SISTEM PEMBIAYAAN PENDIDIKAN PADA PEMERINTAH KABUPATEN.

(1)

x

Daftar Isi

Halaman

PERNYATAAN ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

PENGHARGAAN DAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

1. Letak Geografis Kabupaten Garut ... 10

2. Keadaan Alam ... 10

3. Keadaan Topografi ... 11

4. Keadaan Iklim ... 11

5. Penduduk, Agama dan Mata Pencaharian ... 12

6. Keadaan Guru dan Murid ... 15

B. Permasalahan ... 26

C. Tujuan ... 27

D. Manfaat Penelitian ... 28

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 28

F. Premis dan Asumsi Penelitian ... 29

G. Pendekatan Paradigma Penelitian ... 31

BAB II TINJAUAN TEORITIS SISTEM PEMBIAYAAN PENDIDIKAN A. Teori Pembiayaan dalam Pendidikan ... 33

1. Konsep Administrasi Pendidikan dalam Prespektif Pembiayaan Pendidikan ... 33

a. Faktor Faktor yang Terkait dengan Pendidikan ... 37

b. Sistem Pembiayaan dilihat dari Strategi Formulasi Perencanaan 38

c. Sistem Pembiayaan dilihat dari Implementasi Strategi ... 44

d. Sistem Pembiayaan Pendidikan dilihat dari Strategi Pengawasan 49

2. Konsep - Konsep Sistem Pembiayaan yang Efektif dan Efisien dalam Pendidikan ... 55

a. Konsep Pembiayaan Pendidikan ... 56

b. Strategi Penganggaran (Budget Strategy) ... 62

c. Proses Penganggaran (Budget Process) ... 64

d. Anggaran Induk (Master Budget) ... 65


(2)

xi

3. Penganggaran dan Manajemen Keuangan ... 70

4. Sistem Pengelolaan Pembiayaan Penyelenggaraan Program Pendidikan ... 78

a. Sistem dilihat dari Manajemen Strategi ... 80

b. Manajemen Pembiayaan Pendidikan ... 82

5. Model Model Pembiayaan Pendidikan ... 84

a. Model Flat Grant (Flat Grant Models) ... ... 84

b. Model Landasan Perencanaan (Foundation Plan Models) ... 87

c. Model Perencanaan Pokok Jaminan Pajak (Guaranted Tax Base Plan Models) ... ... 92

d. Model Persamaan (Equalization Models) ... ... 94

e. Model Persamaan Persentase ( Percentage Equalizing) ... ... 95

f. Model Perencanaan Persamaan Kemampuan (Power Equalizing Plan) ... ... 96

g. Model Pendanaan Negara Sepenuhnya (Full State Funding Models)... ... 97

h. Model Sumber Pembiayaan (The Resource-Cost Models) ... 99

i. Model Surat Bukti/Penerimaan (Models Choice and Voucer Plans) ... ... 101

j. Model Rencana Bobot Siswa (Weighted Student Plan) .... ... 102

B. Kajian Penelitian yang Relevan ... ... 103

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ... ... 108

B. Strategi Penelitian ... ... 109

C. Objek dan Sampling Penelitian ... ... 110

D. Instrumen Penelitian ... ... 114

E. Validitas, Reliabilitas dan Objektifitas Data Penelitian ... ... 115

1. Validitas (credibility and transverability) ... ... 115

2. Reliabilitas (depentability and auditability) ... ... 116

3. Obyektivitas (conformability) ... ... 117

F. Analisis dan Penafsiran Data ... ... 118

G. Prosedur Penelitian ... ... 119

1. Persiapan Administratif Pra-Lapangan ... ... 120

2. Orientasi Lapangan ... ... 121

3. Penyusunan Program Kerja Penelitian Lapangan ... ... 121

4. Implementasi Penelitian Lapangan ... ... 122


(3)

xii

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Proses Penyusunan Rencana Anggaran Pendidikan yang Diterapkan

pada Pemerintah Kabupaten Garut ... ... 124

1. Visi dan Misi Sebagai Acuan Penentuan Anggaran Pendidikan ... 125

2. Pengelolaan dan Mekanisme Pembiayaan Pendidikan Pemerintahan Kabupaten Garut ... ... 128

3. Sumber Pembiayaan Pendidikan ... ... 135

a. Sumber Dana APBD Kabupaten ... ... 135

b. Sumber Dana APBD Provinsi dan APBN Pusat ... ... 136

c. Sumber Dana Masyarakat ... ... 137

4. Proses Usulan Anggaran Pembiayaan Pendidikan ... ... 138

a. Proses Usulan Bersifat Sektoral (dari satuan pendidikan) . ... 138

b. Proses Usulan Anggaran Pendidikan Berdasarkan Tingkat Pemerintahan ... ... 140

c. Proses Penetapan Anggaran Pembiayaan Pendidikan Pemerintah Kabupaten ... ... 144

5. Dukungan Sarana dan Fasilitas Pendidikan ... ... 149

B. Pengalokasian dan Pendistribusian Pembiayaan Pendidikan Pada Pemerintah Kabupaten Garut ... ... 155

1. Pengalokasian Pembiayaan Pendidikan ... ... 155

a. Alokasi Anggaran Rutin Pembiayaan Pendidikan ... ... 156

b. Alokasi Anggaran Pembangunan Pendidikan ... ... 158

c. Alokasi Anggaran Pendidikan di Luar APBD Kabupaten ... 160

2. Mekanisme Pendistribusian Dana Pendidikan pada Pemerintah Kabupaten ... ... 162

a. Belanja Rutin ... ... 162

b. Belanja Pembangunan ... ... 163

c. Pendistribusian Dana APBD Provinsi dan APBN ... ... 164

3. Analisis Efektifitas Alokasi Dana Terhadap Mutu Pelayanan Belajar Siswa ... ... 166

4. Analisis Efektifitas Alokasi Dana Terhadap Manajemen Sekolah 167


(4)

xiii

C. Realisasi Penggunaan dan Penanggungjawaban pembiayaan

Pendidikan di Kabupaten Garut ... ... 170

1. Realisasi Penggunaan Pembiayaan Pendidikan ... ... 171

a. Penggunaan Dana Pemerintah ... ... 171

b.Penggunaan Dana Masyarakat ... ... 177

2. Pertanggungjawaban Penggunaan Pembiayaan Pendidikan ... 181

D. Pelaksanaan Pengawasan dalam Penggunaan Pembiayaan Pendidikan pada Pemerintahan Kabupaten ... ... 183

E. Potensi yang dapat Mengimplementasikan Sistem Pembiayaan Pendidikan yang Efisien dan efektif di Kabupaten Garut ... ... 186

1. Kekuatan ... ... 190

2. Kelemahan ... ... 191

3. Peluang ... ... 192

4. Tantangan ... ... 193

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Proses Penyusunan Anggaran Pendidikan pada Pemerintah Kabupaten ... ... 197

B. Pengalokasian dan Pendistribusian Pembiayaan Pendidikan pada Pemerintah Kabupaten ... ... 213

C. Realisasi Penggunaan Dana dan Pertanggung Jawaban dalam Penyelenggaraan Pendidikan pada Pemerintah Kabupaten ... ... 228

D. Pelaksanaan Pengawasan dalam Penggunaan Pembiayaan Pendidikan Pada Pemerintah Kabupaten ... 238

E. Implementasi Pembiayaan Pendidikan yang Efektif dan Efisien ... 242

F. Sistem Pembiayaan Pendidikan yang Mungkin dapat Dikembangkan untuk Mendukung Penyelenggaraan Pendidikan yang Efektif dan Efisien pada Pemerintah Kabupaten ... ... 249

1. Sistem Pembiayaan Pendidikan ... ... 249

2. Model Pembiayaan Pendidikan di Kabupaten yang dapat dikembangkan ... ... 259

BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... ... 264

B. Implikasi ... ... 269

C. Rekomendasi ... ... 272

Kepustakaan ... ... 281


(5)

xiv

Daftar Gambar

Halaman

1.1 Paradigma Penelitian Strategi Anggaran Pendidikan pada Pemerintahan

Kabupaten ... 32

2.1. Unsur Unsur yang Terkait dalam Manajemen Pendidikan ... 36

2.2. Perumusan Strategi ... 71

2.3. Balance Scorecard ... 72

2.4. Perumusan Strategi ... 75

2.5. Proses Penterjemahan Visi dan Misi Menjadi Kegiatan Operasional ... 76

2.6. Gambaran Aplikasi Strategi Manajemen didalam Pendidikan ... 77

4.1 Struktur Organisasi Tata Kerja Dinas Pendidikan Kabupaten Garut ... 131

4.2 Sistem Penganggaran Pendidikan pada Kabupaten ... 134

4.3 Proses Usulan Anggaran Pendidikan Bersifat Sektoral ... 141

4.4 Proses Usulan Sektor Pendidikan ... 142

4.5 Mekanisme Pendistribusian Dana Pendidikan Pemerintah Kabupaten ... 165

5.1 Mekanisme Pencairan Dana ... 214

5.2 Pola Perencanaan Anggaran Pendidikan Kabupaten ... 229

5.3 Model Penyusunan Anggaran Sekolah ... 230

5.4 Akuntabilitas Penggunaan Anggaran ... 241

5.5 Peningkatan Nilai Nominal ... 245

5.6 Konstruksi Biaya Menurut Sifatnya ... 251

5.7 Sistem Pembiayaan Pendidikan Pemerintah Kabupaten yang Feasible ... 254


(6)

xv

Daftar Tabel

Halaman

1.1 Keadaan Pendidikan Kabupaten Garut ... 15

1.2 Kadaan Guru TK-SD dan Menengah Negeri Menurut Usia Kabupaten Garut 16

1.3 Kadaan Guru TK-SD dan Menengah Swasta Menurut Usia Kabupaten Garut 17

1.4 Keadaan Guru RA-MA dan SLB Negeri Menurut Usia Kabupaten Garut .... 19

1.5 Keadaan Guru RA-MA dan SLB Swasta Menurut Usia Kabupaten Garut .... 20

1.6 Keadaan Pendidikan Guru pada Dinas Pendidikan Kabupaten Garut ... 21

1.7 Keadaan Guru PNS dan Swasta, pada TK-SD dan Menengah Kabupaten ... Garut ... 22

2.1 Jenis Pembelanjaan Sekolah ... 45

3.1 Keadaan Sekolah di Kabupaten Garut ... 111

3.2 Penarikan Sampel dan Pilihan yang Diambil ... 113

4.1 APK, APM, Mengulang dan Dropout Siswa pada Dinas Pendidikan Kabupaten Garut ... 126

4.2 Rekapitulasi Sumber Dana/Pendapatan RAPBS SMUN 2 Tarogong ... 139

4.3 Bentuk Pendanaan untuk Satuan Pendidikan ... 148

4.4 Keadaan Fasilitas Sekolah ... 151

4.5. Keadaan Kelas Sekolah Negeri dan Swasta ... 152

4.6. Alokasi Anggaran Rutin Pendidikan Bersumber dari APBD Kabupaten Garut ... 157

4.7. Anggaran Pembangunan Pendidikan Bersumber dari APBD Kabupaten Garut 159

4.8 Analisis SWOT Sistem Anggaran Pendidikan di Kabupaten Garut ... 195


(7)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan pendidikan pada dasarnya sama pentingnya dengan pembangunan ekonomi, karena pembangunan ekonomi akan sulit digerakkan jika sumberdaya manusianya (SDM) tidak mempunyai kemampuan. Sebagai bahan perbandingan dapat dilihat negara-negara yang bertetangga dengan Indonesia seperti Jepang, Korea, Singapore dan lainnya tidak memiliki sumber daya alam yang memadai, tetapi mereka memiliki SDM yang handal, yang mendukung terhadap pergerakan roda ekonomi negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang layak.

