Kajian Kebijakan Kriminalisasi terhadap Persetubuhan di luar Perkawinan yang Sah sebagai Delik Perzinahan dalam RUU KUHP 2012
KAJIAN KEBIJAKAN KRIMINALISASI
TERHADAP PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
SEPTIA MAULID BR. REGAR 090200003
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
KAJIAN KEBIJAKAN KRIMINALISASI
TERHADAP PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
SEPTIA MAULID BR REGAR 090200003
Mengetahui:
Ketua Departemen Hukum Pidana
NIP. 19570326198601001 Dr. M.Hamdan, S.H., M.H.
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Syafruddin Kalo SH, M.Hum
NIP. 195102061980021001 NIP. 197503072002122002 Dr. Marlina, SH,M.Hum.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan syafa’atnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk
mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat adalah “ Kajian Kebijakan Kriminalisasi terhadap Persetubuhan di luar Perkawinan yang Sah sebagai Delik Perzinahan dalam RUU KUHP 2012 ”.
Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang
dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai
pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan
efisien sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini baik moril maupun materil. Kepada Yang
Terhormat:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr.Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(4)
5. Dr. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Liza Erwina, S.H.,M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulisan skripsi ini.
8. Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini.
9. Seluruh pihak yang telah berjasa dalam membantu penyusunan skripsi ini. 10.Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu terkhususnya ilmu di bidang hukum.
Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna di satu sisi karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh sebab itu besar harapan penulis
kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif Apresiatif
guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari
segi materi maupun cara penulisannya di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya,
semoga Allah SWT meridhoi kita semua. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca dan perkembangan hukum di negara Indonesia.
Medan, 21 September 2013 Hormat Saya
(5)
ABSTRAKSI
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum.*1 Dr. Marlina, S.H., M.Hum.**2
Septia Maulid Br. Regar ***3
Tim Perumus RUU KUHP melakukan upaya pembaharuan terhadap delik perzinaan, yakni mengenai pelaku perzinaan yang semula adalah laki-laki menikah dan perempuan menikah seperti yang diatur dalam hukum positif dalam Rancangan KUHP 2012 pasal 483 meliputi laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain. Kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah (fornication) sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra diantara banyak pihak, oleh karenanya patut dibahas lebih jauh bagaimana pengaturannya di dalam rancangan KUHP 2012, hal-hal apa yang melandasi kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan ini, serta bagaimana peluang berlakunya di masa mendatang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian hukum normatif guna memperoleh data primer dan sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengaturan tentang kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah telah ada sejak Rancangan KUHP edisi Desember 1992, disempurnakan lagi dalam Rancangan KUHP 2004 dan tetap dipertahankan dengan rumusan yang sama sampai Rancangan KUHP terbaru tahun 2012. Kebijakan Kriminalisasi ini memenuhi kriteria kriminalisasi ditinjau dari aspek pendekatan nilai (value oriented approach) dan aspek pendekatan kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi persetubuhan di luar nikah ini diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan baik secara preventif maupun represif dan oleh karenanya memiliki peluang untuk ditetapkan sebagai pasal perzinaan dalam KUHP di masa mendatang. Sosialisasi terhadap kebijakan kriminalisasi ini patut diperhatikan untuk dibenahi kembali agar dapat memberikan pemahaman yang utuh kepada semua pihak atas berbagai kritik terhadap kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar nikah ini, disamping itu perlu juga dibenahi rumusan delik dalam konsep RUU KUHP tersebut agar nantinya pengaturan, dan penerapan terhadap aturan pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah (fornication) dapat dilaksanakan dengan baik.
∗* Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU 2
** Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU 3
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
ABSTRAK ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8
D. Keaslian Penulisan ... 9
E. Tinjauan Kepustakaan ... 11
1. Pengertian Kebijakan Kriminalisasi ... 11
2. Pengertian Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah 26
3. Pengertian Rancangan Undang-Undang KUHP ... 30
F. Metode Penelitian ... 33
G. Sistematika Penulisan ... 34
BAB II KONSEP PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012 ... 37
A. Delik Perzinaan ... 37
B. Delik Perzinaan menurut KUHP dan Perkembangannya di dalam RUU KUHP ... 50
(7)
C. Delik Perzinaan menurut RUU KUHP 2012 ... 61
D. Kebijakan Penuntutan Tindak Pidana Persetubuhan di Luar
Perkawinan yang Sah ... 63
BAB III LANDASAN KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012 ... 74
A. Kebijakan Kriminalisasi ... 74 B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan
Kriminalisasi ... . 78
C. Permasalahan dan Akibat adanya Perbuatan Persetubuhan
di Luar Perkawinan yang Sah di Masyarakat ... 83
D. Urgensi dan Tujuan Kebijakan Kriminalisasi terhadap
Perbuatan Melakukan Persetubuhan di Luar Perkawinan
yang Sah dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia ... 97
BAB IV KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI PEMBAHARUAN DELIK PERZINAAN
DI INDONESIA ... 112
A. Kelemahan dan Keuntungan adanya Pengaturan
tentang Tindak Pidana Persetubuhan di Luar Perkawinan
yang Sah dalam RUU KUHP 2012 ... 112
B. Peluang Berlakunya Aturan Tindak Pidana Melakukan
Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah dalam RUU
(8)
BAB V PENUTUP ... 154
A. Kesimpulan ... 154
B. Saran ... 162
(9)
ABSTRAKSI
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum.*1 Dr. Marlina, S.H., M.Hum.**2
Septia Maulid Br. Regar ***3
Tim Perumus RUU KUHP melakukan upaya pembaharuan terhadap delik perzinaan, yakni mengenai pelaku perzinaan yang semula adalah laki-laki menikah dan perempuan menikah seperti yang diatur dalam hukum positif dalam Rancangan KUHP 2012 pasal 483 meliputi laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain. Kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah (fornication) sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra diantara banyak pihak, oleh karenanya patut dibahas lebih jauh bagaimana pengaturannya di dalam rancangan KUHP 2012, hal-hal apa yang melandasi kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan ini, serta bagaimana peluang berlakunya di masa mendatang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian hukum normatif guna memperoleh data primer dan sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengaturan tentang kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar perkawinan yang sah telah ada sejak Rancangan KUHP edisi Desember 1992, disempurnakan lagi dalam Rancangan KUHP 2004 dan tetap dipertahankan dengan rumusan yang sama sampai Rancangan KUHP terbaru tahun 2012. Kebijakan Kriminalisasi ini memenuhi kriteria kriminalisasi ditinjau dari aspek pendekatan nilai (value oriented approach) dan aspek pendekatan kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi persetubuhan di luar nikah ini diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan baik secara preventif maupun represif dan oleh karenanya memiliki peluang untuk ditetapkan sebagai pasal perzinaan dalam KUHP di masa mendatang. Sosialisasi terhadap kebijakan kriminalisasi ini patut diperhatikan untuk dibenahi kembali agar dapat memberikan pemahaman yang utuh kepada semua pihak atas berbagai kritik terhadap kebijakan kriminalisasi persetubuhan di luar nikah ini, disamping itu perlu juga dibenahi rumusan delik dalam konsep RUU KUHP tersebut agar nantinya pengaturan, dan penerapan terhadap aturan pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah (fornication) dapat dilaksanakan dengan baik.
∗* Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU 2
** Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU 3
(10)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara heterogen yang memiliki beragam suku bangsa,
bahasa, dan agama. Nilai- nilai moral dan agama sangat melekat dan menaungi
kehidupan bangsa Indonesia dan menjadi dasar pijakan setiap langkah dan
perbuatan bangsa Indonesia selain hukum positif negara yang berlaku. Masyarakat
Indonesia dalam berperilaku sehari- hari tidak dibenarkan melanggar rambu-
rambu norma agama, susila, kesopanan dan norma hukum yang hidup di
masyarakat, oleh karena adanya keterikatan dengan nilai- nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat.
Kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai- nilai sosial dan agama semakin
harus dipertanyakan kepada bangsa Indonesia dalam perilaku sehari-hari, seiring
dinamika masyarakat dan globalisasi yang semakin pesat. Perbuatan kriminal
seperti pencurian, pembunuhan, korupsi yang semakin membudaya, kasus amoral
/asusila seperti perkosaan, pencabulan, cukup banyak terjadi di masyarakat,
terlebih kasus perzinaan. Perzinaan yang terjadi di masyarakat meliputi perbuatan
hubungan seksual/persetubuhan antara laki-laki dan perempuan baik yang terikat
dalam perkawinan yang sah, maupun yang tidak sama sekali diantaranya terikat
dalam hubungan perkawinan yang sah.
Masyarakat berpendapat bahwasanya dalam status apapun orang-orang
(11)
hubungan perkawinan dengan orang lain, tetap saja hal tersebut dianggap tabu dan
terlarang, dan tentunya menimbulkan dampak yang negatif di lingkungan
masyarakat dan juga bagi diri pelaku.
