Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembentukan Identitas Kota Solo oleh Pemerintah Kota Solo T1 362008005 BAB V

BAB V
ANALISA
5.1. Solo Kota Budaya Jawa (Closing Identity)
Jika dilihat pada garis tertutup, kota Solo diidentikkan dengan Kota Budaya (Jawa),
dalam arti masyarakat Solo yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa mencoba
menjaga serta membentengi diri dari pengaruh budaya luar. Hal ini tetap dilakukan untuk
menjaga nilai-nilai budaya lokal tetap ada ditengah masyarakat Solo sekalipun kota Solo
dimasuki oleh berbagai budaya yang tidak hanya dari Indonesia saja akan tetapi juga budaya
internasional.
Kota Solo yang kini dikenal sebagai “Kota Budaya dikarenakan kota Solo sejak dulu
sudah dikenal karenak budayanya. Berbagai situs peninggalan sejarah mulai dari Keraton
Kasunanan Surakarta, Museum Radya Pustaka, Istana Mangkunegaran menjadi bukti
hubungan yang begitu erat antara kota ini dengan kebudayaan.
Kota Solo merupakan sebuah kota yang multi citra. Jika kita mendengar kata “Solo”
maka yang terlintas ada bermacam-macam hal di pikiran kita. Mulai dari batik, Sungai
Bengawan Solo, keraton, festival, kuliner-kulinernya, bahkan budaya yang lekat dengan
kehidupan masyarakat Solo itu sendiri dengan ditandainya adanya beberapa institusi
pendidikan kesenian baik itu yang formal maupun yang non-formal seperti sanggar-sanggar
yang dapat kita jumpai di Solo. Penguatan nuansa etnik kebudayaan, baik itu budaya
kontemporer maupun tradisi, dapat digunakan sebagai upaya untuk menjadikan masyarakat
Solo yang sadar terhadap budaya, dengan keberadaan beragam karya seni budaya yang

berinduk atau berbasiskan identitas kebudayaan lokal (budaya Jawa) sebagai ciri khas
identitas kota Solo.
Identitas kota Solo sebagai Kota Budaya diperkuat dengan menonjolkan salah satu
unsur kebudayaan, yaitu kesenian sebagai landasan untuk menjadikan Solo Kota Festival.
Agar hal ini dapat terlaksana Pemkot Solo telah melaksanakan berbagai festival-festival seni
budaya yang besar. Bahkan hampir disetiap eventnya Pemkot Solo selalu melibatkan dan
mengundang delegasi asing untuk terlibat dan ikut ambil bagian. Hal ini dilakukan agar
masyarakat internasional pun mengakui Solo sebagai Kota Festival dan hal ini dapat
menguntungkan karena dapat menjadi salah satu nilai „jual‟ kota Solo dalam bidang
pariwisata.

Pemkot Solo sedang berusaha mengenalkan kembali kebudayaan jawa seperti
wayang, gamelan kepada nasional bahkan internasional dan mengenalkan kembali kepada
anak-anak tentang permainan daerah yang dulu dimainkan, yang sekarang mulai tidak dikenal
oleh anak-anak karena pengaruh permainan elektronik yang sekarang mulai menjamur
dikalangan masyarakat. Dalam segi kebudayaan, anak-anak sekolah mempunyai komunitas
“kemah budaya” dalam komunitas ini terdiri sekitar 300 anak. Dalam hal ini dinas pariwisata
kota Surakarta mengadakan kegiatan “Dolanan Bocah”. Hal tersebut diimplementasikan
dengan wayang orang yang di selenggarakan di Sriwedari, acara ini digelar setiap sabtu siang
dan diikuti oleh para siswa-siswi SMA dan SMP.

5.2. Solo Kota Festival Seni Budaya (Opening Identity)
Dalam perjalanan waktu, kota Solo mengalami perkembangan di berbagai bidang,
termasuk kebudayan. Kebudayaan tumbuh sangat subur dan mengakar sangat kuat di Solo, di
antaranya bahasa, religi, transportasi, seni, festival, dan perayaan. Hal ini sangat disadari oleh
Pemkot Solo yang juga memiliki cita-cita untuk menjadikan kota Solo identik dengan
festival-festival seni budaya. Orientasi Pemkot Solo untuk mengkukuhkan identitas Kota
Festival Seni Budaya bagi kotanya sangatlah rasional jika dilihat dari bagaimana Pemkot
Solo mengadakan event-event kebudayaan dengan intensitas kegiatan yang cukup tinggi pada
beberapa tahun belakangan ini. Hal ini sangat bisa dilakukan karena pada dasarnya Kota Solo
merupakan salah satu pilar peradaban di Indonesia. Dengan upaya pencitraan yang dilakukan
Pemkot Solo dari sisi budaya tentu merupakan pilihan yang sangat tepat untuk dapat
mengangkat citra kota. Karena ketika kompetisi antar kota terjadi, maka setiap kota berupaya
mencari keunikan-keunikan identitas yang membuat berbeda dengan kota-kota yang lainnya
yang hampir memiliki keunikan yang sama.
Pemkot Solo bersama-sama dengan masyarakat terutama generasi muda bangkit dari
krisis

identitas

dengan


berbagai

upaya-upaya,

dimulai

dengan

mengenalkan,

mensosialisasikan membiasakan kemudian diharapkan mencintai kebudayaan. Melalui aneka
kegiatan yang dapat meningkatkan minat masyarakat luas dan generasi muda untuk lebih
mengenal kebudayaan. Seperti festival kesenian, wisata budaya, parade kesenian, pameran,
konser budaya, dan kegiatan lainnya yang tidak hanya bertaraf nasional tetapi internasional
sebagai upaya Pemkot Solo untuk melakukan city branding “Solo Kota Festival Seni
Budaya”.

