Kontroversi Kretek Dalam RUU Kebudayaan

Kontroversi Kretek Dalam RUU Kebudayaan dan Industri Rokok

Oleh: Reiza Patters

Perbincangan tentang rokok, kretek dan tembakau sering menuai perdebatan
dan masih terus menjadi kontroversi. Perdebatan yang paling mutakhir adalah
tentang masuknya rokok kretek tradisional sebagai salah satu bagian dari
warisan budaya dalam draf Rancangan Undang Undang Kebudayaan yang
dikabarkan sejumlah media massa tengah dibahas Badan Legislasi DPR. Dalam
pasal 37 di RUU Kebudayaan, kretek tradisional disebut sebagai sejarah dan
warisan budaya yang membutuhkan penghargaan, pengakuan, dan/atau
perlindungan. Penjelasan lebih lengkapnya dijabarkan pasal 49.
Namun, tak semua anggota Badan Legislasi DPR mengetahui tentang masuknya
pasal soal kretek sebagai warisan budaya dalam draf RUU Kebudayaan tersebut.
Tifatul Sembiring, anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PKS, seperti dikutip
dari BBC Indonesia menyebut, masuknya pasal soal kretek dalam RUU
Kebudayaan sebagai hal yang “mengada-ada”. “Masyarakat juga belum banyak
yang sadar ya, mendengar bahwa ini (kretek) dimasukkan. Anggota dewan saja
banyak yang tidak tahu kalau tidak terlibat dalam pembicaraan atau
pembahasan,” katanya.
Menurutnya, setiap orang berhak memberi usulan pada produk legislasi yang

tengah dibahas. “Tapi apakah itu dapat lolos, belum tentu. Kan semua fraksi
belum membahasnya. Masuk saja di RUU Tembakau deh, tidak usah di RUU
Kebudayaan, apa hubungannya budaya dengan kretek. Ada-ada saja,” ujar
Tifatul lagi.

Penolakan Keras
Hal yang akan menjadi konsekuensi logis jika artikel tersebut tetap masuk saat
RUU Kebudayaan disahkan adalah pemerintah harus mensosialisasikan serta
mempromosikan kretek tradisional. Dan langkah itu menurut Penasehat Komisi
Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, Kartono Muhammad sama saja
dengan menyuruh anak-anak untuk merokok. “Kalau kita ikuti bunyinya draft
undang undang itu, nanti kretek itu akan difestivalkan dan setiap daerah harus
melakukan sosialisasi, maka anak anak disuruh mencoba merokok,”ujarnya
seperti dikutip dari RRI.
Kartono Mohamad menganggap masuknya ayat soal kretek dalam RUU
Kebudayaan sebagai sesuatu yang aneh. Menurutnya, kretek memang khas
Indonesia, namun budaya itu hanya terbatas di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dia
mempertanyakan alasan kretek menjadi bagian dari warisan budaya, karena di
Indonesia ada kebiasaan mengonsumsi atau makan sirih yang sudah lama atau
tuak yang lebih banyak ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, tapi tidak

masuk dalam draf RUU ini.
“Kalau ada pihak yang mengatakan kretek warisan budaya sudah seumur
manusia tidak betul juga. Kenapa tidak menjadikan makan sirih dan makan tuak

yang sudah menjadi tradisi seluruh wilayah Indonesia sebagai warisan budaya?
Ini terlalu dipaksakan,” tegasnya.
Lain lagi dengan penolakan dari sastrawan Taufiq Ismail, yang menyebut rokok
kretek bukanlah warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi Undang-undang
dan dipromosikan.
“Merokok kretek bukan budaya asli bangsa Indonesia. Itu cuma akal-akalan
korporasi rokok. Tembakau dan cengkeh kan bukan tanaman asli Indonesia,” kata
Taufiq di Jakarta, seperti dikutip dari kompas.com.
Budaya menghisap rokok, kata Taufiq sebenarnya bukan asli Indonesia, itu
adalah kebiasaan asing yang dibawa ke Indonesia melalui aktivitas perdagangan.
Dia menjelaskan, salah satu bukti politisi Indonesia sudah menjalin kongkalikong
dengan pengusaha rokok adalah Indonesia tak meratifikasi kerangka kerja
pengendalian tembakau (FCTC) Badan Kesehatan Dunia atau WHO.
“Dari 80 lebih negara, yang tidak ikut FCTC cuma ada tiga negara, termasuk
Indonesia, dan dua negara Afrika seukuran Jawa Barat. Kalau saya pergi ke
kantor perusahaan-perusahaan rokok, di ruang tamunya ditulis, ‘dilarang