Perbuatan zina berpotensi menyebabkan remaja hamil di luar nikah. Fakta
dimasyarakat menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab remaja melakukan
aborsi dikarenakan hamil di luar nikah, oleh karenanya terdorong rasa malu dan
akhirnya menggugurkan kandungan. Remaja yang hamil di luar nikah yang
apabila tidak menggugurkan kandungannya, dan kemudian menikah, sering terjadi
rumah tangga pelaku “MBA” ( Married by Accident ) ini tidak bertahan lama/tidak harmonis yang kemudian berujung dengan perceraian, dan akhirnya
tumbuh pola keluarga dengan orang tua tunggal (Single Parenthood) yang tidak jarang ditemui di masyarakat saat ini. Alasan lain yaitu bahwa salah satu
penyebab utama penyebaran HIV dan AIDS adalah hubungan seks di luar nikah.
Perbuatan itu jugalah yang kemudian menimbulkan reaksi keras dari masyarakat
yang merasa perasaan susila dan agamanya telah tercederai, yang akhirnya main
hakim sendiri.
Para pelaku perzinaan di luar perkawinan yang sah ketika tertangkap basah
oleh masyarakat akan dihakimi sendiri, sebab untuk perbuatan zina antara
pasangan yang belum menikah di Indonesia belum ada hukum positif yang
mengaturnya. Sebagian daerah ada yang memiliki peraturan daerah tersendiri
seperti Daerah Istimewa Aceh, yang mengatur hukuman terhadap perbuatan
melakukan hubungan perzinaan baik di luar perkawinan, maupun adanya ikatan
(12)
yang disebut “Qanun” yang membawa unsur agama Islam dalam butir- butir peraturannya.4
Satu-satunya ketentuan hukum positif yang mengatur tentang perzinaan di
Indonesia kita secara menyeluruh adalah Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Pasal 284 ayat (1) KUHP menentukan ancaman pidana penjara
paling lama 9 bulan terhadap seorang laki-laki yang telah menikah yang
melakukan perzinaan, dengan perempuan baik itu telah terikat dalam perkawinan
yang sah dengan orang lain, maupun tidak, ataupun sebaliknya5
Laki-laki dan perempuan yang apabila kedua-duanya belum menikah dan
melakukan hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah maka tidak dapat
dikategorikan sebagai perzinaan dan tidak dapat dijerat oleh hukum. Ketentuan
Pasal 284 KUHP selama ini baik secara langsung maupun tidak langsung telah
memberikan peluang kepada pihak- pihak yang melakukan persetubuhan di luar
nikah antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat
pernikahan dengan orang lain untuk leluasa melakukan perbuatan tersebut tanpa
aturan hukum positif yang membatasinya, padahal oleh sebagian masyarakat , yang pasti, delik
perzinaan (Overspel) yang dimaksud KUHP saat ini pengertiannya hanya sebatas terhadap perbuatan hubungan seksual yang dilakukan laki-laki dan perempuan
(bukan pasangan suami istri) yang minimal salah satunya terikat dalam ikatan
perkawinan dengan orang lain (pasal 27 Burgerlijke Wetboek).
Luqman, Qanun- Qanun yang Menjerat Wanita Aceh, 15 April 2013, diakses pada tanggal 1 Mei 2013, pukul 16.00 WIB
5
P.A.F. Lamintang, Delik- delik Khusus “ Tindak Pidana- Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma- Norma Kepatutan”, CV Mandar Maju, Bandung, 1990, Hal. 87
(13)
perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan
kesusilaan.
Berdasarkan konsep KUHP baru tahun 2012, pemerintah melakukan
pembaharuan terhadap Rancangan KUHP mengenai perzinaan yaitu dalam Pasal
483 Rancangan KUHP 2012, menambahkan beberapa hal dalam delik perzinaan
yang baru yakni pertama, revisi terhadap sanksi pidana penjara yaitu yang semula
paling lama 9 (sembilan) bulan menjadi paling lama 5 (lima) tahun. Kedua, revisi
terhadap pelaku perzinaan yaitu yang semula pelaku perzinaan adalah hanya
laki-laki menikah dan perempuan menikah yang melakukan hubungan seks bukan
dengan istri atau suaminya maka dalam Rancangan KUHP baru ini juga meliputi
laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan
yang sah dengan orang lain6
Pembaharuan terhadap pasal perzinaan, bagi masyarakat yang pro akan
kebijakan kriminalisasi ini, ibarat angin segar yang menghembuskan perubahan
dan pembaharuan dalam hukum pidana di Indonesia, akan tetapi itu hanya bagi
sebagian pihak yang pro saja terhadap aturan tersebut, sebab ada pula pihak yang
kontra terhadap kriminalisasi perbuatan melakukan hubungan seksual
(persetubuhan) di luar perkawinan yang sah yang menilai bahwa adanya
kriminalisasi terhadap pelaku perzinaan terlalu mencampuri dan memasung
kehidupan pribadi seseorang, dalam hal ini negara telah melakukan intervensi
kehidupan wilayah pribadi warga negaranya. .
6
law.uii.ac.id/images/story/jurnal, Lidya Suryani Widayawati, Revisi Pasal Perzinaan dalam Rancangan KUHP: Studi Masalah Perzinaan di Kota Padang dan Jakarta, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16, DPR RI, Jakarta, 2009, hal. 313. Diakses pada tanggal 15 Februari 2013, pukul 09.00 WIB.
(14)
Menurut pihak yang kontra terhadap kriminalisasi hubungan seksual di
luar perkawinan yang sah, hal ini dinilai sebagai ketentuan yang melanggar hak
asasi manusia, dan cenderung Islamisme dan karena itu mengancam demokrasi.
Mereka juga berpandangan bahwa Rancangan KUHP harus mengedepankan
prinsip unifikasi, Rancangan KUHP merupakan kodifikasi hukum yang harus bisa
diterima seluruh elemen masyarakat. Pasal yang tidak bisa dilaksanakan di suatu
daerah, tetapi dilaksanakan di daerah lain dikarenakan adat dan budaya di setiap
daerah berbeda-beda akan menimbulkan ketidakpastian hukum.7
Pihak yang pro kembali menilai bahwa masalah perzinaan muncul dari
public demand bukan pribadi atau keluarga, karena public demand, maka diatur dalam UU. Menurut negara liberal, lazim terdapat hukum yang mengatur kegiatan
pribadi., warga tidak boleh melakukan hubungan seks sedarah (incest), warga
tidak boleh mengumpulkan foto-foto yang masuk dalam kategori ‘’pornografi
anak’’, warga tidak diizinkan berpoligami, dalam aktivitas seks atau kalau
menggunakan contoh yang lebih ekstrem warga tidak boleh melakukan bunuh diri
dan warga tidak boleh menjadi pecandu narkotika, kendati pun kedua kegiatan itu
bisa dilihat sebagai ‘’kegiatan sadar yang dilakukan orang dewasa dengan akibat
yang harus ditanggung oleh orang dewasa itu sendiri’’. Intervensi negara terhadap
wilayah pribadi dengan demikian tidak pernah diharamkan, bahkan dalam
masyarakat liberal yang menjadi kunci adalah alasan, sebuah kegiatan pribadi
yang dipercaya berpotensi menimbulkan efek negatif atau dipandang sebagai
7
Tunda Dulu Revisi
KUHP Sosialisasikan Dulu ke Publik, Kamis, 02 Oktober 2003, diakses 02 Maret 2013, pukul 11.00 WIB.
(15)
sebuah tindakan tidak bermoral, lazim dinyatakan terlarang. Perzinaan meskipun
tampak sebagai kegiatan yang bersifat sangat pribadi, namun pada dasarnya
adalah kegiatan pribadi yang memiliki dimensi sosial luas8
Revisi terhadap pasal perzinaan dalam Rancangan KUHP masih
menimbulkan perdebatan antara pihak yang pro dan yang kontra terhadap revisi
tersebut, dengan kata lain masyarakat Indonesia dalam hal ini belum sepenuhnya
mencapai kata mufakat untuk menyepakati konsep kebijakan ini, padahal salah
satu alasan kriminalisasi pada umumnya harus adanya kesepakatan sosial ( Public Support)
, oleh karena itu,
intervensi negara mempunyai landasan yang kokoh dalam kebijakan kriminalisasi
ini.
9
Masalah kriminalisasi haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut
oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau
tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat
dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Revisi terhadap ketentuan mengenai
perzinaan oleh karena itu pun patut untuk dikaji dengan prinsip kehati-hatian.
Bagaimana akibatnya jika suatu perbuatan dijadikan sebagai perbuatan pidana
(tindak pidana) sedangkan masyarakat menilai perbuatan tersebut sebagai
perbuatan yang patut atau tidak tercela.
yang dalam hal ini masih dipertanyakan kejelasannya.
10
8
Soal Zina dan KUHP, Sabtu, 11 Oktober 2003,
diakses 02 Maret 2013, pukul 09.00 WIB.