Jika harus bersaing dari segi ekononi menjadi kurang efisien, dikarenakan ekonomi
dapat terpengaruh oleh beberapa faktor dengan sangat mudah. Akan tetapi bila sebuah kota

bersaing dari segi keunikan budaya yang dimiliki oleh masing-masing kota itu akan menjadi
sangat menarik. Di kota Solo, budaya merupakan sebuah hal yang sangat mendominasi dari
keseluruhan sumber daya yang dimiliki oleh Kota Solo. Hal ini menjadi sebuah keunggulan
untuk dapat bersaing dengan kota-kota lain yang telah terlebih dahulu menemukan identitas
dari kotanya.
Kota Solo memiliki acara festival dan perayaan tradisional berbasis kerakyatan yang
diadakan setiap setahun sekali. Oleh sebab itu, kota Solo memiliki banyak tempat wisata
yang menampilkan kebudayaan lokal, seperti taman seni Balekambang, Taman Budaya
Sriwedari, dan masih banyak lagi. Kesenian tradisional lokal yang sering ditampilkan adalah
Tari Srimpi dan Tari Bedhaya yang diadakan setahun sekali di Keraton Kasunanan dan
Kraton Mangkunegaran, wayang orang yang sering digelar di Taman Sriwedari, Alat musik
tradisional yaitu gamelan yang masih sering kita dengar terutama ketika ada sebuah
pertunjukan sendratari, tembang Jawa, pertunjukan wayang orang maupun wayang kulit,
upacara adat malam satu suro, termasuk dalam pernikahan, batik Solo yang tak hanya
menjadi produk budaya akan tetapi telah menjadi produk ekonomi yang bernilai sangat tinggi
sehingga munculah kampung batik seperti di Kampung Batik Laweyan, dan Kampung Batik
Kauman.
Berbagai event festival seni budaya yang dikonsep secara apik dan digelar sesuai
dengan kebudayaan lokal Solo. Seperti World Heritage City (WHC), yang konsen pada
warisan budaya dunia termasuk Solo, Solo International Contemporary Ethnic Music (SIEM),

yang menyajikan musik tradisi etnik, Solo International Performing Art (SIPA), yang
menampilkan berbagai seni tari hingga seni theater dan Solo Batik Carnival (SBC) yang
fokus pada seni batik sebagai ikon kota Solo dan Indonesia melalui karnaval batiknya.
Promosi ke luar negri memang dapat dijadikan kekuatan untuk mempertahankan kebudayaan
lokal dan memanfaatkan kepedulian tinggi masyarakat Indonesia. Aan tetapi dalam hal ini
identitas Solo sebagai Kota Festival Budaya ini hanya dalam tingkat tontonan, dan belum
mencapai tingkat tuntunan dan tatanan. Maksudnya adalah ketika peneliti melakukan
penelitian menemukan bahwa diakui oleh Pemkot pada saat ini semua unsur kebudayaan
yang dikemukakan oleh Pemkot Solo hanya mencangkup tontonan yang diupayakan untuk
mendatangkan banyak wisatawan yang menghasilkan pemasukan bagi masyarakat Solo serta
bagi Pemkot Solo itu sendiri.

5.3. City Branding Solo sebagai Kota Budaya Jawa dan Kota Festival Seni Budaya
Branding adalah upaya untuk membangun merk. Merk atau brand bukan hanya
sebuah rangkaian kata atau gambar yang ditempel pada produk ataupun jasa tanpa sebuah
makna mengikutinya. Logo, tagline, simbol, apapun nama dan bentuknya merupakan bagian
dari merk atau brand untuk membedakan satu produk atau jasa dengan yang lain. Brand atau
merk secara tradisional dapat diartikan sebagai nama, terminologi, logo, simbol atau desain
yang dibuat untuk menandai atau mengidentifikasi produk yang ditawarkan kepada
konsumen Kartajaya, (2006:184). Sedangkan menurut Arnold, (2006:5) branding adalah