merokok’. Coba, kemunafikan macam mana lagi yang lebih dari itu?” tegasnya.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga mengeluarkan suara terkait persoalan
ini. Mereka menganggap bahwa DPR menyelundupkan pasal kretek dalam RUU
Kebudayaan dan menilai hal tersebut sebagai pembodohan.
“Usaha menyelundupkan pasal rokok kretek sebagai warisan kebudayaan yang
harus dilindungi dalam RUU Kebudayaan yang sudah disetujui Baleg DPR adalah
nyata-nyata pembodohan terhadap masyarakat, karena hanya akan membiarkan
generasi muda bangsa sebagai sasaran utama pasar industri rokok,” Wakil Ketua
Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah, Sudibyo Markus, seperti dikutip dari
detikcom.
Menurut Sudibyo, penyebutan kretek harus dimaknai sebagai satu kesatuan
antara tembakau sebagai bahan baku pokok rokok kretek, dan cengkeh sebagai
bahan tambahan. Sehingga penyebutan kretek tak bisa dipisahkan dari
tembakau sebagai bahan pokoknya. Sementara penyebutan cengkeh saja
sebagai campuran rokok kretek tanpa menyebut tembakau sebagai bahan
utamanya, sama sekali tidak memberikan makna dan bobot sebagai warisan
kebudayaan.
“Walaupun cengkeh secara historis dikenal sebagai salah satu rempah-rempah
andalan Nusantara yang menarik para penjajah datang untuk mengeksploitasi
Nusantara,” lanjutnya.


Dukungan yang Datang
Anggota DPR RI Komisi IX Rieke Diah Pitaloka meminta agar masyarakat
Indonesia menjadikan kretek sebagai warisan budaya, untuk melindungi industri
ini. Meski Indonesia tidak ikut tandatangan dalam FCTC, namun keberadaan
aturan tersebut mengancam keberadaan rokok kretek di Indonesia. Terlebih lagi,
rokok jenis ini banyak menyumbang devisa hingga lebih dari Rp100 triliun.
Seperti yang diungkapkannya di sindonews.com Rieke menceritakan, di era

perjuangan kemerdekaan, rokok kretek ini banyak memberikan sumbangan.
Yakni, ketika Soekarno, Presiden pertama RI di dalam penjara Sukamiskin. Saat
itu, seorang kurir bernama Inggrid mengirimi Soekarno sejumlah rokok kretek.
Selain rokok tersebut dikonsumsi, dari secarik kertas rokok kretek inilah,
Soekarno menuliskan ide-ide perjuangan Indonesia. Saat itu rokok kreteknya
bermerek Kelobot yang diproduksi di Jawa Barat. “Nilai historisnya sangat kental.
Belum lagi rokok kretek sudah ada sejak ratusan tahun lalu,” katanya.
Ia juga mengatakan, agar kretek ini menjadi warisan budaya, tidak perlu ada
pengakuan dari UNESCO. Analoginya, seperti batik. Indonesia secara formal baru
memiliki batik ketika mendapat pengakuan dari UNESCO pada tanggal 3 Oktober
dan diperingati sebagai hari batik nasional. Padahal, batik ini sudah ada sejak

