KAJIAN FENOMENOLOGIS TENTANG POLA PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI SISTEM “FULLDAY SCHOOL” PADA SMA LABSCHOOL UNIVERSITAS SYIAH KUALA.

(1)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ……….. i

ABSTRAK ……… ii

KATA PENGANTAR ………. iv

UCAPAN TERIMA KASIH ……….. v

DAFTAR ISI ……… xi

DAFTAR TABEL ……… xiv

DAFTAR GAMBAR ……….. xv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xvi

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A. Lalar Belakang Masalah ………. 1

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah ……….. 17

C. Tujuan Penelitian ……… 19

D. Manfaat Penelitian ………. 20

E. Struktur Organisasi Disertasi ……….. 22

BAB II TINJAUAN TEORETIS ……… 23

A. Dimensi-Dimensi Karakter dan Pendidikan Karakter ………..… 23

B. Pengembangan Nilai-Nilai Dasar Pendidikan Karakter Bangsa ……… 39

C. Konsepsi Pendidikan Karakter menurut Grand Desain Pendidikan Nasional ……….. 47


(2)

D. Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah ……….. 61

E. Hakikat Karakter Menurut Perpektif Pendidikan Umum/Nilai ……….. 87

F. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu ………. 110

BAB III METODE PENELITIAN ……… 121

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ………. 121

B. Sumber Data ………. 124

C. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data ………. 125

D. Subjek dan Lokasi Penelitian ………. 127

E. Pengolahan Data ……… 139

F. Validasi Data ……….. 131

G. Etika Penelitian ……….. 132

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 133

A. Hasil Penelitian ……….………. 133

1. Gambaran Umum SMA Labschool Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ……… 133

2. Pola Pengembangan Pendidikan Karakter dalam Keseharian di Labschool Unsyiah ……… 151

3. Pendidikan Karakter Sebagai Prioritas ……… 168

4. Wawasan dan Kompetensi Guru Yang Membina Pendidikan Karakter 187 5. Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter di SMA Labschool Unsyiah ……….. 191


(3)

6. Faktor Penunjang dan Kendala ………. 194

B. Pembahasan ……… 200

1. Prinsip Dasar ………. 200

2. Refleksi Pendidikan Karakter di Labschool Unsyiah ………. 211

3. Pendekatan-Pendekatan Pendidikan Karakter ………. 215

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 220

A. Kesimpulan Umum ……… 220

B. Kesimpulan Khusus ………. 223

C. Rekomendasi ………. 224

DAFTAR PUSTAKA .………. 228

LAMPIRAN ……….,,,,,,, 237


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Format Umum Sistem Fullday di Labcshool Unsyiah ……… 142 Tabel 4.2. Sinopsis Pola-Pola Pengembangan Pendidikan Karakter Disiplin

di Labschool Unsyiah ……….. 171 Tabel 4.3. Sinopsis Pola-Pola Pengembangan Pendidikan Karakter Bersih,

Rapi, dan Indah di Labschool Unsyiah ……… 173 Tabel 4.4. Sinopsis Praktik Kerjasama di Sekolah ………. 175 Tabel 4.5. Sinopsis Praktik Persahabatan Siswa-Guru di Sekolah ……….. 177 Tabel 4.6. Sinopsis Praktik Rasa Hormat dan Santun di Sekolah ………… 179 Tabel 4.7. Sinopsis Praktik Karakter Rajin, Kreatif, Inovatif dan Visioner … 182 Tabel 4.8. Sinopsis Praktik Peduli Lingkungan di Dalam dan di Luar Sekolah 184 Tabel 4.9. Sinopsis Praktik Nilai-Nilai Keagamaan dalam Lingkup dan di


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Komponen-Komponen Moral ……… 33 Gambar 2.2. Alur Pikir Pembangunan Karakter Bangsa ……….. 53 Gambar 2.3. Konfigurasi Karakter dalam Konteks Totalitas Proses

Psikososial-Kultural ……… 54

Gambar 2.4. Pendidikan Karakter dalam Tatanan Makro ……… 57 Gambar 2.5. Sinergitas Pendidikan Pada Tatanan Mikro di Sekolah ……. 70 Gambar 2.6. Strategi Kebijakan Pendidikan Karakter ………. 85


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pokok-Pokok Pikiran sebagai Rekomendasi untuk

Pengembangan Pendidikan Karakter di Labschool Unsyiah ……. 238

Lampiran 2 Kisi-Kisi Penelitian ……….. 246

Lampiran 3 Pedoman Wawancara ……… 248

Lampiran 4 Pedoman Observasi Lapangan ………. 251

Lampiran 5 Sampel Catatan Lapangan (Field-Notes) ……… 253

Lampiran 6 Profil SMA Labschool Unsyiah ………. 257


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Pendidikan Karakter Sebagai Sebuah Keniscayaan

Dalam rangka membangun kualitas sumber daya manusia dan memperjuangkan eksistensi peradaban bangsa yang kokoh di tengah-tengah arus globalisasi yang melanda semua aspek kehidupan sekarang ini, pemerintah Indonesia melalui Kemendiknas telah menggagas pentingnya membangun pendidikan karakter bangsa. Sebagaimana ditegaskan oleh Mendiknas Muh. Nuh pada perayaan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010, pendidikan karakter adalah kunci untuk mengatasi segala permasalahan yang melanda bangsa Indonesia saat ini. Apakah pendidikan karakter itu? Mengapa ia demikian penting dan alasan-alasan apa sehingga isu ini telah diangkat sebagai topik penelitian disertasi ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pelecut bagi penulis untuk melakukan penelitian ini.

Ide pendidikan karakter telah lama mengakar dalam sejarah. Akan tetapi ia pernah sirna dan dicetuskan kembali di zaman modern ini oleh ahli pendidikan Jerman Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter yang menekankan pada dimensi nilai-moral dalam proses pembentukan pribadi merupakan reaksi atas kelemahan pengaruh filsafat natural rousseauian dan paedagogi instrumentalisme deweyan (Foerster dalam Koesoema, 2007:42).

