Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta

1

MAKNA SIMBOLIS MOTIF BATIK
BUSANA PENGANTIN GAYA YOGYAKARTA
Oleh: Widyabakti Sabatari
Jurusan PTBB FT UNY

Abstrak
Manusia bukan hanya makhluk religi us, tetapi juga makhluk
budaya, artinya kebudayaan m erupakan ukuran dalam hidup dan
tingkah l aku m anusia. Kebudayaan, terdiri dari gagasan-gagasan,
simbol- simbol dan nil ai-nilai sebagai hasil karya dan peril aku
manusi a, sehingga dapat disebut sebagai “makhluk bersimbol ”.
Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapanungkapan yang simbolis, melalui simbol manusi a dapat menciptakan
suatu duni a kultural yang didal amnya terdapat bahasa, mit os,
agama, keseni an dan ilmu pengetahuan.
Upacar a-upacara dengan berbagai sim boliknya merupakan
suatu unsur penting yang ikut m enentukan identitas serta warna
kehidupan budaya bangsa Indonesi a. Upacara amat akrab,
komunikatif, sebagai sarana komunikasi dan sosi ali sasi bagi
masyarakat tradi sional khususnya, telah memegang peranan yang

penting dalam m enci ptakan kondisi yang mempert ebal rasa aman
dan sebagai pegangan dal am menentukan sikap bagi segenap warga
masyarakat yang bersangkutan. Perangkat lambang dalam suatu
upacar a pada hakekatnya berm akna sebagai pengatur tingkah laku
disampi ng berfungsi sebagai sum ber infor masi. Melalui perantaraan
lambang-l ambang m anusia dapat m enyebarluaskan kebudayaan,
karena tidak hanya sekedar mengandung makna, tetapi j uga
merangsang orang untuk ber sikap sesuai dengan makna lambang
Kata Kunci:
Yogyakarta

Makna simbolis, motif batik, busana penganti n

Pendahuluan
Hidup m anusia di alam yang terbentang luas ini, tel ah
dilengkapi dengan akal, panca indera sert a nurani di dalam dirinya,
sehingga ia dapat menatap al am dengan segal a sifat nya tent ang
kebesaran, keajaiban, keindahan dan perubahan-perubahan alam.
Timbul dalam dirinya perasaan religi bahwa ada sesuatu yang
mengatur dan menguasai,


menyusun dan mengat ur jalannya alam

2
ini. Dia yang menjadikan segal anya, Di a yang Maha Kuasa at as
segala sesuatu. Perasaan reli gi atau em osi keagamaan itulah yang
menyebabkan m anusia mempunyai sikap religi, ada getaran yang
menggerakkan jiwanya.
Dalam m emahami emosi keagamaan oleh Koentj araningr at
dijelaskan bahwa emosi keagamaan m erupakan komponen ut ama
dari gej ala r eligi yang m embedakan suat u si stem religi dari semua
sist em sosial budaya yang lain dalam masyarakat (1987: 80-81)
Sebagai

makhluk yang r eligius, manusia Indonesia khususnya

masyarakat Jawa, meyakini dan percaya adanya Tuhan Yang Maha
Ada, Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa dan Maha Esa, oleh karena
itu taat menjal ankan kewaj iban-kewajiban agama yang mereka anut
yang ber sifat ritual maupun seremonial, artinya dalam keseharian

tidak lepas dari sif at religius dan sifat agamis.
Manusia bukan hanya m akhluk religius, t etapi juga makhluk
budaya, artinya kebudayaan m erupakan ukuran dalam hidup dan
tingkah

laku

manusi a.

Dalam

kebudayaan

tercakup

hal-hal

bagaimana t anggapan manusia terhadap dunianya, lingkungan sert a
masyarakatnya.


Seperangkat

nilai-nil ai

yang

menj adi

landasan

pokok untuk m enent ukan sikap kepada dunia luar, bahkan unt uk
mendasari langkah yang hendak dilakukan sehubungan dengan pol a
hidup dan tat a cara masyarakatnya (Jandr a, 1989-1990: 1)
Kebudayaan itu sendiri sebenarnya terdiri dari

gagasan-

gagasan, simbol- simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan
perilaku manusia, sehingga tidak berlebi han bil a dikatakan bahwa
manusi a itu “m akhluk ber simbol”. Dal am arti yang lain duni a

kebudayaan

adalah

dunia

penuh

si mbol.