beberapa tahun lalu. Kondisi seperti itu menunjukkan bangsa Indonesia tidak
berdaulat di bidang hukum sehingga bergantung pada UNESCO.
Jika berbicara soal Tembakau, nilai-nilai budaya yang harus dilindungi. Berbicara
soal Tembakau, Petani di Indonesia memiliki nilai-nilai yang membuat bangsa ini
berkepribadian dalam budaya. Seperti, ritual dalam setiap musim tanam dan
panen. Serta kapan hasil ini dijual. Kondisi ini, lanjutnya, tidak akan masuk
kedalam dugaan perang antara industri farmasi dan rokok luar negeri. “Kretek ini
adalah persoalan budaya bangsa. Ketika kretek ini diganggu orang Indonesia
akan marah. Sama halnya ketika Reog Ponorogo diklaim oleh Malaysia,” jelasnya.
Selain Rieke, dukungan juga muncul dari Wagub Jatim Saifullah Yusuf (Gus Ipul)
yang pernah mengatakan bahwa rokok kretek adalah warisan budaya unik
nusantara dan kreasi khas anak bangsa yang harus dipertahankan untuk
perkembangan produksi dan penerimaan negara. Keberadaan industri rokok
kretek di Indonesia memberikan manfaat dan menjadi tumpuan jutaan tenaga
kerja baik langsung maupun tidak langsung.
Menurut dia, Jatim salah satu penghasil rokok kretek terbesar yang
menggunakan bahan baku asli dari Indonsia sekaligus penghasil cukai terbesar.
Market tembakau Indonesia terhadap dunia sebesar 34 persen dan 25 persen
dari Jatim, kususnya dari Jember. Sedangkan produksi tembakau rata-rata dalam
periode 2001 – 2011, sebesar 73.304 ton dan 9.988 ton dengan luas budidaya

menyebar di 22 kabupaten dengan luasan 110.813 ha. Jatim memiliki 1.399 unit
pabrik rokok besar maupun kecil yang tersebar di seluruh daerah dengan total
produksi mencapai Rp 180 miliar.
Pernyataan Gus Ipul tersebut didukung oleh Koordinator Masyarakat Bangga
Produk Indonesia (MBPI) Fahmi Idris. Dia pernah mengatakan bahwa Jatim adalah
penghasil dan penyumbang pendapatan terbesar di sektor cukai. Dia
mencontohkan, PT Freeport di Papua hanya menyumbang Rp 20 triliun dari
royalti penambangan minyak, sedangkan rokok atau cukai di Jatim menyumbang
lebih dari Rp 60 triliun. Namun dampak yang ditinggalkan dari PT Freepot
terhadap pembuangan limbah harus dibayar mahal oleh negara dan buruk bagi
lingkungan sekitar.
“Kretek layak jadi warisan budaya dunia seperti keris atau batik. Dunia telah
mengenal minuman Sake dari Jepang dan cerutu dari Kuba. Dulu saya ketika jadi
menteri sempat mengusulkan Kretek menjadi national heritage,” tegasnya.

Dukungan menjadikan kretek sebagai bagian dari warisan budaya, justru juga
muncul dari budayawan Mohammad Sobary. Dia mengecam para wakil rakyat di
DPR yang mempersoalkan kretek sebagai warisan budaya. Seperti diketahui,
pasal 37 RUU Kebudayaan menyebutkan adanya perlindungan kretek sebagai
warisan budaya. Namun, faktanya, sejumlah politisi DPR, terutama dari Partai

Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional mengecam hal ini. Padahal RUU
itu sendiri merupakan inisiatif DPR. Sobary menilai, penolakan itu menunjukkan
wakil rakyat itu tak paham kebudayaan. “Bagaimana paham kebudayaan kalau
mereka tidak mau tahu terhadap persoalan rakyat yang terinjak-injak,” kata
Sobary di Jakarta, seperti dikutip dari Republika online.
Ia mengingatkan, kretek bukan sekadar rokok. Mantan wartawan ini lantas
mengutip Mark Hanusz, penulis buku Kretek: The Culture and Heritage of
Indonesia Clove Cigarettes. “Tulis Mark, kretek itu bukan rokok, bukan pula
cerutu. Meski sama-sama berbahan baku tembakau, namun kretek juga
mengandung bahan baku lain yang tidak dimiliki oleh rokok jenis manapun yakni
cengkeh,” terangnya.
Memang bunga cengkeh sudah sejak lama jadi komoditas perdagangan penting
dan menjadi salah satu alasan wilayah nusantara diincar dan dikuasai penjajah.
Sebagai tanaman endemik bernilai ekonomi tinggi dan menjadi bagian hidup
masyarakat, cengkeh turut membentuk bangunan budaya Indonesia.
Sobary mengingatkan, ada kelompok tertentu di masyarakat yang merasa paling
tahu tentang persoalan rokok. Mereka ini begitu menggebu-gebu ingin
mengubah hidup ratusan ribu petani tembakau yang terlibat dalam industri
kretek. “Mereka ini sok tahu. Padahal mereka yang tidak pernah mencium bau
tanah. Tak pernah ikut bergelut dengan masalah keseharian petani tapi dengan