Pengaruh filsafat Fragmatisme dan filsafat pendidikan Progresivisme dalam dunia pendidikan terutama di Amerika Serikat dan Eropa pada awal abad


(8)

ke-19 dirasakan semakin tidak memadai lagi bagi sebuah formasi intelektual, sosial dan kultural. Reaksi anti-positivistik dan anti naturalistik dalam konteks pendidikan yang berkembang di Eropa pada awal abad ke-19 merupakan suatu gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, dan bergerak dari formasi personal yang lebih didominasi pendekatan psiokologis-sosial menuju sebuah cita-cita humanisme yang bermuatan dengan dimensi kultural dan religius (Foerster dalam Koesoema, 2007:42).

Munculnya gerakan pendidikan karakter dapat merupakan sebuah upaya untuk menghidupkan kembali peadagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Perancis Auguste Comte. Foerster menolak gagasan yang meredusir pengalaman manusia hanya pada kepentingan sekedar bentuk murni hidup alamiah. Dalam sejarah perkembangannya, manusia hanya tunduk pada hukum alami semata, sementara kekebasan yang dimiliki oleh manusia yang memungkinkan dia menghayati kebebasan dan pertumbuhannya telah diabaikan. Menurut Foerster, manusia tidak semata-mata taat pada tata aturan alamiah, sementara kebebasannya sebagai manusia makhluk yang bernilai-moral terabaikan. Pedoman nilai inilah yang menjadi ukuran untuk menentukan kualitas tindakan manusia di dunia. Pandangan Foerter tentang kemunduran nilai dalam praktik pendidikan, di kemudian hari banyak juga diulas oleh pengamat sosial dan ahli kependidikan lainnya seperti Fitjof Capra, (1999) dalam bukunya “Titik Balik Peradaban”.

Tujuan pendidikan yang utama, menurut Foerster senyatanya adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan eksistensial antara manusia


(9)

sebagai subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter adalah kualitas sesuatu yang mencirikan seorang pribadi, yang memberikan kesatuan dan kekuatan atas keputusan diambilnya (Foerster dalam Adisusilo, 2012). Dengan kata lain, karakter menjadi semacam ciri identitas seseorang yang mengatasi pengalaman kehidupannya yang selalu berubah. Berdasarkan tingkat kematangan karakter inilah kualitas seorang pribadi ditentukan. Kekuatan karakter seseorang dalam pandangan Foerster tampak dalam empat aspek fundamental yang mesti dimiliki, yaitu “keteraturan interior, koherensi, otonomi, keteguhan dan kesetiaan” (Foerster dalam Adisusilo, 2012: 77). Keempat aspek tersebut, secara singkat, dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, keteraturan interior. Melalui kualitas ini setiap tindakan manusia diukur berdasarkan hierarkis nilai. Karakter yang terbentuk dengan baik tidak mengenal konflik, melainkan selalu merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk berubah dari tidak teratur menjadi teratur secara nilai. Kedua, koherensi, yakni kualitas keberanian pada seseorang yang dapat mengakarkan diri pada integritas kepribadiannya, teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing dalam dinamika kehidupan. Aspek koherensi ini merupakan dasar yang membangun rasa saling percaya satu sama lain. Sebaliknya jika tidak adanya koherensi akan dapat meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonom, yaitu kualitas kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan nilai dan norma dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan, kualitas ini merupakan daya tahan seseorang untuk komitmen pada apa yang dipandang baik dan kesetiaaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilihnya.


(10)

Gagasan Foerter yang pertama kali dihembuskan di Jerman ini mendapat perhatian luas di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat dan Eropa. Pada saat itu di Benua Amerika dan Eropa masyarakat telah menjadi sangat gelisah akibat arus kehidupan modern yang penuh dengan dekadensi moral dan pendidikan telah kehilangan ruhnya yakni telah mengabaikan aspek nilai karakter. Terdapat sejumlah pendidik di Amerika Serikat yang telah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah karakter ini, diantaranya Lickona (1992) dan Borba (2001).

Bagi bangsa Indonesia, pendidikan karakter sebenarnya bukanlah hal baru dalam tradisi sejarah dan praktik pendidikan di tanah air (Budimansyah, 2011; Gunawan, 2012; Kemendiknas, 2010). Dalam sejarah perjuangan bangsa, sejumlah the founding nation, dan pendidik nasional, seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Budi Utomo, R.A. Kartini, Ki Hajar Dewantara, Moh. Natsir, Moh. Syafe’I dan lain-lain telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka alami sejak masa pra kemerdekaan.

Membentuk wajah bangsa yang berkarakter merupakan keprihatinan pokok para cendekiawan kita saat itu. Mereka semua telah menggagas perlunya sebuah bangsa yang memiliki identitas yang bermartabat. Sejarah menunjukkan, bangsa ini terbentuk bukan hanya karena praksis perjuangan melawan penjajah yang tersebar secara merata di seluruh tanah air. Akan tetapi, kemerdekaan kita pada dasarnya berawal dari sebuah ide dan gagasan. Ide dan gagasan ini dimulai dari hasil perantauan mental dari kalangan para pemikir dan cendekiawan kita.


(11)

Keinginan menjadi bangsa yang berkarakter sebagaimana yang dikehendaki oleh para pejuang kemerdekaan, nilai-nilai filosofisnya tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea kedua, “…….mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Para pendiri bangsa sejak dulu telah menyadari, hanya dengan pembangunan karakter (jiwa) lah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermartarbat dan dihormati oleh bangsa-bangsa lainnya.

Dengan demikian, apabila dirunut pada sejarah, jelas bahwa pendidikan karakter atau watak merupakan ruh dari semangat kebangsaan. Semangat untuk menjadi bangsa yang berkarakter ditegaskan oleh Soekarno dengan mencanangkan nation and character building sebagai falsafah bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila (Kemendiknas, 2010). Soekarno dan para pendiri bangsa lainnya sejak awal telah meletakkan dasar, bahwa pembangunan bangsa Indonesia harus dimulai dari karakternya.