proses mendesain, merencanakan dan mengkomunikasikan nama dan identitas dengan tujuan
untuk membangun atau mengelola reputasi.
Tindakan-tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu tempat atau wilayah pada
saat ini maupun nanti, termasuk cara promosinya, pariwisatanya, cara mereka bersikap dalam
lingkup domestik maupun asing, cara mereka merepresentasikan budayanya, atau
membangun lingkungan alamnya serta bagaimana mereka ditampilkan dalam media dunia
memberikan perbedaan yang sangat besar pada kemampuan suatu wilayah dalam scope
internal maupun eksternal. Mihalizt Kavaratzist, (2004:58)
Suatu tempat atau wilayah dapat memunculkan keunikannya dan dapat tampil berbeda
dengan para kompetitornya, tidak hanya dalam slogan atau taglinenya saja, yang kini
terkesan me too product, namun dalam kemampuannya menawarkan sesuatu yang unik dan
berbeda dan mengkristalisasi sebagai identitas yang kuat dalam persepsi customer. Merk
merupakan value indicator yang mencerminkan seberapa kokoh dan solidnya sebuah value
yang ditawarkan.
Citra kota memiliki kekuatan dalam membentuk merek untuk sebuah kota,
mempengaruhi bahkan membentuk kota itu sendiri. Dan merek yang melekat pada kota
sangat bergantung pada identitas kota. Setiap kota akan memiliki identitasnya, kota memiliki
emosinya sendiri-sendiri, sebuah dialektis antara masyarakat dan fisik kotanya. Ini seperti
halnya sebuah mata uang dengan dua sisinya, bahwa pembangunan fisik sebuah kota tidak
terlepas dari masyarakat dan budaya yang dimiliki. Membangun fisik (city) pada dasarnya

adalah membangun roh dan jiwa masyarakatnya. Kota yang berhasil membangun identitas
yang kuat tidak hanya dari segi fisik tetapi juga kehidupan sosial masyarakatnya.

Identitas bukanlah sesuatu yang tanpa adanya sebuah batasan. Dengan batasan ini,
seseorang akan sadar akan identitasnya. Identitas sebuah kota memiliki batasan antara satu
dengan yang lainnya. Ada keterikatan dan keterikatan sosial, sehingga muncul apa yang
disebut sebagai home atau rumah.
Pengelolaan merk sebuah tempat tujuan merupakan rangkaian upaya-upaya
pembentukan identitas merk (brand identity) yang kemudian dilanjutkan dengan upaya
memposisikan merk (brand positioning) dalam benak pendatang / wisatawan (customer)
sebelum akhirnya terbentuk menjadi citra merk (brand image) sebuah tempat/kota. Kaitannya
dengan penggunaan merk dalam mempromosikan sebuah kota memiliki beberapa
keuntungan. Yang pertama, kota dapat memiliki sebuah Hak Cipta yang dapat menjadikan
hal tersebut menjadikan ciri khas yang dapat mengingatkan di benak para wisatawan
(customer). Apabila Pemkot Solo menciptakan identitas “Solo Kota Festival Seni Budaya”
dan “Solo Kota Budaya” maka hal ini dapat menjadi keuntungan besar. Seperti yang telah di
tulis, keuntungan ini berupa masyarakat luas baik nasional maupun international mengenal
kota Solo sebagai kota tempat tujuan wisata budaya. Budaya yang disuguhkan di sini bukan
saja hanya dengan kebudayaan kearifan lokal yaitu budaya jawa, akan tetapi juga kebudayaan
secara global. Hal ini ditujukan dengan cita cita “Solo Kota Festival Seni Budaya” dengan

arti kota Solo dijadikan pusat Festival Seni dan kebudayaan dunia. Serta “Solo Kota Budaya”
yang menjadi local identity bagi masyarakat Solo, untuk menjaga kebudayaan asli leluhur
sehingga tidak terdesak oleh budaya-budaya luar yang masuk melalui festival-festival seni
budaya yang ditampilkan dengan mengundang banyak budayawan dan seniman nasional
bahkan internasional.
Tempat dimana kota Solo dapat menjadi tempat berkumpulnya kebudayaan
kebudayaan yang dapat melebur secara harmonis dan dijaga bersama-sama demi lestarinya
budaya-budaya di dunia. Hal ini tentunya harus tetap sesuai dengan nilai-nilai identitas
kebudayaan lokal yaitu Budaya Jawa sebagai pusatnya. Yang kedua adalah, kota juga dapat
menjadi sebuah simbol kualitas yang dapat menyakinkan pengunjung, kualitas yang dapat
merepresentasikan kepribadian pengunjungnya yang ditunjukkan melalui tampilan-tampilan
yang disampaikan oleh merk sebuah kota.
Kota Solo yang hendak dibangun, menunjukkan bahwa pola pikir marketing
merupakan landasan yang melatar belakangi upaya membangun identitas Solo. Solo perlu
memiliki mapping survey, competitive analysis, cetak biru dan implementation

yang

menunjukkan identitasnya. sehingga dapat membuat perbedaan atau deferensiasi dengan