Bagi Indonesia sumber daya alam sudah terbentang secara luas, namun tidak diimbangi dengan kualitas SDM yang memadai, meskipun dilihat dari segi jumlah SDM merupakan potensi yang besar. Institusi yang paling mungkin dapat dan mampu menyiapkan SDM yang handal dan bermoral adalah institusi pendidikan, karena institusi ini mempunyai instrumen yang diperlukan untuk itu. Untuk mendapatkan SDM yang berkemampuan dan berketerampilan perlu disiapkan sejak dini.

Dalam upaya setiap pencapaian tujuan pendidikan baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif, biaya pendidikan memiliki peran yang sangat menentukan. Oleh karena itu pendidikan tanpa didukung biaya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan berjalan sesuai dengan harapan.


(8)

2 Biaya pendidikan merupakan komponen masukan instrumental (instrument

input) yang sangat penting dalam menyiapkan SDM melalui penyelenggaraan

pendidikan di sekolah. Pertanyaannya adalah sejauhmanakah institusi dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya ?. Untuk menjawab pertanyaan ini tentu memerlukan alasan dan kriteria yang diperlukan berkaitan dengan otonomi dan profesionalisasi institusi tersebut. Disamping keberadaan institusi pendidikan, kaitannya dengan manajemen pendidikan dilain pihak terpusatnya kewenangan pemerintahan pada masa lalu telah menjadi bagian dari sebab rendahnya kualitas dan kemandirian bangsa. Hal inilah salah satu yang menjadi hambatan penyelenggaraan sektor pendidikan di Indonesia.

Kesuksesan yang dicapai khususnya dibidang pendidikan ternyata bagaikan fatamorgana karena kenyataan Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan, maka di era reformasi ini kewenangan yang terpusat sebagian telah diserahkan pada pemerintah daerah (kabupaten/kota) melalui UU No. 22 Tahun 1999 (Sekarang UU No. 32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah, sebagai upaya menerapkan sistem desentralisasi pemerintahan yang sebelumnya menganut sistem sentralistik. Sejalan dengan pemikiran itu, bahwa pendidikan merupakan sumber kunci pembangunan ekonomi dan sekaligus sebagai outcome proses pembangunan. Kepustakaan sumber ekonomi internasional sangat jelas menerangkan bahwa investasi di suatu negara dapat diarahkan untuk pendidikan bangsa. Jadi melalui investasi pendidikan dasar misalnya, hal ini dapat berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.


(9)

3 Dalam waktu yang bersamaan, mungkin jalan yang paling efektif adalah membentuk masyarakat agar biasa memperoleh kemanfaatan pembangunan dengan cara memperluas akses anak-anak terhadap pendidikan yang bermutu. Manajemen pendidikan pada sistem pemerintahan selama ini terpusat dimana otoritas pengambil kebijakan adalah pemerintah pusat, hal ini tampak bahwa sistem pendanaan juga amat sentralistis, pedoman anggaran yang sudah ada diatur secara sentral pada Pemerintah Pusat, dengan sistem ini pengelolaan dana tidak mudah untuk difahami khususnya bagi sekolah dan juga masyarakat. Karena rumitnya sistem keuangan yang sentralistik, untuk itu diperlukan pemotongan birokrasi sehingga jalur keuangan itu menjadi lebih pendek. Pemotongan birokrasi itu dilakukan dengan pelimpahan kewenangan dalam bentuk desentralisasi kebijakan mengenai anggaran ke daerah.

Dalam hal ini desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pengambilan keputusan bidang pendidikan pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah yaitu mengambil kebijakan sesuai kewenangan yang dilimpahkan. Artinya kewenangan diberikan juga pada orang-orang diluar sistem atau masyarakat umum sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memenuhi semangat berdemokrasi dalam manajemen pendidikan dan penghargaan terhadap hak asasi seluruh masyarakat. Berkaitan dengan hal ini UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa kewenangan pusat yang diserahkan pada daerah mencakup semua kewenangan pemerintah kecuali kewenangan bidang politik luar Negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang merupakan kewenangan pemerintah pusat.


(10)

4 Dari sejumlah kewenangan yang dilimpahkan ke daerah menurut UU ini terdapat 11 kewenangan wajib yang harus dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/ kota termasuk didalamnya kewenangan mengelola urusan pendidikan. Dengan demikian sesuai kewenangan yang diberikan oleh UU tersebut, maka kebijakan pendidikan dapat lebih terfokus, dan pembinaan sumberdaya manusia juga dapat lebih terarah, yang menjadi persoalan tentu adalah sistem di daerah dan kesiapan seluruh aparat pelaksana maupun masyarakatnya. Budaya kerja dan menyelesaikan masalah menjadi salah satu pilihan penting dalam menetapkan kebijakan pendidikan sebagai jawaban untuk mengisi sistem pemerintah yang otonom.

Pemerintah pusat lebih memusatkan perhatian pada penetap-penetapan tujuan, standar mutu, menyalurkan sumberdaya pendidikan untuk kebutuhan khusus sebagai penyeimbang kualitas pendidikan ditataran nasional, dan melakukan pemantauan terhadap kinerja pendidikan tingkat lokal. Sedangkan manajemen yang bersifat operasional berkaitan dengan kebijakan pembangunan dan pengelolaan pendidikan diserahkan kepada pemerintah daerah bahkan sekolah, hal ini diarahkan untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi daerah baik pertumbuhan ekonomi individu maupum masyarakatnya. Sumber daya manusia (SDM) yang belajar di sekolah pada semua jenjang dan jenis dibekali ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mampu menghidupi dirinya atau memenuhi nafkahnya dari sudut ekonomi maupun mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Dilihat dari sumber pembiayaan, para pengambil kebijakan menurut Vaizey (1972:56) perlu menggambarkan sebuah


(11)

5 Ambil contoh anggaran pendidikan tahun 1995-1996 menunjukkan bahwa dari data yang bersumber dari pemerintah, persekolahan, dan keluarga-keluarga di beberapa tingkat dan jenis persekolahan. Data mengenai pembiayaan pendidikan tersebut dipresentasikan dalam tiga hal yaitu: Pertama: keseluruhan biaya pendidikan di Indonesia yang terdiri dari: (a) dana pemerintah di luar anggaran pemerintah pusat, yaitu anggaran rutin dan anggaran pembangunan; (b) pembayaran atau kontribusi dari siswa/keluarga; (c) sumber-sumber pembiayaan lain yang tidak selalu disediakan sekolah seperti biaya transportasi, seragam, buku-buku penunjang, dan lain sebagainya. Kedua: Biaya sistem pendidikan, yaitu sebuah kombinasi dana-dana pemerintah dan ketersediaan untuk memenuhi kontribusi bagi pengeluaran sekolah yang bersumber dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, keluarga siswa atau sumber lain. Terakhir yang ketiga: dana yang dibelanjakan untuk proses pengajaran, termasuk pengeluaran sekolah untuk gaji personil, barang-barang lain keperluan pengajaran dan sekolah, dan berbagai pelayanan di SD, SLTP dan SM.

Hasil studi Heyneman dan Loxley (1989) dalam Word Bank Report (1989) Basic Education Study melaporkan di 29 negara menyatakan bahwa faktor guru, waktu belajar, manajemen sekolah, sarana fisik dan biaya pendidikan memberikan kontribusi yang berarti terhadap prestasi belajar siswa. Jadi semua pembiayaan dalam pendidikan di persekolahan perlu dilaporkan dengan memberi gambaran yang utuh (akuntabel). Pada umumnya bagi masyarakat dan sekolah sebenarnya tidak terlalu mempertimbangkan berapa besar biaya yang tersedia, tetapi yang dibutuhkan adalah transparansi anggaran.


(12)

6 Dengan transparansi anggaran ini dapat di ketahui peluang dan perolehan peluang bagi keperluan sekolah selama para siswa menempuh pendidikannya. Fokus persoalannya adalah cenderung kepada kompilasi berbagai biaya pendidikan dan berapa besar penggunaannya pada masing-masing jenjang sekolah untuk memperoleh mutu yang diharapkan. Oleh karena itu sumber data mengenai pembiayaan pendidikan dapat dijadikan sebagai dasar perumusan dan penstrukturan masalah untuk kebijakan pendidikan, hal ini demikian penting agar kepentingan yang ditetapkan relevan dengan kebutuhan pendidikan. Untuk itu para pengambil kebijakan pendidikan harus didukung oleh tiga sumber data yaitu : (1) anggaran pemerintah pusat baik anggaran rutin, pembangunan dan dana-dana yang dihimpun atas inisiatif institusi pendidikan itu sendiri; (2) informasi keuangan untuk pendidikan dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Departermen Keuangan (Depkeu); dan (3) informasi keuangan untuk pendidikan dari Departemen Agama (Depag).

Artinya semua data sumber-sumber anggaran ini diperlukan dan diterima agar kebijakan tidak tumpang tindih. Beeby (1987:41) mengemukakan tidak mudah memberikan gambaran yang sederhana mengenai pembiayaan pendidikan di Indonesia. Menurutnya data mengenai sumbangan lokal dan provinsi kepada dunia pendidikan sangat minim atau tidak ada sama sekali, dan pemerintah pusat sering membuat perhitungan menjadi lebih sulit karena adanya belanja besar-besaran yang dimasukkan dalam pos anggaran yang mengaburkan analisa. Suatu uraian mengenai pembiayaan pendidikan yang terperinci dan kadang-kadang bertentangan dengan angka-angka resmi akan sangat membingungkan.


(13)

7 Kecuali bila dilakukan peninjauan lebih mendalam dari yang biasa dilakukan, karena itu mutu pendidikan sulit diukur dilihat dari besarnya kontribusi anggaran yang disediakan oleh pemerintah berjenjang dari pusat sampai ke daerah. Sejalan dengan itu sistem pembiayaan pendidikan terutama pada Dinas Pendidikan Kabupaten yang berfungsi sebagai pelayan kebutuhan sekolah dalam implementasi kebijakan otonomi daerah perlu pembenahan dan penataan strategi manajemennya. Pembenahan ini dimaksudkan agar kesulitan yang selama ini terjadi dalam pemanfaatan dan distribusi dana penyelenggaraan sekolah di daerah bisa diatasi dan memiliki tingkat akuntabilitas serta pencapaian sasaran yang tinggi.

Pembenahan manajemen pembiayaan ini diarahkan untuk memberdayakan seluruh potensi dinas kabupaten dan dinas kecamatan pada pemerintah kabupaten yang menjadi wilayah kerjanya. Salah satu solusi yang paling mendasar oleh pemerintah secara nasional mengatasi kesulitan manajemen pembiayaan tersebut adalah dengan otonomi daerah (pelimpahan pengelolaan keuangan). Sistem otonomi daerah ini akan membuka peluang lebih baik meskipun dilain pihak juga akan membuka persoalan baru. Namun secara konsepsional pilihan otonomi cenderung lebih aspiratif ketimbang pemerintah yang lebih sentralistik. Berkaitan dengan itu secara operasional dilihat dari sudut yang lebih teknis, maka jenis pembiayaan yang harus dibelanjakan pada dinas pendidikan untuk keperluan pembelajaran pada setiap jenjang dan jenis satuan pendidikan perlu dipahami dan didefinisikan secara tepat oleh pemerintah kabupaten/kota dan pengambil kebijakan pendidikan.