Pada masa Orde Baru keinginan untuk memupuk karakter bangsa untuk menjadi bangsa yang bermartabat juga tidak pernah surut (Kemendiknas, 2010: 1). Pada masa itu, di bawah kepemimpinan Soeharto, pembangunan karakter bangsa melalui Pendidikan Pancasila sangat gencar dilakukan. Secara filosofis Pendidikan Pancasila, yang juga melalui penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) ditujukan untuk memperkuat karakter kebangsaan, sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dalam ke-bhinnika tunggal ika-an. Akan tetapi, secara praktis Pendidikan Pancasila mengalami kegagalan karena diterapkan dengan metode yang tidak tepat (Kemendiknas, 2010: 2).


(12)

Pada masa reformasi keinginan untuk mengoreksi keterpurukan bangsa juga menaruh harapan yang besar bagi upaya pendidikan karakter. Pada masa euphoria politik ini, dimana-mana rakyat mengumandangkan perlunya perbaikan karakter bangsa dengan jargon anti KKN (Korupsi, Kulosi dan Nepotisme). Namun sayangnya, masa reformasi juga ditandai oleh berbagai fenomena degradasi karakter bangsa. Harapan akan munculnya jiwa kebangsaaan dan kehidupan demokrasi yang lebih baik, tetapi yang muncul malah sebaliknya. Konflik horizontal dan vertikal yang ditandai dengan maraknya perilaku kekerasan, anarkisme dan kerusuhan terjadi hampir di seluruh bumi nusantara. Seiring dengan itu, dibukanya kran politik desentralisasi telah menyebabkan munculnya fenomena kedaerahan, primordialisme, bahkan separatisme yang dapat mengancam integrasi bangsa (Budimansyah, 2010; Gunawan, 2012; Kemendiknas, 2010).

Kondisi morosotnya karakter yang menyebabkan keterpurukan bangsa sebagaimana dijelaskan di atas merupakan sebuah tantangan eksistensi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, semua komponen bangsa yang terdidik merasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi objektif ini. Berdasarkan atas keprihatinan bangsa ini, Presiden Republik Indonesia Susilo B. Yudhoyono memandang perlunya membangun karakter bangsa dengan pernyataan:

Pembangunan karakter (character building) amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan mulia. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society). Dan masyarakat idaman seperti ini dapat kita wujudkan manakala manusia-manusia Indonesia merupakan manusia yang berakhlak baik, manusia yang bermoral, dan beretika baik, serta manusia yang bertutur dan berperilaku baik pula”


(13)

(Petikan Pidato Presiden Republik Indonesia pada peringatan Dharma Shanti Hari Nyepi, 2010).

Dengan demikian, secara filosofis, historis, sosiologis, psikologis, yuridis formal dan akademis pendidikan merupakan suatu keharusan. Pendidikan karakter sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah ada sejak adanya pendidikan itu sendiri. Persoalaannya sekarang adalah bukan ada atau tidak ada pendidikan karakter dalam realitas kehidupan dan dalam dunia pendidikan, tetapi intinya yaitu bagaimana nuansa pendidikan karakter perlu ditumbuhkembangkan kembali secara holistik pada semua tataran kehidupan, baik tataran makro secara nasional, maupun pada tataran mikro di dalam keluarga, lingkup masyarakat dan sekolah-sekolah.

2. Masalah-masalah karakter bangsa di Indonesia

Masalah kemerosotan karakter yang melanda bangsa-bangsa di dunia, termasuk bangsa Indonesia sekarang ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dunia (Lickcona, 1992; Gray, 2009; Budimansyah, 2010; Kemendiknas, 2010; Wening, 2012). Sebagaimana diketahui bahwa era globalisasi yang dipicu oleh perkembangan ilmu dan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi, disamping telah membawa umat manusia kepada kemajuan mataerial, ia juga telah memunculkan dampak negatif yang sulit di hindari (Borba, 2001; Sauri, 2010; Budimansyah, 2011, Wiyani, 2012).

Terkait dengan efek negatif globalisasi yang melanda masyarakat dunia sekarang ini, Lickona (1992) memperingatkan akan munculnya sepuluh tanda-tanda kemunduran moral. Kesepuluh tanda-tanda-tanda-tanda zaman kemorosotan moral


(14)

menurut Lickona itu adalah (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa yang buruk, (3) pengaruh peer group yang jelek, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti narkoba dan sek bebas, (5) kaburnya etika dan moral, (6) menurunnya etos kerja, (7) memudarnya rasa hormat kepada orang tua, (8) rendahnya tanggungjawab pribadi, (9) meluasnya praktik ketidakjujuran, dan (10) menaburnya rasa curiga dan kebencian dalam masyarakat.

Sejalan dengan kekhawatiran Lickona, Borba (2008) juga mengutarakan sejumlah perilaku masyarakat global, terutama di Amerika Serikat, yang disaksikan oleh anak-anak dan merasuk jiwa mereka. Tindak kekerasan, pornografi, penggunaan obat terlarang, permusuhan, dan penggunaan senjata ilegal merupakan serentetan gejala negatif yang sangat mengkhawatirkan. Anak-anak (Amerika) selain melihat secara langsung perilaku buruk itu, juga tambah diperburuk oleh informasi media massa yang tiap hari menyajikan tayangan yang negatif. Lebih buruk lagi, demikian Borba, masyarakat dan orang tua membiarkan hal itu terjadi dengan kurang mengontrol anak-anak karena mereka disibukkan oleh pekerjaannya.

Tanda-tanda kemorosotan moral yang disinyalir oleh Lickona dan Borba itu bukan saja terjadi dalam masyarakat Amerika Serikat, tetapi juga menjadi penyakit dunia karena dapat terjadi dimana-mana. Di Indonesia fenomena keruntuhan moral merupakan suatu keprihatinan kolektif. Raka (2011: 10) menyebutkan ada enam perilaku dalam masyarakat Indonesia saat ini, yaitu (1) melemahnya semangat ke-Indonesia-an, (2) praktik korupsi yang meluas, (3)


(15)

kurangnya disiplin bangsa, (4) sulit mengakui perbedaan, (5) kurangnya rasa kritis, dan (6) munafik, tidak sesuainya ucapan dengan kelakuan.