9
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2011, hal.45
10
(16)
Penelitian ini oleh karenanya difokuskan pada beberapa
permasalahan-permasalahan berdasarkan latar belakang tersebut diatas, yakni bagaimana konsep
pengaturan terhadap delik persetubuhan diluar perkawinan yang sah tersebut
dalam Rancangan KUHP khususnya KUHP 2012, landasan kebijakan terhadap
pembaharuan pasal perzinaan tersebut yaitu kriminalisasi terhadap hubungan
persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masing-masing
tidak terikat dalam perkawinan yang sah pada pasal 483 angka (1), huruf (e) RUU
KUHP 2012, apakah kebijakan tersebut sudah tepat, dan bagaimana pula peluang
(17)
B. Perumusan Masalah
Masalah yang penulis angkat sehubungan dengan topik ataupun judul
penelitian ini, adalah :
1. Bagaimana konsep pengaturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan
yang sah menurut RUU KUHP 2012 ?
2. Apa landasan kebijakan kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar
perkawinan yang sah sebagai delik perzinaan dalam RUU KUHP 2012 ?
3. Bagaimana peluang berlakunya aturan tindak pidana persetubuhan di luar
perkawinan yang sah dalam RUU KUHP 2012 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari penelitian ini adalah bertolak dari perumusan
masalah di atas, yaitu :
a). Untuk mengetahui konsep pengaturan tindak pidana persetubuhan di luar
perkawinan yang sah menurut RUU KUHP 2012.
b). Untuk mengetahui landasan kebijakan kriminalisasi terhadap persetubuhan di
luar perkawinan yang sah sebagai delik perzinaan dalam RUU KUHP 2012.
c). Untuk mengetahui seberapa besar peluang berlakunya aturan tindak pidana
(18)
2. Manfaat Penulisan
Bertolak dari rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagaimana
dikemukakan di atas, maka kegunaan dan manfaat penulisan yang diharapkan dari
penelitian ini, adalah :
1) Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan di dalam menguraikan bagaimana konsep pengaturan tindak
pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah menurut RUU KUHP 2012,
perkembangannya dalam RUU KUHP lainnya yang telah mengatur perbuatan
tersebut, serta kebijakan penuntutan dalam penegakan hukum terhadap
konsep kriminalisasi perbuatan tersebut.
2) Manfaat Praktis, diharapkan dengan dikemukakannya landasan dari kebijakan kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah
dalam RUU KUHP 2012, serta mengenai kelemahan, kelebihan dan peluang
berlakunya aturan tindak pidana tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk
berlakunya konsep aturan tersebut pada masa yang akan datang.
D. Keaslian Penulisan
Tulisan tentang Delik Perzinaan dan Pembaharuannya dalam RUU KUHP
terlebih dahulu telah banyak dibuat, namun mengenai Kajian tentang Kebijakan
Kriminalisasi terhadap Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah sebagai Delik
Perzinaan dalam RUU KUHP 2012 yang penulis buat ini memang asli dibuat
oleh penulis sendiri.
Proses pembuatan skripsi ini penulis memulainya dengan mengumpulkan
(19)
Kriminalisasi, Sosiologi Hukum, Delik Perzinaan, RUU KUHP, KUHP, Kajian
Konsep KUHP dalam berbagai literatur, artikel seputar perbuatan melakukan
hubungan seksual di luar nikah, kajian moral dan agama, kemudian penulis
merangkai sendiri menjadi suatu karya tulis ilmiah yang disebut dengan skripsi.
Penulis oleh karena itu dapat menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli
penulis sendiri, selain itu dalam pengajuan skripsi ini, penulis telah melewati
pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan
Fakultas Hukum USU. Hal ini dengan demikian dapat mendukung tentang
(20)
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Kebijakan Kriminalisasi
“Kebijakan” secara terminologis berasal dari istilah policy (Inggris) atau
politiek (Belanda). Terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk penegak
hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan- urusan publik,
masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan
perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan
(umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran
masyarakat (warga negara).11
1. Criminology
Kebijakan kriminalisasi tidak terlepas dari pembahasan kebijakan kriminal
(Criminal Policy) atau politik kriminal, serta kebijakan hukum pidana (Penal Policy) atau politik hukum pidana dalam pembaharuan hukum pidana, oleh karenanya maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai hal-hal tersebut.
Marc Ancel mengemukakan, Modern Criminal Science terdiri dari tiga komponen, yaitu :
2. Criminal Law, dan
3. Penal Policy 12
Kriminologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari kejahatan. Pada
dasarnya, kriminologi ini sangat bergantung pada disiplin ilmu-ilmu lainnya yang
11
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Cet. 2, Djambatan, Jakarta, 2007, hal.26
12
(21)
mempelajari kejahatan, bahkan dapat dikatakan bahwa keberadaan kriminologi itu
merupakan hasil dari berbagai disiplin ilmu yang mempelajari kejahatan tersebut.
Kriminologi dengan demikian bersifat “Interdisipliner”, suatu disiplin ilmu yang tak berdiri sendiri, atau dengan kata lain hasil kajian dari ilmu lainnya terhadap
kejahatan Oleh karena itulah Thorsten Sellin menyebutnya sebagai “ a king without a country “.
Kriminologi pada fungsinya yang klasik, berkaitan dengan hukum pidana,
dimana dua disiplin ilmu ini saling berhubungan dan saling bergantung antara satu
dengan yang lainnya, bahkan sebelumnya kriminologi dianggap sebagai bagian
dari hukum pidana. Perkembangan selanjutnya kriminologi dijadikan sebagai ilmu
yang membantu hukum pidana ( ilmu pembantu) dan sekarang hal tersebut tidak
dapat dipertahankan lagi, karena perkembangan kriminologi sudah menjadi
disiplin yang berdiri sendiri. Fungsi kriminologi yang klasik dalam masalah
hukum pidana, yaitu :
1. Dalam perumusan atau pembuatan hukum pidana ;
2. Dalam penerapan hukum pidana ; dan
3. Dalam pembaharuan hukum pidana, yakni dalam hal :
1) Kriminalisasi ;
2) Deskriminalisasi ; dan
3) Depenalisasi.13
Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal/politik
kriminal (criminal policy) dalam hal ini, yaitu :
13
(22)
a) Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana ; b) Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara bekerja dari pengadilan dan polisi.
c) Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang- undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma- norma sentral dari masyarakat.
Beliau juga mengemukakan defenisi singkat, bahwa politik kriminal
merupakan “Suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi
kejahatan”. Defenisi ini diambil dari defenisi Marc Ancel yang dirumuskan
sebagai berikut “ the rational organization of the control of crime by society ”. Bertolak dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter
Hoefnagels mengemukakan bahwa ruang lingkup politik criminal (criminal policy) sangat luas, karena merupakan keseluruhan upaya untuk penanggulangan kejahatan yang dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu :
a) Penerapan hukum pidana ( criminal law application ) ; b) Pencegahan tanpa pidana ( prevention without punishment ) ;
c) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media ( influencing views of society on crime and punishment/mass media )
Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua,
yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di
luar hukum pidana) dalam pembagian tersebut diatas, upaya- upaya yang disebut
dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “non penal”.
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” dapat lebih
menitikberatkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “nonpenal” lebih menitik beratkan pada
(23)
terjadi. Tindakan represif dikatakan sebagai perbedaan yang kasar karena pada
hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.14
a) Usaha untuk mewujudkan peraturan- peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” atau (penal policy) ini disebut pula dengan istilah “ kebijakan hukum pidana” atau dapat pula disebut
dengan istilah “politik hukum pidana “. Istilah “penal policy” ialah istilah yang dilihat dari kepustakaan asing, sama juga seperti “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum”
adalah :
b) Kebijakan dari Negara melalui badan- badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan – peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita- citakan.
Politik hukum pidana yang merupakan bagian dari politik hukum
mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang- undangan pidana yang baik, sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Pengertian demikian dapat dilihat
dalam defenisi “penal policy” dari Marc Ancel, yakni “ suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik “. Menurut defenisi Marc Ancel “peraturan hukum positif “ ( the positive rules ) tersebut yakni peraturan perundang- uundangan hukum pidana.,
14
(24)
Istilah “penal policy” dengan demikian adalah sama dengan istilah “ Kebijakan atau politik hukum pidana “.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik
pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan,
upaya penegakan hukum, dan usaha perlindungan masyarakat oleh karena itu
politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal ( criminal policy ), kebijakan penegakan hukum ( law enforcement policy ), dan politik social (social policy).
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian “social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”.15
Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar
belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Latar
belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari Pembahasan kebijakan/ politik hukum pidana ini, akan mengerucut pada
pembahasan pembaharuan hukum pidana (penal reform) yang seyogyanya merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy) dan merupakan bagian dari fungsi kriminologi secara klasik yang mencakup tiga
hal/permasalahan dalam pembaharuan hukum pidana, hal menambahkan aturan
dalam hukum pidana, menghapuskan aturan positif yang tidak cocok lagi dengan
keadaan yang ada, serta mempertahankan aturan positif yang ada.