(14)

8 Karena bagaimanapun juga manajemen biaya pendidikan akan lebih banyak ditangani pemerintah daerah baik penggunaan maupun sumber-sumbernya, maka peran sekolah dan dinas pendidikan oleh sistem semakin memberi porsi yang lebih besar. Hal ini dapat terjadi karena sumber pendapatan daerah baik pendapatan asli daerah (PAD) maupun bantuan dari pemerintah pusat akan dapat terukur oleh masyarakat baik dilihat dari sumbernya maupun peruntukannya. Oleh karena itu peran dan responsibilitas kebijakan pendidikan baik legislatif, eksekutif dan komponen yang terkait lainnya menjadi sangat penting dalam manajemen pembiayaan pendidikan di daerah. Mengacu pada landasan konsepsional tersebut menunjukkan bahwa peran Dinas Pendidikan Kabupaten bersama Dinas Pendidikan Kecamatan bukan hanya sebagai birokrasi pengelola keuangan secara teknis administratif yang sudah ditentukan oleh pemerintah secara kaku dan sempit, tetapi lebih luas dari itu.

Yaitu menjadi fasilitator penyaluran dana ke satuan pendidikan dan rekruitmen dana yang dimungkinkan dapat ditarik dari pihak-pihak tertentu yang secara teknis maupun kebijakan sulit dijangkau oleh pihak sekolah. Agar penyelenggaraannya menjadi lebih efektif, tentu saja Dinas Pendidikan Kabupaten harus bekerja sama dengan instansi terkait dan juga masyarakat sesuai aturan dan kesepakatan yang ditentukan. Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah sebagaimana diulas sebelumnya, menggambarkan bahwa pelimpahan kewenangan pengelolaan keuangan atau pembiayaan pendidikan kepada Pemerintah Kabupaten dalam sistem otonomi merupakan upaya pemotongan birokrasi.


(15)

9 Kebijakan ini dimaksudkan agar efisiensi dan efektifitas pengelolaan pembiayaan lebih simpel, tidak lagi melalui pemerintah pusat, tetapi melalui pemerintah daerah yang diurus oleh dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan sistem ini diasumsikan semakin terjamin akuntabilitas manajemen maupun penggunaannya, dan dapat mengoptimalkan kinerja dinas kecamatan dalam memberikan pelayanan ke satuan pendidikan. Fokus keefektifan dan efisiensi pengelolaan pembiayaan pendidikan, sistem dan mekanisme antar vertikal Dinas Pendidikan Provinsi dengan Kabupaten/Kota diatur hubungan tanggung jawabnya sehingga tidak tumpang tindih.

Bertitik tolak dari kajian latar belakang masalah tersebut, maka peneliti tertarik menelusuri dan melakukan studi mengenai sistem pembiayaan pendidikan dilihat dari formulasi dan implementasinya oleh Pemerintah Kabupaten yang pelaksanaannya ditugaskan pada Dinas Pendidikan Kabupaten mengelola anggaran pemerintah untuk didistribusikan kepada satuan pendidikan baik formal maupun non formal. Sebagai dasar dari penelitian ini, tentu peneliti sebelumnya setelah melihat kondisi objektif keadaan pendidikan Kabupaten yaitu Kabupaten Garut yang juga memiliki Dinas Pendidikan untuk mengelola pembiayaan pendidikan di daerah.

Di mana Kabupaten Garut memiliki luas wilayah 306.869 Km2 terdiri atas 37 Kecamatan, 403 Desa/Kelurahan, dengan jumlah penduduk 1.875.200 jiwa, diantara jumlah tersebut ditemui sebanyak 313.389 jiwa penduduk usia 7-12 tahun, sebanyak 141.911 jiwa anak usia 13-15 tahun, dan sebanyak 119.194 jiwa anak usia 16-18 tahun. Adapun letak geografi, keadaan alam dan sebagainya dapat dikemukakan sebagaimana berikut ini.


(16)

10

1. Letak Geografis Kabupaten Garut

Pemerintah Kabupaten Garut merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Garut pada tahun 2001 terdiri dari 37 kecamatan dengan jumlah penduduk sebesar 1.875.200 jiwa dengan mata pencaharian antara lain terdiri dari petani, nelayan, industri rumah tangga, industri jasa, dan perdagangan. Topografi Kabupaten Garut terdiri dari daerah pertanian khususnya persawahan, pegunungan dan kehutanan, dan pesisir pantai. Keadaan geografis, alam, dan iklim luas wilayah Kabupaten Garut kurang lebih 306.519 Ha (3.065,19 Km2) atau 6.99 % dari seluruh wilayah Jawa Barat, dengan batas batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Kabupaten Sumedang - Sebelah Selatan : Samudra Indonesia

- Sebelah Barat : Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung - Sebelah Timur : Kabupaten Tasikmalaya

2. Keadaan Alam

Kabupaten Garut merupakan lembah yang dikelilingi gunung-gunung, dengan ketinggian antara 500 M – 1.215 M diatas permukaan laut. Daerah pusat kota merupakan daerah yang relatif datar dengan ketinggian 720 M di atas permukaan laut, sedangkan daerah pinggiran kota merupakan daerah yang lebih tinggi dimana pinggiran sebelah utara, barat, dan timur relatif datar. Sedangkan daerah pinggiran selatan, barat daya dan tenggara relatif berlembah dan berbukit. Gunung- gunung yang berada disekeliling kota Garut adalah Gunung Guntur, Cikurai, Mandalawangi, Papandayan, Karacak, Talaga Bodas, Sadakeling, dan lain sebagainya.


(17)

11

3. Keadaan Topografi

Keadaan topografi wilayah Garut adalah: (1) Wilayah Garut Selatan merupakan daerah pelataran yang miring ke selatan dengan berbukit-bukit, lembah dengan aliran sungai dalam dan bermuara di Samudra Indonesia, dengan ketinggian antara 9-477M diatas permukaan laut; dan (2) wilayah Garut Tengah Utara berada di dataran tinggi Garut dengan areal berbukit, gunung yang tinggi, dan lembah yang dalam. Aliran sungai utama adalah Sungai Cimanuk yang mengalir ke Laut Jawa. Ketinggian daerah ini berkisar antara 500M-1215 M diatas permukaan laut. Keadaan topografi ini menggambarkan bahwa Kabupaten Garut dikelilingi pegunungan dan sebagian dibatasi lautan hindia. Ini artinya kehidupan penduduk berkaitan dengan pertanian dan juga nelayan.

4. Keadaan Iklim

Berdasarkan Schmidth dan Pergusson iklim didaerah Garut termasuk iklim tipe C atau agak basah, atau curah hujan rata-rata per tahun adalah 2589M kubik, jumlah basah 8,6 dan bulan kering 3,2 dengan rata-rata dari hujan 23 hari.temperatur rata-rata adalah 24 derajat celcius hingga 29 derajat celcius dengan temperatur tinggi rata-rata pada bulan Agustus, sedangkan temperatur terendah pada bulan Februari dan Maret. Keadaan iklim ini secara signifikan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang tersebar diseluruh Kabupaten Garut. kondisi geografi, topogrfi dan iklim sangat berpengaruh terhadap bentuk dan bangunan dan teknik sirkulasi udara sehingga dibutuhkan suatu model yang spesifik.


(18)

12 Kondisi yang demikian itu berpengaruh terhadap penyebaran penduduk yang berdampak pada pendirian model sekolah kecil dan besar. Demikian juga iklim yang akan berdampak pada pengaturan kalender pendidikan. Secara geografis wilayah Kabupaten Garut terletak diantara 7 derajat LS –7 derajat 46’ 36 “ LS dan 5 derajat ‘BT – 1 derajat 20’ BT. Pengaruh letak pergeseran matahari di daerah ini nyata sekali, dan terdapat perbedaan iklim musim dan pengaruh lain terhadap pergantian musim disebabkan wilayah Garut berbatasan dengan samudra Indonesia. Data ini menggambarkan bahwa keadaan geografis memberi pengaruh terhadap program pendidikan dimana anak usia sekolah 6-12 tahun dan 13-19 tahun merupakan penduduk yang dominan, dan memerlukan pembinaan khususnya melalui jalur pendidikan untuk meningkatkan kualitasnya.

5. Penduduk, Agama dan Mata Pencaharian

Kabupaten Garut yang memiliki luas wilayah 306.869 Km2 sehingga rata-rata setiap kilometer persegi dihuni oleh kurang lebih 632 orang, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 2.5%. Kabupaten Garut terdiri atas 37 Kecamatan, 403 Desa/kelurahan, adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat. Menurut data kependudukan Pemerintah Kabupaten Garut tahun 2001 bahwa penduduk Kabupaten Garut sebanyak 1.875.200 jiwa. Keadaan penduduk tersebut dengan perincian penduduk usia prasekolah (1-6 tahun) sebanyak 301.228 orang, anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) sebanyak 159.659 orang, anak usia 13-15 tahun sebanyak 141.911 orang, dan anak usia 16-18 tahun sebanyak 119.194 orang.


(19)

13 Penduduk tersebut tersebar di seluruh Kabupaten. Dari gambaran dan keadaan penduduk tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Garut mempunyai tanggungjawab yang demikian besar untuk memajukan pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu Kabupaten Garut salah satu Kabupaten di Jawa Barat yang urusan pendidikannya ditugaskan kepada Dinas Pendidikan mengurus sekolah terdiri dari SD, SLTP, SMU, SMK. Mayoritas Agama yang dipeluk penduduk Kabupaten Garut adalah agama Islam, sehingga pengaruh timbal balik dengan penyelenggara pendidikan sangat terasa dan terlihat dengan jelas baik dalam muatan lokal maupun dalam kegiatan intra dan ekstrakulikuler yang banyak diwarnai nuansa Agama Islam untuk sekolah umum dan menjadi mata pelajaran bagi sekolah-sekolah yang berbentuk madrasah. Sedangkan mata pencaharian penduduk didominasi oleh sektor pertanian, baik sebagai petani, buruh tani, maupun industri pertanian.

Disamping mata pencaharian dibidang pertanian ada juga penduduk yang bergerak dalam industri khususnya industri rumah tangga, industri jasa dan perdagangan. Mata pencaharian masyarakat ini mempunyai keterkaitan sangat jelas terhadap respons masyarakat dalam hal penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah di Kabupaten Garut. Dari gambaran dan keadaan geografis maupun mata pencaharian penduduk tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Garut mempunyai tanggung jawab yang besar untuk mengalokasikan anggaran pendidikan untuk memajukan pendidikan. Pengalokasian anggaran ini tentu meliputi pendidikan formal dan non formal yang telah menjadi program pendidikan Kabupaten Garut.


(20)

14 Untuk mendukung kinerja dan pelayanan pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Garut terdiri dari 37 Cabang Dinas Kecamatan, mengurus dan melayani sejumlah 83 TK swasta, 1.566 Sekolah Dasar (SD) terdiri dari 1.549 SD Negeri dengan sebanyak 9.941 guru dan 17 SD Swasta, 66 SLTP Negeri 47 SLTP Swasta, 17 SMU Negeri dan 26 SMU Swasta, 4 SMK Negeri dan 19 SMK Swasta, dan sejumlah sarana pendidikan masyarakat. Kewenagan pusat yang diserahkan kepada daerah mencakup semua kewenangan pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain merupakan kewenangan pemerintah pusat. Dari sejumlah kewenangan yang dilimpahkan kedaerah terdapat 11 kewenangan wajib yang harus diaksanakan oleh kabupaten/kota termasuk didalam nya kewenangan mengelola pendidikan.