Manusi a

berpikir,

berperasaan dan bersi kap dengan ungkapan-ungkapan yang sim boli s,
seperti yang dikatakan oleh Ernst Cassir er (1944) bahwa ungkapan
yang simboli s ini m erupakan ciri khas dari manusi a yang dengan
jelas mem bedakannya dari hewan, sehingga manusi a disebut dengan
“animal symbolycum” atau hewan yang bersimbol (1989-1990: 2)


3
Dikatakan dalam buku yang berbeda bahwa mel alui simbol manusi a
dapat menciptakan suatu dunia kultur al yang didal amnya terdapat
bahasa, mitos, agam a, kesenian dan ilm u pengetahuan. Sedangkan
menurut Susanne K. Lan ger, dal am kajian makna proses simbolisasi
suatu obyek estetik menjadi penting karena makna secara tajam
dapat diamati pada proses penyimbol an serta f enomena atau juga
penyimbol an gagas estetik (Sachari, 2002: 14)
Dalam

kehi dupan

kebudayaan

nasi onal

yang

sedang


berkembang, upacara dengan berbagai si mbolik-nya mencerminkan
norma-norma
Indonesi a.

serta

nilai-nil ai

budaya

suatu

suku

bangsa

di

Merupakan suatu unsur penti ng yang ikut menentukan


identitas serta warna kehidupan budaya bangsa Indonesia. Upacar a –
upacar a amat akrab, komunikatif dan tel ah memegang peranan yang
penting dalam m enci ptakan kondisi yang mempert ebal rasa aman
dan mem beri pegangan dalam m enent ukan sikap bagi segenap warga
masyarakat

yang

ber sangkutan,

komunikasi bahkan sar ana

atau

disebut

sebagai

sarana


sosiali sasi bagi masyarakat tradi sional

khususnya. Perangkat l ambang (simbolik) dalam suatu upacar a pada
hakekatnya bermakna sebagai pengat ur tingkah laku di samping
berfungsi sebagai sumber informasi. Sekaligus m erupakan petunj uk
bahwa sesungguhnya manusia m ampu membuktikan dirinya sebagai
mahluk yang berbudi luhur. Melalui per antaraan lambang-l ambang
manusi a dapat menyebar luaskan kebudayaan, karena tidak hanya
sekedar mengandung makna, tetapi j uga merangsang orang untuk
bersikap sesuai dengan makna lambang (Murtiadji, 1993: 7).
Upacar a sebagai perangkat lambang kaya dengan informasi, karena
merangkum sejumlah barang at au tindakan m enjadi satu yang
diperagakan, bi sa beruj ud ti ngkah laku yang di padatkan. Demi kian
halnya dalam upacar a pernikahan at au perkawinan yang sarat
dengan lam bang dan makna, khususnya pada penggunaan busana
dengan berbagai motif batik.

4
Sekalipun sebagian besar penduduknya beragama Isl am,
tetapi sebagai or ang Jawa khususnya di Yogyakar-ta, kadang-kadang

secara penuh

tidak

dapat

meninggal- kan

keper cayaan

aslinya,

karena m emang si sa- sisa kepercayaan asli ini m asi h terdapat di
Jawa, khususnya di lingkungan Kraton. Hal ini nampak dalam
penggunaan perangkat upacara keagam aan misalnya dalam tatacar a
berbusana atau berpakaian yang m entaati aturan-aturan yang berlaku
(tidak sembarangan), karena mempunyai makna simbolis tertentu.
Orang yang m engenakan mem-punyai tuj uan, harapan-har apan dan
keyakinan adanya ket erlibat an Yang Maha Kuasa.
Memahami arti dan m akna simbol is dari perangkat dan

pakaian pada upacara tradi sional berarti telah memahami art i
kebudayaan nasional. Hal ini artnya tel ah mem ahami unsur-unsur
kebudayaan daerah dan sudah ada upaya untuk melestarikannya.
Permasalahannya, apakah makna simboli s dari motif batik busana
penganti n gaya Yogyakarta ?.

Pendekatan Analisi s
Untuk
pendekatan
Antropologi.

mem bahas
Antropol ogi
Antropologi

permasalahan
Budaya,
ber asal

suatu
dar i

di

atas

cabang
bahasa

digunakan
dari

ilmu

Yunani

yang

merupakan paduan dari kata-kata anthropos berarti

manusia dan

logos yang artinya ilm u (Ihromi, 1999: i x) Jadi Antropologi adalah
ilmu yang mencoba menel aah sif at-sifat m anusi a. Sejak manusia ada
telah menyadari dan mengamat i adanya si fat-safat t ertentu yang ada
pada tu-buhnya dan sif at-sifat lai n yang ada padanya, yang muncul
dalam hidup pergaulannya dengan manusia lain. Manusi a mempertanyakan

berbagai

hal

mengenai

dirinya

sebagai

makhluk

biologis dan sebagai makhluk sosial. Antropologi Budaya mencoba
memberi

jawaban

m engenai

pertanyaan-pertanyaan

yang

ber-

hubungan dengan manusia sebagai makhluk sosi al, atau sebagai
makhluk yang hidup dal am kelompok atau masyarakat.

5
Makhl uk, hidup ber sam a dan bertingkah laku m enurut cara
tertentu serta menganut nil ai-nilai t ertent u yang pada kenyataannya
tidak

terpi sahkan

satu

dari

yang

lai n.