Menurut Wiyani (2012) masalah berat yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini antara lain: kemiskinan dan kebodohan, konflik SARA karena efek kemajemukan, pengaruh media massa yang buruk, terutama siaran-siaran a-moral di televisi, praktik korupsi dalam berbagai bentuk, dan kerusakan alam akibat tidak adanya kesadaran akan lingkungan. Sedangkan Supriatna (http://www.google.co.id/search?q=masalah+ karakter+bangsa) menunjukkan sejumlah ciri perilaku manusia Indonesia, antara lain: lemahnya etos kerja, tidak mandiri, primordial, konsumtif bukannya produktif, kurang jiwa wirausaha, irrasional dan masih percaya pada tahyul.

Merosotnya perilaku karakter kebangsaan bukan saja terjadi pada masyarakat awam yang pada umumnya kurang terdidik, akan tetapi ironisnya, justru banyak pula terjadi pada mereka yang telah memperoleh gelar pendidikan, maupun juga perilaku peserta didik yang masih sedang berada di lembaga pendidikan. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dipertontonkan oleh media massa dengan berbagai kelakuan buruk seperti kekerasan, pembunuhan, anarkisme, dan sebagainya.

Fenomena kemorosotan moral pada peserta didik dan mahasiswa sangat mudah juga dijumpai di mana-mana, meskipun tidak semua. Ada berbagai fenomena perilaku buruk yang sering muncul pada anak-anak yang sedang berpendidikan sekarang ini (Fitri, 2011; Aqib, 2011; Kemendiknas, 2010; Wiyani, 2012). Diantaranya yaitu tawuran antar pelajar/mahasiswa, kecenderungan


(16)

memakai narkoba pada sebagian pelajar, perilaku seks bebas, rendahnya etos belajar, perilaku hendonisme dan konsumtif, kurangnya disiplin dan rasa hormat serta kesantunan, pudarnya rasa nasionalisme, dan yang paling memalukan adalah merebaknya kebiasaan plagiarisme dan mencontek waktu ujian.

Di daerah Aceh, perilaku kemunduran moral di kalangan pelajar dan mahasiswa juga sudah mengkhawatirkan. Ada kasus kelakuan siswa/mahasiswa yang dimuat di media massa yang merupakan pelanggaran hukum dan asusila (Waspada Online, 23 Desember 2009). Selain itu, banyak sekali perilaku menyimpang di kalangan siswa yang tidak terangkat ke permukaan. Hasil pengamatan penulis misalnya, banyak pelajar/mahasiswa Aceh sekarang ini yang terjerumus pada perilaku kemunduran moral. Salah satu fenomena yang sangat mencemaskan saat ini adalah banyaknya pelajar/mahasiswa yang duduk nongkrong di Cafee (Kedai Kopi) baik pada waktu senggang maupun waktu belajar. Sementara itu, ada juga pelajar/mahasiswa Aceh yang terlibat dalam tawuran, kekerasan, premanisme, geng motor, perilaku asulisa, pemakai narkoba, malah ada yang tergiring kepada ajaran-ajaran sesat. Semua itu memang tidak terdata karena terjadi secara sporadis dan spontanitas. Akan tetapi, jika itu dibiarkan tanpa ada upaya pendidikan karakter secara holistik, maka masa depan generasi muda Aceh, sebahagiannya, akan sangat suram.

3. Harapan dan Kenyataan

Pendidikan karakter sudah sejak lama ada dalam dunia pendidikan di Indonesia sejak kegiatan pendidikan itu diselenggarakan. Meskipun tidak disebut


(17)

sebagai pendidikan karakter, akan tetapi program-program pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan agama atau program pengembangan diri sesungguhnya merupakan pendidikan karakter atau seukuran. Tidak perlu dipertentangkan lagi, pendidikan nilaikarakter merupakan tugas utama pendidikan di sekolah. Secara yuridis formal, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 Pasal 3 telah menegaskan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta perdaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Amanah pendidikan nasional itu sangat esensial meletakkan pendidikan karakter sebagai “ruh” dari semua pelaksanaan pendidikan, termasuk pendidikan formal di sekolah.

Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengolaan Penyelenggaraan Pendidikan pada Pasal 17 Ayat (3) menyebutkan bahwa pendidikan dasar, termasuk juga pendidikan menengah (SMP/SMU) bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: (a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, (b) berakhlak mulia dan berkepribadian luhur, (c) berilmu, cakap, kritis, kreatif dan inovatif, (d) sehat, mandiri, toleran, memiliki kepekaan sosial, demokratis dan bertanggungjawab. Berdasarkan kedua dasar yuridis formal pendidikan itu, menjadi jelas bahwa pendidikan karakter sangat penting untuk diutamakan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan, termasuk di sekolah menengah atas (SMA).

Bennett (1991) menegaskan, sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumen Bennett itu didasarkan pada realitas


(18)

kehidupan anak-anak di Amerika yang sebahagian besarnya menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah. Sehingga apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.

Pendidikan karakter bukan hanya amanah undang-undang dan anjuran pemerintah, tetapi juga tuntunan agama. Setiap agama di dunia pasti mengajarkan nilai-nilai luhur karakter kepada pemeluk agama masing-masing. Dalam ajaran Islam, karakter adalah kata lain dari kata “ahklak” yang begitu mendapat tempat yang tinggi dalam pendidikan dan dakwah Islam. Aspek pendidikan akhlak dalam Islam sama pentingnya dengan akidah dan syariah. Bahkan, kehadiran Rosulullah Muhammad SAW di bumi, sebagaimana ditegaskan berulang kali dalam ajaran Islam, tugasnya yang paling utama adalah untuk memperbaiki akhlak umat manusia.