gampang mengatakan, petani tembakau bisa beralih ke produk pertanian lain,”
kecamnya.
Tak hanya itu, lanjut dia, ada kepentingan asing yang kasat mata untuk menelan
bisnis kretek dalam negeri yang besar. Berbeda dengan para penjajah yang
langsung mencaplok lahan dan menguasainya. Kepentingan asing ini, kata dia,
mempengaruhi aturan untuk dibuat pemerintah berdasarkan kepentingan
mereka.
Senada dengan Sobary, peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia Universitas Muria
Kudus, Zamhuri berpendapat bahwa upaya memasukkan kretek sebagai warisan
budaya sebagai usaha mempertahankan budaya kretek melalui RUU
Kebudayaan. Sebab, menurut Zamhuri, secara kajian ilmiah, kretek merupakan
produk yang ditemukan oleh orang asli Indonesia dan memenuhi kriteria sebagai
warisan budaya, seperti yang dikutip dari situs resmi RRI.
“Kita sudah meriset dengan teman teman di Fakultas ilmu budaya jurusan
sejarah Universitas Gajah Mada (UGM Jogyakarta) yang hasilnya, kretek itu bisa
menjadi warisan budaya tak benda,” kata Zamhuri.
Tidak hanya mendukung rencana menjadikan kretek sebagai warisan budaya,
Zamhuri dengan tegas berpendapat bahwa argumen ‘merokok membunuhmu’
hanya berbasis stigma negatif dan emosional.
Gabriel Mahal, advokat dan pengamat Prakarsa Bebas Tembakau, pernah

mengupas buku Wanda Hamilton “Nicotine War, Perang Nikotin dan Para

Pedagang Obat” terbitan InsistPress, Jogja. Tema ini aktual, karena gerakan stop
merokok mulai diperketat di tempat-tempat publik, terutama di ibu kota. Hotel,
mal, fasilitas publik, sudah diintai petugas Satpol PP yang dibekali Perda Provinsi
DKI, dan siap menghukum perokok.
Bloomberg pernah merilis lembaga-lembaga yang dibiayai internasional untuk
meminimalisir perokok. Sampai-sampai Muhammadiyah, pada Maret 2010 yang
lalu, pernah mengeluarkan fatwa haram. YLKI, Komisi Perlindungan Anak,
beberapa lembaga pendidikan tinggi, pemerintah daerah, dan beberapa lembaga
juga turut bersikap antirokok. Hal ini terkait dengan isu kesehatan akibat rokok
yang sangat kencang sekali. Rokok dan perokok dipandang sebagai sumber
berbagai penyakit yang harus diberantas, atau setidaknya dibatasi agar tidak
menyebar kepada orang lain.
Gabriel menyebut angka-angka yang dirilis soal orang-orang mati konyol karena
rokok itu tidak valid. Tidak ada penelitian yang meyakinkan, bahwa kematian
mereka betul-betul dari rokok. Dia menyebut ada konspirasi besar, perusahaan
farmasi dunia yang hendak merampas nikotin dari tembakau. Dari sisi lain, ada
petani tembakau di Temanggung, Parakan, Wonosobo, dan Madura yang was-was
karena pencaharian mereka juga terancam.