Manusia

yang

hidup

berkelompok di sebut masyarakat, sedang nilai-nil ai yang menj adi
pedoman hidup bagi masyar akat yang bersangkut an di sebut dengan
kebudayaan. Dal am arti yang berbeda masyarakat manusi a selal u
menganut

nil ai-nilai,

dan

kebudayaan

selalu

terdapat

dalam

masyarakat tert entu. Menurut Bakker S.J. (1984: 37) dijelaskan
bahwa kebudayaan sebagai penci ptaan dan perkembangan nilai,
meliputi segala hal yang ada dal am al am fisik, personal dan sosi al
yang disempurnakan untuk reali sasi t enaga manusi a dan m asyarakat .
Selanjutnya kebudayaan terdiri dari beberapa unsur yang masuk
dalam keseluruhan kebudayaan. Salah sat u diantaranya adal ah unsur
agama. Agama sebagai keyakinan hidup rohani pemiliknya, bai k
perseor angan maupun sebagai jem aat. Merupakan jawaban m anusi a
kepada panggilan illahi di dalam alam dan rahmat. Keyakinan itu
memuat im an, sikap sembah,rasa hormat, rasa t obat dan syukur yang
dianuger ahkan

Tuhan

kepada manusi a.

Keyakinan

hidup yang

menyempurnakan sel uruh kel akuan m anusia yang menghasilkan
nilai-nilai. Dal am agama terdiri dari badan ajaran (fasal-fasal
iman),

peraturan

(mor al)

dan

upacara-upacara

(ibadat),

yang

didalamnya t erdapat unsur-unsur kebudayaan. Kul tur akan m enjadi
kesaksi an

aktual

bila

dijiwai

oleh

kultur

yang

akt ual

pula.

Kesuksesan dalam bidang kebudayaan karena diilham i oleh jiwa
keagam aan. Tanggapan m anusia t erhadap wahyu ilahi diungkapkan
secara m anusiawi, baik batin (psikologis, et his) maupun lahir
(simbol-sim bol, praktek) (1984: 47-48)
Sejalan
menjelaskan

dengan

bahwa

untuk

pandangan

ini,

keperluan

anali sa

Koentjaraningrat
antropologi

dan

sosi ologi, konsep religi dipecah ke dal am lima komponen yang
mempunyai per an sendiri- sendiri, tetapi dalam suatu sist em saling
berkait erat satu sama lain. Ke lim a kom ponen ter sebut adalah; (1)

6
emosi keagamaan; (2) si stem keyakinan; (3) si stem ritus dan
upacar a (4) peralat an situs dan upacara dan (5) umat agam a
(Koentjaraningrat, 1987: 80-81). Berdasarkan pendapat kedua ahli
diatas jelas faktor religi merupakan faktor yang sangat berperan
dalam kehidupan m anusia. Tidak saja ber manfaat untuk m emelihara
hubungan dengan Sang Pencipta, namun sekaligus sebagai penuntun
dan arah hidup manusi a ke jal an yang benar.
Dalam mem ahami kesenian, keindahan, aestetika, atau dal am
mewujudkan nilai rasa dalam arti yang l uas, manusia t idak cukup
dengan menggunakan akal murni saja. Kedwisatuan manusia yang
terdiri

atas

budi

pengal amannya
terhadap

dan

secara

kenyataan

badan

memadai.

yang

tidak

t ak

dapat

Rasa

m engungkapkan

mempunyai

ditem ukan

ol eh

kepekaan

akal.

Untuk

memahami per soal an hidup m anusia dengan segal a dim ensi nya,
memerlukan ungkapan-ungkapan artistik yang keluar dari intuisi ,
bukan

pem bentangan

konsep-konsep.

I tu

bukan

ber arti

untuk

memahami karya kesenian bersifat ir asional atau anti rasional,
melainkan direali sasikannya nilai tak mungkin diliputi fungsi akal
saja.Kesenian sel alu melukiskan sebuah unsur at au as-pek al am
ditambah tanggapan atau pengolahan manusia. Bahan alam dihias
bergaya indah ol eh pencipt aan budi dan rasa sampai mem uaskan
daya t angkap m anusia. Indah didefinisi kan sebagai apa yang ketika
dilihat atau di dengar, dinilai baik. Produk keseni an dibuat karena
gaya

indah

(arthes

pulchrae),

yang

tidak

secara

langsung

mencukupi keperluan prakti s dan faedah (Bakker, 1984: 46)
Demikian halnya dalam m emahami kesenian bagi orang
Jawa. Menurut Robert Redfi eld dalam buku Etika Jawa, orang Jawa
dibedakan dalam dua gol ongan sosial : ( 1) wong cilik, terdiri dari
sebagian besar massa petani dan m ereka yang berpendapatan r endah
yang ti nggal di kota, dan (2) kaum priyayi, yang terdiri dari kaum
pegawai dan orang-orang int elekt ual. Ter masuk dal am golongan i ni
adalah kaum nigrat (Suseno, 1985: 12). Menggaris bawahi pendapat