15
(25)
aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural atau dari berbagai aspek kebijakan
(khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum). Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus merupakan perwujudan
dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang
melatarbelakanginya itu, dengan demikian, pembaruan hukum pidana pada
hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan
reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai- nilai sentral sosiopolitik,
sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan
sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa harus ditempuh
dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ( policy oriented approach )
dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ( value oriented approach).16
16
Barda Nawawi, Op.Cit., hal. 25
Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan,
karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah
kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum/ penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Kebijakan (policy) di dalamnya harus terkandung pertimbangan nilai, oleh karena itu pembaruan hukum
pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.
Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana dari uraian di atas dapat
(26)
a) Dilihat dari sudut Pendekatan Kebijakan :
1) Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan sosial
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi
masalah- masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam
rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan
massyarakat dan sebagainya);
2) Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan kriminal
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan
masyarakat ( khususnya upaya penanggulangan kejahatan) ;
3) Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan penegakan
hukum pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
b) Dilihat dari sudut pendekatan nilai :
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan
upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (‘reorientasi dan re- evaluasi’) nilai- nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan
substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan
(reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana
yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi
(27)
WVS).17
Subjek pembaharuan adalah Lembaga Legislatif (DPR), suprastruktur
adalah pemerintah (partner dalam mekanisme pembuatan Undang- Undang),
Infrastruktur yakni aspirasi masyarakat, aspirasi kepakaran dan aspirasi
Internasional.
Pembaharuan hukum pidana ini (KUHP) dirasakan sudah hal
yang mendesak karena baik itu ditinjau dari segi sosiologis, filosofis,
dan politis, maupun praktis, KUHP yang berlaku tidak memadai lagi.
Upaya pendekatan dalam pembaharuan hukum pidana untuk membentuk
atau mewujudkan KUHP baru adalah menempatkan KUHP sebagai pokok atau
bahan yang diperbaharui, dengan melihat kepada doktrin dasar nasional
(Pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nusantara), melihat pula aspek
Internasional (global dan Regional).
18
Objek yang diperbaharui adalah secara makro dan mikro hukum
pidana. Makro yakni pembaharuan pada struktur atau lembaga- lembaga sistem
peradilan pidana, substansinya yang menyangkut harmonisasi atau sinkronisasi
hukum pidana, dan pembaharuan aspek budaya masyarakat dan nilai-nilai
filosofis kehidupan, sedangkan secara mikro pembaharuan itu menyangkut tiga
masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu, “perbuatan pidana”,
“pertanggungjawaban pidana”, dan “pidana”. Objek pembaharuan hukum pidana
tersebut baik yang makro maupun yang mikro, tentunya akan terjadi kalau ada
perubahan perkembangan dalam studi terhadap apa yang dinamakan kejahatan.19
17
Ibid., hal. 26
18
Teguh Prasetyo, Op. Cit, hal. 30-31
19
(28)
Metode yang dipakai adalah metode komprehensif integrative, baik secara
deduktif (menurut doktrin), maupun secara induktif (empirik).
Pembaharuan hukum pidana dengan demikian berdasarkan pendekatan
sistemik ini adalah pembaharuan yang menyeluruh dari segala aspek terkait
dengan hukum pidana (umum), oleh karenanya perlu dicatat secara total, selain
melakukan penyempurnaan dalam artian yang baik tetap dipertahankan, aturan
yang tidak cocok lagi dalam KUHP dihilangkan dan yang kurang ditambah. Oleh
karenanya pembaharuan hukum pidana selalu saja berkisar kepada masalah
kriminalisasi, diskriminalisasi, dan penalisasi.
Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan pidana yang
semula bukan tindak pidana atau tidak ada diatur dalam hukum pidana, karena
perkembangan masyarakat kemudian menjadi tindak pidana atau dimuat ke dalam
hukum pidana, artinya tahap akhir proses kriminalisasi adalah pembentukan
hukum pidana.
Kriminologi (dengan penelitiannya memberikan masukan tentang
perbuatan- perbuatan apa saja yang “layak” dimasukkan ke dalam hukum pidana,
di samping itu tentunya para ahli hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri untuk
memasukkan perbuatan menjadi perbuatan pidana, melainkan perlu bantuan dari
para ahli ilmu sosial lainnya, termasuk kriminologi, seperti yang dikemukakan
oleh Mochtar Kesumaatmadja, pada Seminar Hukum Nasional ke-III di Surabaya
tahun 1974 :
‘Bahwa dalam usaha pembinaan dan pembaharuan hukum nasional, apabila perlu akan juga diikutsertakan kalangan diluar bidang hukum yang erat hubungannya dengan pembinaan dan pembaharuan hukum seperti ahli
(29)
di bidang ilmu sosial lainnya serta di bidang- bidang ilmu lain yang perlu diikutsertakan apabila masalah yang ditangani menghendaki.’20
Sudarto memberikan defenisi tentang kriminalisasi sebagai berikut “Suatu
proses dimana perbuatan yang semula bukan tindak pidana kemudian diancam
dengan pidana dalam undang- undang“
Soetandyo Wignyosoebroto mengartikan kriminalisasi yaitu :
‘Suatu pernyataan bahwa suatu perbuatan tertentu itu harus dibilang sebagai perbuatan pidana. Judgements dan Decisions demikian itu, selalu dikonsepkan sebagai hasil proses- proses formal yang berlangsung dalam atau lewat lembaga-lembaga politik dan/atau pemerintahan (khususnya lembaga legislatif) dengan hasil akhirnya yang berupa produk perundang- undangan khususnya perundang- undangan hukum pidana’.
21
Pengertian dekriminalisasi yang merupakan kebalikan dari kriminalisasi
yaitu suatu proses dimana dihilangkan sama sekali sifat pidananya suatu
perbuatan. Dekriminalisasi ini harus dibedakan dengan depenalisasi. Depenalisasi
mengandung arti suatu perbuatan yang semula diancam pidana, ancaman , dengan kriminalisasi dimaksudkan
proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana.
Proses ini diakhiri dengan terbentuknya Undang- Undang dimana perbuatan itu
diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Terbentuklah peraturan hukum
pidana yang siap untuk diterapkan oleh hakim dan selanjutnya apabila dijatuhkan
pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (eksekutif), dibawah pimpinan
Menteri Kehakiman.
20
Ibid, hal. 32
21
Eprints.undip.ac.id/15487/1/Dwi_Haryadi, Kebijakan Formulasi Delik Perzinaan dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, hal. 45, diakses pada tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB.
(30)
pidananya dihilangkan, tapi masih dimungkinkan adanya penuntutan dengan cara
lain, melalui hukum perdata atau hukum administrasi.22
a) Jangan hukum pidana digunakan semata- mata untuk tujuan pembalasan ;
Nigel Walker mengingatkan adanya “ prinsip- prinsip pembatas” (the limiting principles) yang sepatutnya mendapat perhatian dalam menggunakan ketiga sarana penal (kriminalisasi, dekriminalisasi, dan penalisasi), antara lain :
b) Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan ;
c) Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana- sarana lain yang lebih ringan ;
d) Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian yang ditimbulkan lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri ;
e) Larangan- larangan hukum pidana jangan mengandung sifat yang lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah ;
f) Hukum pidana jangan memuat larangan- larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.23
Sedangkan menurut Barda Nawawi Arief, terkait kebijakan “penal” beliau
memaparkan khusus untuk masalah kriminalisasi, bahwa dalam proses
kriminalisasi harus memperhatikan berbagai aspek pertimbangan sebagai berikut :
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila ;
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat ;
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principles) juga sosial cost atau biaya sosial
22
Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan-Kejahatan Baru yang Berkembang dalam Masyarakat, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal.3.
23
Barda Nawawi Arief, Buku I, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 48
(31)
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan- badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).24
Bassioni berpendapat, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan
dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor- faktor kebijakan tertentu yang
mempertimbangkan bermacam-macam faktor sebagai berikut :
a) Keseimbangan sarana- sarana yang digunakan dalam hubungannya
dengan hasil yang ingin dicapai.
b) Analisa biaya terhadap hasil- hasil yang diperoleh dalam hubungannya
dengan tujuan- tujuan yang dicari.
c) Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam
kaitannya dengan prioritas- prioritas lainnya dalam pengalokasian
sumber daya manusia.
d) Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan
dengan atau dipandang dari pengaruh- pengaruhnya yang sekunder.
Laporan simposium khususnya mengenai kriteria kriminalisasi itu antara
lain menyatakan : untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindak kriminal,
perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut :
1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat
karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau
dapat mendatangkan korban.
2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan
24
(32)
penegakan hukum serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku
kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang
akan dicapai.
3. Apakah akan semakin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh
kemampuan yang dimilikinya.
4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Alasan kriminalisasi dari beberapa pertimbangan-pertimbangan yang telah
dikemukakan tersebut diatas pada umumnya meliputi :
5. Adanya korban ;
6. Kriminalisasi bukan semata- mata ditujukan untuk pembalasan ;
7. Harus berdasarkan asas ratio principle ; dan 8. Adanya kesepakatan sosial (public support).
Alasan yang menyebutkan adanya korban ini menyiratkan bahwa
perbuatan tersebut harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan
kerugian. Salah satu kesimpulan dari seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 di
Semarang antara lain menyatakan, hukum pidana hendaknya dipertahankan
sebagai salah satu sarana untuk social defences25
Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang dipaparkan oleh
Bassiouni disamping itu menimbulkan problem yakni kecenderungan untuk
menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk
.