kota-kota lainnya dan dapat “dipasarkan” kepada investor maupun wisatawan. Hal ini
tentunya dapat menjadi pemasukan yang sangat besar bagi kota Solo terutama bagi Dinas
Pariwisata dan DEPKOINFO yang bertanggung jawab dengan proses city branding kota Solo
ini.
Yang hendak dikomunikasikan oleh Pemkot Solo saat ini adalah bagaimana Pemkot
Solo memiliki harapan untuk menjadikan kota Solo menjadi Kota Festival Seni Budaya
sekaligus menajadi Kota Budaya Jawa. Kota pusat diadakannya festival-festival seni budayabudaya secara global. Tidak hanya festival kesenian nasional Indonesia tetapi juga kesenian
dunia. Tetapi juga bagaimana Pemkot Solo tetap mempertahankan Budaya Jawa sebagai
identitas utama (tertutup) bagi masyarakat Solo. Untuk mewujudkan harapan Pemkot Solo,
pemerintah menggunakan strategi komunikasi yang disebut city branding.
Tujuan dari city branding ini sendiri adalah (1) memberikan kesadaran untuk
masyarakat terhadap nilai-nilai identitas budaya (Jawa) yang dimiliki oleh masyarakat Solo
itu sendiri. (2) menjadikan generasi muda kota Solo menjadi generasi muda yang kreatif
dengan mengikutsertakan mereka dalam setiap event kebudayaan yang diselenggarakan. (3)
menjadikan Solo sebagai kota tujuan wisata budaya serta kota pusat kebudayaan dunia,
melalui Festival-Festival Seni Budaya yang bertaraf internasional. (4) dengan menjadikan
kota Solo sebagai kota tujuan wisata budaya, maka Pemkot terutama Dinas Pariwisata
berharap akan banyaknya pendatang / wisatawan yang datang ke Solo yang tentunya akan
meningkatkan pendapatan masyarakat Solo dari berbagai sektor ekonomi. Sasaran dari city
branding ini tentunya adalah masyarakat Solo terutama generasi mudanya dan wisatawan

baik dari wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Para delegasi asing yang diundang dalam
tiap event international tentunya memiliki pengaruh yang sangat tinggi dalam membantu
Pemkot Solo dalam mengkomunikasikan tujuan serta gagasan untuk menjadikan kota Solo
sebagai kota budaya dan menjadi pusat kebudayaan dunia. Para delegasi asing ini mampu
menyampaikan pesan ini kepada paling tidak negaranya mengenai kota Solo yang menjadi
salah satu kota tujuan wisata budaya.
City branding dilakukan dengan berbagai event kebudayaan. Event-event ini tidak
hanya budaya lokal (budaya Jawa) saja yang yang ditampilkan di setiap eventnya, akan tetapi
juga budaya-budaya nasional Indonesia bahkan budaya-budaya dari seluruh dunia.
Identifikasi budaya yang ingin ditekankan oleh Pemkot Solo adalah Solo sebagai Kota
Festival Seni Budaya.

Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber pendapatan daerah terbesar dari
sebuah kota / kabupaten. Sebuah kota dituntut untuk lebih mandiri terlebih dalam
pengelolaan keuangan untuk operational pemerintahan dan teknis dengan cara mengolah
berbagai potensi dari kota tersebut. Oleh karena itu, kepekaan pemerintahan kota dalam
melihat serta menggali setiap kesempatan dan sumber pendapatan sangatlah penting. Kota
Solo merupakan salah satu kota yang pemerintahan kotanya penulis nilai cukup jeli dan
cermat dalam memanfaatkan potensi daerahnya yaitu dari segi nilai-nilai budaya yang
dikandung di kota Solo. Nilai-nilai budaya yang cukup kuat ini diolah dan digali terusmenerus sehingga menghasilkan sebuah slogan atau tagline “Solo Kota Budaya”. Harapan

Pemkot Solo sendiri yaitu dengan menjadikan Solo identik dengan unsur-unsur budaya yang
kuat dan pada akhirnya dapat menjadikan kota Solo sebagai Kota Festival seni Budaya dan
menajdi salah satu kota tujuan wisata budaya.
Pemerintah kota Solo bukan saja melihat budaya sebagai suatu kebiasaan dalam
sebuah masyarakat yang dilakukan terus-menerus dan konsisten. Lebih dari itu, budaya
dilihat dapat menjadi sebuah kekuatan yang menghasilkan. Kota Solo merupakan salah satu
dari banyak kota di Indonesia yang memiliki akar budaya yang kuat. Hal ini tidak terlepas
dari latar belakang sejarah kekuasaan kerajaan Mataram yang sangat kuat. Melalui kekuatan
kantong-kantong budaya yang telah ada dan cukup kuat di masyarakat Solo sendiri, Solo
bertransformasi menjadi sebuah kota dengan sektor pariwisata berbasis budaya yang cukup
dikenal bahkan disegani.
City Branding yang dilakukan oleh Pemkot Solo juga tercantum dalam PERATURAN
DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2010

TENTANG

RENCANA

PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2005 –
2025 dengan beberapa poin yang menunjukkan bagaimana Pemkot Solo serius dalam
melaksanakan program city branding yaitu, RPJMD II (Tahun 2010 – 2014) 4.3.2.1.
Mewujudkan sumber daya manusia yang ber-kualitas Butir ke (8). Peningkatan
penyelenggaraan pendidikan budi pekerti dalam rangka pembinaan akhlak mulia termasuk
etika dan estetika sejak dini di kalangan peserta didik, dan pengembangan wawasan budaya
serta lingkungan hidup; (13) Peningkatan pelaksanaan pembinaan generasi muda dalam
mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi, minat dan bakat untuk mencapai prestasi
di bidang sosial budaya dan olah raga; (22) Peningkatan pembinaan sanggar-sanggar seni dan
paguyuban kebudayaan tradisional, baik pada tingkatan anak-anak, remaja maupun dewasa;
(23) Peningkatan fasilitasi dan kerjasama pengembangan keragaman budaya daerah, agar

dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tradisi daerah. 4.3.2.7. Mewujudkan kualitas
dan kuantitas sarana dan prasarana perkotaan Butir ke (4) Peningkatan jumlah dan kualitas
sarana prasarana komunikasi dan informatika dalam rangka meningkatkan kelancaran kegiatan
sosial, seni budaya dan ekonomi masyarakat; (6) Peningkatan sarana prasarana penanggulangan
dan antisipasi terhadap bencana yang mengancam tata kehidupan sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat.