7
Robert Redfielg, Clifford Geert z menjel askan bahwa kaum priyayi
adalah pembawa kebudayaan kota Jawa tradisional yang mencapai
tingkat sem purna di seki tar kraton Yogyakart a dan Surakarta.
Sampai seka-rang dal am kalangan kaum priyayi pelbagai bentuk
kesenian Jawa dikembangkan; seperti hal nya dalam tarian, gam elan,
wayang, batik, etiket dan bahasa ( Geer tz, 1983: 314). Cit a-cit a
esteti s dan reli gius zam an Hindu masih hi dup di antara m ereka. Hal
ini

menunjukkan

bahwa

dal am

memahami

kesenian

di

Jawa

khususnya dalam di sain motif batik tet ap eksi s dan menarik untuk
dicermati dan dipelaj ari.

Batik Dalam Upacara Perkawinan Gaya Yogyakarta
Perkawinan

merupakan

sal ah

satu

per istiwa

besar

dan

penting dalam sejar ah kehi dupan seseorang, suat u peri stiwa yang
tak dil ewatkan orang begitu saja sebagai mana m ereka menghadapi
peristiwa

sehari-hari.

Peristiwa

perkawinan

dirayakan

dengan

serangkaian upacara yang m engandung nilai budaya, sakral dan
suci.
Menurut pandangan hidup orang Jawa tugas orang tua baru
dikatakan sempurna jika sudah me-laksanakan atau mengawi nkan
anak yang disebut mantu. Menjodohkan anak menurut wewarah
luhur di harapkan menjadi sar ana m elangsungkan keturunan yang
dapat

menyambung

sej arah

kehi dupan

kedua

dinasti

keluarga

(Honggopuro, 2002: 120). Dal am tradisi upacara pernikahan di Jawa
pada umum nya m engacu pada kebiasaan upacar a pernikahan yang
diadakan

di

Kraton,

baik

Kraton

Yogyakarta m aupun

Kr aton

Surakarta. Hal ini disebabkan kar ena Yogyakarta dan S urakart a
merupakan ibu kota bekas keraj aan-kerajaan yang pada saat ini t etap
menjadi pusat kebudayaan seni dan sastra Jawa.
Bagi rakyat Jawa, kraton tidak hanya dihayati sebagai pusat
politik dan budaya, melainkan juga sebagai pusat keram at ker ajaan.
Kraton adalah tem pat raja bersemayam, dan raja merupakan sumber

8
kekuat an kosmi s yang m engalir ke daerah dan m embawa ketenteram an, keadilan dan kesuburan. P andangan kraton sebagai
pusat keraj aan, m enent ukan paham negara Jawa. Menurut pandangan
ini, negara yang paling padat adalah di pusat, di dekat raj a, di
kraton (Ali, 1986: 35-36). Krat on di anggap sebagai dasar sumber
tatanan dan tunt unan upacara yang ber kenaan dengan perjal anan
hidup atau daur hidup.
Hidup m anusia m engal ami tingkat-tingkat tert entu. Ol eh
para ahli ilmu Antropologi tingkat itu disebut stages along the lif e
cycle, yaitu tingkat an sepanjang daur hidup yang meli puti m asa
bayi, masa kanak-kanak, masa dewasa, masa kawin, masa tua dan
akhirnya m asa meninggal duni a (Wibowo, 1986-1987: 2-3). Masamasa itu merupakan suatu sikl us kehidupan manusia sebagai mahluk
biologis, itulah sebabnya kal angan ahli kebudayaan menyebutnya
dengan i stilah daur hidup, lingkaran hidup, siklus hidup at au lif e
cycle. Menurut anggapan orang bahwa perjalanan hidup manusi a
dari waktu ke waktu selalu m elewati m asa yang berbahaya, satu
masa dengan masa yang lai n terdapat batas peralihan, misalnya
masa

perkawinan,

kematian.

Untuk

kehamilan,
mengatasi

kel ahiran,
masa-masa

khitanan/tetesan,
kritis

yang

dan

di anggap

berbahaya dalam al ur hidup itu, maka manusia berupaya unt uk
mengatasi

dengan

cara

mengadakan

upacar a-upacara

tertentu

(Suyanto, 2002: 37-38). Melal ui beber apa fase masa peralihan
tersebut, maka masa yang di anggap penting adalah m asa perkawinan. Perkawinan memegang peranan penting dal am menentukan
hidup sel anjutnya, karena pada dasarnya perkawinan merupakan
pengatur an tata kel ahiran manusi a yang m enyangkut kehidupan seks
yang di nilai suci. Itulah sebabnya perkawinan sebagai suatu norm a,
artinya seorang pria dan wanita tak dapat bersetubuh dengan lai n
orang dalam m asyarakat (Koentj araningr at, 1977: 90). Usaha untuk
mencapai hidup bahagi a lahir dan batin di kel ak kemudian har i
dilambangkan

