Kontroversi RUU KUHP, Upaya Kriminalisasi Kontrasepsi.

Kontroversi RUU KUHP : Upaya Kriminalisasi Kontrasepsi
I Gusti Ngurah Pramesemara
Staf Bagian Andrologi Dan Seksologi Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
pramareola14@ymail.com
Abstrak
Saat ini, Indonesia merupakan negara kelima di dunia yang memiliki jumlah
penduduk terbanyak. Kondisi itu terjadi karena ketidaksuksesan pelaksanaan program
KB di Indonesia. Belum selesai diatasi, muncul satu hal yang malah menimbulkan
polemik, yaitu adanya pembahasan Rancangan KUHP pasal 481 dan 483 oleh Komisi
III DPR RI mengenai promosi alat kontrasepsi dan petugas yang berwenang. Padahal
data nasional tahun 2007 menunjukkan 4,6 juta jiwa (8,3%) perempuan usia subur
menghadapi masalah kehamilan yang tidak diinginkan. Angka kematian Ibu di
Indonesia tahun 2012 merupakan yang tertinggi di Asia tenggara hingga kini, yaitu 359
per 100 ribu kelahiran hidup. Angka prevalensi IMS, khususnya HIV-AIDS cenderung
meningkat setiap tahunnya di Indonesia. Di sisi lain pada tahun 2015, BKKBN
menyebutkan kekurangan 65 ribu tenaga penyuluh KB. Kementerian Kesehatan pada
tahun 2015 menyampaikan bahwa terjadi peningkatan kasus HIV pada ibu rumah
tangga sebagai akibat rendahnya pengetahuan dan keterbatasan akses terhadap
kondom. Maka tidak terbayangkan, besarnya peningkatan masalah kesehatan
reproduksi dan biaya kesakitan yang harus ditanggung oleh negara apabila akses

terhadap alat kontrasepsi dibatasi. Membatasi akses terhadap kondom sebagai alat
pencegah kehamilan dan infeksi IMS maupun HIV-AIDS malah semakin memperkuat
pandangan negatif masyarakat pada kontrasepsi.
Kata Kunci; RUU KUHP, Alat Kontrasepsi, Kriminalisasi, Kondom
Pendahuluan
Semua makluk hidup termasuk manusia, dalam upaya untuk melestarikan jenisnya
haruslah dapat melakukan fungsi berkembang-biak atau reproduksi, sehingga mampu
mempertahankan spesiesnya dari kepunahan. Hendaknya fungsi reproduksi tersebut
bukan sekadar upaya menggandakan populasi saja, harusnya disertai kebijaksanaan
yang dapat mengatur reproduksi untuk menjaga mutu generasi manusia selanjutnya.
Pada kenyataannya, kondisi kesehatan reproduksi dan seksualitas (Kesproseks)
di Indonesia masih tergolong buruk. Beberapa paramater yang ada menunjukkan
kurang suksesnya keberlangsungan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia.
Seperti yang telah diketahui bersama bahwa hingga ini Indonesia terus mengalami
ancaman ledakan pendudukan. Saat ini, Indonesia merupakan negara kelima di dunia
yang memiliki jumlah penduduk terbanyak. Pada tahun 2010, Indonesia telah memiliki
237,6 juta jiwa yang tercatat sebagai warga negara.
Ditengah teror yang datang terus-menerus dari berbagai permasalahan di bidang
kesehatan reproduksi dan seksualitas. Muncul satu hal yang malah menimbulkan
polemik baru di Indonesia, yaitu adanya pembahasan Rancangan Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) pasal 481 dan 483 oleh Komisi III
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Banyaknya pihak kontra
terkait kedua pasal RUU KUHP tersebut menandakan pemerintah dan DPR perlu
mempertimbangkan secara logis kembali, sebelum menetapkannya nanti.
Kesproseks Indonesia
Data skala nasional tahun 2007 menunjukkan 4,6 juta jiwa atau 8,3% perempuan
usia subur menghadapi masalah kehamilan yang tidak diinginkan. Umumnya kondisi
1

tersebut diikuti upaya pengguguran kandungan (aborsi) yang sebagian besar berupa
unsafe abortion. Diperkirakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Obgin Indonesia
(POGI) pada tahun 2013 terjadi 2,5 juta kasus aborsi per tahun di Indonesia. Tampak
disini angka unmet needs dalam masalah program KB. Satu pihak perempuan tersebut
tidak menghendaki kehamilan, tetapi di lain pihak mereka tidak menggunakan
kontrasepsi ketika melakukan aktifitas seksual untuk tujuan reproduksi.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka Contraceptive Prevalence Rate
(CPR) di Indonesia pada tahun 2012 tergolong rendah, yaitu 61,9%. CPR adalah nilai
yang menunjukkan persentase perempuan usia subur yang menggunakan salah satu
metode KB secara terus-menerus. Indikator lainnya adalah Total Fertility Rate (TFR),
yang mana di Indonesia masih tergolong tinggi, yakni 2,6 pada tahun 2012. Keduanya