25
(33)
masuknya faktor-faktor yang subjektif, misalnya nilai-nilai, ke dalam proses
pembuatan keputusan. Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini menurut
Bassioni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan pertimbangan nilai yang bersifat
emosional ( the emosionally laden value judgement approach ) oleh badan legislatif, dikemukakan pula bahwa perkembangan dari a policy oriented ini lamban datangnya karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang
demikian.
Kelambanan yang dimaksud antara lain terletak pada sumber- sumber
keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah. Kelambanan yang demikian
ditambah dengan proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa didasarkan
pada penilaian- penilaian yang terpuji dan tanpa suatu evaluasi mengenai
pengaruh terhadap keseluruhan sistem dapat mengakibatkan timbulnya : (a) krisis
kelebihan kriminalisasi (the crisis of overcriminalization), dan (b) krisis pelampauan batas dari hukum pidana ( the crisis of overreach of the criminal law). Akibat yang pertama mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan- perbuatan yang dikriminalisasikan, dan yang kedua
mengenai usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi
pidana yang lebih efektif.26
Kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau
langkah- langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan
hukum pidana sebagai sarana untuk menaggulangi kejahatan harus benar- benar
26
(34)
telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung fungsi hukum
pidana itu dalam kenyataan. Jadi diperlukan pula pendekatan fungsional, yang
bersifat melekat (inheren) pada setiap kebijakan yang rasional.
Pendekatan lain yang diperhatikan juga tentang sikap dan pandangan
masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu dengan melakukan
penelitian, khususnya yang berhubungan dengan kemajuan teknologi dan
perubahan sosial, yang berhubungan dengan kriminalisasi dan dekriminalisasi atas
suatu perbuatan harus sesuai dengan politik kriminal yag dianut oleh bangsa
Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai- nilai
fundamental yang berlaku dalam masyarakat dianggap patut atau tidak patut
dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.27
Di Indonesia proses kriminalisasi dilakukan sejak proklamasi
kemerdekaan dan berlangsung terus-menerus sampai sekarang seiring
perkembangan yang ada dalam masyarakat. Demikian pula halnya dengan
dekriminalisasi, meskipun dalam pembaharuan hukum pidana proses kriminalisasi
lebih sering dipergunakan dibanding dengan proses diskriminalisasi.28
27
Ibid., hal. 138-139
28
(35)
2. Pengertian Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah
Persetubuhan merupakan perbuatan melakukan hubungan persenggamaan
antara laki-laki dan perempuan (hubungan persetubuhan antara lawan jenis ) yang
dalam hal ini keduanya melakukan perbuatan tersebut atas dasar suka sama suka,
kerelaan, sadar dan sengaja.
Menurut Hoge Raad dalam pertimbangan hukum suatu arrestnya
menyatakan bahwa “Persetubuhan adalah perpaduan antara alat kelamin laki-laki
dengan alat kelamin perempuan yang biasanya dilakukan untuk memperoleh anak,
dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan yang
kemudian mengeluarkan air mani”
Pengertian bersetubuh seperti itu sampai saat ini tetap dipertahankan dan
dalam praktik hukum digunakan sebagai dasar pembuktian dalam konteks delik
perzinaan. Alat kelamin penis apabila tidak sampai masuk ke dalam vagina
walaupun telah mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak sampai keluar
sperma, menurut pengertian bersetubuh seperti itu, maka belumlah terjadi
persetubuhan, namun telah terjadi percobaan persetubuhan, dan jika dikaitkan
dalam konteks hukum pidana, maka ketentuan pasal 53 telah dapat dipidana
karena telah masuk percobaan zina, yang tentunya diikuti dengan unsur- unsur
lain agar dapat digolongkan ke dalam delik perzinaan.29
Perkawinan yang sah menurut pasal 1 Undang- Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 yakni ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga )
29
Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 58
(36)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang-
Undang ini menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping
itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.30 Perkawinan yang sah juga diatur dalam surat edaran Menteri
Agama 3 Maret 1960 No. F/II/312331
30
Undang Undang Perkawinan, Nomor 1 Tahun 1974
31
Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 21, PT. Bumi Aksara, 2001, hal 104-105
, Jadi dari pengertian ini dapat disimpulkan
bahwasanya yang dimaksud dengan persetubuhan di luar perkawinan yang sah
ialah hubungan seksual (persenggamaan) yang dilakukan antara laki-laki dan
perempuan yang keduanya tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, maupun
masing-masing diantara keduanya, tidak dalam ikatan perkawinan yang sah
dengan orang lain ( lajang ), dalam artian yang tergolong melakukan hubungan
persetubuhan di luar perkawinan yang sah yang dimaksud ialah apabila
masing-masing antara laki-laki dan perempuan masih dalam status lajang.
Persetubuhan di luar perkawinan yang sah merupakan penggalan kalimat
“....masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah...” yang terdapat
dalam pasal 483 RUU KUHP 2012. Hal ini yang menjadi fokus persoalan dalam
pembahasan ini yang menjadi bagian rumusan baru dari delik perzinaan, dalam
KUHP selama ini perzinaan hanyalah perbuatan melakukan persetubuhan antara
laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya atau minimal salah satunya harus
(37)
Kata zina secara etimologis berasal dari bahasa Arab yang artinya
persetubuhan di luar pernikahan32. Menurut kosa kata Inggris, zina disebut
sebagai fornication yang artinya persetubuhan di antara orang dewasa yang belum kawin dan adultery yang artinya persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang bukan suami istri dan salah satu atau keduanya sudah
terikat dalam perkawinan dengan suami/istri lain.33
Kamus Besar Bahasa Indonesia secara terminologis mendefenisikan
perzinaan ke dalam dua pengertian, pertama adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan
(perkawinan), dan kedua adalah perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang
perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan
suaminya.34
Hukum Islam membagi perzinaan dalam dua pengertian sama seperti
pengertian dalam Bahasa Inggris, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni
pertama zina yang dilakukan oleh pelaku yang belum menikah ( ghairu muhsan )
atau dalam bahasa Inggrisnya yang telah disebutkan tadi yakni fornication dan
kedua, zina yang dilakukan oleh pelaku yang sudah menikah (muhsan)
35
32
Fadhel Ilahi, Zina (terjemah), Qisthi Press, Jakarta, 2004, hal. 7
33
Eprints.undip.ac.id/15487/1/Dwi_Haryadi, Op. Cit., hal. 60-61
34
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991, hal. 1136.
35
Digilib uin-suka.ac.id, Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana Perzinaan (Studi Komparasi antara Hukum Pidana Islam dan Pasal 284 KUHP ), Yogyakarta, 29 Mei 2009, hal. 21, diakses pada tanggal tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB.
atau
(38)
dengan kata lain ialah perbuatan melakukan hubungan seksual (persenggamaan)
antara laki- laki dengan perempuan atas dasar kerelaan dan sadar, baik keduanya
dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, ataupun salah satunya, maupun
keduanya tidak dalam ikatan perkawinan (remaja).
Pengertian perzinaan sebagaimana rumusan pasal 284 KUHP menurut
beberapa sumber tersebut yaitu pengertian dalam istilah adultery ataupun muhsan,
jadi persetubuhan yang dilakukan oleh laki- laki dengan perempuan yang sama-
sama masih lajang bukanlah termasuk perzinaan menurut hukum positif.
RUU KUHP dalam perkembangannya dari rancangan tahun 2004 sampai
dengan 2012, memuat pengertian zina yang tidak lagi sebagaimana yang
tercantum dalam hukum positif (pasal 284 KUHP), melainkan telah
diformulasikan secara lebih luas yakni mencakup pengertian zina sebagaimana
yang diatur dalam Hukum Islam dan menurut bahasa Inggris yaitu disebut dengan
istilah ghoiru muhsan dan fornication.
Lingkup zina yang diatur dalam hukum Islam dengan zina yang diatur
dalam RUU KUHP terdapat sedikit perbedaan, dalam hukum Islam mengenai
aturan pidana dalam Fiqih Jinayah, antara delik zina dan kumpul kebo tidak dibedakan, sebab pengertiannya sama dan delik kumpul kebo dapat dibuktikan
apabila terdapat unsur persetubuhan/persenggamaan yang dilakukan oleh
pelaku36
36
Digilib uin-suka.ac.id, Zina dan Kumpul Kebo dalam Perspektif Hukum Islam ( Studi atas delik zina dan Kumpul Kebo dalam RUU KUHP 2005), Yogyakarta, 2008, hal. 88, tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB.