“Saya bangga dengan Soekarno, karena membangun ke-Indonesiaan. Saya
heran, ada kekayaan hayati asli Indonesia, yang bernama tembakau, kok malah
dikebiri? Ikut-ikutan memandang tembakau seperti iblis? Padahal, berapa triliun
pemerintah memungut cukai dari sektor ini?” kata Gabriel.
Hamilton, peneliti independent dan pengajar di tiga universitas di AS itu
memotret dengan rinci motif-motif perang nikotin itu. Agustus 2000 ada
Konferensi Dunia tentang Tembakau dan Kesehatan ke-11 di Chicago. Sponsor
terbesarnya, Glaxo Wellcome, Novartis, Pharmacia dan SmithKlina Beecham,
perusahaan farmasi yang memproduksi “pengganti nikotin.” McNeil Consumer
Products, anak perusahaan Johnson & Johnson yang memasarkan Nicotrol.
SmithKline memasarkan koyok Nicoderm dan permen karet Nicorette.
Kecurigaan Gabriel Mahal, konspirasi dunia farmasi ini sudah memiliki nikotin
sintetis, yang bisa dibuat dengan model lain, bukan rokok. Pesaingnya adalah
rokok dan tembakau, yang menghasilkan nikotin dari alam yang tidak bisa
dipatenkan. Persaingan usaha itu, mereka merancang skenario dari kesehatan
dan menggandeng WHO. “Saya akan bela petani-petani tembakau yang tidak
pernah tahu kenyataan seperti ini,” tutur Gabriel.
Industri dan Sumbangan Cukai
Industri tembakau, selain menjadi salah satu dari 10 industri prioritas nasional,
hingga kini, industri ini melibatkan lebih dari 6 juta tenaga kerja, khususnya

industri rokok kretek. Hal ini dikatakan oleh Menteri Perindustrian (Menperin)
Saleh Husin, Maret lalu seperti dikutip dari detik.com. Menteri Saleh juga
mengatakan bahwa rokok kretek telah menjadi bagian sejarah bangsa dan
budaya masyarakat Indonesia. Saleh menilai, rokok merupakan komoditas yang
“sangat Indonesia” dan merupakan warisan nenek moyang bangsa dan sudah
mengakar secara turun temurun.
Sepanjang tahun 2014, penerimaan cukai rokok mencapai Rp 111,4 triliun,
meningkat dibanding tahun 2013 yang sebesar Rp 100,7 triliun. Pangsa pasar

saat ini untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) sebesar 66,26%, Sigaret Kretek Tangan
(SKT) 26%, Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 6% dan lain-lain, yaitu Klobot,
Cerutu, klembak menyan, dan Sigaret Tangan Filter sebesar 1,74%. Pada tahun
2012 nilai ekspor rokok dan cerutu mencapai US$ 617,8 juta, meningkat pada
tahun 2014 mencapai nilai US$ 804,7 juta, atau meningkat rata rata setiap
tahunnya sebesar 14,1%.
Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budiyono mengatakan
industri tembakau merupakan sumber utama penerimaan cukai negara dan
merupakan
industri
padat
karya.
Namun,
pemerintah
terkesan
mengesampingkan kelangsungan industri tembakau nasional yang menjadi
tumpuan mata pencaharian jutaan orang. Budiyono juga mengatakan bahwa
kondisi memprihatinkan itu, terwujud seiring dengan sikap pemerintah Jokowi-JK
yang meneruskan upaya memeras industri tembakau melalui lonjakan target
cukai tembakau tahun 2016.
Selanjutnya, ancaman hancurnya industri rokok semakin nyata dengan kenaikan
target cukai secara eksesif menjadi Rp148,9 triliun atau mengalami kenaikan
sebesar 23% dibandingkan dengan target cukai 2015 yang disahkan sebesar
Rp120,6 triliun rupiah. Dengan kenaikan cukai rokok yang rata-rata 7%-9%
setiap tahun saja, jelasnya, industri tembakau sudah sulit untuk berkembang. Ini
malah akan meloncat 23%, yang dinilai bisa membunuh industri tersebut,
memacu peredaran rokok ilegal dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Budiyono juga mengatakan bahwa kenaikan cukai tembakau yang eksesif akan
menjadi pendorong bagi makin maraknya peredaran rokok ilegal di Indonesia.
“Kalau rokok ilegal makin marajalela, maka semua pihak akan dirugikan, yaitu
pabrikan rokok legal, para pekerjanya, serta para petani tembakau dan cengkeh.
Jangan lupa, pemerintah juga akan dirugikan karena rokok ilegal tidak bayar
cukai,” terang Budiyono lagi.
Semakin mahalnya harga rokok legal karena harus membayar cukai yang tinggi,
tentu akan semakin memicu perkembangan rokok illegal. Selain itu, dampak
yang sangat terasa bagi industri tembakau ialah penurunan volume produksi
rokok akibat kenaikan tarif yang berlebihan. Imbasnya dirasakan langsung pada
pendapatan petani tembakau dan cengkeh yang bergantung pada
keberlangsungan industri hasil tembakau. Bukan hanya bagi petani saja, pelaku
lain dalam industri pun akan terkena imbasnya. Penerapan kebijakan ini dapat
menambahkan jumlah perusahaan yang gulung tikar dan pemutusan hubungan
kerja bagi para pekerja industri tembakau.
Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyebutkan jumlah pabrikan produsen
tembakau sudah menurun dari 4.000 menjadi 995 pada 2014. Pada tahun yang
sama, sekitar 20.000 pekerja pun mengalami pemutusan hubungan kerja baik di
perusahaan tembakau besar maupun kecil. “Jika bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan negara, pemerintah harus lebih bijak. Apabila hal ini terjadi terusmenerus, industri tembakau nantinya akan mati. Imbasnya tentu terhentinya
kontribusi terhadap negara dalam bentuk penerimaan cukai serta hilangnya
lapangan pekerjaan padat karya,” tegas Budiyono.
Sementara itu, Ismanu Sumiran, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Rokok
Indonesia (Gappri) menilai pemerintah saat ini belum memberikan keberpihakan
terhadap industri rokok. Dari data Gappri, industri rokok sudah menyumbang