merupakan indikator penting untuk memprediksi pertambahan jumlah penduduk dan
mengukur keberhasilan program KB.
Angka kematian Ibu di Indonesia tahun 2012 merupakan yang tertinggi di Asia
tenggara, yaitu 359 per 100 ribu kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi
sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2013 memaparkan telah terjadi peningkatan kematian ibu di Indonesia hingga
65% dibandingkan tahun 2007. Ditemukan ibu hamil yang disertai keadaan kurang gizi
kronis masih cukup tinggi, yaitu 14,5%.
Angka prevalensi Infeksi Menular Seksual (IMS) di Indonesia, khususnya Human
Immunodeficiency Virus–Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV-AIDS) cenderung
meningkat setiap tahunnya. Sampai bulan Oktober 2014, Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional (KPAN) menyatakan terdapat lebih dari 150 ribu kasus HIV di Indonesia
dan hampir 70% akibat perilaku heteroseksual maupun homoseksual yang tidak aman.
Sudah banyak solusi dan usaha yang ditempuh untuk mencegah dan memerangi
berbagai permasalahan kesehatan reproduksi dan seksualitas di Indonesia. Namun
kenyataannya yang ada di lapangan cenderung stagnan bahkan memburuk. Alasan
klasik berupa kurangnya anggaran, sarana, dan tenaga medis seringkali dijadikan
kambing hitam atas kegagalan berbagai upaya tersebut.
Fakta Remaja
Secara khusus, kita perlu juga untuk memperhatikan fakta-fakta terkait kesehatan

reproduksi dan seksualitas pada kelompok generasi penerus bangsa, yaitu remaja.
Banyak sumber yang telah menyebutkan remaja merupakan salah satu kelompok
terbesar yang berisiko mengalami berbagai permasalahan reproduksi dan seksualitas.
Menurut data BPS pada tahun 2011, total jumlah remaja yang usianya berkisar 10-24
tahun di Indonesia mencapai 27% atau lebih dari 63 juta jiwa.
POGI menyebutkan sekitar 10% remaja Indonesia sudah menikah dan memiliki
anak. Selama empat dekade terakhir, usia median saat melakukan hubungan seksual
pertama kali terus menurun menjadi 17 tahun baik pada laki-laki maupun perempuan.
Didukung pula oleh penelitian deskriptif dari Kita Sayang Remaja (KISARA) pada tahun
2014 menyebutkan 19,8% remaja di kota Denpasar sudah aktif melakukan hubungan
seksual pranikah.
Hasil studi KISARA tahun 2015 mendapatkan sekitar 96% remaja di Denpasar
mengetahui bahaya dari IMS, namun sayangnya kondisi tersebut dibarengi keenganan
menggunakan kondom. Survei dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
(BKKBN) tahun 2009 menemukan 36% remaja laki-laki yang menggunakan kondom
sebelum menikah dan 30,4% remaja perempuan yang sudah pernah menggunakan
kontrasepsi sebelum menikah.
Berkembangnya sikap permisif di masyarakat dan dibarengi kurang matangnya
psikologis remaja yang ditengarai menyebabkan semakin meningkatnya permasalahan
pada remaja. Hal ini dibuktikan KISARA pada tahun 2014 dengan didapatkan fakta 371


2

kasus konseling pasangan remaja dengan kehamilan tidak diinginkan (KTD) dan 312
orang remaja telah terinfeksi berbagai IMS termasuk HIV-AIDS.
Kontroversi RUU KUHP
Terkesan diam-diam di tengah banyaknya kesulitan yang dihadapi dalam upaya
melawan masalah-masalah seputaran kesehatan reproduksi dan seksualitas, anggota
DPR RI dari komisi III malah menimbulkan kontroversi baru dengan menerbitkan RUU
KUHP pasal 481 dan 483 mengenai promosi alat kontrasepsi dan petugas yang
berwenang. BKKBN menyatakan revisi RUU KUHP tentang penjualan alat kontrasepsi
yang dibahas DPR itu bertujuan untuk melindungi masyarakat.
Adapun pasal 481 rancangan KUHP berbunyi "Setiap orang yang tanpa hak
secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan,
secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan atau secara terang-terangan
dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukkan untuk dapat memperoleh alat
pencegah kehamilan tersebut, dipidana dengan pidana denda paling banyak sesuai
kategori I". Termuat dalam rancangan KUHP bahwa sanksi kategori I berupa denda
ringan sebesar 10 juta rupiah.
Sedangkan pasal 483 rancangan KUHP berbunyi “Tidak dipidana, setiap orang

yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 481 dan 482 jika
perbuatan tersebut dilakukan petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan
keluarga berencana dan pencegahan penyakit menular”. Penekanan pasal 483 adalah
pada narasi pengecualian kepada petugas yang berwenang.
Menurut Julianto Witjaksono selaku Deputi bidang KB dan kesehatan reproduksi
BKKBN sekaligus sebagai pengusul RUU KUHP tersebut menyatakan bahwa revisi ini
merujuk pada semua alat kontrasepsi, tidak hanya kondom. Hal ini dilakukan agar
publik mendapat informasi yang valid terkait alat kontrasepsi di tempat yang terbatas,
seperti apotek. Nantinya distribusi alat kontrasepsi akan berada di bawah pengawasan
langsung dari pemerintah dan tidak dipasarkan secara bebas seperti saat ini.
Kriminalisasi Kontrasepsi?
Diawali oleh tanggapan Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang menyebutkan ada
beberapa pasal krusial perlu untuk dikritisi terutama pasal-pasal pidana yang mengatur
mengenai moralitas, termasuk pasal 481 dan 483. Rancangan KUHP diketahui juga
mecakup sejumlah aturan mengenai hal-hal yang tidak terlalu substantif jika ditinjau
dari skala prioritas mengenai penegakan hukum dan bahkan cenderung memudahkan
masyarakat terjerat dalam kasus hukum yang umum disebut kriminalisasi.
Supriyadi Eddyono selaku Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR) berujar bahwa pasal-pasal soal moralitas tersebut cenderung overkriminalisasi,
masyarakat dapat dengan mudah dipidana, bahkan menawarkan alat kontrasepsi saja

sudah bisa langsung dipidana. Disisi lain, kampanye penggunaan alat kontrasepsi
sebenarnya sudah lama digunakan pemerintah yang melibatkan segenap lapisan
masyakatan untuk menekan angka kelahiran dan mencegah tertular penyakit yang
ditimbulkan akibat berhubungan seksual.
Kedua pasal RUU KUHP dalam operasionalnya nanti dapat melemahkan dan
menurunkan partisipasi masyarakat untuk berperan aktif sebagai pelaksana guna
menyukseskan program KB, pencegahan IMS dan HIV-AIDS. Selama ini BKKBN yang
notabene merupakan kepanjangan tangan pemerintah sendiri mengakui besarnya
bantuan warga yang peduli untuk menyebarkan informasi positif mengenai kesehatan
reproduksi dan seksualitas. Diakui oleh Surya Surapaty selaku kepala BKKBN bahwa
pada tahun 2015 ini BKKBN kekurangan 65 ribu penyuluh KB.
Sejauh ini alat kontrasepsi berhasil dan efektif menurunkan jumlah kematian ibu
yang sangat tinggi di Indonesia melalui fungsinya yang baik dalam mengatur dan
merencanakan kehamilan. Selain penularan IMS dan HIV-AIDS dapat dicegah melalui
3

penggunaan kondom secara bijak. Data Kementerian Kesehatan pada tahun 2015
menyebutkan bahwa terjadi peningkatan kasus HIV pada ibu rumah tangga yang naik
dua kali lipat dari tahun 2013 dan situasi ini disinyalir akibat rendahnya pengetahuan
dan keterbatasan akses terhadap kondom.

Simpulan
Maka tidak terbayangkan besarnya peningkatan angka kematian ibu dan biaya
kesakitan akibat AIDS yang harus ditanggung oleh negara apabila akses terhadap alat
kontrasepsi dibatasi oleh RUU KUHP pasal 481 dan 483, terutama pada tahun 2017
nanti ketika aturan tersebut mulai diterapkan apabila disetujui. Segala metode edukasi
melalui advokasi, sosialisasi, kampanye, dan penyuluhan yang diberikan kepada
masyarakat luas terkait alat kontrasepsi termasuk kondom oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan komunitas peduli AIDS tidak dapat dilaksanakan lagi jika
rancangan KUHP tidak direvisi.
Seharusnya upaya-upaya primer melalui promosi kesehatan dan proteksi spesifik
perlu didukung dengan rancangan KUHP yang sesuai dan mampu memfasilitasi agar
berjalan dengan sukses. Rumusan KUHP tentang kriminalisasi alat kontrasepsi yang
semata-mata mempertimbangkan alasan moral dan mengabaikan kebutuhan realitas
sosial dan kesehatan tentu akan bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu
terwujudnya keteraturan dan keadilan di dalam masyarakat, serta bisa menjamin
perlindungan kepada kelompok masyarakat yang rentan.
Membatasi akses terhadap kondom sebagai alat pencegah kehamilan dan infeksi
IMS maupun HIV-AIDS malah semakin memperkuat pandangan negatif masyarakat
pada kondom. Bukanlah tindakan bijak ketika memunculkan dilema di masyarakat.
Pada akhirnya mengajak seluruh komponen masyarakat untuk menolak rancangan