dengan t ata ri as dan

kelengkapannya, term asuk

9
perhiasan dan busana yang dikenakan. Lambang itu akan m encapai
makna yang konkrit dan pengakuan masyarakat sesuai dengan nilainilai lembaga masyarakat pendukungnya.
Di Indonesia t erdapat ber aneka ragam upacara perkawinan
adat yang diwari skan turun temurun dari generasi yang satu ke
generasi berikut nya. Masing-m asi ng memi liki keagungan, keindahan
dan keunikan sendiri. Sal ah satu kekayaan budaya bangsa tersebut
adalah upacara perkawin an adat Jawa gaya Yogyakarta. Secara gari s
besar

rangkaian upacara dal am perkawi nan yang berkait l angsung

dengan tata rias pengantin adal ah upacar a siraman, upacara ngerik,
upacar a midodareni, upacara ij ab dan upacara panggih.
Di Daerah I stimewa Yogyakarta terdapat lima macam Corak
Tata Rias Penganti n dengan gaya yang khas, disebut dengan Gaya
Yogyakarta. Ke lima m acam

corak t ersebut adal ah; (1)Corak

Kasatrian; (2) Corak Kasatrian Ageng; ( 3) Corak Yogya Putri; (4)
Corak Paes Ageng Jangan Menir dan (5) Corak Paes Ageng Corak
Basahan, yang memiliki ciri sendiri- sendi ri dan dipergunakan untuk
kepentingan yang berbeda-beda at as dasar status ekonomi dan sosial
keluarga mempelai (Wibowo, 1986-1987: 33-34).
Tata rias penganti n dalam bahasa Jawa disebut paes at au
pepaes yang ber arti membuat indah at au rerenggan pada dahi.
Meliput i memperindah ali s m ata, membersihkan rambut hal us di
dahi at au si nom, memperindah sekitar mata dan lain sebagainya.
Intinya hanya m eliputi waj ah saja, namun dalam perkem bangan-nya
pengertian tat a rias pengantin m enjadi lebih luas, yaitu m erias diri
yang dal am bahasa Jawa disebut ngrengga badan, artinya meli puti
seluruh badan. Tidak hanya wajah, rambut tetapi term asuk pula kaki
dan

tangan

(1986-1987:

25).

Pekerjaan

merias

pengantin

i ni

dilakukan oleh seor ang juru paes yang harus m emiliki syarat
sebagaimana juru paes tempo dulu meliputi syar at ketrampil an,
syarat penget ahuan, syarat mart abat dan syarat kebatinan (Murtiadji,
1993: 6). Seorang perias pengantin harus ahli dal am bidangnya,

10
menguasai ketrampilan teknik m erias wajah dan rambut sekaligus
menguasai t ata busana pengantin. Memili ki penget ahuan khususnya
tentang cara dan rang-k aian upacar a per kawinan adat secara rinci
dan kro-nologi s, makna simbolis dari r angkai an upacara dan kelengkapannya.

Memiliki

kehi dupan

keluarga

dan

ke-hi dupan

bermasyarakat yang terpuji, berkaitan dengan harapan masyarakat
agar peri as sekaligus dapat dijadi-kan contoh, teladan dan panutan
bagi pengantin yang dirias. Selai n itu seorang juru paes hendaknya
mentaati tradi si leluhur berkaitan dengan per siapan bati n yait u
dengan puasa. Tujuannya

adal ah untuk mengendapkan perasaan,

membersi hkan diri dan m enguatkan batin agar nantinya dapat
melaksanakan tugas dengan bai k ter-hindar dari segala bencana.
Dalam pembahasan selanjut nya hanya akan di-ketengahkan
dari segi tat a busananya, khususnya pada penggunaan kain batik
yang dikenakan oleh sepasang pengantin dalam serangkaian upacar a
yang berkait dengan t ata rias pengantinnya.

Makna Simbolis Motif Batik Bu sana Pengantin Gaya Yogyakarta
Berdasarkan hasil identifikasi motif bati k busana penganti n
gaya Yogyakart a yaitu motif grompol, truntum, cakar ayam, simbar
lintang, parang kusuma, sida luhur, sida mukti, sida asih, semen
ageng. Kain bat ik untuk pengantin memil iki beberapa variasi motif,
dan secara konot atif mempunyai arti l am bang yang berbeda, tetapi
mempunyai pengertian makna yang sama, yaitu pengerti an m engenai
hidup, cinta dan kebahagiaan.
1. Motif Bati k Grompol
Motif batik grompol termasuk kelom pok motif ceplok. Kat a
grompol mempunyai makna dompol- grombol memili ki arti
kumpulan

barang,

penghar apan

si

nam a

pemakai

bentuk
motif

cincin
di

permata.

dalam

Suatu

kehidupannya

diibaratkan sebuah pohon yang penuh bunga dan sarat akan
buah. Motif bunga bert ajuk 4, berputik 1 di tengahnya. Motif