Sebagai upaya mendukung program penyelenggaraan pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, peneliti mengambil contoh untuk tahun anggaran 2001 yaitu menggunakan dana yang terdiri dari dana APBD sebagai akumulasi dari anggaran yang dialokasikan dari semua sumber terkait yang dialokasikan untuk dana rutin digunakan untuk (ongkos kantor, inventaris kantor, penyelenggaraan pendidikan, pemeliharaan kantor, perjalanan dinas, dan dana lain-lain) sebesar Rp 8.286.972.250,- dan pembangunan digunakan untuk (proyek pengadaan buku dan alat pelajaran, muatan lokal, bantuan penyelenggaraan pendidikan swasta, bantuan kenaikan pangkat guru melalui perhitungan angka kredit, bantuan kepada mahasiswa PGSD, kerjasama dengan UT dalam penyetaraan dan lain lain.


(21)

15 Sedangkan penyelenggaraan SLTP Terbuka, dana operasional dan perawatan SD SLTP dan SLTA, pendidikan masyarakat, peningkatan olahraga, pembinaan oleh raga sekolah, pemberdayaan generasi muda, rehabilitasi SD-MI, dan pembangunan SMU) sebesar Rp.16.263.983.000,- Miliar jumlahnya sebesar Rp.24.550.955.250,- (Sumber data subag Keuangan Dinas Pendidikan per-Februari 2001).

6. Keadaan Guru dan Murid

Untuk menyelenggarakan pembangunan Sumberdaya Manusia (SDM) oleh Pemerintah Kabupaten Garut dilakukan melalui jalur pendidikan formal terdiri dari jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Tabel: 1.1

Keadaan Pendidikan Kabupaten Garut

No Jenjang Sekolah

Sekolah Jumlah Murid Jumlah

Negeri Swasta Negeri Swasta

1 TK 1 128 129 60 4.223 4.283

2 RA 0 48 48 0 1.332 1.332

3 SD 1.549 17 1.566 258.902 2.891 261.793

4 MI 4 141 145 904 17.665 18.569

5 SLTP 74 41 115 49.208 7.303 56.511

6 MTs 13 112 125 3.956 17.365 21.321

7 SMU 20 26 46 14.617 6.169 20.786

8 SMK 4 28 32 3.167 7.922 11.089

9 MA 5 44 49 2.478 5.555 8.033


(22)

16 Satuan pendidikan di Kabupaten Garut seperti dideskripsikan pada tabel 1.1 baik swasta dan negeri ditemui bahwa: (1) Taman Kanak-Kanak sebanyak 129 sekolah dengan siswa sebanyak 4.283 orang; (2) Sekolah Dasar sebanyak 1.566 sekolah dengan siswa sebanyak 261.793 orang; (4) Sekolah Lanjutan Pertama sebanyak 115 sekolah dengan siswa sebanyak 56.511 orang; (5) Sekolah Menengah Umum sebanyak 46 sekolah dengan siswa sebanyak 20.786 orang; dan (6) Sekolah Menengah Kejuruan sebanyak 32 sekolah dengan siswa sebanyak 11.089 orang. Satuan pendidikan tersebut seperti dideskripsikan pada tabel 1.2 dan 1.3 didukung oleh tenaga kependidikan dan guru pada sekolah negeri maupun swasta.

Tabel: 1.2

Keadaan Guru TK-SD dan Menengah Negeri Menurut Usia Kabupaten Garut

Sekolah Jumlah Usia Jumlah

25-30 31-40 41-50 51-60

TK 1 2 3 1 0 6

SD 1.549 1.893 2.841 2.839 1.892 9.465

SLTP 74 343 514 514 343 1.714

SMU 20 111 166 166 111 554

SMK 4 20 29 29 20 98

Jumlah 2.369 3.553 3.549 2.366 11.837

Tabel ini menggambarkan keadaan guru TK, SD, SLTP, SMU, dan SMK negeri maupun swasta dilihat dari usia 25 s/d 60 tahun terdapat sebanyak 11.837 orang guru pengajar di Sekolah Negeri dan sebanyak 3.271 orang guru pengajar di Sekolah Swasta mengasuh sebanyak 403.717 orang siswa. Data ini menunjukkan


(23)

17 secara berjenjang pendidikan di Kabupaten Garut dilaksanakan oleh pemerintah dan juga lembaga-lembaga yayasan penyelenggara sekolah yang ditanggung oleh masyarakat. Dari data tersebut tampak bahwa, guru yang berusia 31-40 sebanyak 3.553 yaitu sebesar 30.02 % sedangkan guru yang berusia 41-50 sebanyak 3549 yaitu sebesar 29.98% artinya guru yang berada pada usia produktif terdapat sebesar 60%. Potensi yang tampak pada data-data ini memberi makna bahwa penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan di Kabupaten Garut dapat diselenggarakan sesuai harapan yang tertuang dalam rencana strategis pendidikan Kabupaten Garut. Karena guru pada usia produktif mencapai 60%, jika potensi ini dioptimalkan, maka keuatan ini memberi arti bagi pembangunan pendidikan di Kabupaten Garut.

Tabel: 1 .3

Keadaan Guru TK-SD dan Menengah Swasta Menurut Usia Kabupaten Garut

Sekolah Jumlah Usia Jumlah

25-30 31-40 41-50 51-60

TK 128 77 155 116 39 387

SD 41 19 28 29 20 96

SLTP 47 280 421 422 280 1.403

SMU 26 147 220 221 147 735

SMK 28 130 195 195 130 650

Jumlah 653 1.019 983 616 3.271

Lebih lanjut diungkapkan bahwa guru berstatus PNS usia 31-40 tahun sebanyak 3.553 orang, sedangkan guru swasta sebanyak 1.019 orang. Kemudian guru PNS yang berusia 41-50 tahun sebanyak 3.549 guru dan guru swasta sebanyak 983 orang. Sedangkan keadaan guru dilihat dari usia pada sekolah-sekolah swasta


(24)

18 menunjukkan bahwa guru pada usia 31-40 tahun sebanyak 1.054 dan usia 41-50 tahun sebanyak 1.039 orang. Keadaan ini dilihat dari persentase dan kelincahannya dalam melaksanakan tugas profesionalnya menggambarkan hal yang sama pada sekolah negeri. Hanya saja jumlah guru swasta lebih banyak, keadaan ini menggambarkan bahwa potensi guru sekolah negeri dan swasta di Kabupaten Garut dilihat dari usia menunjukkan kemampuan SDM kependidikan yang relatif memadai. Artinya guru yang dipandang sudah mapan dan berpengalaman baik yang berstatus PNS maupun swasta cukup tersedia, sehingga dilihat dari ketersediaan tenaga kependidikan dengan rasio jumlah penduduk bagi Kabupaten Garut secara kuantitatif relatif memadai. Keadaan guru ini memberi gambaran bahwa Kabupaten Garut sesungguhnya memiliki potensi yang kuat untuk mengembangkan sumberdaya manusianya melalui jalur pendidikan formal. Tetapi jika dilihat dari kemampuan profesional dalam melaksanakan pelayanan pendidikan, tentu perlu ada penentuan kriteria yang lebih memberi gambaran untuk keperluan itu.

Dari data tersebut menggambarkan bahwa seluruh sekolah umum maupun keagamaan di Kabupaten Garut sebanyak 2.255 sekolah dengan jumlah siswa sebesar 403.717 orang. Data ini memberi arti secara kuantitatif jumlah sekolah dan partisipasi siswa usia sekolah dipandang memadai, namun secara kualitatif masih perlu dilakukan pengukuran sesuai kebutuhan mutu yang dipersyaratkan. Keadaan guru dilihat dari usia yang terbesar bergerak dari usia 31-40 tahun sebanyak 95 0rang dan usia 41-51 sebanyak 96 orang. Ini artinya kebanyakan guru di Kabupaten Garut adalah mereka yang berusia pada usia produktif.


(25)

19 Pada usia ini para guru diyakini masih memiliki semangat yang tinggi untuk melaksanakan tugas profesionalnya dan juga memiliki energi yang cukup untuk mengembangkan kreatifitasnya. Disamping sekolah umum pada pemerintahan Kabupaten Garut ditemui juga sekolah keagamaan yaitu Madrasah dibawah tanggungjawab Departemen Agama dan juga sekolah luar biasa (SLB) dibawah tanggungjawab Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Namun demikian para siswa yang menuntut ilmu pada sekolah-sekolah tersebut adalah warga Kabupaten Garut, tentu dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Garut juga harus memberi perhatian terhadap sekolah tersebut.

Tabel: 1.4

Keadaan Guru RA-MA dan SLB Negeri Menurut Usia Kabupaten Garut

Sekolah Jumlah Usia Jumlah

25-30 31-40 41-50 51-60

RA 0 0 0 0 0 0

MI 4 5 8 8 5 26

MTs 13 44 65 65 44 218

MA 5 8 11 11 8 38

SLB 1 7 11 12 7 37

Jumlah 64 95 96 64 319

Data seperti diungkapkan pada tabel: 1.4 dilihat dari keadaan guru menggambarkan bahwa pada Raudatul Atfal (RA) setingkat Taman Kanak-Kanak belum ada guru berstatus PNS. Tetapi guru PNS pada Madrasah Ibtidaiah (MI) sebanyak 26 orang, Madrasah Tsanawiyah sebanyak 218 orang, dan Madrasah Aliyah


(26)

20 (MA) sebanyak 38 orang, kemudian SLB sebanyak 37 orang. Keadaan guru RA-MA dan SLB swasta seperti dideskripsikan pada tabel 1.5 menunjukkan angka yang lebih besar dibanding yang berstatus PNS. Guru pada RA sebanyak 144 orang, MI sebanyak 829 orang, MTs sebanyak 1.960 orang, dan MA sebanyak 388 orang, kemudian SLB sebanyak 192 orang. Keadaan ini menggambarkan bahwa Pemerintah Kabupaten Garut memiliki potensi SDM tenaga kependidikan pada sekolah keagamaan dan pendidikan luar biasa. Potensi kuantitatif ini tentu memerlukan perhatian khusus untuk memberi arti dilihat dari kualitatif.