KUHP tersebut dan memastikan bahwa upaya kriminalisasi terhadap
pekerja
lapangan, komunitas peduli, kelompok masyarakat, kader, aktivis, tenaga medis,
peneliti, dan khalayak umum yang memperkenalkan, menunjukan, menawarkan, dan
mengkampayekan alat-alat kontrasepsi untuk kesehatan tidak pernah terjadi.
Daftar Pustaka
1. Anonim. Agustus 2015. ICJR: Dalam RUU KUHP, Tawarkan Alat Kontrasepsi Bisa
Didenda Rp 10 Juta. Diakses: 30 Oktober 2015. Diunduh dari: http://nasional.
kompas.com/read/2015/08/27/14594641/ICJR.Dalam.RUU.KUHP.Tawarkan.Alat.
Kontrasepsi.Bisa.Didenda.Rp.10.Juta.
2. Baskoro RH. September 2015. Seperti Apa Bentuk Larangan Kampanye Alat
Kontrasepsi?. Diakses: 30 Oktober 2015. Diunduh dari: http://majalahkartini.co.id/
berita/seperti-apa-bentuk-larangan-kampanye-alat-kontrasepsi.
3. Dewiyanti LPA. Oktober 2015. Term Of Reference World Sexual Health Day:
Dialogue with Related Stakeholders about Contraception Policy for Young People.
Denpasar: KISARA PKBI Daerah Bali.
4. Frischa IA. Oktober 2015. Ramai-ramai Menolak RUU KUHP. Diakses: 30 Oktober
2015. Diunduh dari: http://www.rri.co.id/denpasar/post/berita/208964/sosbud/
ramairamai_menolak_ruu_kuhp.html.
5. Hariati AD. Agustus 2015. Stop Kriminalisasi Kondom. Diakses: 30 Oktober 2015.

Diunduh dari: https://www.change.org/p/stop-kriminalisasi-kontrasepsi.
6. Infodatin. Desember 2014. Situasi Kesehatan Ibu: Mother’s Day. Jakarta: Pusat
Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
7. Natalia I. Agustus 2015. RUU KUHP Batasi Penjualan Alat Kontrasepsi, BKKBN
Klaim Lindungi Masyarakat. Diakses: 30 Oktober 2015. Diunduh dari:
http://portalkbr.com/nasional/08-2015/ruu_kuhp_batasi_penjulan_alat_kontrasepsi
_bkkbn_klaim_lindungi_masyarakat/75379.html.

4

8. Pangkahila WI, Pangkahila JA, Adimoelja A. Agustus 2009. Kumpulan Materi
Pelatihan Intensif Seksologi Basic XII. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
9. Pilar Youth Centre. September 2015. Dialog Remaja Dengan BKKBN Provinsi
Jawa Tengah Tentang RUU KUHP Pencegahan Kehamilan. Diakses: 30 Oktober
2015. Diunduh dari: http://sukaremaja.or.id/kriminalisasi-kontrasepsi/.
10. Setyawan A. Oktober 2015. PKBI: Kriminalisasi Alat Kontrasepsi Dukung
Kebebasan Seks. Diakses: 30 Oktober 2015. Diunduh dari: http://lampung.
antaranews.com/berita/284943/pkbi-kriminalisasi-alat-kontrasepsi-dukungkebebasan-seks.
11. Surjaningrat S. Juli 2005. Keluarga Berencana Dalam Kesehatan Reproduksi

Manusia. Dalam: Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Martaadisoebrata
D, Sastrawinata R, Saifuddin AB, Editor. Jakarta: Penerbit Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. hal. 199-220.
12. Suryani LG. Oktober 2015. Memperjuangkan Kondom: Remaja bali Protes
Kriminalisasi Alat Kontrasepsi. Diakses: 30 Oktober 2015. Diunduh dari:
http://www.rappler.com/indonesia/109259-remaja-bali-protes-kriminalisasi-alatkontrasepsi.
13. Yayasan Spiritia. September 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Diakses: 30 Oktober 2015. Diunduh dari: http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf
14. Yoga T. Oktober 2015. Situasi Epidemiologi HIV-AIDS di Indonesia. Diakses: 30
Oktober 2015. Diunduh dari: http://www.bkkbn.go.id/Kemenkes%20.pdf.
15. Wardhiana IPG. Januari 2010. Slide Kuliah: Penggunaan Kontrasepsi di
Indonesia. Denpasar: Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Ilmu Kedokteran
Reproduksi, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

5