Meretas Hermeneutika Yang Demokratis Tri

MERETAS HERMENEUTIKA YANG DEMOKRATIS
Ulasan atas buku “Pemikiran Progresif Dalam Kajian al-Qur’an”
karya Dr Nur Kholis Setiawan

Oleh: Tri Wibowo BS •

KETIKA Samuel Huntington menulis tentang “clash of civilization,” benturan antara
Islam vs. Barat, banyak sarjana Muslim menolak tesis itu. Namun, ironisnya, sebagian
kalangan Islam sendiri justru “mengaktualisasikan” tesis itu, terlebih pasca serangan ke
gedung WTC pada 11 September 2001. Sebagian dari umat Islam bahkan menutup pintu
dialog dan lebih mengedepankan “tafsir kebencian” yang tidak dilandasi pada kaidah
akademik yang kuat dan bertanggung jawab. Misalnya, belakangan ini kita dapat dengan
mudah menjumpai tulisan yang bernada antipati dan kebencian, bahkan mengkafirkan,
sesama Muslim, di berbagai media. Setiap orang Islam yang mengemukakan pemikiran
yang mereka anggap tidak sesuai dengan interpretasi mereka sendiri, akan dengan segera
dituduh sesat, atau “antek Barat,” seolah-olah segala hal yang berasal dari, atau
setidaknya berbau, Barat adalah najis yang mesti ditolak. Yang lebih parah, karena
mereka enggan, atau barangkali karena memang tak mampu, berdialog secara sehat,
mereka tak segan menggunakan cara-cara fitnah dan kekerasan yang merendahkan
martabat manusia.
Mereka yang menolak kebebasan berpikir ini barangkali lupa bahwa pemahaman mereka

tentang Islam pada umumnya, dan Al-Qur’an pada khususnya, bukanlah pemahaman
yang absolut kebenarannya. Tentu saja mereka boleh berpendapat, tetapi itu tidak
berarti pendapat mereka adalah yang paling benar. Mengabsolutkan pendapat tentang
Al-Qur’an, dan menolak pendapat yang berbeda, sama artinya dengan menempatkan
pendapat (tafsir/interpretasi) manusia sebagai sesuatu yang sejajar atau identik dengan
wahyu Al-Qur’an itu sendiri – dan ini tentu saja adalah sebuah arogansi atau kepongahan
intelektual yang luar biasa.
Corak keagamaan yang sempit seperti ini – yang oleh Arkoun disebut ortodoksisme yang
selalu menganggap penafsiran orang lain pasti salah, bid’ah atau sesat – berhubungan

erat dengan stagnasi dan kemunduran umat. Islam ortodoks melahirkan dogmatisme
yang bisa dijumpai di banyak bidang epistemologi, seperti tafsir, teologi, dan sebagainya.
Pemikiran bebas dan progresif tidak mungkin lahir dari ortodoksi semacam ini. Oleh
karena itu, sebagian pemikir yang progresif dan “liberal” berusaha merombak struktur
ortodoksisme. Selama sistem ortodoks itu masih berkuasa, umat Islam akan terus berada
dalam atmosfir abad pertengahan yang kurang kondusif bagi kemajuan intelektual dan
peradaban.
Mengingat hal itu, di sinilah salah satu makna penting dari buku karya Dr. Nur Kholis
Setiawan ini, yang membela kebebasan berpikir dan akademik yang belakangan ini agak
meredup sebagai akibat dari tekanan kelompok yang radikal tersebut. Melalui studi kasus

terhadap interpretasi teks al-Qur’an, Dr. Nur Kholis menunjukkan bahwa pemikiran
yang bebas dan progresif sesungguhnya adalah anak kandung peradaban Islam. Beliau
menjelaskan beberapa akar pemikiran progresif secara serius dan memenuhi standar
metodologi keilmuan. Bagi mereka yang tidak atau belum memiliki akses langsung ke
kajian karya-karya tafsir klasik dan kontemporer, buku ini amat membantu sebagai
semacam jembatan penghubung.
Terlepas dari apakah seseorang mendukung atau menolak pemikiran progresif, yang jelas
kajian perkembangan pemikiran Islam pada umumnya, dan kajian ilmu Al-Qur’an pada
khususnya, telah menjadi sesuatu yang penting bagi revitalisasi pemikiran Islam. Salah
satu sumbangan epistemologis para pemikir progresif, termasuk, Dr. Nur Kholis
Setiawan, adalah pandangan “alternatifnya” terhadap tafsir Al-Qur’an yang lebih
“membumi” dan relevan dengan konteks kekinian.
Salah satu problem analisis yang secara khusus amat menarik yang disajikan oleh Dr. Nur
Kholis