pemasukan cukai dari pajak sebesar 90 persen dari total cukai yang masuk,
seperti yang dilansir dari Tribun Bisnis. Ismanu mengatakan pemerintah saat ini
lebih banyak mendengar kelompok anti tembakau dengan alasan kesehatan.
Menurut Ismanu pihak yang mewakili kelompok anti tembakau berlebihan dalam
memaparkan fakta bahayanya merokok.
“Kelompok anti tembakau itu terlalu didramatisir tidak terbukti secara konkret ini
rokok membunuh dan sebagainya,” ujar Ismanu di kantor Ditjen Bea Cukai,
September 2015 lalu.
Menurut Ismanu masyarakat bisa terganggu kesehatan di jalan raya bukan
karena rokok melainkan asap knalpot dari kendaraan. Namun Ismanu heran
pemerintah justru melihat industri rokok penyebab gangguan kesehatan.
Namun begitu, terkait dengan rencana kenaikan cukai rokok tersebut,
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai pembina industri nasional
mengambil sikap menolak kebijakan kenaikan tarif cukai rokok ini. Bahkan,
Kemenperin telah menyiapkan surat resmi yang akan dikirimkan ke Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) yang garis besarnya menolak jika tarif cukai rokok
dinaikkan hingga 23 persen.
“Suratnya sudah di meja Pak Saleh Husin (Menteri Perindustrian-red), tinggal
menunggu persetujuan beliau,” kata Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri
Agro Kemenperin, seperti dikutip dari Sinar Harapan online.
Panggah mengatakan bahwa satu hal yang harus dicermati yaitu, kenaikan
target cukai rokok bisa tidak terealisasi pada 2016, berkaca pada pencapaian
tahun lalu. Sebagai gambaran, di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN) 2016 pemerintah mengusulkan penerimaan cukai hasil
tembakau naik 23 persen menjadi Rp 148,85 triliun. Angka ini setara 95,72
persen dari total target penerimaan cukai tahun depan senilai Rp 155,5 triliun.
Pada 2014, realisasi cukai tembakau hanya mencapai Rp 116 trilun. Padahal
target cukai 2015 yang tertuang di APBN yang diteken pada September 2014
sebesar Rp 120,6 triliun. “Ini kan artinya tidak tercapai target cukai untuk tahun
lalu. Bagaimana mungkin mau dinaikkan sebesar 23 persen,” tutur Panggah.

Data dan Fakta
Karim Raslan, dalam salah satu tulisannya yang diposting di situs inilah.com,
pernah mengatakan bahwa industri rokok kretek adalah satu industri yang
pengaruhnya begitu besar, hingga orang-orang China pun pasti akan kagum,
yang akan selalu menjadi milik Indonesia. Setiap kita mengisap rokok kretek, di
manapun kita berada, kita pasti akan merasa terbawa ke Jawa: sebuah pulau
dengan kekayaan sejarah dan tradisi, serta keindahan luar biasa. Karim Raslan
mengatakan bahwa besarnya industri ini begitu fenomenal. Diperkirakan ada 10
juta orang “petani cengkeh dan tembakau, pekerja pabrik, pedagang dan pemilik
warung” yang mendapatkan nafkahnya dari pembuatan rokok. Industri ini juga
menyuntikkan sekitar 5,5% ke dalam kas nasional, sumber pendapatan
pemerintah yang naik dari Rp4 triliun pada 1996 hingga mencapai Rp40 triliun
pada 2009.