Dengan demikian, sesungguhnya kita tidak pernah berhenti menyelenggarakan pendidikan karakter, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan formal. Akan tetapi, mengapa program-program pendidikan karakter yang selama ini dilakukan seperti tidak memberikan dampak positif yang berarti bagi pembangunan dan pengembangan karakter anak-anak bangsa? Keprihatinan ini seperti sering diungkapkan oleh masyarakat dalam berbagai kesempatan.

Menurut hemat penulis, masih banyak ditemukan adanya persoalan pendidikan karakter yang krusial dan mendasar, baik di lembaga pendidikan sekolah, lembaga pendidikan rumah maupun lingkungan pendidikan masyarakat. Pada lingkungan sekolah, pendidikan karakter sebagaimana yang kita saksikan selama ini, umumnya cenderung menjadi sebuah formalitas pendidikan dan


(19)

pengajarannya lebih dipercayakan pada beberapa bidang studi tertentu, seperti Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Tentu saja kondisi seperti ini dalam berbagai bentuk dan variasinya perlu diperbaiki, sehingga tujuan dan proses pendidikan nilai karakter atau apapun namanya dapat dilaksanakan secara lebih sempurna dan hasilnya lebih optimal.

Kondisi pendidikan karakter di sekolah-sekolah Aceh menurut pemantauan penulis juga demikian halnya, dalam arti masih banyak mengandung kelemahan. Hasil pengamatan dan wawancara penulis dengan sejumlah guru di Banda Aceh, pada umumnya mereka mengatakan bahwa secara teoretik cukup memahami pentingnya pendidikan karakter, tetapi secara praktik sangat susah dilaksanakan. Menurut para guru, pendidikan karakter merupakan sesuatu yang “abstrak”, tidak jelas substansinya seperti halnya materi pelajaran bidang studi yang urutan materi dan lingkupnya ada dalam kurikulum. Sedangkan pendidikan karakter tidak demikian halnya, demikian pengakuan para guru di sekitar Banda Aceh. Kondisi pendidikan karakter di sekolah Aceh seperti yang penulis amati tersebut sejalan juga dengan hasil studi yang dilakukan Wardani (1994) di beberapa provinsi lainnya, dimana ia menyimpulkan bahwa aktivitas belajar mengajar di sekolah kurang memperhatikan aspek sikap dan keterampilan anak.

Lemahnya pendidikan karakter juga terjadi pada lingkungan pendidikan informal dan non-formal, yaitu pendidikan dalam keluarga dan pendidikan dalam masyarakat. Suasana dan pendidikan dalam rumah tangga telah mengalami pergeseran nilai. Ada banyak faktor yang menyebabkan terpuruknya pendidikan dalam rumah tangga. Kurangnya pengetahuan, kesadaran dan keterampilan


(20)

edukatif orang tua mendorong mereka untuk memperlakukan anak semaunya. Pada sisi lain himpitan tekanan sosial dan ekonomi yang menimpa banyak keluarga menambah semakin tidak karuannya perlakuan orang tua terhadap anak. Pada akhirnya rumah pun tidak lagi menjadi lahan yang subur bagi perkembangan karakter anak yang baik, malah sebaliknya, rumah menjadi pembinaan karakter anak yang negatif, seperti munculnya sikap keras dan membangkang pada anak.

Lebih rumit lagi kondisi kehidupan masyarakat yang carut-marut semakin menambah persoalan dalam pendidikan karakter anak. Tindak kekerasan, perilaku anarkis, pornografi dan berbagai tindakan amoral lainnya yang hampir setiap saat berada pada pandangan mata dan pendengaran telinga anak semakin memperkuat inkonsistensi-inkonsistensi pada pemikiran anak yang dapat menghambat terbentuknya karakter yang baik pada anak. Pemerintah pun tampak seolah-olah tak berdaya, membiarkan dan galau dalam menyikapi situasi-situasi tidak kondusif tersebut.

Singkatnya, persoalan pendidikan karakter yang dihadapi sekarang sudah sangat krusial dan menyeluruh sehingga perlu perombakan dalam strategi penyelenggaraannya secara menyeluruh pula. Upaya untuk menggalakkan pendidikan karakter sebagaimana ditegaskan oleh Mendiknas adalah sebuah tugas bangsa, ia bukan tugas orang per orang saja, atau tugas kelembagaan atau tugas komponen masyarakat tertentu saja, melainkan ia adalah tugas semua. Dengan demikian, tidak harus dipertentangkan dimana saja pendidikan karakter itu dimulai dan berakhir, melainkan yang lebih penting adalah bagaimana setiap


(21)

orang dan setiap lembaga memberikan kontribusi yang terbaik bagi upaya pendidikan karakter anak bangsa.

Dalam konteks sekolah, pendidikan karakter, sebagaimana juga pendidikan agama, yang dipraktikkan di sekolah-sekolah selama ini efeknya masih jauh dari harapan (Raka, 2011; Saptono, 2011; Budimansyah, 2010). Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama misalnya, tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari sisi metode pengajaran, tampaknya juga terjadi kelemahan karena metode yang digunakan hanya difokuskan pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mengarahkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi dan nuraninya. Selain itu, terdapat tanda-tanda bahwa belum dilakukan dengan baik praktik perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah (Budimansyah, 2011; Sauri, 2010). Dalam praktik Pendidikan Pancasila misalnya, banyak kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi peserta didik (Suyanto, 2011, Akbar, 2011). Oleh karena pada waktu yang lalu, Pendidikan Pancasila telah disalahgunakan terus-menerus sebagai metode indoktrinasi, sekarang orang menjadi enggan menyebut dan membicarakannya lagi. Kandungan luhur nilai-nilai Pancasila tidak lagi dirasakan memiliki relevansi dengan kehidupan nyata. Bahkan tiap hari masyarakat dipertonton oleh media dengan berbagai peristiwa yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali


(22)

kesenjangan antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang terjadi pada anak di luar sekolah.