adalah

pentingnya

reinterpretasi


atas

teks

Al-Qur’an

dengan

metode

hermeneutika yang mempertimbangkan konteks penafsir dan tata-situasi di mana tafsir
itu diberikan. Penulis memaparkan sejumlah pendekatan metodologis, termasuk
semantik dan semiotika, kritik historis dan hermeneutika. Dalam pendekatan
hermeneutika ini, teks dipandang bukan sebagai sebuah “obyek yang terberi” (given
object), melainkan merupakan salah satu fase dari proses penyampaian pesan atau

komunikasi. Dalam kasus Al-Qur’an, setidaknya ada dua dimensi proses penyampaian:
vertikal dan horisontal. Dimensi vertikal adalah proses komunikasi antara Allah dengan
Nabi Muhammad. Komunikasi vertikal ini membentuk apa yang diistilahkan oleh Nasr

Abu Zayd sebagai diskursus (discourse) yang berupa ayat dan surat. “Diskursus” ini pada
awalnya memiliki tata-urutan tersendiri sebelum akhirnya urutan itu “diubah” ke dalam
bentuk mushaf Al-Qur’an yang disusun pada masa Khalifah Utsman.
Tetapi, jika Al-Qur’an dipahami dalam kerangka “teks” saja, maka secara tersirat ada
konsep “pengarang” – yakni Allah. Hal ini berarti pula bahwa setiap penafsir harus
mencari kerangka dasar yang menghubungkan variasi pemahaman mereka dalam satu
kesatuan, di mana kerangka dasar itu mesti diklaim universal, yakni sebagai klaim
kebenaran abadi. Tetapi ini menyebabkan Al-Qur’an akan diletakkan di bawah ideologi
penafsirnya. Jadi, bagi seorang penafsir yang “horison pengetahuannya” adalah literal
atau fundamentalis, maka Al-Qur’an akan menjadi teks fundamentalis yang kaku; bagi
penafsir yang “horison pengetahuannya” adalah feminis, teks Al-Qur’an akan menjadi
teks feminis.
Karena itu, Abu Zayd melangkah lebih jauh dengan memasukkan analisis atas dimensi
horisontal Al-Qur’an, yakni penyebaran pesan Al-Qur’an oleh Nabi Muhammad kepada
pengikutnya setelah beliau menerima wahyu. Dalam dimensi inilah pemaknaan terhadap
teks suci itu akan dipengaruhi oleh kondisi ruang dan waktu (yakni situasi sosial, politik,
ekonomi, dan sebagainya). Maka, pemaknaan atas Al-Qur’an pasca Nabi selalu lahir dari
dialog antara teks dengan konteks, yakni antara teks literal dengan konteks tata-situasi
dan latar belakang si pemberi makna atau penafsir. Hal ini pada gilirannya menyebabkan
aplikasi dari pesan teks suci selalu didasarkan pada konteks ruang dan waktu di mana

pemaknaan dan penafsiran itu diberikan. Karena ruang dan waktu senantiasa berubah,
maka pesan yang mesti diaplikasikan pada masa penafsiran bukanlah makna literal,
melainkan makna “kontekstual” dari pesan – atau meminjam istilah Gadamer, yang
diaplikasikan adalah meaningful sense dari suatu pesan, yakni substansi dari pesan literal
yang bersifat kontekstual dan fleksibel. Karenanya, menurut Abu Zayd, untuk memahami
dimensi horisontal ini kita perlu menggeser kerangka dari “Al-Qur’an sebagai teks”
menjadi “Al-Qur’an sebagai diskursus (discourse).” Itu berarti bahwa tafsir Al-Qur’an

pada dasarnya adalah hasil dari dialog antara penafsir beserta “horison pengetahuannya”
(latar kultural, sosial, politik, pengetahuan, dan sebagainya) dengan “horison” teks suci
itu sendiri
.
Mempertemukan Dua Horison
Dalam diskursus filsafat, kajian dialog antara teks dengan si penafsir ini akan membawa
kita pada dua kajian yang amat penting: Analisis atas seluk-beluk linguistik/bahasa
dengan segala pernak-perniknya dan, tentu saja, analisis epistemologis. Fakta bahwa AlQur’an diturunkan dalam bentuk “bahasa”, yang dalam hal ini adalah bahasa Arab,
membuat kita semestinya sadar bahwa teks (bahasa) adalah sebentuk “kode” atau
“saluran” yang memperantarai pesan kebenaran tertinggi (wahyu) kepada manusia yang
berada di dunia empiris. Dari sini tampak ada sebentuk “kesenjangan epistemologis”
yang menjadi perhatian para ulama dan tokoh-tokoh pemikiran dan filsafat agama.