11
buah yang dikeli lingi oleh 4 pasang cecek 3, berada di t engah
motif segi 4 yang berujung 8, dim aksudkan bahwa buah
harapan yang di simbol kan ol eh buah t ersebut mempunyai
buah harapan yang dikelil ingi dan dilindungi 8 dewa penjaga
mata angin. Secara keseluruhan memiliki makna harapan agar
Tuhan senantiasa melimpahkan rahm at dan anugr ah kepada si
pemakai motif grompol, agar selalu hidup tenteram, banyak
rejeki, banyak anak, hidup rukun dan sejahter a selamanya.
Sesuai dengan fungsinya dal am upacar a perkawinan, tepatnya
digunakan pada wakt u upacar a siraman oleh calon pengantin,
diharapkan

agar pengant in berserta keluarganya mempunyai

masa depan yang cer ah, senantiasa m endapatkan rahm at,
banyak anak, banyak rejeki, rukun, tent eram, sejahtera, dan
damai selama-l amanya.

2. Motif Bati k Truntum
Termasuk

kelompok

motif

Ceplok.

Motif

truntum

menggambarkan bunga dilihat dari depan terletak pada bidang
berbentuk segi empat. Truntum berasal dari t eruntum –
tuntum (bahasa Jawa) artinya tumbuh lagi . Taruntum memiliki
arti senantiasa tum buh, bersemi, semar ak lagi. Pola batik
truntum menggambarkan sebuah rangkaian bunga-bunga keci l
bersert a sari-sarinya ibaratnya bunga melati gambir yang
sedang mekar berkembang berbau harum semerbak dengan
semar aknya di taman. Suatu pengharapan bagi si pem akai
motif ini, agar di dal am hi dup berkeluarga hendaknya sel al u
terjadi hubungan yang harmoni s, penuh kasih saying, bai k
kehidupan suami i steri, hubungan ant ara anak dengan orang
tua dalam keluarga sendiri, maupun meluas ke keluarga orang
lain dan m asyarak at luas. Hal i ni sesuai dengan fungsi motif
truntum yang dikenakan pada saat upacara midodareni dan

12
panggih dipakai oleh kedua orang tua penganti n (Suyanto,
2002: 17).

3. Motif Bati k Cakar Ayam
Motif batik cakar ayam t ermasuk m otif ceplok yang t ersusun
oleh

gari s putus-putus,

titik

titik,

dan

variasinya yang

sepint as lal u seperti motif pada anyam an. Motif batik cakar
ayam ter susun menurut bidang geom etri s. Ditinjau dari arti
katanya cakar ayam ber asal dari kata cakar dan ayam. Disebut
demikian karena

kesan pertam a yang t ampak dan menonj ol

adalah motif yang membentuk jari-jari ayam. Kegi atan ayam
dalam

upaya

mencari

makan

dengan

cara

menggunakan

cakarnya sebagai sumber perlambang sem angat hi dup manusi a
di masa mendatang. Sesuai dengan fungsinya motif cakar
ayam m engandung harapan dapat mencari nafkah sendiri,
banyak rejeki, ban yak anak, tent eram dan sejahter a sepanjang
masa.
4. Motif Bati k Simbar Lintang.
Digolongkan sebagai motif ceplok yang meng-gambarkan
pemandangan di angkasa di m alam hari dengan bint angbintang gem erlapan yang me-m ancarkan sinarnya ke seluruh
dunia. Pol a batik simbar lintang terdiri dari motif bersim bar
bertajuk em pat dan motif bungan yang bertajuk delapan.
Motif bunga bert ajuk del apan artinya sam a dengan jantra atau
cakra, yang dalam kepercayaan hindu jawa di anggap sebagai
lambang hi dup yang kekal. Di balik m otif simbar lintang
memiliki
harapan

makna

simboli k

kebahagiaan,

yang

yaitu

mengandung

sang

pengantin

arti

suat u

senanti asa

mendapatkan anugerah yang berupa kesent osaan, kebahagiaan,
makmur sandang p angan, dan sejaht era selama-lamanya. Bati k
simbar lint ang dikenakan sebagai busana penganti n pria dan
wanita dal am upacara sepasaran (2002: 18).