Dengan jumlah petani tembakau yang diperkirakan sebanyak 2,4 juta, sebagian
besar berada di ambang garis kemiskinan. Pemerintah harus memikirkan
bagaimana mereka akan menangani industri rokok kretek ini. Ya, tentunya
pemerintah akan membebankan pajak lebih besar. Namun, kretek adalah produk
yang spesial dan merupakan sebuah brand Indonesia dengan rangkaian nilai
yang 100% lokal. Pemerintah harus membuat keputusan strategis. Penghasil
kretek butuh bantuan agar mereka dapat memasarkan produk mereka ke luar
negeri.
Karim Raslan pun mengatakan bahwa ekspor menjadi salah satu pilihan strategis
yang paling logis sebagai jalan keluar industri ini. Sampoerna, Djarum, dan
Gudang Garam dapat menjadi raksasa pan-Asia, bahkan regional, seperti yang
sudah dilakukan Filipina dengan merk San Miguel. Mereka punya sumber daya
untuk mengembangkan pasar mereka dan menjadi eksportir handal, seperti
halnya Absolut, merk vodka yang telah menjadi ikon Swedia.
Yang dibutuhkan adalah keberanian, ambisi dan visi. Selama ini, Indonesia
dianggap menjadi salah satu negara penghasil rokok terbaik. Bagaimana tidak,
dari sekian banyak kota yang ada di Indonesia, ada empat kota yang menjadi
wilayah penghasil utama tembakau, cengkeh dan kretek. Yaitu Temanggung,
Minahasa, Kudus dan Kediri. Pada tahun 1811 saja, produksi tembakau di
Temanggung sudah mencapai 1.500 ton. Dinas Pertanian, Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Temanggung mencatat, di 2009 jumlah produksi
tembakau di wilyahnya mencapai 6.786 ton dari lahan seluas 13.088 hektar.
Sementara itu di Minahasa, menurut data BPS, pada 2008 total lahan produktif
yang menghasilkan cengkeh disana mencapai 23.138,25 hektare. Lahan itu
terpencar di 19 kecamatan yang ada di kota Minahasa. Total produksi ditahun
yang sama juga mencapai 18.742 ton. Dengan kecamatan Kombi yang tercatat
sebagai wilayah penghasil cengkeh terbesar di Minahasa yakni 4.000 ton.
Sedangkan di Kudus, pada 2009 tercatat, total produksi rokok kretek di Kudus
berjumlah 58,9 miliar batang dari 209 unit industri. 98,4 persennya berasal dari
industri besar seperti PT Djarum dan PT Nojorono. Sisanya 17 unit industri
menengah dan 173 unit industri kecil rumahan. Kudus juga penyumbang PPN
industri kretek terbesar dari seluruh industri ini yakni 98,73 persen dari total
penerimaan PPN industri kretek sebesar Rp2,97 triliun. Sementara untuk cukai
pada 2008 Kudus menghasilkan cukai hasil tembakau sebesar Rp13,57 triliun. Di
tahun yang sama, Kudus juga mampu mencatatkan nilai ekspor kretrek sebesar
USD66,84 juta.
Untuk di Kediri, pada 2010, Kota dan Kabupaten Kediri juga tercatat memperoleh
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) cukup besar, yakni Rp90,6
miliar. Dana dari cukai tembakau tersebu digunakan oleh pemerintah Kabupaten
Kediri untuk membiayai pelayanan umum dan pengembangan kesejahteraan
masyarakat sekitar. Pada tahun yang sama, industri kretek di Kediri mampu
menyerap tenaga kerja sebanyak 42.900 orang. Dari jumlah tersebut, 70
persennya merupakan buruh dengan total 33.020 orang.

Apa dan Bagaimana Seharusnya?