5.4 Faktor-faktor Pembentuk Identitas :
5.4.1 Faktor patronase yang kuat dari pusat
Melalui legitimasi secara formal untuk meyakinkan masyarakat

mengenai

identitasnya agar tidak terjadi kekeliruan. Akan tetapi sebelum mendapatkan sebuah
pengakuan / legitimasi, sebuah kelompok msyarakat harus melihat atau menilik
kembali latar belakang sejarah dari masyarakat Solo sendiri. Bagi warga pendatang
yang datang dan tinggal di Solo mungkin hal ini menjadi tidak terlalu penting. Akan
tetapi berbeda halnya dengan masyarakat asli Solo dan yang bermukim di Solo, masih
sangat menghormati nilai2 budaya yang menjadi identitas dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Mereka masih sangat ingin terlibat secara langsung terhadap proses
budaya yang terjadi di Solo. Bahkan mereka sangat antusias ketika Pemkot akan
memiliki progam untuk menjadikan kota Solo kota budaya, dengan diadakannya
berbagai event-event budaya di Solo. Seperti yang telah diungkapkan oleh Retno
(SIPA Community, 20th) dalam interview yang saya lakukan secara acak di dalam
komunitas SIPA sebagai berikut,
“Saya ikut serta dalam komunitas SIPA ini dengan suka rela. Dengan rasa
bangga saya terhadap kekayaan budaya yang dimiliki kota Solo. Saya bangga
menjadi „Wong Solo‟. Saya senang ketika saya turut ambil bagian dalam
program pemerintah untuk menjadikan kota Solo sebagai kota budaya.”
5.4.2 Faktor otoritas (kekuasaan)
Faktor otoritas (kekuasaan) sebagai salah satu faktor penting dalam proses
pembentukan identitas mereka. Pemkot berupaya dalam proses pemenuhan harapan
untuk menjadikan kota Solo identik dengan unsur-unsur kebudayaan. Salah satunya
adalah dengan menggunakan festival budaya. Event ini tidak hanya menyasar salah
satu unsur budaya, akan tetapi beberapa unsur budaya seperti yang tertulis dalam
tujuh unsur

kebudayaan

menurut

Koentjaraningrat,

yaitu

(1)

Religi,

(2)

Kemasyarakatan / Organisasi Sosial, (3) Sisitem Pengetahuan, (4) Kesenian, (5)

Sistem Mata Pencaharian, (6) Sistem Peralatan Hidup, dan (7) Bahasa. Dalam hal ini
Pemkot tidak hanya sebagai tim pelaksana tetapi juga pencetus ide dalam upaya city
branding “Solo Kota Festival Seni Budaya”. Pihak yang memiliki otoritas ini dalam
proses pembentukan identitas serta proses city branding “Solo Kota Festival Seni
Budaya” adalah Dinas Pariwisata.
“Setiap kota harus memiliki identitas khusus yang membedakan kota satu
dengan kota lainnya, oleh sebab itu Pemerintah Kota Surakarta perlu memiliki
identitas khusus itu, yaitu sebagai Kota Budaya, yang diharapkan bisa
menunjang kegiatan pariwisata.”
“Strategi yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta dalam melakukan city

branding, terutama branding sebagai Kota Budaya adalah dengan
memberdayakan segenap potensi budaya Surakarta, untuk ditampilkan sebagai
sebuah identitas kota.”
5.4.3 Faktor ekonomi
Faktor ekonomi terkait dengan pembentukan identitas adalah seberapa kuat ekonomi
suatu masyarakat dapat melegitimasi identitas masyarakat Solo yang berbudaya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, patronase terhadap pusat dalam
pembentukan identitas adalah harga mati, jika identitas mereka ingin tetap eksis dan
diakui. Ada banyak kebutuhan yang wajib dipenuhi untuk melegitimasi identitas
mereka. Salah satunya adalah kebutuhan ekonomi demi sejahteranya masyarakat.
Faktor ekonomi ini terdiri atas beberapa sektor, antara lain sektor

pariwisata,

perhotelan, transportasi, bahkan kuliner. Konsekuensinya adalah mereka harus bekerja
keras dan sedikit perhitungan untuk mengukuhkan kota Solo sebagai kota tujuan
wisata budaya. Kemapanan atau keberhasilan dalam faktor ekonomi merupakan faktor
utama dalam membentuk identitas mereka yang butuh dilegitimasi oleh pusat, lebih
dari itu, perekonomian yang kuat dapat digunakan untuk mempertajam lagi eksistensi
dan status sosial atas identitasnya. Seperti yang diungkapkan oleh Heru (SBC, 40 th)
“diharapkan dengan adanya SBC maka banyak tamu-tamu wisata datang ke
Solo. Dengan begitu otomatis pariwisata dan perekonomian kota solo menjadi
meningkat. Jadi semuanya berkaitan.”