, sementara RUU KUHP membedakan antara pembuktian dalam delik
(39)
sebagai delik kesusilaan dan ditempatkan dalam bagian yang sama dalam RUU
KUHP dalam bagian delik Zina dan Perbuatan Cabul. Perbedaanya yakni dalam
delik zina, harus memenuhi adanya unsur persenggamaan/persetubuhan,
sementara untuk delik kumpul kebo tidak harus dengan adanya
persetubuhan/persenggamaan, sebab unsur yang terpenting ialah apabila dapat
dibuktikan bahwasanya terdapat orang-orang yang hidup bersama sebagai
suami-istri di luar perkawinan yang sah, ini sudah dapat dikatakan sebagai delik kumpul
kebo.37
Undang-undang
Permasalahan kriminalisasi terhadap persetubuhan diluar perkawinan
yang sah dalam konteks RUU KUHP yang dibahas dalam konteks permasalahan
ini oleh karena itu tidak termasuk membahas delik kumpul kebo.
3. Pengertian Rancangan Undang-Undang KUHP
Legislation - dari bahasa Latin lex, legis
yang berarti hukum) berarti sumber hukum, semua dokumen yang dikeluarkan
oleh otoritas yang lebih tinggi, yang dibuat dengan mengikuti prosedur tertulis.
Undang-undang merupakan karya legislatif, sering diwujudkan dalam parlemen
yang mewakili rakyat. Undang-undang yang dibuat terlebih dahulu harus
dipersiapkan dalam bentuk konsep/rancangan Undang-Undang.38
37
News.detik.com, RUU KUHP (Pasangan Kumpul Kebo Dipidana, Tak Perlu Pembuktian adanya Hubungan Seks),Rabu, 20/03/2013, 15.15 WIB, diakses pada tanggal tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB.
Rancangan
Undang-Undang berisi format Undang- Undang yang dibuat secara normatif yang
berisi materi rumusan pasal undang-undang yang akan dibuat.
38
Defenisi Undang-Undang, diakses pada tanggal 2 Juli
(40)
RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan ole
diajukan dengan surat Presiden kepada DPR, dengan ditegaskan menteri yang
ditugaskan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR. DPR
kemudian mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak
surat Presiden diterima.
RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat
membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu 60 hari sejak surat Pimpinan
DPR diterima. Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden
atau menteri yang ditugasi, melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat
komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani legislasi, dan dalam
rapat paripurna.
DPD diikutsertakan dalam Pembahasan RUU yang sesuai dengan
kewenangannya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi. DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR
atas RUU tentang
boleh diajukan lagi dalam persidangan masa itu.
RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan
oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU, dalam jangka
(41)
RUU tersebut disahkan ole
jangka waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden, jika
dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani
oleh Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.39
Proses pembuatan RUU KUHP ini telah memakan waktu yang cukup
lama, yakni selama 49 tahun.
Rancangan KUHP dalam bahasan ini merupakan rancangan/konsep Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dalam rangka pembaharuan hukum pidana
Indonesia yang secara garis besar sudah dipandang tidak relevan lagi jika ditinjau
dari segi sosiologis, filosofis dan yuridisnya, sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam sub bab pengertian kebijakan kriminalisasi.
Isi dari Rancangan KUHP bisa berupa penambahan isi pasal/delik
(kriminalisasi), meniadakan/menghapuskan pasal yang semula ada, dan bisa juga
mempertahankan rumusan pasal/delik yang sudah ada sejak semula (penalisasi).
Proses pembuatan Rancangan KUHP selama ini disadari sangatlah tidak
mudah, begitu banyak dinamika yang terus menerus dialami Tim Perumus naskah
RUU KUHP dari masa ke masa, sebab untuk dapat membuat rancangan
Undang-Undang KUHP yang matang, banyak hal krusial yang patut dipertimbangan dalam
merumuskannya.
40
RUU KUHP yang terbaru sampai pada periode
2013 yakni RUU KUHP tahun 2012.
39
Ibid.
40
(42)
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu dengan
pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan yang kemudian
mengadakan analisa terhadap masalah yang dihadapi tersebut.
1. Jenis penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan
perundang-undangan, buku-buku dan data-data yang berkaitan dengan kebijakan
kriminalisasi, persetubuhan di luar perkawinan yang sah antara laki-laki dan
perempuan “hubungan seksual di luar nikah”, delik perzinaan dan
pembaharuannya.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Adapun jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain :
a. Bahan hukum primer, yang diperoleh dari peraturan
perundang-undangan, yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang
berwenang.
b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang menunjang bahan
hukum primer seperti buku-buku dan literarur-literatur yang
(43)
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah :
a)Library Research, yaitu penelitian kepustakaan seperti melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan dan dokumen
serta literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji.
4. Analisis Data
Analisa data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu
analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh
gambaran yang jelas yang dalam hal ini berhubungan dengan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika, organisasi penelitian dan penulisan skripsi ini, dirumuskan
sebagai berikut :
Bab I, PENDAHULUAN, terdiri atas sub-sub bab yang datangnya dari
penulis, terhadap topik dan atau pokok persoalan yang akan diteliti
dan dibahas. Sub-sub bab yang dimaksud adalah : Latar Belakang
Penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan,
Keasliaan Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode penelitian dan
terakhir Sistematika Penulisan.
Bab II, KONSEP PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA
PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH
SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012, yang
(44)
permasalahan yang diteliti dan dibahas, yang terdiri atas sub-sub bab :
Delik Perzinaan, Delik Perzinaan menurut KUHP dan
Perkembangannya di dalam RUU KUHP, Delik Perzinaan menurut
RUU KUHP 2012, Kebijakan Penuntutan Tindak Pidana
Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah.
Bab III, LANDASAN KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP
PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH
SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012, yang
berisikan uraian-uaraian mengenai pokok permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini yang menitikberatkan kepada kajian terhadap
judul skripsi ini. Terdiri dari sub-sub bab : Kriminalisasi,
Kriteria-Kriteria Penentuan Kebijakan Kriminalisasi, Permasalahan dan
Akibat adanya Perbuatan Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah
di Masyarakat, Urgensi dan Tujuan Kebijakan Kriminalisasi terhadap
Perbuatan Melakukan Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah
dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia.
Bab IV, KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERSETUBUHAN
DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI
PEMBAHARUAN DELIK PERZINAAN DI INDONESIA, yang
berisikan uraian- uraian mengenai kelemahan dan keuntungan dari
penerapan konsep RUU KUHP 2012 mengenai kriminalisasi
hubungan persetubuhan diluar perkawinan yang sah antara laki- laki
(45)
penerapan aturan tersebut dimasa yang akan datang, yang terdiri dari
sub- sub bab Kelemahan dan Keuntungan adanya Pengaturan tentang
Tindak Pidana Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah dalam
RUU KUHP 2012 serta Peluang Berlakunya Aturan Tindak Pidana
Melakukan Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah dalam RUU
KUHP 2012.
BAB V, PENUTUP, yang berisikan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh
dari hasil penelitian terhadap permasalahan-permasalahan yang ada
dan saran-saran penulis dari hasil penelitian untuk perbaikan hukum
kedepan khususnya yang berhubungan dengan kebijakan kriminalisasi
terhadap hubungan seksual di luar perkawinan yang sah sebagai delik
perzinaan dalam konsep KUHP baru. Terdiri dari sub-sub bab :
(46)
BAB II
KONSEP PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH SEBAGAI
DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012 A.Delik Perzinaan
Ketentuan hukum pidana Indonesia (KUHP) mengenai delik perzinaan
memiliki pengertian yang berbeda dengan konsepsi yang diberikan masyarakat.
Menurut KUHP, zina diidentikkan dengan overspel yang pengertiannya jauh lebih sempit dari pada zina itu sendiri. Overspel hanya dapat terjadi jika salah satu pelaku atau kedua pelaku telah terikat tali perkawinan. Overspel dapat ditindak dengan hukum pidana jika ada pengaduan dari istri atau suami pelaku, tanpa
adanya pengaduan, atau tanpa diadukan oleh istri/suami maka tindak pidana
perzinaan bukan sebagai hal yang terlarang. Hal ini berbeda dengan konsepsi
masyarakat/bangsa Indonesia yang komunal dan religious, setiap bentuk
perzinaan, baik telah terikat tali perkawinan maupun belum merupakan perbuatan
tabu yang melanggar nilai-nilai kesusilaan.41
Perzinaan dalam tinjauan hukum pidana Islam lebih luas dari pada
pembatasan-pembatasan dalam KUHP. Hukum pidana Islam tidak
mempersoalkan dengan siapa persetubuhan itu dilakukan. Persetubuhan tersebut Konsep yang dianut masyarakat
tersebut tertuang dalam aturan hukum pidana adat, dan hukum Islam, yang
menjadi bagian yang terpisah dari KUHP.
41
digilib.uin-suka.ac.id, Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan (Overspel) dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 1, diakses pada tanggal 01 Maret 2013, pukul 09.00 WIB.
(47)
apabila dilakukan oleh orang yang telah menikah maka pelakunya disebut pelaku
muhsan, dan apabila persetubuhan dilakukan oleh orang yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gairu muhsan.42
Hukum Pidana Adat disamping itu juga mengatur tentang perzinaan
hampir sama halnya dengan apa yang diatur dalam hukum Islam, mengenai
pelaku perzinaan, yakni tidak hanya dilakukan oleh orang yang sudah kawin.
