Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembentukan Identitas Kota Solo oleh Pemerintah Kota Solo T1 362008005 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sebagai proses yang dinamis, identitas tidak dapat dilepaskan dari sejarah atas
identitas itu sendiri. Identitas kekinian merupakan cerminan sejarah. Berangkat dari aspek
identitas ini peneliti mencoba untuk mengkaji bagaimana identitas kejawaan masyarakat kota
Solo dilihat sebagai salah satu strategi city branding oleh pemerintah kota Solo. Dalam
sebuah perkembangan peradaban, kebudayaan dalam suatu masyarakat selalu memiliki
beberapa karakter untuk melihat ciri khas serta nilai lebih yang dilihat dari sebuah
masyarakat. Di kota Solo, pemerintah kota mencoba melihat beberapa karakter yang menjadi
ciri khas dari kota Solo. Mulai dari “Solo the Spirit of Java”, “Solo Kota Budaya”, hingga
“Solo City of Batik”. Semua slogan ini merupakan sebuah upaya Pemerintah Kota untuk
melakukan strategi Branding. Semua ini dimaksudkan supaya Solo memiliki nilai jual kepada
Dunia dengan memiliki beberapa karakter kota Solo yang ditonjolkan.
(Castells 2002:89) merumuskan tiga bentuk bangunan / konstruksi identitas
berdasarkan bentuk dan asal-usulnya yaitu, legitimizing identity (identitas yang sahih),
resistance identity (identitas perlawanan), dan project identity. Dalam proses pembentukan

identitas Solo Kota Festival dalam strategi city branding yang dilakukan oleh pemerintah
kota Solo, dalam bentuk legitimizing identity yaitu, menggambarkan identitas Solo Kota
Festival dan usaha pelestarian yang dilakukan oleh pemerintah kota Solo melalui stategi city

branding.

Dalam konteks Sosial Budaya, Solo dikenal sebagai kota budaya, karena merupakan
pusat kebudayaan jawa yang sarat dengan nilai-nilai sosial yang melatar belakangi berbagai
perilaku dan sikap dalam aktualisasi kehidupan masyarakat sebagai potensi dan modal dalam
pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang memiliki pengaruh luas dalam
tatanan pergaulan secara nasional. Solo sendiri, bukanlah definisi yang selesai. Bahkan juga
dalam kepentingan geografis sekali pun. Ia bisa berarti “hanya” seluas pemerintah kota
Surakarta, atau berikut kabupaten-kabupaten yang mengitari, atau bahkan lebih luas dari itu
semua, yaitu Jawa. Jika di kaitkan dengan budaya maka akan menjadi lebih menarik.
Hubungan warga Solo antara satu dengan yang lain sangatlah akrab, dan sangat memiliki
ikatan nostalgis, terutama apabila warganya sedang berada di perantauan. Istilah “kapan

pulang ke Solo?” pun seolah menegaskan bahwa sekalipun dengan pergantian kartu tanda
penduduk dan waktu yang telah menahun pun tak membuatnya menjadi bukan “wong solo”
lagi. Hal ini ternyata bisa dikatakan menjadi salah satu ciri sikap masyarakat Solo.
(Arswendo Atmowiloto , 2008: 15)
Dalam perkembangannya, Pemerintah Kota Surakarta mulai menyadari akan
pentingnya sebuah nilai nilai kebudayaan yang merupakan identitas bagi masyarakat
Surakarta. Oleh sebab itu Pemerintah Kota Surakarta melakukan upaya-upaya untuk