Padahal, jika pendidikan karakter ingin menjiwai proses pembentukan setiap anak muda, kesadaran bahwa Pancasila sebagai kepribadian bangsa yang mempersatukan seluruh bangsa mesti dipahami sebagai hal yang sentral dalam pendidikan karakter. Pancasila adalah pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, pandangan hidup yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat, menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan kita, Pancasila adalah pemerkaya kepribadian bangsa, dan oleh sebab itu, Pancasila merupakan satu-satunya falsafah perekat yang dapat mempersatukan berbagai wujud pluralitas kebangsaan.

Dengan demikian, peran sekolah dan orang tua serta pendidikan agama untuk membentuk karakter anak (akhlak) menjadi sangat penting, karena melalui peran orang tua dan guru pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orang tua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus mengandung kognisi, afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan praktiknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat hal yang berkaitan dengan masalah penelitian ini. Permasalahan itu adalah: (1) secara teoretis-normatif pendidikan karakter di Indonesia adalah suatu keharusan dan telah menjadi gerakan pendidikan nasional, (2) terdapat banyak fenomena yang menunjukkan kemorosotan karakter bangsa, tidak terkecuali pada generasi muda


(23)

dan anak-anak di Aceh, (3) pendidikan adalah salah satu wahana untuk memperbaiki karakter anak bangsa, (4) sekolah adalah salah satu pilar, bersama dua pilar lainnya yaitu rumah tangga dan masyarakat yang harus mengemban tugas mendidik karakter. Untuk mengetahui seberapa jauh sebuah sekolah telah melaksanakan fungsi pendidikan karakter ini, maka penelitian itu diadakan pada SMA Labschool Universitas Syiah Kuala.

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah 1. Fokus Penelitian

Penelitian ini memfokuskan perhatia pada tiga upaya pendidikan karakter, yakni sebagai berikut: Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter merupakan proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah non-instruksional, seperti manajemen kelas, publikasi kelas dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan


(24)

terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai, misalnya disiplin, kerjasama, tanggung jawab dan sebagainya, hal itu tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini harus diperkuat dengan penciptaan kultur sekolah melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan dilaksanakan secara konsisten melalui intervensi, habituasi dan keteladanan.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.

2. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian seperti dikemukakan di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah pola pendidikan karakter melalui sistem “Fullday School” di SMA Lab-School Universitas Syiah Kuala?

Agar masalah penelitian ini lebih terinci, berikut dirumuskan dalam pertanyaan penelitian:


(25)

a. Bagaimana pola pengembangan pendidikan karakter dalam keseharian di Labschool Universitas Syiah Kuala?

b. Apa yang menjadi prioritas pendidikan karakter yang dilakukan Labschool Universitas Syiah Kuala?

c. Bagaimana wawasan dan kompetensi guru yang membina pendidikan karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala?

d. Indikator-indikator apa saja yang menunjukkan keberhasilan pendidikan karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala?

e. Adakah faktor penunjang dan kendala dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pendidikan karakter berdasarkan sistem “Fullday School” yang dikembangkan di sekolah di SMA Labschool Unsyiah Banda Aceh. Pola pendidikan karakter itu dilihat secara holistik dan terintegrasi dalam tiga aspek, yaitu aspek olah pikir (moral knowing), olah rasa (moral feeling), olah raga dan olah aksi (moral acting).

2. Tujuan khusus.

a. Untuk mengetahui pola pengembangan pendidikan karakter dalam keseharian di Labschool Universitas Syiah Kuala.


(26)

b. Untuk mengetahui prioritas pendidikan karakter yang dilakukan Labschool Universitas Syiah Kuala.

c. Untuk mengetahui wawasan dan kompetensi guru yang membina pendidikan karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala.

d. Untuk mengetahui indikator-indikator keberhasilan pendidikan karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala.

e. Untuk mengetahui faktor penunjang dan kendala dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di Labschool Universitas Syiah Kuala.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Toeretis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan pendidikan karakter dalam membina dan mengarahkan perserta didik secara holistik pada sekolah bersistem fullday school, sehingga dapat menciptakan bukan hanya karakter peserta didik melainkan karakter para guru yang menjadi pendidik dalam menyampaikan pendidikan karakter itu sendiri. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah teoretik pendidikan karakter yang terfokus pada pendidikan karakter di persekolahan formal. Selain itu, bagi Jurusan Pendidikan Umum yang bergerak di bidang pengembangan nilai, hasil penelitian ini akan semakin memperkaya literature kajian pendidikan karakter dan nilai-nilai budaya bangsa.


(27)

2. Manfaat Praktis

Hasil-hasil penelitian ini dapat berguna:

a. Bagi peneliti, penelitian ini berguna sebagai bahan untuk menembangkan pendidikan karakter dalam sekolah yang menggunakan sistem fullday school, sehingga tercipta sekolah yang mampu mengembangkan pendidikan karakter yang sesuai dengan lingkungan budaya sekolah tersebut.

b. Bagi sekolah-sekolah, hasil penelitian ini berguna terutama dalam upaya menciptakan kebijakan sekolah sebagai sarana interventif dalam mengarahkan kegiatan persekolahan agar terus mengandung nilai-nilai karakter.

c. Khususnya bagi Labschool Unsyiah, berbadasarkan temuan penelitian dan diperkaya dengan tinjauan teoritis, telah disusun pokok-pokok pikiran sebagai rekomendasi untuk pengembangan pendidikan di masa yang akan datang. Butir-butir rekomendasi itu terdapat dalam Lampiran 1.

d. Bagi siswa, hasil penelitan ini berguna agar setiap program yang dikembangkan sekolah senantiasa diikuti dan ditaati dalam rangka pengembangan karakter yang terdapat pada siswa itu sendiri.

e. Bagi peneliti lain, penelitian ini berguna sebagai bahan kajian lebih lanjut dengan jenis sekolah yang berbeda agar dapat dipersamakan dan diperbandingkan agar memperkaya khasanah keilmuan khususnya mengenai karakter-karakter dengan jenis sekolah yang berbeda.

f. Bagi pengambil keputusan/kebijakan pendidikan. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan pendidikan dalam lingkup Kemendiknas dan jajarannya, di tingkat nasional, propinsi, kab/kota, dan


(28)

tingkat satuan pendidikan untuk umpan balik (feedback) pengembangan pendidikan karakter. Praktik-praktik terbaik (good practice) pendidikan karakter di Labschool Unsyiah diharapkan menjadi bahan rujukan untuk pengembangan model pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Sedangkan hal-hal yang masih lemah diharapkan ada upaya perbaikan dari jajaran Kemendiknas.