13
5. Motif Bati k Parang Kusuma
Motif ini terdiri dari unsur motif api dan motif mlinjon.
Motif-motifnya ter susun menurut gari s diagonal, motif api
atau m otif par ang posi sinya bert olak bel akang dengan m otif
mlinjon yang berbentuk segi empat belah ketupat. Di t engahtengah motif api terdapat dua m otif bunga kecil tang bert ajuk
tiga dan saling bertolak belakang. Motif batik parang kusuma
biasanya digunakan untuk busana pengantin Kasatrian Ageng
(Sardjono, 1977: 32). Pengertian bunga sama dengan kusum a
yang mem punyai makna generasi muda bunga harapan, Jika
dirasakan dengan arti perlam bangnya m emang sesuai dengan
fungsinya yaitu

sebagai

busana putra-putri

Sultan

yang

semul a digunakan unt uk malem selikuran, sekarang menjadi
busana pengantin.
6. Motif Bati k Sida Luhur
Motif batik sida luhur dapat di golongkan ke dalam moti f
semen. Pola semen mengkiaskan proses hidup diatas tanah,
proses hidup ini di sebut semi (bahasa Jawa), hal yang
menggambarkan hidup (Susanto, 1976: 236). Kata sida luhur
berasal dari kata si da dan luhur. Sida mempunyai arti j adi
atau

menj adi,

terpuji,

sedangkan

tinggi

dan

luhur

berwibawa

m engandung
(Suyanto,

pengerti an
2002:

62).

Rangkaian susunan unsur-unsur polanya terdiri dari motif
meru, pohon hayat, burung, tumbuh-tumbuhan dan sawat
(garuda ber sayap satu). Motif meru melambangkan puncak
gunung

yang

tinggi

tempat

ber sem ayamnya

para

dewa,

menggambarkann proses hidup di atas t anah dan m erupakan
lambang keadilan. Motif pohon hayat merupakan simbolisasi
dari kehidupan dan kemakmur an. Motif burung melambangkan
dari dunia atas, menggambarkan elemen hidup dari udara
(angin)

dan

melambangkan

melambangkan
matahari,

watak

mahkota,

l uhur.

Motif

kejant anan

sawat
,

dan

14
mempunyai makna sifat tabah (2002: 50). Berbagai arti
perlambang yang terdapat dalam m otif-motif tersebut dapat
dikemukakan bahwa si pem akai m empunyai pengharapan agar
hidupnya di kemudian hari dapat hidup bahagi a, mempunyai
pangkat yang tinggi, berbuat adil, berbudi luhur, dan tabah
menghadapi cobaan hi dup. Menurut f ungsinya motif ini
dikenakan oleh pengantin pada upacar a panggih, kadang
dipakai pul a oleh kedua orang tua mempel ai.
7. Motif Bati k Sida Mukti
Motif Batik Sida Mukti digol ongkan dengan motif semen.
Sida

Mukti

berasal

dari

kat a

Sida

dan

Mukti.

Sida

mengandung arti jadi atau menj adi, sedangkan mukti m emiliki
makna bahagia. Pola batik si da mukti mempunyai unsureunsur yang terdiri dari motif kerang, pohon hayat, burung,
motif bintang, motif sawat dan motif garuda. Motif kerang
menggambarkan duni a bawah atau air, melambangkan lapang
hati. Motif pohon hayat m elambangkan dunia tengah yang
mengisyaratkan makna kehidupan dan kemakmuran. Motif
bintang

mel ambangkan

kesentosaan

dan

pemberi

kem ak-

muran sandang dan pangan kepada anak buah. Motif sawat
simbol dari peri sai yang berwujud sat u sayap burung garuda,
yang

mengkiaskan

sifat

melambangkan

m ataha-ri

melambangkan

sifat

tabah.

Mot if

kej atanan

kepemimpinan.

dan

burung
mahkot a,

Berbagai

garuda
yang

pengertian

perlam-bangan di atas dapat dirangkum makna simboli snya
bahwa si pemakai berpengharapan agar di kemudi- an har i
dapat hidup bahagia, makmur sentosa, punya kedudukan
tinggi, ber sifat pemurah terut ama kepada anak buah, dapat
melaksanakan tugas kepem impinan sebai k-baiknya dan selal u
tabah di dal am menghadapi cobaan. Dikenakan oleh se-pasang
penganti n pada upacar a panggih (2002: 78).
8. Motif Bati k Semen Ageng

15
Nama ragam hi as semen ageng berasal dari kata semen dan
ageng. Semi mempunyai arti tunas, pucuk atau kuncup
tanaman yang baru muncul. Semen berar ti tunas m aksudnya
adalah t umbuhnya tanaman sehi ngga m em buat indahnya alam.
Ageng berarti besar, artinya m otif bati k yang hanya boleh
digunakan ol eh raj a dan kerabatnya (Prawiroatmodj, 1980:
1079). Pola batik semen ageng m empunyai unsur-unsur yang
terdiri dari motif meru, lidah api, burung, motif perahu, moti f
pusaka dan motif sawat. Motif per ahu meng-gambarkan duni a
bawah atau air, m elambangkan l apang hati atau lapang dada.
Motif pohon hayat menggambarkan perlambangan dari duni a
tengah

yang

makmuran.