membangun kembali nilai nilai yang seharusnya menjadi dasar atau landasan bagi sebuah
masyarakat yang sadar budaya, sesuai dengan slogan yang Pemerintah Kota Surakarta selalu
ungkapkan: “Solo Kota Budaya”. Dalam suatu masyarakat diperlukan sebuah identitas yang
menunjukkan jati diri serta kepribadian suatu masyarakat. Identitas berarti membuat sesuatu
menjadi identik atau sama; mengakui keberadaan sesuatu yang dilihat, diketahui,
digambarkan; menghubungkan atau membuat sesuatu menjadi lebih dekat. (Allo Liliweri,
2007: 69)
Konsep komunikasi yang di masyarakat luar negeri dicoba dengan susah payah,
konsep to whom I must speak today, kepada siapa saya berbicara hari ini, ternyata sudah
menjadi bagian dalam kehidupan keseharian. ( Kitab Solo, 2008: 19) Konsep ini Pemerintah
Kota Solo mencoba untuk menerapkannya dalam berkomunikasi dan berdiskusi mengenai
perkembangan baik infrastruktur kota Solo serta kehidupan sosial di masyarakat. Ketika
Pemerintah Kota Solo mencetuskan pemikiran untuk menjadikan Solo sebagai Kota Budaya,
Pemerintah pun melakukan upaya-upaya untuk mengkomunikasikan sebuah gagasan “Solo
Kota Budaya”.
Selama di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi), Kota Solo mengalami
perubahan pesat. Berbagai sarana dan prasarana kebutuhan kota dibangun mulai city walk,
pusat jajanan kuliner malam Gladak Langen Boga (Galabo), taman kota, apartemen, mal,
serta penyediaan moda transportasi massal (Bus Batik Solo Trans dan railbus) dan bus tingkat
pariwisata. Secara tidak langsung, Kota Solo sedang berproses menjadi kota metropolis.

Maraknya fasilitas atau infrastruktur kosmopolitan sebagai penanda kota metropolis
berpengaruh terhadap citra identitas yang diinginkan bersama. Cepat atau lambat hal ini
melahirkan branding baru. Solo Kota Budaya, Solo Kota Vokasi, Kota Bunga, dan bahkan
kota ramah bagi yang orang cacat akan tenggelam oleh dahsyatnya bangunan kosmopolitan.
Keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa akan tenggelam bersamaan munculnya bangunan

metropolis. Dampak ini akan menyatu dengan alam pikiran bawah sadar masyarakat Solo.
(Suara Merdeka, 26/2/2011)
Kalangan seniman dan budayawan di Solo mengkritik bahwa aspek kultural kini
makin pudar. Kesan keramahan fasilitas umum juga makin berkurang karena pembatasan tata
ruang yang menjadikan kotanya kaku. Bahkan, doktor sosiologi dari UNS, Mahendra Wijaya,
mengatakan kalangan muda di Solo saat ini mengalami gegar budaya. Indikatornya makin
sedikit anak muda yang mengenal dan nguri-uri budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari
(Solopos, 17/02/11)
Upaya pemerintah dalam konteks pelesatrian budaya disalurkan lewat festival-festival
seni budaya yang diselenggarakan di Kota Solo. Pemerintah ingin menunjukkan identitas
kota Solo sebagai Kota Festival. Tetapi bila di tinjau lebih dalam lagi, jika hal itu hanya
bertujuan komersil tanpa adanya usaha pelestarian maka upaya ini hanya akan menjadi
komoditi pariwisata. Ada ranah ekonomi di balik upaya pemerintah. Sebagai generasi muda
yang lebih peka dan kritis kita harus dapat menjaga seluruh aktivitas budaya yang dilakukan

oleh seluruh masyarakat, demi terwujudnya cita-cita bersama untuk dapat menjadikan kota
Solo sebagai salah satu kota tujuan pariwisata dengan menonjolkan festival-festival seni
budaya sebagai daya tariknya. Festival-fstival seni budaya ini tentunya membuka ruang
adanya transkulturasi budaya karena kesenian yang ditampilkan ditiap event merupakan
kesenian secara global, tak hanya kesenian nasional akan tetapi juga kesenian yang bersifat
internasional.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana strategi Pemkot Solo dalam pembentukan city branding sebagai Kota
Festival ?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui strategi Pemkot Solo dalam pembentukan city branding sebagai
Kota Festival.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis:

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas kajian ilmu komunikasi mengenai
teori identity formation jika dikaji melalui ilmu komunikasi serta city branding
sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi.
Manfaat Praktis:
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah kota Solo

untuk dapat meningkatkan pembangunan kota Solo dengan branding solo kota
budaya.