E. Struktur Organisasi Disertasi

Naskah Disertasi terdiri dari lima (5) Bab I Pendahuluan, menyajikan latar belakang masalah, fokus dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan struktur organisasi penulisan.

Bab II merupakan kajian kepustakaan tentang urgensi pendidikan karakter. Membahas tentang, pengertian karakter dan pendidikan karakter, karakteristik sistem fullday, grand disain pendidikan karakter, strategi pendidikan karakter di sekolah, pendidikan karakter dalam konteks pendidikan umum dan kajian studi terdahulu.

Bab III merupakan penjelasan metodologis. Membahas tentang pendekatan penelitian, lokasi dan subyek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik penafsiran data, prosedur validasi dan etika penelitian.

Bab IV merupakan sajian hasil-hasil penelitian dan pembahasan. Sedangkan Bab V merupakan bab penutup, yang terdiri atas kesimpulan umum, kesimpulan khusus dan rekomendasi penelitian.


(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, di mana masalah yang diteliti berupa kajian deskriptif analitik yang bersifat fenomenologis-interpretatif. Pada prinsipnya kajian fenomenologis-interpretatif dalam penelitian kualitatif merupakan ukuran-ukuran untuk memilih masalah-masalah dan data-data yang berkaitan satu sama lainnya.

Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini berimplikasi pada penggunaan fenomena kualitatif yang mekanismenya secara konsisten dilakukan dari mulai pengolahan data sampai dengan membuat kesimpulan tidak menggunakan perhitungan ataupun pengolahan secara matematis dan statistik, melainkan lebih menekankan pada kajian interpretative atau analisis deskriptif.

Lebih tegas Creswell (1998:15) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut:

Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting.

Kutipan di atas memberikan pemahaman bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks bersifat holistik, menganalisis kata-kata,


(30)

melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah. Karakteristik pokok yang menjadi perhatian dalam penelitian kualitatif adalah kepedulian terhadap ”makna”. Dalam hal ini penelitian naturalistik tidak peduli terhadap persamaan dari objek penelitian melainkan sebaliknya mengungkap tentang pandangan tentang kehidupan dari orang yang berbeda-beda. Pemikiran ini didasari pula oleh kenyataan bahwa makna yang ada dalam setiap orang berbeda-beda. Untuk mengungkapkan keunikan seseorang digunakan pendekatan lain, maka yang utama adalah dengan menggunakan manusia sebagai instrument utamanya.

Penelitian kualitatif dengan metode fenomenologis didasarkan pada falsafah fenomenologi, di mana peneliti berupaya merumuskan suatu pertanyaan

yang kemudian dianalisis berdasarkan pada pertanyaan “persepsi” partisipan

mengenai fenomena yang sedang diteliti. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meminta partisipan untuk mengungkapkan persepsi mereka tentang fenomena (Dempsey, 2002).

Pada penelitian ini peneliti menggali dimensi pendidikan moral karakter dalam program dan aktivitas di sekolah melalui sistem “fullday school” sebagai upaya membina siswa yang berkepribadian utuh di SMA Labschool Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Dengan pendekatan fenomenologi ini, peneliti meneliti gejala dan kebiasaan serta pengalaman-pengalaman di lapangan berkaitan dengan kegiatan di SMA Lab School dengan system fullday school ini.

Hakikatnya prinsip fenomenologi berkenaan dengan pemahaman tentang bagaimana keseharian, dunia intersubjektif (dunia kehidupan) atau juga disebut


(31)

Lebenswelt terbentuk. Fenomenologi bertujuan mengetahui bagaimana kita menginterpretasikan tindakan sosial kita dan orang lain sebagai sebuah yang bermakna (dimaknai) dan untuk merekonstruksi kembali turunan makna (makna yang digunakan saat berikutnya) dari tindakan yang bermakna pada komunikasi intersubjektif individu dalam dunia kehidupan sosial.

Dalam fenomenologi, setiap individu secara sadar mengalami sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada yang pada kemudian menjadi pengalaman yang senantiasa akan dikonstruksi menjadi bahan untuk sebuah tindakan yang beramakna dalam kehidupan sosialnya.

Manakala berbicara sesuatu yang dikonstruksi, tidak terlepas dari interpretasi pengalaman di dalam waktu sebelumnya. Interpretasi itu sendiri berjalan dengan ketersediaa dari pengetahuan yang dimiliki. Namun demikian, sebagai mana proses interpretasi, harus diperhatikan kemampuan menangkap lebih jauh atau melihat sesuatu lebih jauh (seeing beyond) dalam fenomena yang sedang dikonstruksi itu.

Jika dilanjutkan dengan fenomenologi sebagai sebuah metodologi penelitian, walaupun ada juga yang lebih senang menyebut sebagi tradisi penelitian, maka kita dapat menelusuri beberapa pengertian yang sederhana. Menurut Husserl (Creswell, 1998: 52) dalam penelitian fenomenologis peneliti berusaha mencari tentang:

The essential, invariant structure (or essence) or the central underlying meaning of the experience and emphasize the intentionality of consciousness where experience contain both the outward appearance and inward consciousness based on memory, image and meaning.


(32)

Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran, dalam kognitif dan dalam tindakan-tindakan perseptual. Fenomenologi mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep kunci yang intersubyektif. Studi fenomenologi dalam pelaksanaannya memiliki beberapa tantangan yang harus dihadapi peneliti. Creswell (1998: 55) menjelaskan tantangan tersebut yaitu:

1. the researcher requires a solid grounding in the philosophical precepts of phenomenology;

2. the participants in the study need to be carefully chosen to be individuals who have experienced the phenomenon;

3. bracketing personal experiences by the researcher may be difficult; 4. the researcher needs to decide how and in what way his or her

personal experiences will introduced into the study.