Wahyu (Al-Qur’an), yang diklaim sebagai berasal dari Allah Yang Maha Segalanya,
tentunya memuat makna kebenaran yang tiada batas; dengan kata lain, Al-Qur’an
mengandung makna transenden sekaligus imanen. Persoalannya adalah bagaimana akalbudi manusia yang serba terbatas ini bisa memahami makna dari pesan Ilahiah yang tak
terbatas ini? Secara epistemologis, adalah absurd jika kita menggunakan kaidah
epistemologis yang dipakai manusia (yang selalu beresiko memuat kesalahan) untuk
memahami sebuah pesan abadi yang “latar horisonnya” adalah transenden atau ilahiah.
Tetapi itu bukan berarti bahwa kita tidak punya peluang untuk mendapatkan
pemahaman itu. Di sinilah peran bahasa Al-Qur’an sebagai “kode” atau “saluran” yang
membuat kita memiliki akses ke makna di balik teks-teks tersirat. Teks Qur’an, sebagai
sebuah pengetahuan, tentu memiliki bentuk atau struktur tertentu dan juga konteks yang
menjadi “kerangka duniawi” bagi “pesan ilahiah” tersebut. Jadi, bahasa Qur’an dan dunia
(alam dan manusia) dapat dipahami dari segi konstituennya (unsur-unsur penyusunnya)
dan dari segi mikrostrukturnya. Karenanya, struktur bahasa Al-Qur’an, yang paling tidak
dalam aspek lahiriahnya adalah bagian dari “bahasa manusia,” pasti mencerminkan atau
menggambarkan struktur esensial dari dunia. Kalimat adalah representasi dari suatu
keadaan atau pengetahuan tertentu.

Tetapi makna bukan hanya tergantung pada realitas empiris. Objek bukan hanya makna
literal dari pesan atau tanda, tetapi lebih merupakan perluasan dari makna. Seperti
dijelaskan dalam buku ini, ada beberapa kata yang mengacu pada obyek tertentu yang

memiliki makna yang meluas. Misalnya, kata “kuffar,” tidak hanya berarti “menutupi,”
tetapi juga bisa berarti “ingkar” atau “petani.” Dalam hal ini bahasa memiliki banyak
fungsi. Kata adalah seperti perangkat atau alat yang kita gunakan untuk berbagai tujuan
yang berbeda dalam beragam konteks yang berlainan. Bahasa bukan sekedar untuk
merepresentasikan atau mendeskripsikan, tetapi juga untuk memberi perintah,
mengajukan pertanyaan, mengejek, memuji, dan sebagainya. Jadi, makna suatu kata akan
tergantung pada konteks penggunaannya, konteks tujuan dari penggunaannya, dan
konteks dari si pengguna kata itu. Jadi pemahaman kita atas makna teks wahyu tidak bisa
dilepaskan dari aktivitas dan perilaku penafsir atau pengguna bahasa itu sendiri, yang
mencerminkan dan menjelaskan apa-apa yang dipahaminya. Kemudian, karena individu
yang menafsirkan makna (atau memahami) teks dalam kenyataannya berada dalam
konteks ruang dan waktu tertentu, maka sejarah tafsir, jika dilihat secara keseluruhan,
adalah sebentuk “produk sosial-budaya” (Al-muntaj ats-staqafi).
Berdasarkan konsep al-muntaj ats-tsaqafi ini dapat dikatakan bahwa makna hanya dapat
dicerap atau diinterpretasikan dan direinterpretasikan dalam situasi tertentu. Itu berarti
bahwa tafsir seseorang atas suatu teks, dalam dirinya sendiri, tidak mengandung
“struktur” objektif. Kemampuan seseorang dalam menafsirkan jelas dipengaruhi oleh
“horison” yang dibawanya, yang berarti selalu ada unsur subyektivitas yang mungkin
lolos dari jaring objektivitas. Dalam bahasa yang lebih teknis, sebuah tanda boleh jadi
menunjukkan sesuatu yang berbeda dari yang mungkin dipahami oleh si penafsir. Atau,