mengi syaratkan
Motif

pusaka

makna

kehidupan

melambangkan

dan

ke-

kesaktian,

kekuasaan, dan ke-m akmuran. Motif sawat simbol dari peri sai
yang berwujud satu sayap burung garuda, yang mengki askan
sifat tabah. Pengertian perlambangan di atas dapat dirangkum
makna simboli snya bahwa si pemakai motif ini berpengharapan agar di kemudian hari dapat hidup bahagia, dapat
menjadi pemimpin yang berbudi luhur, mempunyai sifat
lapang dada, sel alu tabah menghadapi cobaan, sehingga dapat
menunaikan tugas sebaik-baiknya. Dikenakan oleh penganti n
pria dan wanit a pada upacar a panggih.
Demikian beber apa motif batik yang biasa dikenakan oleh
sepasang pengantin Gaya Yogyakarta, namun sebenarnya masih ada
kain

lain

yang

merupakan

ciri

dari

gaya

Yogyakarta,

yait u

penggunaan kain ci ndhe . Kain cindhe i al ah corak kain yang khusus
dikenakan pengant in cor ak paes ageng. Konon karena jumlahnya
sedikit, harganya yang mahal, dan motif nya yang khas, maka kai n
ini kemudian diker amatkan. Kai n ci ndhe hanya dikenakan r aja dan
kerabat raj a saj a, dan

dipergunakan di lingkungan kraton sebagai

tutup (singep) pusaka, kelam bu sent hong tengah, alas buntal di
pasren Sej enis kain sutera sebagai per sembahan (pi sungsung) dan

16
cindera mat a dari keraj aan Ci na yang tak diproduksi lagi

yang

akhirnya dikeramatkan.

Penutup
Tata rias pengantin

Jawa

mempunyai

simbol- simbol

yang

berkaitan dengan fal safah hidup orang Jawa yang bernilai tinggi dan
bermakna dalam. Masyarakat Jawa percaya dan meyakininya, bahwa
makna

yang

terkandung

dal am

lambang

tata

rias

penganti n

khususnya dal am pemakaian kain batik dengan motif tert entu harus
benar (tidak sembarangan), karena hal ini akan m empengaruhi
kehidupan mereka di masa depan. Bukan sekedar bermakna namun
menjadikan orang ber sikap sesuai dengan lambang dan maknanya.
Penulis menyadari bahwa tuli san ini masih j auh dari sem purna
dan

terlalu

bermanfaat

dangkal
bagi

untuk

pembaca

dipahami,
yang

namun

kiranya

memerlukannya

dan

dapat
ingi n

mengetahui lebih dekat dengan bati k.

Daftar Pustaka
Ali, Fachry. (1986), Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” Dalam
Indonesi a Modern, Jakarta, Gramedi a
Bakker SJ, J.W.M. (1984) Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengant ar,
Yogyakarta, Kani sius
Geertz,

Clifford. (1983), Abangan, Santri,
Masyarakat Jawa , Jakarta, Pust aka Jaya

Priyayi

Dalam

Honggopur a, Kalinggo. (2002). Batik Sebagai Busana Dalam
Tatanan dan Tuntunan, Surakarta, Yayasan Peduli Kraton
Surakarta Hadiningrat
Ihromi,

T.Q. (Ed.), (1999) Pokok-pokok
Jakart a, Yayasan Ob or Indonesia,

Antropologi

Budaya,

Jandra,

Mifedwil, dkk., (1989-1990) Perangkat/Alat-alat dan
Pakaian Serta Makna Simboli s Upacara Keagamaan di
Lingkungan Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, Proyek
Inventari sasi dan Pembinaan Nil ai-nilai Budaya DIY

17
Koentjar aningrat, (1987), Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta,
Universi tas Indonesia,
Murtiadji, R. Sri Supadmi dan R. Suwardanidjaya, (1993), Tata Rias
Pengantin Gaya Yogyakarta, Jakart a, Gramedia Pustaka
Utama
Prawiroatmodjo, S., (1980), Bausastra Jawa Indonesia Jilid II,
Jakart a, Balai Pustaka
Sachari, Agus. (2002).
Bandung, ITB

Esteti ka:

Makna,

Simbol

dan

Daya,

Sardjono, Marmi en. (1977),
Seni Tata Rias Pengantin Gaya
Yogyakarta, Yogyakarta, Andi Offset
Susanto, Sewan, (1976) Seni Kerajinan Batik Indonesia,
Yogyakarta, Balai Peneliti an Bati k dan Kerajinan
Suseno,F. Magni s, (1985), Etika Jawa: Sebuah Anali sa Falsaf i
Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta, Gramedia
Suyanto, A.N.(2002) ”Makna Simboli s Busana Batik P enganti n
Jawa”, Laporan Penelitian, Yogyakart a, Lemlit, ISI
_______, (2002), Sejarah Batik Yogyakart a, Yogyakarta, Merapi
Wibowo, H.J. dkk., (1986 – 1987), Arti Lambang dan Fungsi Tat a
Rias Penganti n Dalam M enanamkan Nilai-nilai Budaya
Propinsi DIY, Jakarta, Proyek Inventarisasi dan Dokum entasi Kebudayaan Daerah.