlebihan dengan tujuan ingin memperbaiki citra tubuhnya.

  Cash (dalam Pertiwi 2002) menyatakan, remaja putri pada umumnya akan mengevaluasi diri mengenai pencapaian yang telah digapai. Hasil evaluasi remaja tersebut akan mengarah ke perilaku negatif apabila hasil evaluasi mengenai citra tubuhnya tidak sesuai dengan yang diinginkan.

  Perilaku negatif inilah yang akan memunculkan usaha-usaha remaja untuk memperbaiki citra tubuhnya. Ketika usaha yang dilakukan remaja tidak sesuai dengan yang diinginkan, remaja menilai ini adalah sebuah kegagalan dan terus-menerus berusaha dengan ketat sehingga membentuk citra tubuh negatif pada remaja putri. Remaja yang perfeksionis akan mengevaluasi dan mengkritik citra tubuhnya dengan membandingkan dirinya dengan orang lain, dan akan menjadikan orang lain sebagai cermin atau patokan dalam dalam memperbaiki dan membentuk citra tubuhnya. Remaja akan mempersepsikan diri dengan memberikan penilaian atas apa yang dipikirkan dan dirasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuh yang dimiliki. Hal ini di pertegas oleh Fisher dkk (2002) menyatakan, remaja akan membandingkan citra tubuhnya dengan orang lain. Didukung dengan kemampuan remaja dalam berpikir secara abstrak dan idealis akan mempermudah remaja dalam menilai dan membandingkan dirinya dengan orang lain. Ditambahkan juga oleh Santrok (2002) yang menyatakan, Seringkali remaja membandingkan diri dengan orang lain terkait dengan citra tubuh ideal yang dimiliki dan hal inilah yang membentuk citra tubuh negatif pada remaja putri.

  Remaja yang perfeksionis tidak hanya membandingkan dirinya dengan orang lain tetapi remaja juga akan menjadikan media massa sebagai patokan dalam memperbaiki dan membentuk citra tubuhnya. Melalui media masa khususnya televisi yang menayangkan iklan-iklan produk kecantikan, perempuan-perempuan dengan penampilan menarik dan tubuh langsing, hal inilah yang menyebabkan remaja untuk menetapkan standar yang tinggi dalam membentuk dan memperbaiki citra tubuhnya. Informasi yang remaja terima akan mendorong persepsi remaja untuk membentuk tubuh yang ideal, karena remaja putri akan merealisasikan bahwa, perempuan dipandang cantik apa bila memiliki bentuk tubuh yang proporsional anatara tinggi badan dan berat badan. Sehingga dengan berbagai macam cara akan dilakukan untuk memperbaiki citra tubuh yang dimiliki remaja tersebut.

  Baik dengan cara instan atau olahraga secara berlebihan, cara-cara yang digunakan itulah yang menyebabkan citra tubuh negatif pada remaja putri, karena menerapkan standar tinggi untuk memperbaiki dan membentuk citra tubuhnya.

  Hipotesis

  Berdasarkan uraian diatas dapat diajukan hipotesis ada hubungan negatif antara perfeksionis dengan citra tubuh pada remaja putri. Semakin tinggi perfeksionis remaja maka akan semakin negatif citra tubuh remaja putri sebaliknya semakin rendah perfeksionis maka akan semakin positif citra tubuh remaja putri.