5.5 Model Pembentukan Identitas
Dalam proses pembentukan identitas membutuhkan aktor / agen berotoritas guna
membentuk identitas yang sahih (legitimizing identity), identitas perlawanan (resistance
identity), identitas proyek (project identity) ; proses pembentukan identitas, kedinamisan

identitas sesuai dengan waktu dan tantangannya, serta keterkaitan dan penyesuaian dengan
proses pembangunan di tingkat lokal.

Kebutuhan: berpromosi / city
branding
Kota Festival
Budaya
Perubahan: waktu dan
tantangan

Solo Kota
Budaya (Jawa)

Politik identitas:
pembangunan

Tabel 5.1 Model Pembentukan Identitas

Garis lingkaran tebal pada identitas warga merupakan bagaimana mereka membentengi
identitas kejawaan mereka terhadap tantangan eksternal ; sedangkan garis lingkaran
putus-putus pada identitas lokal adalah bagaimana mereka membuka diri dalam interaksi
ekonominya dalam proses pembangunan di tingkat lokal maupun menjawab tantangan
masyarakat di luar wilayah Solo, apakah kota Solo telah siap untuk menjadi kota tujuan
wisata budaya.
5.5 Langkah-langkah dalam city branding :
5.6.1 Mapping Survei: meliputi survey persepsi dan ekspektasi tentang suatu daerah baik
dari masyarakat daerah itu sendiri maupun pihak-pihak luar yang mempunyai
keterkaitan dengan daerah itu. Seperti yang diketahui bersama, Kota Solo
merupakan kota yang sangat kental dengan nilai-nilai kebudayaan terutama budaya
Jawa. Masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan tersebut.
Terbukti dengan banyaknya sanggar-sanggar tari tradisional dan komunitaskomunitas pecinta kesenian di Solo. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Heru

(SBC Community, 40th) dalam interview yang penulis laksanakan pada tanggal 7
Juni 2012 di Kantor Komunitas SBC,
“kalau kita melihat Solo secara keseluruhan ya ada kampung, ada pasar
tradisional yang sangat dicintai oleh masyarakat Solo pada umumnya, ada
sanggar tari, dll”
“saya pikir sebelum ada event pun, masyarakat Solo juga tetap kreatif, tetap
tumbuh, tetap cinta cinta dengan kebudayaannya.”
Sedangkan pihak-pihak luar yang berkaitan dengan Kota Solo menilai bahwa Solo
yang kental dengan nilai-nilai budaya tersebut diolah dan dikelola sedemikian rupa
maka akan menjadi kota tujuan wisata yang menarik. Akan tetapi setelah melakukan
proses penelitian, penulis menemukan bahwa Pemkot Solo tidak melakukan proses ini
dalam melakukan City Branding. Hal ini dikarenakan ide kreatif awal dari pemikiran
beberapa festival yang diadakan berasal dari beberapa komunitas seni (SIPA
Community, SBC, dll).
“ide awalnya bisa saya katakan berasal dari Solo center point saat itu memang
memiliki ide ini, kemudian mengajak Dina Faris dari Jember Fashion Carnival
untuk mengagas konsepnya lalu saya masuk kesana untuk mengajak
masyarakatnya. Jadi idenya sebetulnya dari masyarakat yang diwakili oleh
Solo Center Point. Lalu mulai berbicara dengan pemerintah kota. Akan tetapi
SBC tidak akan sampai sejauh ini tanpa dukungan dan peran dari pemerintah
kota.” –SBC Community“SIPA pertama kali diselenggarakan pada tahun 2009. Saat itu saya sebagai
penggagas pertama sebuah event tari besar di Solo. Gagasan ini berupa, di
adakannya sebuah event tari bertaraf internasional di Solo, sekaligus untuk
mengenalkan kepada masyarakat dunia bahwa Solo memiliki branding sebagai
kota seni atau budaya.” –SIPA CommunityIde-ide kreatif awal yang berasal dari masyarakat (komunitas) ini yang kemudian
dijadikan landasan atau pemikiran awal untuk melakukan city branding kota Solo
sebagai Kota Festival Seni Budaya. Ide ini kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah
Kota dengan cara ikut mendukung, mendanai, bahkan terlibat secara langsung dalam
setiap festival.
5.6.2 Competitive Analysis: melakukan analisis daya saing baik di level makro maupun
mikro daerah itu sendiri. Pemkot Solo melihat peluang yang mampu dikembangkan.
Daya saing yang dimiliki dan ditonjolkan dalam proses ini adalah sisi budaya dan
pariwisata yang dinilai memiliki nilai lebih baik di masyarakat Solo sendiri maupun
masyarakat di luar Solo. Di level makro, kota Solo dilihat dapat menjadi kota wisata
budaya dengan event-event kebudayaan besar yang sering dilakukan di Solo.