Melakukan persetubuhan di luar perkawinan yang sah baik sudah menikah
maupun belum menikah tetap dianggap sebagai perbuatan yang terlarang dan
disebut juga sebagai zina. Hukum Islam dalam praktiknya hanya dapat
dilaksanakan di daerah tertentu saja di Indonesia yang diatur dalam bentuk
PERDA.
Sanksi dalam delik perzinaan hukum pidana Islam yakni Hukuman (had).
Hukuman ini dapat dijatuhkan apabila ada pengakuan dari pelaku bahwa dia telah
melakukan zina atau dari keterangan saksi, karena menyangkut hidup dan matinya
seseorang.
43
42
Ibid, hal. 2
43
http://id.wikipedia.org, Daftar Peraturan Daerah di Indonesia Berlandaskan Hukum Agama, diakses pada tanggal 20 Juni 2013, pukul 00.00 WIB.
Berat atau ringannya pidana dalam hukum pidana adat tergantung dari
hukum adat yang berlaku di lingkungan adat masing-masing. Tindakan reaksi atau
koreksi terhadap kejahatan dalam lingkungan masyarakat adat Indonesia dikenal
dengan tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. Penggantian kerugian materiel dalam berbagai rupa seperti paksaan untuk
(48)
2. pembayaran uang adat kepada yang terkena, berupa benda sakti sebagai
pengganti kerugian rohani;
3. selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran
aib;
4. penutup malu atau permintaan maaf;
5. pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum;
6. hukuman badan hingga hukuman mati.
Hukum pidana Indonesia (KUHP) menganut asas legalitas formal
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 KUHP, yaitu tiada suatu perbuatan
yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Tafsiran analogi oleh
karenanya tidak boleh dipergunakan dalam menentukan adanya tindak pidana
dengan dianutnya asas legalitas formal.
Hukum adat sendiri tidak mengenal asas legalitas formal. Setiap
perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan,
ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat
bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang maupun perbuatan penguasa
sendiri, maka perbuatan atau kejadian itu dianggap sebagai delik adat. Alasan
manusia tidak akan mampu meramalkan masa yang akan datang, menyebabkan
ketentuan-ketentuan dalam hukum adat tidak pasti dan bersifat terbuka untuk
segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Ukuran utama menurut
(49)
melainkan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat sesuai dengan
perkembangan keadaan, waktu dan tempat.44
44
Ibid, hal. 4-6
Penegakan hukum adat pada praktiknya akan sulit, sebab jika dikaji lebih
jauh tidak semua kalangan masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat
hukum adat, lantas jika terjadi perbuatan zina fornication dikalangan masyarakat yang bukan merupakan masyarakat hukum adat, padahal diketahui bahwa
masyarakat tersebut sangat menjunjung nilai-nilai moral dan agama, tidak akan
ada delik yang dapat menghukum pelaku perbuatan zina. Hal Ini menjadi
persoalan besar sebab zina fornication ini sebenarnya memberikan efek yang merugikan bagi diri sendiri dan masyarakat luas.
Keputusan-keputusan Pengadilan yang mengakui perzinaan fornication
sebagai salah satu delik selama ini memang telah ada, namun kembali lagi dengan
mendasarkan pada hukum yang hidup (adat) yakni sebagai berikut :
a. Putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Nopember 1977 No. K/Kr/1976.
‘Delik adat zinah merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut itu dilakukan seperti disyaratkan oleh pasal 281 KUHP, ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh pasal 284 KUHP’.
b. Putusan Mahkamah Agung No. 666 K/Pid/1984.
Putusan kasasi ini menyangkut seorang terdakwa pemuda (30 tahun) yang menjalin hubungan badan dengan gadis (24 tahun) dengan dalih akan dinikahi. Akan tetapi setelah gadis tersebut hamil, pemuda tersebut menolak menikahi gadis tersebut. Menurut masyarakat Luwuk, Sulawesi Tengah tempat kejadian kasus ini, perbuatan itu termasuk delik adat zina yang tidak ada bandingannya dalam KUHP. Atas dasar pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951 terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara tiga bulan.
(50)
c. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.79/Tol.Pid/1983/PN Denpasar, putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.104/PN/Dps/Pid/1980, putusan No. 2/Pid/B/1985/PN Denpasar, putusan No.25/Pid/B/1986/PN Denpasar dan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.22/Pid./S/1988/PT Dps untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri Klungkung 27 Januari No.1/Pid./S/1988/PN Klk. Semua putusan Pengadilan Bali ini menyangkut delik adat lokika sanggraha. Unsur-unsur yang menonjol adalah persetubuhan dilakukan oleh dua orang yang berada di luar perkawinan dengan janji akan dinikahi, atas dasar suka sama suka, namun ternyata pihak pria mengingkarinya. Dasar pemidanaannya adalah pasal ayat (3) sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 jo. Pasal 359 Kitab Adigama.45
45
Muladi., Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Indonesia di Masa Mendatang, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 16
Hukum positif penting untuk mempertegas adanya aturan mengenai delik
perzinaan bukan sekedar adultery dan merupakan hal yang mendesak, melihat adanya putusan-putusan Peradilan tersebut. Pasal 284 KUHP yang selama ini
mengatur tentang delik zina terbukti dalam kenyataannya tidak mampu
mengakomodir perbuatan zina yang ada dimasyarakat. Aturan adat yang berlaku
bagi masing-masing daerah, ataupun aturan masing-masing agama untuk
penegakan hukum terhadap perbuatan zina fornication kurang dapat diandalkan, sebabhal itu tidak bisa berlaku secara menyeluruh di tiap daerah, oleh karenanya
penegakan hukumnya tidak akan efektif.
Aturan delik perzinaan baik adultery maupun fornication ini juga dapat dilihat pada negara-negara lain yang menggunakannya selain Hukum Adat dan
Hukum Islam, antara lain Negara Malaysia, Kelantan, dan Nigeria. Ketiga negara
ini pada dasarnya merupakan negara yang pembentukan aturan hukumnya
mendapat pengaruh yang kuat dari hukum Islam, sebab ketiga negara ini
(51)
Tiap negara memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai kedudukan
delik perzinaan itu sendiri dalam hukum pidananya, ada yang sama sekali tidak
mempersoalkan mengenai perbuatan zina, yang artinya memandang mutlak
perbuatan persetubuhan itu merupakan privasi setiap orang, ada yang memiliki
kesamaan dengan hukum positif Indonesia, yakni memidana perbuatan zina
adultery saja, ataupun memidana kedua-duanya baik adultery maupun fornication
yakni ketiga negara yang telah disebutkan tadi. Formulasi delik perzinaan di
beberapa negara di dunia, lebih jelasnya disajikan dalam tabel perbandingan
(52)
TABEL 1
PERBANDINGAN FORMULASI DELIK PERZINAAN DALAM KUHP BEBERAPA NEGARA46
NO KUHP NEGARA HUBUNGAN SEKSUAL YANG
DIFORMULASIKAN SEBAGAI DELIK
SIFAT DELIK PIDANA
1. Indonesia Zina Adultry Absolut Klacht Delict Penjara max 9 bulan
2. Prancis 1. Zina Adultry
2. Kumpul Kebo (pergundikan)
Absolute Klacht Delict
Absolut Klacht delict
Tutupan minimum 3 bulan max. 2 tahun untuk pelaku.
Adapun untuk pelaku peserta sama dengan di atas ditambah denda 36.000 sampai 720.000
Franc
Denda 36.000 sampai 720.000
3.