Tabel: 1.5

Keadaan Guru RA-MA dan SLB Swasta Menurut Usia Kabupaten Garut

Sekolah Jumlah Usia Jumlah

25-30 31-40 41-50 51-60

RA 48 29 58 43 14 144

MI 141 166 248 249 166 829

MTs 112 392 588 588 392 1.960

MA 44 68 102 101 67 338

SLB 16 38 58 58 38 192

Jumlah 693 1.054 1.039 677 3.463

Meningkatkan kemampuan SDM secara kualitatif memang diperlukan dana atau anggaran yang sesuai kebutuhan kualitas yang diharapkan tersebut. Bagi mereka para tenaga kependidikan dan guru tersebut yang berada pada sekolah umum dan sekolah keagamaan khususnya yang berusia 25 sampai 40 tahun masih memerlukan pendidikan yang mendukung pertumbuhan jabatan. Pendidikan pertumbuhan jabatan ini dimaksudkan untuk mendukung kualitas profesionalisme melalui pendidikan


(27)

21 pendek seperti kursus-kursus keahlian, pelatihan sebagai penajaman ketrampilan, seminar dan lokakarya memperkuat kapabilitas, magang, dan sebagainya. Pendidikan semacam ini bagi mereka diperlukan disamping untuk peningkatan kualitas keahlian juga sebagai refreshing atau penyegaran untuk mengatasi kejenuhan dalam menjalankan tugas-tugas rutin sehari-hari. Kebutuhan ini sesuai dengan konsep kebutuhan yang diintrodusir oleh Maslow antara lain berkaitan dengan aktualisasi diri. Persoalannya adalah apakah pemerintah memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang akan memberi kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan, dan apakah anggaran untuk pertumbuhan jabatan tersebut telah atau akan dialokasikan oleh pihak yang berwewenang mengatur anggaran.

Tabel: 1. 6

Keadaan Pendidikan Guru pada Dinas Pendidikan Kabupaten Garut

No Sekolah SLTA D1 D2 D3 S1 S2 S3 Jml

1 TK 318 7 53 1 1 2 0 382

2 RA 101 0 43 0 0 0 0 144

3 SD 5.351 498 3.217 425 260 0 0 9.751 4 MI 416 34 323 22 19 0 0 814 5 SLTP 31 125 250 314 515 1 0 1.236 6 MTs 718 0 0 374 1.083 3 0 2.178

7 SMU 0 7 0 98 732 3 0 840

8 SMK 0 8 0 60 164 9 0 241

9 MA 69 6 0 64 237 0 0 376

Jumlah 7.004 685 3.886 1.358 3.011 18 0 15..962

Dilihat dari latar belakang pendidikan guru sebagai penjamin kualifikasi yang menunjukkan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan data tersebut


(28)

22 mengungkapkan seperti tampak pada tabel 1.6 bahwa pendidikan guru bergerak dari SLTA sampai Magister. Pada umumnya guru berpendidikan D2, D3, dan S1 keadaan ini menggambarkan bahwa dilihat dari latar belakang pendidikan sebagian besar guru telah memenuhi kualifikasi pendidikan sebagai ukuran yang dipersyaratkan bagi profesi keguruan. Namun demikian guru yang berpendidikan SLTA dan D1 masih menunjukkan angka yang signifikan, data ini memberi petunjuk bahwa tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Garut untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan guru tersebut masih merupakan beban yang berat khususnya dilihat dari penyediaan beban anggaran pemerintah daerah dan waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan pendidikan guru itu. Sekolah tersebut diasuh oleh sebanyak 11.837 orang guru, pendidikan guru tersebut sebanyak 7.004 berpendidikan SLTA dan sebanyak 3.029 berpendidikan sarjana, selebihnya berpendidikan diploma.

Tabel: 1. 7

Keadaan Guru PNS dan Swasta, Menurut TK-SD dan Menengah Kabupaten Garut

No Sekolah Guru PNS Guru Swasta Jumlah

1 TK 16 366 382

2 RA 0 144 144

3 SD 8.202 1.549 9.751

4 MI 26 788 814

5 SLTP 829 407 1.236

6 MTs 218 1.960 2.178

7 SMU 406 434 840

8 SMK/BLTP 145 96 241

9 MA 38 338 376

10 SLB 37 192 229


(29)

23 Para guru yang berpendidikan SLTA pada umumnya adalah guru Sekolah Dasar, sedangkan yang berpendidikan sarjana pada umumnya guru pada SLTP dan SLTA. Keadaan guru TK-SD dan menengah PNS seperti pada tabel 1.7 sebanyak 9.917 orang dan swasta guru swasta sebanyak 6.274 orang di Kabupaten Garut. Data ini menggambarkan bahwa guru berstatus PNS lebih besar dibanding guru berstatus swasta. Guru PNS menerima gaji atau kesejahteraan dari pemerintah sesuai aturan yang berlaku mengacu pada ruang golongan dan masa kerja serta jabatan fungsionalnya masing-masing. Sedangkan guru swasta menerima gaji atau honorarium dari yayasan atau sekolah dimana mereka melaksanakan tugasnya. Bagi guru-guru yang bekerja pada yayasan tidak ada standar pembayaran gaji atau honorarium, para guru menerima besarnya gaji dan honorarium sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan yayasan yang menugaskannya. Secara umum kesejahteraan guru berupa gaji masih ada yang dibawah standar upah minimum regional Jawa Barat yaitu Rp.550.000,- setiap bulan.

Sistem penganggaran pendidikan di Indonesia Clark at al (1998:25) sangat rumit, dan di sana tidak terdapat mekanisme yang teratur untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai pembiayaan sekolah atau membandingkan perbedaan biaya-biaya antar jenjang dan jenis pendidikan. Data komprehensif mengenai biaya dan penganggaran pendidikan sebagai bahan bagi pemerintah dalam mengembangkan dan menentukan kerangka kebijakan mobilisasi, alokasi sumber-sumber, dan efektivitas penggunaan biaya pendidikan. Fokusnya di sekolah, termasuk madrasah. Tujuan pelaporan adalah untuk menganalisis proses penyusunan anggaran, meringkas


(30)

24 dan menganalisis data mengenai sumber-sumber dana, biaya-biaya pendidikan, dan pengeluaran-pengeluaran pendidikan. Dengan cara itu diharapkan dapat membantu (pemimpin pendidikan di Indonesia) memahami pendanaan pendidikan nasional dan penentuan kebijakan. Data yang dikumpulkan untuk tahun 1995-1996 diharapkan dapat mengestimasi: (a) pengeluaran total dan pengeluaran per siswa untuk berbagai jenis dan jenjang pendidikan; (b) besarnya anggaran pemerintah untuk pendidikan, bagaimana anggaran itu dialokasikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, dan apakah dana itu digunakan sesuai dengan kebutuhan; (c) jumlah dana pendidikan dari berbagai sumber dan pengaruhnya terhadap pengeluaran total di sekolah; (d) pengeluaran pada berbagai jenis sekolah.

Bertitik tolak dari uraian latar belakang masalah dan kondisi objektif tersebut dalam sistem pemerintahan yang sebelumnya mengacu pada UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, menunjukkan bahwa model atau sistem pemerintahan adalah sentralistik. Termasuk dalam hal ini urusan pendidikan juga dikelola secara sentralistik dari pemerintah pusat ke daerah. Oleh karena sistem sentralistik ini tidak memberi peluang untuk memberdayakan masyarakat di daerah, maka perlu ada perubahan yang mendasar yaitu sistem sentralistik menjadi desentralisasi, karena dengan sistem ini terbuka peluang pemberdayaan masyarakat di daerah. Untuk memenuhi kebutuhan akan pemberdayaan masyarakat di daerah sebagai landasan yuridisnya, maka dikeluarkanlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini sebagai dasar untuk mereformasi sistem pemerintahan dari sistem sentralistik menjadi desentralisasi pemerintahan. Sistem ini merupakan


(31)

25 bagian dari reformasi yang mendasar pada sistem pemerintahan, sekaligus juga reformasi mendasar dalam sistem pendidikan nasional.

Jika mengacu pada teori manajemen strategik sebagaimana yang dikemukakan Sharplin (1985:45) bahwa model manajemen strategik memerlukan dua fase besar yang masing-masing terdiri atas beberapa tahapan kegiatan. Pertama, fase strategy

formulation yang mencakup tahapan penetapan misi organisasi, assessment

lingkungan, menetapkan arah dan sasaran, dan menentukan strategi. Kedua, fase

strategy implementation yang terdiri atas kegiatan menggerakkan strategi, melakukan

evaluasi strategik, dan kontrol strategik. Maka, dari studi pendahuluan menunjukkan bahwa strategi formulasi dan strategi implementasi pembiayaan pendidikan pada Pemerintah Kabupaten Garut secara sederhana telah dilakukan dalam bentuk Rencana Strategis (Renstra) dan pelaksanaan program, tetapi belum memenuhi harapan dan prinsip-prinsip teoritik.

Setelah membahas latar belakang penelitian ini dilihat dari pandangan teoritis, hasil-hasil penelitian, dan sudut pandang yuridis, maka peneliti berpendapat bahwa akuntabilitas manajemen anggaran pendidikan pada Pemerintahan Kabupaten dilihat dari formulasi perencanaan anggaran atau strategi formulasi maupun strategi implementasi pembiayaan pendidikan, perlu disusun suatu model strategi pembiayaan pendidikan yang lebih feasibel dalam sistem otonomi daerah maupun otonomi sekolah dan pentingnya pelayanan pendidikan yang dituangkan dalam rencana strategis Dinas Pendidikan Kabupaten Garut.


(32)

26 Penelitian mengenai formulasi strategi dan implementasi dalam sistem pembiayaan pendidikan Kabupaten Garut merupakan suatu yang menarik dan penting untuk dilakukan penelitian. Rumitnya perencanaan anggaran, kurang tepatnya sasaran pembiayaan, lemahnya pemberdayaan sekolah dalam hal anggaran, dan bervariasinya dukungan masyarakat terhadap anggaran pendidikan semua ini merupakan problematika pembiayaan pendidikan di Pemerintahan Kabupaten maupun di sekolah. Hal inilah yang menarik perhatian peneliti dan juga menjadi alasan mendasar yang kuat untuk melakukan penelitian difokuskan pada studi analisis strategi pembiayaan pada pemerintahan kabupaten untuk dapat melakukan penataan dan pengelolaan anggaran pendidikan yang lebih efektif dan efisien serta tepat sasaran pada Dinas Pendidikan Kabupaten di Garut Provinsi Jawa Barat.

B. Permasalahan

Dalam penelitian ini permasalahan mendasar sebagai fokus penelitian adalah “Bagaimanakah sistem pembiayaan pendidikan yang efektif dan efisien pada

Pemerintah Daerah Kabupaten Garut”, rumusan fokus masalah lebih khusus adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sistem penganggaran dan proses penyusunan anggaran pendidikan yang diterapkan saat ini pada Pemerintahan Kabupaten Garut.

2. Bagaimanakah pengalokasian dan pendistribusian serta skala prioritas pembiayaan pendidikan pada Pemerintah Kabupaten Garut sampai pada satuan pendidikan.


(33)

27 3. Bagaimanakah realisasi penggunaan dan pertanggung jawaban pembiayaan

pendidikan pada Pemerintahan Kabupaten Garut.

4. Bagaimanakah pelaksanaan pengawasan dalam penggunaan pembiayaan pendidikan pada Kabupaten Garut.

5. Bagaimanakah mengembangkan potensi dalam mengimplementasikan pembiaya an pendidikan yang efektif dan efisien pada Pemerintah Kabupaten Garut

C. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui “Sistem pembiayaan

pendidikan yang efektif dan efisien pada Pemerintah Kabupaten Garut Jawa

Barat”. Lebih khusus tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui proses penyusunan anggaran pendidikan yang diterapkan saat ini pada Pemerintah Kabupaten Garut.

2.

Mengetahui pengalokasian dan pendistribusian pembiayaan pendidikan pada Pemerintah Kabupaten Garut sampai pada satuan pendidikan.

3.

Mengetahui realisasi penggunaan dan pertanggung jawaban pembiayaan pendidikan pada Pemerintah Kabupaten Garut.

4.

Mengetahui pelaksanaan pengawasan dalam penggunaan pembiayaan pendidikan pada Kabupaten.