Sedangkan di level mikro, masyarakat Solo sendiri mampu lebih berdaya saing dalam
mengembangkan dan meningkatkan ekonominya di segala aspek baik aspek
pariwisata berupa hotel, kuliner, souvenir (batik), dll. Maka dapat dikatakan kota Solo
merupakan salah satu kota paling produktif di Indonesia.
“Setiap kota harus memiliki identitas khusus yang membedakan kota satu
dengan kota lainnya, oleh sebab itu Pemerintah Kota Surakarta perlu memiliki
identitas khusus itu, yaitu sebagai Kota Budaya, yang diharapkan bisa
menunjang kegiatan pariwisata.”
“Cita-citanya adalah Solo menjadi kota yang bertumpu pada seni budaya dan
meningkatkan kegiatan kepariwisataan.”
Dalam penelitian, penulis menemukan bahwa Pemkot Solo pun tidak melakukan
tahapan ini dalam proses city branding yang Pemerintah Kota Solo lakukan. Kedua
tahapan awal dalam city branding ini tidak sampai dilakukan dikarenakan pada
dasarnya Pemkot Solo sendiri kurang memahami akan tahapan-tahapan dalam proses
city branding yang secara teoritis. Akan tetapi Pemkot hanya menyatakan pada
interview yang penulis lakukan bahwa,
“Peluang yang kami (Pemkot) lihat ketika ada beberapa komunitas di
msyarakat yang memiliki ide atau gagasan untuk mengadakan event Festival
Seni Budaya maka kami pun menyadari bahwa hal ini dapat dijadikan peluang
untuk kota Solo dapat bersaing dengan kota-kota yang lain.”
Maka daya saing yang mampu dikembangkan oleh kota Solo adalah kekuatan budaya
terutama dibidang kesenian yang dikemas secara apik dan lebih terkonsep dalam
setiap festival-festival seni budaya yang diadakan. Dengan tujuan untuk menjadikan
kota Solo sebagai Kota Festival Seni Budaya yang besar. Seperti yang diungkapkan
oleh salah satu pencetus ide awal event Solo Batik Carnival (SBC) yaitu Heru (40)
dalam interview yang penulis lakukan bahwa,
“Jadi program parieisata pemerintah dan karya kreatif masyarakt ini dapat
berjalan beriringan tanpa mengintervensi satu sama lain. Jadi SBC jangan
sampai hanya jadi produk pariwisata, tetapi juga harus menjadi produk
kebudayaan masyarakat kota solo. Jadi ini harus di letakkan di ruang
kebudayaan.”
5.6.3 Blueprint: penyusunan cetak biru atau grand design daerah yang diinginkan, baik
logo, semboyan, tag line, dan lain sebagainya beserta strategi branding dan strategi
komunikasinya. Berdasarkan Mapping Survey dan Competitive Analysis yang telah
dilakukan maka Pemkot Solo mengeluarkan slogan “Solo Kota Budaya” sebagai
strategi promosi kota Solo. Dalam slogan/tagline ini sudah sangat jelas dan gamblang

ditulis mengenai tujuan, visi, serta misi Pemkot Solo untuk menjadikan kota Solo
sebagai kota kebudayaan.
“Strategi yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta dalam melakukan city
branding, terutama branding sebagai Kota Budaya adalah dengan
memberdayakan segenap potensi budaya Surakarta, untuk ditampilkan sebagai
sebuah identitas kota.”
Kenapa Pemkot memilih slogan “Solo Kota Budaya”? kembali ke hasil mapping
survey dan competitive analysis bahwa daya saing yang kuat di Solo adalah nilai-nilai
budaya yang masih dipegang teguh serta memiliki perputaran ekonomi yang besar di
sektor pariwisatanya. Maka nilai jual tadi lah yang „dipasarkan‟ oleh Pemkot Solo.
Setelah ide-ide dikumpulkan dan ditampung maka Pemerintah Kota Solo beserta
pihak pelaksana mulai merancang bagaimana setiap event festival tersebut dapat
terlaksana dengan baik dan dapat menjadikan kota Solo semakin dikenal sebagai Kota
Festival Budaya oleh masyarakat luas.
5.6.4 Implementation: pelaksanaan grand design dalam berbagai bentuk media, seperti
pembuatan media center, pembuatan events, iklan, dan lain sebagainya. Dalam hampir
setiap event setelah ide tadi dikemas dan disusun untuk menjadi sebuah acara yang
besar. Contohnya dalam event SBC,
“Setelah tema besar selesai, lalu evaluasi tentang tema, kita sosialisasikan ke
pak walikota, ke dinas-dinas terkait, setelah itu kita baru membuka
pendaftaran peserta untuk mengikuti program ini ke sekolah-sekolah, ke
masyarakat umum melalui publikasi itu, setelah seselai pendaftaran lalu kita
mulai workshop yang dimulai dari merancang kostum, dll. Lalu masuk ke pra
event dan baru masuk ke acara. Setelah acara baru ada evaluasi
penyelenggaraan itu. Kebanyakan, evaluasinya itu malah pada pengaturan
penonton.”
Setelah slogan/tagline dibuat maka Pemkot menyusun strategi promosi dengan
mengeluarkan banyak event kebudayaan bertaraf nasional bahkan internasional
sebagai bentuk pelaksanaan grand design. Event-event ini tidak hanya merupakan
kegiatan bersama antara Pemkot Solo dengan masyarakat Solo saja, akan tetapi juga
banyak pihak yang turut terlibat dalam kegiatan ini. Tak hanya seniman lokal dalam
negri bahkan di beberapa event seperti SIPA, SIEM, dan masih banyak lagi, juga
mendatangkan banyak delegasi asing bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga
terlibat secara langsung dalam pertunjukkannya. Media-media berupa media TV, surat
kabar, media online, radio menjadi media partner bagi Pemkot Solo dan