Belanda Zina bukan sebagai delik kecuali dilakukan dengan paksaan terhadap orang yang lemah pikiran, anak di bawah umur dan yang tidak berdaya
- -
4. Inggris Zina bukan sebagai delik kecuali dilakukan dengan paksaan dan lain-lain. Hanya memidana Incest dan Buggery
- -
5. Thailand Zina bukan sebagai delik kecuali dlilakukan - -
46
(53)
dengan paksaan dan sejenisnya terhadap gadis di bawah 13 tahun dan sebagai mata pencaharian (pelacuran)
6. Jepang Zina bukan sebagai delik kecuali dilakukan dengan kekerasan da sejenisnya terhadap gadis di bawah 13 tahun
- -
7. Argentina 1. Zina adultery
2. Pergundikan baik dalam rumah tangga/di luar rumah tangga
Tuntutan pribadi Tuntutan pribadi
Tutupan min. 1 bln max. 1 thn
Tutupan min. 1 bln max. 1 thn
8. Austria Zina adultry Absulut klacht delict Kurungan min. 1 bl. Max 6
bln
9. Korea Zina adultry Absolute klacht delict Perampasan kemerdekaan
max. 2 tahun 10. Greenland Zina bukan sebagai delik kecuali dengan
perkosaan, terhadap perempuan yang berada di bawah kekuasaannya, terhadap anak-anak di bawah 15 tahun dengan memperdaya
- -
11. Malaysia Zina adultery dan Fornication Gewone Delichten Penjara seumur hidup atau 10 tahun dan denda atau dera. 12. Kelantan 1. Zina Adultery (Muhson)
2. Zina Fornication (Ghoiru muhson)
3. Sodomi (liwath)
Gewone Delichten Gewone Delichten
Gewone Delichten
Rajam sampai mati
Cambuk 100x dan 1 tahun penjara
Sama dengan zina baik
(54)
4. Ittiyan al-mayit (zina dengan orang mati )
5. Musahaqah (lesbian)
6. Ittiyan al-bahimah (zina dengan hewan )
Gewone Delichten Gewone Delichten Gewone Delichten
Penjara max. 5 tahun
Ta’zir
Penjara max. 5 tahun
13. Nigeria 1. Zina Adultry (muhson)
2. Zina Fornication (ghairo muhson)
3. Sodomi (liwath)
4. Incest
5. Lesbian
6. Bestiality (zina dengan hewan)
Gewone Delichten Gewone Delichten
Gewone Delichten
Gewone Delichten
Gewone Delichten
Gewone Delichten
Dirajam sampai mati
Cambuk 100x dan 1 tahun penjara
Sama dengan zina baik
Adultry/Fornication
Sama dengan zina baik
Adultry/Fornication
Cambuk 50x dan penjara max 6 bulan
Cambuk 50x dan penjara max 6 bulan
(55)
Kebijakan formulasi delik perzinaan di berbagai negara melalui KUHPnya
masing-masing dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yang dapat dilihat
dari tabel 1 di atas, dengan penjelasan sebagai berikut :
Kelompok I : Negara yang sama sekali tidak memandang perzinaan sebagai sebuah delik, kecuali bila hubungan seksual itu dilakukan
dengan paksaan atau yang sejenisnya, memperdaya, dengan
orang yang lemah pikiran dan lemah posisi, anak di bawah umur
dan di negara-negara tertentu incest dan buggery. Negara-negara yang masuk pada kelompok pertama ini meliputi negara
Belanda, Inggris, Thailand, Jepang, dan Greenland.
Kelompok II : Negara-negara yang memandang perzinaan sebagai tindak pidana, tetapi perzinaan disini hanya meliputi Adultery yakni jika salah satu pelakunya sudah terikat oleh perkawinan.
Kelompok kedua ini menetapkan bahwa perzinaan bersifat delik
aduan absolut (Absolut Klacht Delict) yang artinya hanya istri dan suaminya saja yang berhak melakukan pengaduan. KUHP
Argentina menggunakan istilah untuk delik ini yaitu delik
dengan tuntutan pribadi. Negara-negara pada kelompok kedua
ini memandang perzinaan sebagai delik yang memiliki bobot
ringan, sebagai ancaman pidananya paling maksimum 2 tahun,
tetapi beberapa negara menggunakan sistem pidana minimum
khusus, meskipun tergolong berbobot delik ringan.
(1)
c). Dari sudut strafmodus
Perumusan secara tunggal jika tidak bisa dihindari dan ingin tetap dipertahankan, dalam ketentuan umumnya perlu adanya pedoman penerapan agar hakim diberi kewenangan untuk membatasi atau memperlunak penerapan pidana secara tunggal tersebut. Pidana yang akan diterapkan terhadap delik perzinaan bersifat alternatif misalnya penjara dan denda perlu adanya pedoman penerapan pidana yang diterapkan secara kumulatif. Pidana denda dalam pelaksanaannya dapat dibayar secara mencicil sesuai dengan tenggang waktu yang diputuskan oleh hakim, jika denda tidak dibayar dalam tenggang waktu tersebut, maka denda dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana, kalaupun yang terakhir ini tidak memungkinkan, maka denda yang tidak dibayar diganti dengan pidana kerja sosial, pidana pengawasan, atau pidana penjara.
4. Konsep KUHP yang telah disusun sejak tahun 1964 dan terus disempurnakan hingga konsep KUHP tahun 2012 hendaknya segera dilimpahkan ke Badan Legislatif, agar segera bisa dibahas dan kemudian disahkan dengan selalu memperhatikan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan politis masyarakat Indonesia.
5. Kebijakan kriminalisasi ini hendaknya disosialisasikan baik kepada para legislator, akademisi hukum, dan praktisi hukum tentang berbagai hasil penelitian dan seminar-seminar baik nasional maupun internasional yang
(2)
yang bersumber dan berakar dari nilai-nilai budaya, moral dan agama yang dianut oleh masyarakat. Penelitian dan penggalian terhadap nilai-nilai hukum yang berakar dari budaya, moral dan agama juga perlu dibudayakan untuk selanjutnya dijadikan sebagai sumber dan dasar bagi pembaharuan hukum kita.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Oemar Seno, 1976, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Cet.II, Jakarta : Erlangga.
Arief, Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
---, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana “Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”, Ed.2, Cet.3,
Jakarta: Kencana.
Arifin, Bustanul, 1999, Transformasi Syari’ah ke dalam Hukum Nasional, Jakarta: Yayasan al Hikmah.
Asshiddiqie, Jimly, 1996, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa.
Chazawi, Adami, 2005, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Dewantara, Nanda Agung, 1988, Kemampuan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan-Kejahatan Baru yang Berkembang dalam Masyarakat, Yogyakarta: Liberty.
Hamdan, M, 1997, Politik Hukum Pidana, Jakarta :PT Raja Grafindo Persada.
Hamzah, Andi, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ilahi, Fadhel, 2004, Zina (terjemah), Jakarta: Qisthi Press.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T Kansil, 2003, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum (Bagi Mahasiswa dan Subyek Hukum Etika Profesi Hukum : Hakim, Penasihat Hukum, Notaris, Jaksa dan Polisi, Cet. II, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Kartono, Kartini, 2003, Patologi Sosial, Ed.2, Cet.8, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Lamintang, P.A.F, 1990, Delik- delik Khusus “ Tindak Pidana- Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma- Norma Kepatutan”, Bandung: CV Mandar Maju.
(4)
Mahindra, Yusril Ihza, 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani Press.
Muladi, 1996, Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Indonesia di Masa Mendatang, Jakarta: Sinar Grafika.
Mulyadi, Lilik, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Cet. 2, Jakarta: Djambatan.
Moeljatno, 2001, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 21, PT. Bumi Aksara
Prasetyo, Teguh, 2011, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media.
Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Cet. 5, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Santoso, Topo, 1997, Seksualitas dan Hukum Pidana, Jakarta: Ind-Hill-Co.
Santoso ,Topo dan Eva Achzani Zulfa, 2002, Kriminologi, Ed. I, Cet. 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sa’abah, Marzuki Umar, 2001, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, Yogyakarta : UII Press.
Soemadiningrat, Otje Salman, 2003, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung: PT Alumni.
Subekti, R dan R. Tjitrosudibyo, 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. 25, Jakarta: Pradnya Paramita.
Sugandhi, R, 1981, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional.
Supramono, Gatot, 1998, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta: Djambatan.
Suseno, Frans Maqnis, 1987, Etika Politik, Jakarta: Gramedia.
Lev, Daniel S, 1972, Islamic Courts in Indonesia, Bekeley: University of California Press.
(5)
Loekito, Ratna, 1998, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta: INIS.
Tongat, 2002, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Waliyudi, 2003, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Departemen Agama RI, 1985/1986,Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: PT Internasa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka
Lembaga Al Kitab Indonesia, 1979, Jakarta.
Perundang-Undangan :
Undang Undang Perkawinan, Nomor 1 Tahun 1974 Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya
Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia Rancangan Undang-Undang KUHP 2012
Website :
digilib uin-suka.ac.id, Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana Perzinaan (Studi Komparasi antara Hukum Pidana Islam dan Pasal 284 KUHP ), Yogyakarta, 29 Mei 2009
digilib.uin-suka.ac.id, Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan (Overspel) dalam Hukum Pidana Indonesia
digilib uin-suka.ac.id, Zina dan Kumpul Kebo dalam Perspektif Hukum Islam ( Studi atas delik zina dan Kumpul Kebo dalam RUU KUHP 2005), Yogyakarta, 2008
Eprints.undip.ac.id/15487/1/Dwi_Haryadi, Kebijakan Formulasi Delik Perzinaan dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
(6)
http://himaihuinsuka.files. wordpress.com, Delik Perzinahan dan Berbagai Sistem Hukum dan dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
http://id.wikipedia.org, Daftar Peraturan Daerah di Indonesia Berlandaskan Hukum Agama
Defenisi Undang-Undang
http://himaihuinsuka.files. wordpress.com, Delik Perzinahan dan Berbagai Sistem Hukum dan dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
Tunda Dulu Revisi KUHP Sosialisasikan Dulu ke Publik
Agus Luqman, Qanun- Qanun yang Menjerat Wanita Aceh, 15 April 2013
Soal Zina dan KUHP, Sabtu, 11
Oktober 2003.
law.uii.ac.id/images/story/jurnal, Lidya Suryani Widayawati, Revisi Pasal Perzinaan dalam Rancangan KUHP: Studi Masalah Perzinaan di Kota Padang dan Jakarta, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16, DPR RI, Jakarta, 2009
news.detik.com, RUU KUHP (Pasangan Kumpul Kebo Dipidana, Tak Perlu Pembuktian adanya Hubungan Seks), Rabu, 20/03/2013