boleh dikatakan bahwa apa yang dipahami oleh si penafsir belum tentu sama dan
sebangun dengan pemahaman dari si “Pengarang” teks wahyu. Jadinya, ada jejaring
asosiasi (penisbahan) tanda (teks) pada suatu makna yang berasal dari berbagai konteks
periode dan lokasi geografis yang sampai kini masih terus “beredar” dan sebagian
menyelinap dalam bangunan tafsir yang berbeda-beda. Itu berarti bahwa apa yang
dipahami oleh si penafsir pada masa tertentu hanya dapat diinterpretasikan secara relatif
akurat oleh orang itu sendiri pada waktu tertentu itu. Namun interpretasi tafsir atau

pemahaman ini tidak bisa diklaim sebagai satu-satunya tafsir yang paling otoritatif dan
karenanya tidak ada tafsir yang paling obyektif atau paling benar secara ontologis.
“Lenyapnya” makna obyektif mempengaruhi setiap konsep yang kita pahami dan juga
berpengaruh signifikan terhadap konsep kita tentang teks dan tentang makna
religiusitas. Lapisan-lapisan subyektivitas yang melarutkan obyektivitas ini tentu saja
adalah sebuah keniscayaan historis. Jadinya, sejarah tafsir dan interpretasi atas Al-Qur’an
adalah sejarah dialog pemikiran dan pengkajian, baik pada level filosofis maupun praktis.
Tetapi sejarah tafsir dan pemikiran dalam Islam itu sendiri tidak selalu berjalan mulus
dan lancar. Seperti digambarkan oleh Dr. Nur Kholis dalam buku ini, ada masa-masa di
mana terjadi benturan-benturan pemikiran, dan bahkan sampai kasus kekerasan atas
nama tafsir. Namun benturan itu tidak selamanya bersifat negatif. Dapat dikatakan
bahwa dalam sejarah pemikiran Islam terdapat diskontinuitas radikal yang membuat arus

gagasan lama menjadi tak bisa dipertahankan. Tafsir-tafsir awal, terutama selama
Rasulullah masih hidup, lebih banyak didasarkan pada asumsi dan keyakinan yang relatif
homogen. Namun dalam perkembangannya, heterogenitas pun terjadi lantaran
pertemuan umat Islam dengan kebudayaan-kebudayaan di luar Islam yang telah
berkembang sejak lama, seperti Persia, Yunani hingga ke India dan Indonesia. Namun
karena kecepatan perubahan konteks sosial dan budaya, terutama sejak awal abad 19,
sulit diimbangi dengan pengkajian akademik yang memadai, maka ada masa-masa ketika
tafsir-tafsir klasik dianggap kurang relevan dengan situasi terbaru. Namun, untungnya,
pada titik di mana khazanah tafsir lama belum mencakup problem kontemporer, dan
karena ada kebuntuan kajian intelektual, muncullah semacam revolusi intelektual dalam
dunia tafsir yang berakar pada situasi riil di dalam kerangka sosial, politik, ekonomi dan
kebudayaan. Terjadi semacam pergeseran “paradigma” tafsir yang cukup signifikan
setelah kaidah ilmiah dan sains berkembang demikian pesatnya, seperti yang akan
dipaparkan dalam buku ini.
Demikianlah, fakta-fakta historis dan berbagai gagasan tafsir dan pemikiran tentang AlQur’an yang dipaparkan dengan apik oleh Dr Nur Kholis dalam buku ini dengan jelas
menunjukkan perkembangan dan kekayaan pemikiran Islam yang terus maju dan
dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Para ahli tafsir sejak masa Islam klasik

hingga kontemporer telah menyuguhkan tafsir atau hermeneutika yang demokratis dan
terbuka untuk dikritisi dan diperdebatkan secara intelektual dan akademik.

Bersikap demokratis dan terbuka dalam memahami teks suci adalah keniscayaan, sebab
ini berhubungan dengan makna hidup kita sebagai umat Islam. Meminjam ungkapan
Abu Zayd (2006), “Jika kita serius ingin membebaskan pemikiran religius dari
manipulasi kekuasaan, entah itu kekuasaan politik, sosial, ekonomi atau kepentingan
pribadi lainnya, maka kita perlu menyusun hermeneutika yang demokratis.” Lantas
mengapa mesti “demokratis”? Sebab, dalam atmosfir yang demokratis sajalah ada
kemungkinan

untuk

berdialog,

bertukar

mengungkap kesalahan dan mengoreksinya.

pengetahuan

dan


pengalaman,

serta