5.

Mengetahui pengembangan potensi dalam mengimplementasikan pembiayaan pendidikan yang efektif dan efisien pada Pemerintah Kabupaten Garut


(34)

28

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini berguna bagi:

1. Para pengambil kebijakan pendidikan, baik tingkat nasional maupun regional khususnya pada pemerintahan Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut yang berkaitan dengan pembiayaan pendidikan.

2. Para pengambil kebijakan bidang pendidikan baik legislatif maupun eksekutif Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, maupun Pemerintah Kabupaten/Kota. 3. Para guru, dosen, pengamat dan praktisi pendidikan, pemerintah, swasta, dan

organisasi kemasyarakatan yang berminat terhadap pembiayaan pendidikan. 4. Para ahli manajemen dan kebijakan pendidikan dan para peneliti yang menaruh

perhatian pada manajemen pembiayaan pendidikan untuk melakukan kajian yang lebih mendalam berkaitan dengan manajemen dan organisasi pendidikan yang lebih luas dan mendalam.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini hanya membahas mengenai pembiayaan pendidikan pada satuan pendidikan atau sekolah negeri yang menjadi tanggung jawab langsung Pemerintah Kabupaten Garut. Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah sistem pembiayaan pendidikan dilihat dari efektifitas dan efisiensi pembiayaan pendidikan setelah implementasi otonomi daerah pada Dinas Pendidikan Kabupaten dalam hal ini Kabupaten Garut. Karena keterbatasan penelitian ini, hal-hal lain yang berkaitan


(35)

29 dengan penelitian ini tidak dibahas, dan pada kesempatan lain atau oleh peneliti lainnya akan dibahas lebih mendalam. Temuan data dan pembahasan dalam penelitian ini mengacu pada kebijakan pemerintah berkaitan dengan formulasi dan implementasi pembiayaan dilihat dari kebutuhan satuan pendidikan.

F. Premis dan Asumsi Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa premis dan asumsi yang menjadi landasan dalam studi ini adalah:

1. Pendidikan diperhitungkan sebagai faktor tertentu keberhasilan seseorang, baik secara sosial maupun ekonomis. Nilai pendidikan berupa asas moral adalah bentuk kemampuan, kecakapan, keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan dipandang sebagai suatu investasi. Pandangan ini diarahkan atas premis human capital (sumber daya manusia sebagai sumber modal). Berdasarkan premis tersebut besarnya nilai yang dipergunakan untuk pendidikan dipandang sebagai investasi yang ditanam dalam pendidikan perlu memperhitungkan nilai manfaat (benefit) atau kekurangan dimasa yang akan datang. (Theodore W. Schultfz dalam Cohn, 1979).

2. Pendidikan memiliki nilai konsumtif dalam jasa pendidikan dan nilai investatif. pendidikan dapat diukur pendapatan (income) seseorang yang terdidik sesuai dengan tingkat produktivitasnya. Menurut premis ini pendidikan memiliki nilai ekonimis yang dapat dikaji dari aspek biaya produksi (proses pendidikan) dan


(36)

30 aspek keuntungan (hasil) atau manfaat secara perorangan (individual), maupun manfaat sosial ( Cohn, 1979).

3. Biaya dan mutu pendidikan mempunyai keterkaitan secara langsung. Biaya pendidikan memberikan pengaruh yang positif melalui faktor kepemimpinan dan manajemen pendidikan, dan tenaga pendidik yang kompeten dalam meningkatkan pelayanan pendidikan melalui peningkatan mutu faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses belajar mengajar ( John dan Morphet, 1975).

4. Mutu pendidikan merupakan fungsi dari sejumlah faktor input, proses dan konteks. Biaya pendidikan yang disediakan untuk menyediakan perangkat input akan memberikan dampak terhadap mutu melalui fungsi alokasi yang tepat, adil (eqitabel) dan pendayagunaan secara efisien (World Bank Study, 1998)

5. Biaya adalah salah satu dari sekian banyak faktor penentu mutu pendidikan yang tidak dapat dihindarkan yang berfungsi dalam proses belajar mengajar (Sallis, 1993).

6. Manfaat langsung dari setiap pengeluaran biaya pendidikan akan berdampak positif dan signifikan jika digunakan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan pelaksanaan PBM, seperti bahan dan alat-alat pengajaran, gaji guru, sarana kelas, dan bangunan sekolah (Mauren Woodhal, 1970 dalam John dan Morphet, 1975:14).


(37)

31

G. Pendekatan Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian menggambarkan sistem pembiayaan pendidikan mulai dari analisis teoritik manajemen pembiayaan pendidikan didukung konstruk empirik untuk menemukan model pembiayaan pendidikan yang efektif pada pemerintahan kabupaten sebagai daerah otonom. Sistem pembiayaan pendidikan ini akan mengungkap secara detail proses penyusunan pembiayaan pendidikan pada tingkat pemerintah kabupaten dan satuan pendidikan, alokasi dan pendistribusian, realisasi dan penggunaan dana pendidikan di Kabupaten Garut.

Output penelitian menemukan model dan mekanisme pembiayaan pendidikan yang efektif dan efisien pada pemerintahan kabupaten yang mungkin dapat dikembangkan. Akuntabilitas manajemen pembiayaan pada tiap tingkatan hierarki pemerintahan dan satuan pendidikan akan memberi gambaran kuat apakah mekanisme pembiayaan pendidikan tersebut dapat di kontrol dan di evaluasi, sehingga secara terus menerus dapat memberi layanan kebutuhan pembelajaran di sekolah dan institusi pendidikan lainnya sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan kabupaten yang efektif mencapai tujuan. Alur pemikiran paradigma penelitian secara diagramatik digambarkan dalam bentuk siklus seperti diungkapkan pada gambar: 1.1 berikut ini.


(38)

108

BAB III

METOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Berdasarakan fokus masalah penelitian, tujuan penelitian, subjek penelitian, dan karakteristik data maka desain yang tepat untuk penelitian ini adalah menggunakan analisis deskriptif pendekatan kualitatif. Karena penelitian ini ingin mendeskripsikan formulasi dan implementasi pembiayaan pendidikan pada pemerintahan kabupaten dimana prioritas program yang membutuhkan dukungan anggaran, sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan pendidikan. Pendekatan yang dapat mendeskripsikan data tersebut adalah menggunakan disain penelitian kualitatif. Perencanaan penelitian kualitatif oleh Lincoln dan Guba (1984) adalah skema atau program penelitian yang berisi out line apa yang harus di lakukan peneliti, mulai dari pernyataan sebagai informasi penelitian sampai pada analisis data finalnya.

Sedangkan strukturnya oleh Lincoln dan Guba (1984) adalah lebih spesifik lagi yang membuat skema, paradigma-paradigma variabel, yang lebih operasional yang melihat keterkaitan beberapa domain sehingga membangun suatu skema struktural sebagai tujuan penelitian. Dengan demikian desain penelitian ini adalah studi kasus (case study) menggunakan pendekatan eksploratif yang bersifat mendalam mengenai pengelolaan dan penerapan pembiayaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Garut. Studi eksplorasi ini menelusuri secara cermat dokumentasi yang berkaitan dengan pembiayaan dan wawancara yang bersifat luas dan mendalam berkaitan dengan kebijakan pembiayaan.


(39)

109

B. Strategi Penelitian

Strategi penelitian oleh Lincoln dan Guba (1984:221) lebih spesifik dari perencanaan yang intinya adalah memberikan metode-metode yang digunakan untuk mengurai atau menganalisis data, dengan kata lain strategi merupakan bagaimana penelitian itu dilakukan dan bagaimana masalah-masalah itu dijawab dengan prosedur yang ada walaupun pada hakekatnya desain penelitian kualitatif bersifat “emergent” atau tidak dapat dimantapkan pada taraf permulaan dan baru mendapat bentuk yang lebih jelas sepanjang penelitian itu dijalankan namun untuk kepentingan penulisan atau pengajuan suatu proposal, maka desain penelitian harus dibuat. Sebelum melakukan penelitian sebaiknya peneliti memahami terlebih dahulu pandangan dasar (axioma) disain kualitatif yakni: (1) desain tidak terinci, fleksibel, timbul (emergent) serta berkembang sambil jalan atara lain mengenai tujuan, subjek, sampel sumber data; (2) desain sebenarnya baru diketahui dengan jelas setelah penelitian selesai (retrospektif); (3) tidak mengemukakan hipotesis sebelumnya; hipotesis lahir sewaktu penelitian dilakukan; hipotesis hanya berupa “hunches”, petunjuk yang bersifat sementara dan dapat berubah, hipotesis hanya berupa pertanyaan yang mengarah pengumpulan data; (4) hasil penelitian terbuka dan tidak diketahui sebelumnya karena jumlah variabel tidak terbatas; (5) langkah-langkah tidak dapat dipastikan sebelumnya serta hasil penelitian tidak dapat diketahui atau diramalkan sebelumnya; dan (6) analisa data dilakukan sejak awal bersamaan dengan pengumpulan data walaupun analisis akan lebih banyak pada tahap-tahap kemudian.


(40)

110 Oleh karena itu strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) orientasi teoritik dengan pendekatan fenomenologis; (2) teknik pengumpulan data tiga tahap yaitu tahap orientasi, eksplorasi pengumpulan data, dan penelitian terfokus; (3) wawancara komprehensif; (4) observasi peran serta; dan (5) dokumentasi tertulis yang terkait dengan penelitian ini.

C. Objek dan Sampling Penelitian

Tidak ada pengertian populasi. Sampling dalam hal ini ialah pilihan peneliti aspek apa dan peristiwa apa dan siapa yang dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu karena itu pemilihan sampel dilakukan terus-menerus sepanjang penelitian. Sampling bersifat purposif yakni tergantung pada tujuan fokus. Instrumen penelitian tidak bersifat eksternal atau objektif, akan tetapi subjektif yaitu peneliti itu sendiri tanpa menggunakan test, angket atau eksperimen. Instrumen dengan sendirinya tidak berdasarkan definisi operasional. Yang dilakukan ialah menseleksi aspek-aspek yang khas, yang berulang kali terjadi, yang berupa pola atau tema dan tema itu senantiasa diselidiki lebih lanjut dengan cara yang lebih halus dan mendalam. Tema itu akan merupakan petunjuk kearah pembentukan suatu teori. Analisis data bersifat terbuka, opened-ended dan induktif. Dikatakan terbuka karena teknik sampling purpossive (bertujuan). Jadi sampel dalam penelitian ini antara lain adalah pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, pejabat instansi lain yang berada di lingkungan Pemerintah Kabupaten Garut, legislatif Kabupaten Garut, dan unsur masyarakat yang berkompeten mengenai pembiayaan pendidikan di sekolah.


(41)

111 Keadaan sekolah sebagai objek penelitian terlihat seperti tabel 3.1 berikut ini dimana jumlah siswa Sekolah Dasar yang terdiri dari Negeri dan Swasta 278.045. Madrasah sebanyak 17.665 selanjutnya SMU 33.