Menjadi perokok, itu merupakan pilihan warga negara. Begitu juga sebaliknya.
Pilihan ini merupakan hak individu dan harus dilindungi. Tidak boleh ada
diskriminasi antara yang perokok dan yang tidak merokok. Ruang publik bukan
hanya dimiliki oleh bukan perokok tapi juga dimiliki oleh perokok. Untuk inilah
pengaturan dan penegakan hukum yang tegas dan konsisten diperlukan.
Jangan lupakan bahwa di balik isu kesehatan dan tuntutan untuk semakin
memperketat penjualan rokok yang semakin tinggi, ada begitu banyak mata
rantai bisnis yang terkait dengan komoditas ini yang juga membiayai proses
pembangunan melalui setoran cukai yang mencapai ratusan triliun setiap tahun
dan juga menciptakan lapangan kerja jutaan orang yang mungkin menderita
ketika industri ini mati dan dimatikan. Jika pemerintah siap untuk kehilangan
ratusan triliun pendapatannya dari cukai, mampu menyediakan lapangan kerja
pengganti untuk jutaan orang, maka bisa segera mengambil kebijakan untuk
menjadikan rokok atau kretek sebagai barang terlarang untuk dikonsumsi dan
diperjualbelikan, dengan alasan apapun.
Sebetulnya, permasalahan yang tampak saat ini adalah bagaimana regulasi dari
pemerintah bisa dilaksanakan untuk industri rokok, pemberian ruang merokok
dengan memperhatikan hak non perokok dan hak perokok menjadi sesuatu yang
harus dipikirkan solusinya. Selama merokok menjadi barang legal untuk
dikonsumsi dan diperjualbelikan di negeri ini, maka konsekuensi logis untuk
perlunya perlakuan yang adil dan penegakan hukum yang tegas serta konsisten
menjadi jalan keluar dari dilema ini.
Kemudian yang harus dipertimbangkan lagi adalah biaya kesehatan yang harus
dikeluarkan oleh negara dalam jaminan sosial yang terkait dengan itu, akan
menjadi besar ketika perilaku merokok menjadi perilaku permanen pada orangorang yang mendapatkan jaminan itu oleh negara. Ketegasan aturan terhadap
pola klaim kesehatan pada program jaminan sosial kesehatan untuk penyakit
yang diakibatkan oleh perilaku merokok, haruslah dibatasi dengan ketat.
Sehingga bisa memberikan efek jera terhadap warga yang memutuskan untuk
menjadi perokok. Bahwa mereka dengan sadar terus menjadi perokok, dengan
pembatasan ketat promosi komersial industri rokok dan pembatasan klaim
kesehatan jaminan sosial, akan memberatkan mereka sendiri ketika mereka
menderitas akit akibat menjadi perokok.
Namun begitu, jika memang akan dibatasi, sosialisasi terhadap hal itu harus
sangat masif dan dipastikan bawah warga yang dijaminkan kesehatannya oleh
negara mengerti betul resiko dan konsekuensi sebagai perokok. Keberatan
orang-orang yang antirokok kerap kali ditujukan pada perilaku perokok yang
kerap kali tidak menghargai orang-orang yang tidak merokok. Bahwa orang yang
tidak merokok juga berhak untuk menghirup udara tanpa asap rokok. Bagaimana
orang dewasa yang memilih untuk merokok juga tidak memperhitungkan bahwa
perilakunya yang merokok sembarangan juga bisa menjadi contoh untuk
dilakukan oleh anak-anak.
Kemudian juga, sebelum aturan tentang promosi rokok belum seketat sekarang,
industri rokok begitu jor-joran melakukan kegiatan promosi dan tidak
mempertimbangkan bahwa promosi besar-besaran yang mereka lakukan bisa
mempengaruhi perilaku anak-anak untuk merokok. Apa yang diuraikan di atas,
haruslah menjadi perhatian kita semua. Ketika kretek atau rokok (kretek atau

bukan) masih menjadi barang legal untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan, akan
sulit memutus permasalahan terkait dengan kesehatan dan perilaku warga
perokok.
Namun begitu, jika dimatikan, industri ini juga masih merupakan salah satu
penerimaan terbesar bagi negara dan memiliki jutaan tenaga kerja yang
menggantungkan hidupnya dari situ. Untuk itu, pengaturan yang bijak sangat
diperlukan dan betul-betul bisa diberikan jalan keluar yang adil dan tanpa
diskriminasi.
*dimuat di http://obrolanurban.com *