penyelenggara event untuk ikut mempromosikan event-event tersebut kepada
khalayak luas.
5.7 Efektifitas dalam perspektif ilmu komunikasi
Jika dilihat dari strategi-strategi yang diterapkan oleh Pemkot Solo dalam
upaya membranding Solo menjadi “Solo Kota Budaya” cukup efektif. Hal ini dapat
diamati dari setiap event yang diadakan masyarakat Solo sendiri sangat antusias
dalam mengikuti setiap event yang digelar oleh Pemkot Solo. Masyarakat bahkan
tidak hanya pasif sebagai penikmat acara, tetapi juga turut serta dalam penyelenggara
bahkan beberapa ide kreatif event besar di Solo datangnya berasal dari masyarakat
(komunitas) sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Heru (SBC, 40th)
“Jadi idenya sebetulnya dari masyarakat yang diwakili oleh Solo Center Point.
Lalu mulai berbicara dengan pemerintah kota. Akan tetapi SBC tidak akan
sampai sejauh ini tanpa dukungan dan peran dari pemerintah kota.”
Masyarakat di luar Solo pun antusias dalam menyambut setiap event yang
dilaksanakan oleh Pemkot Solo. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya paketpaket wisata yang dibuat oleh agen-agen wisata di Solo yang menawarkan diskon dan
beberapa tawaran menarik lainnya untuk dapat

berwisata di Solo dengan lebih

nyaman. Serta peningkatan ekonomi yang terjadi ketika event berlangsung berkalikali lipat. Hal ini tentunya dapat menjadi indikator efektivitas dari program
pemerintah ini. Bapak Heru (SBC, 40th)
“lalu di harapkan dengan adanya SBC maka banyak tamu-tamu wisata datang
ke solo. Dengan begitu otomatis pariwisata dan perekonomian kota solo
menjadi meningkat.”
Bagaimana kedua hal yang sangat berlawanan antara Solo Kota Budaya Jawa (closing
identity) dengan Solo Kota Festival Budaya (opening idenity) dapat berjalan bersamasama bahkan masyarakat Solo sangat antusias dengan setiap event yang diadakan?
Hal ini dikarenakan pada dasarnya masyarakat Solo sendiri memang mencintai seni
budaya. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya sanggar-sanggar seni yang berdiri
serta komunitas-komunitas berbasis seni budaya yang berdiri. Closing identity berupa
pembentukan Solo Kota Budaya merupakan bentuk Pemkot Solo untuk membentengi
diri kebudayaan asli Solo yaitu Budaya Jawa dari pengaruh-pengaruh budaya luar
yang memang disengaja diundang masuk oleh Pemerintah Kota sebagai salah satu
upaya promosi budaya. Sedangkan opening identity yang berupa pembentukan kota

Solo sebagai Kota Festival Seni Budaya merupakan salah satu upaya Pemkot Solo
untuk menjadikan kota Solo mampu bersaing dengan kota-kota besar yang lain di
Indonesia. Dibuktikan dengan festival-festival seni yang diadakan tidak hanya
bertaraf nasional, bahkan bertaraf internasional. Festival bertaraf internasional ini,
dengan mengundang delegasi asing disetiap event internasional yang diadakan oleh
Pemkot.
5.8 Kredibilitas Data
Peneliti menggunakan teknik triangulasi data untuk melakukan Uji Kredibilitas Data.
Berdasarkan data yang peneliti peroleh dari Pemkot Solo, komunitas kesenian di Solo selaku
penyelenggara event (SBC Community dan SIPA Community), dan Budayawan memiliki
data dan pendapat yang sama sehingga data dalam penelitian ini dapat dikatakan valid.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Komunitas SIPAS dalam Pelestarian Tradisi Jemparingan di Kota Solo Jawa Tengah T1 362012038 BAB V

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi City Branding Kota Solo Demi Menjamin Keberlangsungan Slogan “The Spirit of Java” T1 362009071 BAB V

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Brand Awareness Perempuan di Kota Solo terhadap Produk The Body Shop T1 362009042 BAB V

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembentukan Identitas Kota Solo oleh Pemerintah Kota Solo

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembentukan Identitas Kota Solo oleh Pemerintah Kota Solo T1 362008005 BAB I

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembentukan Identitas Kota Solo oleh Pemerintah Kota Solo T1 362008005 BAB II

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembentukan Identitas Kota Solo oleh Pemerintah Kota Solo T1 362008005 BAB IV

0 1 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembentukan Identitas Kota Solo oleh Pemerintah Kota Solo T1 362008005 BAB VI

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembentukan Identitas Kota Solo oleh Pemerintah Kota Solo

0 0 155

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembuatan Animasi Peta Pariwisata Kota Solo

0 0 12