Tabel 3.1 Keadaan Sekolah di Kabupaten Garut

No. Jenjang

Sekolah

Sekolah Murid

Negeri Swasta Jumlah Negeri Swasta Jumlah

1. TK 1 128 129 60 4.223 4.283

2. RA 48 48 1.332 1.332

3. SD 1.549 17 1.566 258.902 2.891 261.793 4. MI 4 141 145 904 17.665 18.569 5. SLTP 74 41 115 49.208 7.303 56.511 6. MTs 13 112 125 3.956 17.365 21.321 7. SMU 20 26 46 14.617 6.169 20.786 8. SMK 4 28 32 3.167 7.922 11.089

9. MA 5 44 49 2.478 5.555 8.033

Jumlah 1.670 585 2.255 333.292 70.425 403.717

Sampel penelitian dalam penelitian kualitatif menurut Faisal (1990:44) berkaitan dengan prosedur memburu informasi sebanyak karakteristik elemen yang berkaitan dengan apa yang ingin diketahui. Informasi yang ingin diketahui oleh peneliti adalah sistem dan mekanisme pembiayaan pendidikan yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Garut digunakan untuk membiayai program pembelajaran dan kegiatan sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Dalam penelitian ini

populasi-nya sekaligus sebagai informan kunci yaitu para pejabat birokrasi unit

organisasi dan jabatan fungsional pada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Dinas Pendidikan Kabupaten Garut sebagai tempat penelitian ini.

Pejabat tersebut oleh peneliti ditetapkan sebagai informan kunci dengan mengajukan berbagai alasan antara alain yaitu: (1) mereka menguasai atau


(42)

112 memahami informasi yang berkaitan dengan pembiayaan pendidikan sebagai permasalahan penelitian ini; (2) mereka sedang berkecimpung atau terlibat dengan kegiatan yang diteliti; (3) mereka mempunyai kesempatan atau waktu untuk dimintai informasi; dan (4) mereka dipandang tidak memberi keterangan atas dasar kemasannya sendiri tetapi sesuai kondisi riil dan fakta-fakta pembiayaan yang menjadi tanggung jawabnya. Sampel responden atau penentuan informan kunci dipilih dengan menggunakan teknik purfosive. Penarikan sampel penelitian kualitatif menurut Miles dan Huberman (1992:47) adalah mengambil sepenggalan kecil dari suatu keseluruhan yang lebih besar, dan penarikannya cenderung menjadi lebih purposif dengan tujuan yang jelas dari pada acak.

Penarikan sampel tidak hanya meliputi keputusan-keputusan tentang orang-orang mana yang akan diamati, tetapi juga mengenai latar-latar, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses sosial. Penetapan responden bukan ditentukan oleh pemikiran bahwa para responden harus mewakili populasi, melainkan responden itu harus dapat memberikan informasi yang diperlukan. Responden karena jabatannya dan karena fungsi tugas maupun wewenangnya memahami betul pembiayaan pendidikan di Pemerintah Kabupaten Garut mulai dari perencanaan, sumber biaya, alokasi biaya, mekanisme, penggunaan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Responden dengan kriteria ini menjadi sumber utama perolehan data dalam penelitian ini.

Penarikan sampel seperti pada tabel 3.2 yang merupakan fokus kajian penelitian yaitu: (1) menentukan apa yang akan diobservasi yaitu sistem pembiayaan pendidikan pada pemerintahan kabupaten mencapai visi dan misi; (2) apa yang


(43)

113 ditanyakan yaitu mekanisme penentuan dan pendistribusian anggaran pendidikan serta kegiatan organisasi; (3) siapa yang akan diajak bicara, yaitu seluruh pejabat Pemerintah Kabupaten Garut yang terkait dengan pembiayaan pendidikan dan Dinas Pendidikan; dan (4) apakah akan tinggal di suatu ruangan atau ditempat lainnya, dalam hal ini peneliti berpindah-pindah dari satu ruangan ke ruangan lainnya karena setiap jabatan mempunyai ruang yang berbeda.

Penarikan Sampel dan Pilihan yang Diambil

No. Parameter

Penarikan Sampel

Pilihan Yang Diambil

1. Latar (Setting) Kantor, ruang kerja pejabat, dan ruang pertemuan pada kantor Bupati, Setda, Bappeda dan Dinas Pendidikan Kabupaten Garut

2. Pelaku Bupati, Ketua/Wakil Ketua DPRD, Komisi E DPRD Kabupaten Garut, Sekretaris Daerah, Asisten Sekda, Kepala Bappeda, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sub Dinas /Bidang, Kepala Seksi, Kepala Bagian Tata Usaha, Kepala Sub Bagian sebagai pejabat struktural

3. Peristiwa Pertemuan atau rapat-rapat, pelaksanaan tugas sehari-hari, kegiatan rutin, dan keputusan-keputusan yang dapat dilihat dari dokumen.

4. Proses Melaksanakan kegiatan rutin, memberi instruksi, mekanisme anggaran, membuat keputusan-keputusan, dan meningkatkan kecakapan

5. Situs (Kasus) Suatu fenomena dalam konteks terbatas yang membentuk suatu kajian kasus pelaku dalam organisasi Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan Kabupaten Garut bertitik tolak pada fokus penelitian ini

Tabel: 3.2 Sampel Penelitian

Sampling penentuan informan kunci dalam hal ini ialah pilihan peneliti aspek apa, peristiwa apa, dan siapa yang dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu karena itu pemilihan sampel dilakukan terus-menerus sepanjang penelitian. Sampling bersifat purposif rasional (logical, purposive sampling) mengacu pada tujuan dan fokus. Instrumen penelitian tidak bersifat eksternal atau objektif, tetapi subjektif yaitu peneliti itu sendiri tanpa menggunakan test, angket atau eksperimen. Instrumen


(44)

114 dengan sendirinya tidak berdasarkan defenisi operasional, tetapi menseleksi aspek-aspek yang khas, yang berulang kali terjadi, berupa pola atau tema, dan tema itu senantiasa diselidiki lebih lanjut dengan cara yang lebih halus dan mendalam. Tema itu merupakan petunjuk kearah pembentukan suatu teaori.

Analisis data dalam penelitian ini sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman, (1992:83) yaitu bersifat terbuka, opend-ended, induktif. dikatakan terbuka karena teknik sampling purpossive, dan verifikasi data dilakukan dengan mengembangkan wawancara mendalam dengan informan kunci maupun pengamatan peranserta dengan menggunakan snow bool sampling technique.

D. Instrumen Penelitian

Manusia sebagai instrumen utama dalam penelitian kualitatif, karena dipandang lebih cermat dengan ciri-ciri yang diintrodusir oleh Nasution (1996:55-56) sebagai berikut: (1) manusia sebagai alat yang peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulan dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bermakna bagi peneliti; (2) manusia sebagai alat yang dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus; (3) tiap situasi merupakan suatu keseluruhan; (4) suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat difahami dengan pengetahuan semata-mata; (5) peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh; (6) hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan


(45)

115 untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan; dan (7) manusia sebagai instrumen, respon yang aneh dan yang menyimpang justru diberi perhatian. Pada penelitian ini peneliti berperan sebagai instrumen utama dalam menjaring data dan informasi dengan menggunakan teknik observasi partisipan, dokumentasi tertulis dan wawancara mendalam.

E. Validitas, Reliabilitas dan Objektifitas Data Penelitian 1. Validitas (credibility and transferability)

Validitas secara umum menurut Nasution, (1996) mensyaratkan agar apa yang terjadi dalam penelitian sesuai dengan apa yang terjadi secara riil di lapangan. Seperti halnya penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif juga harus memenuhi syarat-syarat validitas yaitu validitas internal dan eksternal. Validitas internal yang menyangkut kesesuaian konsep peneliti dengan konsep yang ada pada para responden. Pokok utama dalam validitas internal kualitatif ada pada penelitinya, yaitu seberapa jauh konsep yang ada pada para peneliti bisa sesuai dengan konsep para responden. Istilah validitas internal dalam penelitian kualitatif disebut dengan credibility, yaitu menyangkut kemampuan kredibilitas penelitinya. Validitas eksternal menyangkut sejauh mana hasil penelitian tersebut dapat diterapkan oleh orang lain. Hal ini hampir sama dengan penelitian kuantitatif yang validitas eksternalnya adalah sejauh mana generalisasinya dapat diterapkan pada situasi lain. Oleh karena menyangkut kemampuan hasilnya diterapkan oleh orang lain, istilah validitas eksternal dalam penelitian kualitatif disebut applicability, fittingness, atau transferability.


(46)

116

2. Reliabilitas (depentability and auditability)

Nasution, (1996) mengemukakan reabilitas dalam arti dapat diulangi oleh penelititi lain dengan metode dan situasi yang sama tidak mungkin terjadi dalam penelitian kualitatif. Karena situasi dalam penelitian kualitatif adalah natural sehingga tidak mungkin direkonstruksi kembali oleh orang atau peneliti lain dalam waktu yang lain meskipun tema dan tempatnya mempunyai karakteristik yang sama. Faktor lain yang menyebabkan syarat reabilitas tidak bisa diterapkan pada penelitian kuantitatif adalah bahwa cara melaporkan hasil penelitian oleh peneliti bersifat ideosyncartic dan indivudualistic sehingga selalu berbeda dari peneliti ke peneliti.

Dalam penelitian kualitatif, reabilitas dipengaruhi oleh; (1) status dan kedudukan peneliti dikalangan anggota kelompok yang diselidiki dan hubungan pribadinya dengan partisipan, (2) pilihan dari informan, (3) situasi dan kondisi sosial yang mempengaruhi informasi yang diberikan, (4) definisi konsep, dan (5) metode pengumpulan dan analisis data penelitian. Dari pendapat ini tampak bahwa reabilitas penelitian kualitatif lebih menyangkut kepada reabilitas internal dari peneliti itu sendiri menyangkut dependability dan auditability. Usaha yang dilakukan untuk mempertinggi reabilitas internal ini, adalah: 1) uraian deskriptif yang konkrit, 2) membentuk tim peneliti (penelitinya lebih dari seorang), 3) menggunakan partisipan lokal sebagai asisten peneliti, 4) meminta pendapat atau pertimbangan peneliti lain, dan 5) pencatatan data atau informasi dengan alat mekanis.


(47)

117

3. Obyektivitas (Conformability)

Nasution, (1996) mengemukakan obyektivitas menyangkut sejauh mana hasil penelitian dapat berlaku sama tidak tergantung pada pengamat atau penelitinya. Hal ini memang susah diciptakan dalam penelitian kualitatif, tetapi bukan tidak mungkin. Subyektivitas sebagai lawan dari obyektivitas memang harus dihindari dalam penelitian kualitatif. Hasil penelitian kualitatif dianggap obyektif bila dibenarkan atau dikonfirmasi oleh peneliti lain. Oleh karena itu istilah obyektivitas dalam penelitian kualitatif ini sering disebut confirmability. Berdasarkan uraian di atas penulisan laporan penelitian memenuhi syarat ilmiah jika penelitiannya mempunyai kredibilitas yang tinggi dan hasilnya diterapkan oleh orang lain (aplikabilitasnya tinggi), serta mempunyai audibilitas dan confirmabilitas yang tinggi.

Karena dalam pelaksanaan penelitian kualitatif hal ini harus terpenuhi untuk membedakan secara tegas mana fakta dan mana opini, maka penelitian kualitatif dapat dikatakan mempunyai nilai ilmiah atau memenuhi syarat ilmiah. Lebih lanjut Sharplin memasukkan analisis SWOT untuk melihat kekuatan dan kelemahan di dalam organisasi, sekaligus memantau peluang dan tantangan yang dihadapi organisasi. Dia menyebutkan: “Strengths are internal competencies posessed by the organization in comparison with its competitors”. Sementara “weaknesses are attributes of the organization which tend to decrease its competence in comparison with its competitiors”. (Sharplin, 1985:54).


(48)

118

F. Analisis dan Penafsiran Data

Analisis data pada penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Biklen (1982) merupakan upaya mencari dan menata secara sistematik transkrip dan catatan hasil observasi, dokumen dan wawancara serta bahan-bahan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Moleong (1989:183) mengemukakan antara analisis data dan penafsiran data merupakan kegiatan yang terjalin secara terpadu. Analisis data telah dimulai sejak dilapangan, pada saat itu sudah ada penghalusan data, penyusunan kategori dengan kawasannya dan sudah ada upaya dalam rangka penyusunan hipotesis yaitu teorinya sendiri. Jadi analisis data ini terintegrasi secara terpadu dengan penafsiran data.

Analisis data kualitatif adalah suatu format ruang yang menyajikan informasi secara sistematis pada penggunanya. Format tersebut menurut Miles dan Huberman (1992:137) dapat berwujud teks naratif, tabel ringkasan (seperti matriks, bagan, daftar cek atau gambar). Sementara itu Bogdan dan Biklen (1982) mengemukakan beberapa saran dalam menganalisis data penelitian kualitatif antara lain: (1) force your self to

make decisions that narow the study; (2) force your self to make concerning the type of study you want to complish; (3) develop analytic question; (4) plan data collection session in light of what you find in previous observation; and (5) write memos to your self about what you are learning. Sejalan dengan itu Subino (1988) mengemukakan

bahwa analisis data kualitatif adalah proses menyusun data yaitu menggolongkannya dalam pola, tema atau kategori agar dapat ditafsirkan.


(1)

5. Evaluasi Dampak

Evaluasi dampak merupakan kegiatan terakhir penelitian lapangan dilakukan dengan melalui observasi partisipasi (melakukan pengamatan dengan keikut sertaan peneliti di lapangan) dan wawancara mendalam untuk mengetahui sejauh mana proses penganggaran pendidikan didilhat dari sistem penganggaran pendidikan pada pemerintahan kabupaten dalam penelitian ini. Sehingga dapat dilakukan pengembangan formulasi manajemen pembiayaan dan bagaimana implementasi dari formula tersebut untuk dapat dilaksanakan dan kendala-kendala apa yang dihadapi selama proses implementasi berlangsung, sehingga perlu pemecahan lebih lanjut.


(2)

Kepustakaan

Andrews, C., dan Amal, I. (1993). Hubungan Pusat – Daerah Dalam

Pembangunan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Anwar, M. I. (1990). Transformasi Biaya Pendidikan Dalam Layanan Pendidikan

pada Perguruan Tinggi. Bandung: Pasca Sarjana IKIP Bandung Disertasi

Tidak Diterbitkan.

______. (2003). Administrasi Pendidikan dan Manajemen Pembiayaan

Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Becker, S. G. (1993). Human capital a teoretical and empirical analysis with

special reference to education. London: The University of Cicago Press.

Beeby, C. E. (1987). Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan Pedoman

Perencanaan. Jakarta: LP3ES.

Blocher, E. J. (2000). Manajemen Biaya dengan Tekanan Strategik. Diterjemahkan Susty Ambarriani. Jakarta: Salemba Empat.

Bogdan, R. C. dan Biklen (1982). Qualitative Reaserch for Education: An

introduction in theory and methods. Boston: Allyn Bacon.

Clark, D. at al (1998:20). Financing of Education in Indonesia. Manila: Asian Development Bank.

Cohn, E. (1979). The Economic of Education. Massachusetts: Ballinger Publishing Company.

Coombs, P. H. dan Hallak, J. (1972). Managing Educational Cost. New York: Oxford University Press.

Cummings, P. W. (1980). Open Management: Guides to Successful Practice. New York: Amacom.

David, C., Bray, M. dan Murray, R T. (1998). Financing of Education in

Indonesia. Hongkong: ADB-CERC The University of Hongkong.

Depdikbud. (1981). Pedoman Pelaksanaan Pola Pembaharuan Sistem Pendidikan


(3)

Elizabeth dan Gifford, P. (1993). The End of Bureaucracy and The Rise of the

Intelligent Organization. San Fransco: Berret Kohler Publishers.

Engkoswara. (1987). Dasar – Dasar Administrasi Pendidikan. Jakarta: P2LPTK Jakarta.

Etzioni, A. (1964). Organisasi-Organisasi Modern. Jakarta: UI Pres.

Ewell, P. T, dan Lisensky, R. P. (1988). Assesing Institutional Effectiveness. Washington: Concortium for The Advencement of Private Higher.

Faisal, S. (1990). Penelitian Kualitatif Dasar Dasar dan Aplikasi. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh (YA3) Malang.

Fangerlind, I. dan Saha, L. J. (1983). Educational and national development-A

comparative perspektif. New York: Pergamon Press.

Fattah, N. (2000). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Fiske, E. B (1996). Decentralization of Education: Politics and Consensus.

Washington DC: The World Bank.

Gaffar, M. F. (1991). Konsep dan Filosofi Biaya Pendidikan. Bandung: Mimbar Pendidikan No.1 Tahun X April 1991.

______. (1998). Administrasi Pendidikan. Mimbar Pendidikan No.2 Tahun XVII April 1998.

______ . (2001). Pembiayaan Pendidikan Dalam Era Otonomi Daerah. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Otonomi Pendidikan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah pada PPS Universitas Negeri Semarang. Tidak Diterbitkan.

Gibson, J., L. , Ivanevich, J., M. dan Donnely, J., H. (1982). Organisasi Dan

Manajemen. Terjemahan oleh Djoerban Wahid. Jakarta: Erlangga.

______. (1996). Organisasi: Perilaku, Struktur, dan Proses. Diterjemahkan Nunuk Adiarni dan Editor Lyndon Saputra. Jakarta: Binarupa Aksara. Gorton, R. A. (1976). School Administration. Challange and Opportunity for

Leadership. Iowa: Brown Company Publishers.


(4)

Holdaway, E. A. dan Johnson, Neil A. (1993). School Effectiveness and

Effectiveness Indicator. Dalam School Effectiveness and School Improvement: An International Journal of Research Policy and Pratice.

Hoy, W. K. dan Miskel, C. G. (1987). Educational Administration. Theory,

Research, and Practice. New York: McNally and Company.

Johns, R. L, dan Morphet, E. L. (1975). The Economic and Financing of

Education. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Englewood Clifs.

Jones, G. R. (1995). Organizational Theory. Amsterdam: Addision Wesley Publishing Company.

Jones, T. H. (1985). Introduction to School Finance: Technique and School

Policy. New York: Macmillan Publishing Company.

Kaplan, R. S. dan Norton, D. P. (2001). Strategy Focused Organization: How

Balanced Scorecard Companies Thrive in The New Business

Environment. Boston: Harvard Business School Press.

Komaruddin. (1979). Ensiklopedi Manajemen Pendidikan. Bandung: Alumni. Knezevich. (1969). The American School Superintendent. Washington DC:

American Association of School Administration.

Lincoln, Y. S., dan Guba, E. G. (1984). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, California: Sage Publications, Inc.

Linstone, H. A. dan Turrof, M. (1975). The Delphi Method (Techniques and

Aplications). Massachusets: Addison-Wesley Publishing Company.

Lunenburg, F. C. dan Ornstein, A. C. (2000). Educational Administration (Concepts and Practices). London: Thomson Learning Berkshire House. Mann, D. (1975). Policy Decision Making In Education an Introduction to

Calculation and Control. New York:, London: Teachers College Press.

MPR RI (1999). Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Mardiasmo (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi.

Ministry of Education and Culture (1977). Education development in Indonesia. Jakarta. Depdikbud.Presiden RI. (1999).


(5)

Miles, B. M. dan Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Buku

Sumber tentang Metode-Metode Baru. Penerjemah. Tjetjep Rohendi.

Jakarta: Universitas Indonesia.

Moleong, L. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nasution, S. (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung. Tansito. Nawawi, H. (1982). Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas sebagai Lembaga

Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.

Ornstein, A. C., dan Levine, D. U. (1989). Foundations of Education. Boston: Houghton Mifflin Company.

Pearce, J. A. dan Robinson, R. B. (1997). Strtegic Management: Formulation,

Implementation, and Control. Boston: Irwin McGrow-Hill.

Presiden RI (1989). Undang Undang Republik Indonesia No. 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Armas Duta Jaya.

Purwanto, N. (1984). Administrasi Pendidikan. Bandung: Angkasa.

Robins, S. P. (1989). Teori Organisasi: Struktur, Disain, dan Aplikasi. Alih Bahasa Jusuf Udaya. Jakarta: Arcan.

Rifa’i, M. (1972). Pengantar Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Baru.

Sagala, H. S. (2003). Desain Organisasi Pendidikan dalam Implementasi

Kebijakan Otonomi Daerah: Studi Kasus Desain Organisasi yang Efektif pada Lingkungan Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Garut dan Kota Bandung di Jawa Barat. Bandung: Disertasi tidak

diterbitkan.

Sallis, E. (1993). Total Quality Management in Education. London: Cogan Page Limited.

Satori, D. (2000). “Quality Assurance” Dalam Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Formasi. Artikel dalam Jurnal Kajian Manajemen Pendidikan (Formasi) Nomor 3. Tahun II, September 2000.

Scott, W. R. (1992). Organizations: Rational, Natural, and System. Third Edition. New Jersey: Prentice Hall.


(6)

Scheerens, J. (1992). Effective Schooling Research: Theory and Practice. Nederlands: Original Ducth Edition, Het Institute Voor Ondrzoek Van Het.

Sergiovanni, T. J. (1987). The Principalship. A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn Bacon, Inc.

Sergiovanni, J. T. dan Coom, S. F. (1992). Educational Governance and

Administration. Massachusetts: Prentice Hall.

Sharplin, A. (1985). Strategic Management. Singapore: McGraw Hill Book Company.

Subino, H. (1988). Pokok-pokok Pengumpulan Data: Analisis Data Penafsiran

Data dan Rekomendasi Dalam Penelitian Kualitatif. Bandung: IKIP

Bandung.

Supriadi, D. (2001). Laporan Hasil Penelitian Penyusunan Biaya Satuan

Pendidikan SD, SLTP, SMU, dan SMK Negeri. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional Biro Keuangan Sekretariat Jenderal. Tidak diterbitkan.

Sutisna, O. (1983). Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis Untuk Praktek

Profesional. Bandung: Angkasa.

The Liang Gie (1983). Unsur - Unsur Administrasi. Yogyakarta: Supersukses. Undang - Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Jakarta: Sinar Grafika. Vaizey, J. (1972). The Ecinomic of Education. Londen: Feber and Feber Limited. Vaizey, J. dan Chesswas, J. D. (1967). The Costing of Educational Plans. Paris:

Unesco.

Wilson, Robert. E. (1966). Educational Administration. Ohio: Merril Books. Inc. Colombus.

World Bank Report. (1989). Basic Education Study. Jakarta: Word Bank of Finance

World Bank Study. (1998). Education in Indonesia: From Crisis to Recovery. Hongkong: Education Sector Unit, East Asia and Facific Region Office. Yahya (2003). Sistem Manajemen Pembiayaan Pendidikan: Suatu Studi tentang

Pembiayaan Pendidikan Sekolah Dasar di Provinsi Sumatera Barat.

Bandung: Disertasi Doktor PPs UPI. Tidak diterbitkan.