Hakikatnya tantangan itu harus mampu dihadapi oleh seorang fenomenolog, penguasaan pada landasan filosofis dalam cara fikir fenomenologi, kemampuan memilih individu sebagai subjek yang mengalami yang akan dieksplorasi, kemampuan memelihara dan meningkatkan kemampuan logos fenomenologi, dan memilih serta memilah pengalaman bermakna yang dikonstruksi oleh subjek penelitian.

B. Sumber Data

Sumber data adalah subjek yang bisa memberikan data penelitian, subjek dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam dua kelompok.

Pertama, sumber informan (human resources) sebagai sumber primer yang dipilih berdasarkan kedekatan dan pengetahuan informan dengan peristiwa konflik yang berlangusung dari berbagai kalangan. Untuk sebuah studi


(33)

fenomenologi, kriteria informan yang baik adalah “all individuals studied represent people who have experienced the phenomenon” (Creswell, 1998:118). Sumber data pada bagian ini antara lain: siswa-siswi SMA Labschool Unsyiah Banda Aceh, Para Guru, Komponen Sekolah lainnya seperti penjaga, Tenaga Kependidikan dan Kepala Sekolah serta masyarakat di lingkungan sekolah.

Kedua, sumber pendukung, yaitu berupa data-data kepustakaan sebagai sumber sekunder yang digunakan untuk melengkapi sumber informan atau mengenail hal-hal yang tidak diperoleh dari informan. Data sekunder diperlukan untuk memperkuat, melengkapi atau menguji kebenaran data yang diperoleh dari informan.

Sumber pendukung ini bisa berupa transkripsi atau catatan hasil wawancara dengan para informan, dokumen tertulis seperti dokumen resmi negara, berupa surat keputusan, laporan-laporan, notulen rapat, transkripsi workshop, seminar, symposium, buku, makalah, artikel, yang diperoleh dari surat kabar, majalah, jurnal, situs internet, baik yang terkoleksi di berbagai perpustakaan, terjual di toko buku maupun yang tersimpan di arsip kantor.

C. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data 1. Instrumen Penelitian

Untuk menguji hasil penelitian ini, penulis memerlukan instrumen yang tepat, instrumen yang digunakan dalam dalam penelitian adalah penulis sendiri (sole instrument) yang terjun langsung ke lapangan untuk mencari informasi melalui observasi dan wawancara. Dalam kegiatan observasi dan wawancara ini


(34)

memungkinkan peneliti banyak mengadakan kontak dengan manusia artinya selama proses penelitian penulis lebih banyak mengadakan kontak dengan orang-orang baik siswa, guru maupun masyarakat sekitarnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Creswell (2010; 264) dan Bogdan dan Biklen (1982: 33-36) tentang ciri-ciri kualitatif khususnya dalam instrumen penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi studi wawancara mendalam, studi dokumentasi, studi literatur dan observasi. Pengambilan data dilakukan dengan metode snowball sampling dengan proses jumlah kecil informan kemudian melibatkan pihak yang terkait dengan informan awal untuk dijadikan informan dan seterusnya sehingga menjadi besar seperti bola salju (snowball).

Agar memperoleh data akurat dan efektif maka untuk menggali informasi yang terkait dengan permasalahan penelitian penulis menggunakan sejumlah teknik pengumpulan data seperti observasi, wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Untuk lebih jelasnya teknik pengumpulan data secara operasional adalah sebagai berikut:

a. Observasi atau pengamatan dilakukan dengan kegiatan pengumpulan data langsung yang biasanya mencakup realitas sosial, fakta sosial, atau peristiwa sosial sesuai objek penelitian. Pengamatan ini dilakukan di sekitar lingkungan SMA Labschool Unsyiah Banda Aceh.


(35)

b. Wawancara dengan wawancara mendalam (indepth inverview) hal ini dilakukan dengan para informan baik secara formal maupun informal, dilakukan secara interaktif melalui pertanyaan dan jawaban yang terbuka. Walaupun pada awalnya peneliti sudah mempersiapkan daftar pertanyaan, pada pelaksanaannya, tidak kaku mengikuti daftar pertanyaan yang telah dibuat. Wawancara mengalir sesuai dengan respon atau jawaban informan. Hal terpenting dari kegiatan wawancara adalah dapat menggali semua data yang dicari.Seperti pada tradisi fenomenologi sebagaimana dikemukakan

Creswell (1998:122) “for a phenomenological lstudy, the process of

collecting information involves primarily in-depthinterviewrs”, maka dalam penelitian ini wawancara mendalam merupakan teknik pengumpulan data yang diutamakan. Hasil-hasil wawancara terdokumentasi dalam perekam audio (tape recorder) dan perekam gambar hidup (handycam) dan foto. c. Studi Dokumentasi adalah studi yang difokuskan pada upaya mempelajari

sumber-sumber tertulis baik berupa laporan penelitian, dokumen resmi negara, buku teks, surat edaran, pamplet, selebaran, artikel di media massa, dan catatan-catatan pribadi, makalah dan artikel di jurnal.

D. Subjek dan Lokasi Penelitian 1. Subjek Penelitian

Pemilihan subjek penelitian dilakukan untuk mencari informasi secara rinci yang sifatnya spesifik yang memberikan kekhasan yang unik. Untuk pemilihan subjek penelitian ini kriteria yang dipilih antara lain berkaitan dengan


(36)

latar atau situasi dan tempat berlangsungnya proses pengumpulan data, yakni di dalam dan di luar sekolah, misalnya melakukan wawancara di rumah, di kantor, wawancara formal dan informal, berkomunikasi secara resmi atau tidak resmi.

Kriteria kedua, adalah subjek penelitian utama yaitu siswa. Kriteria ketiga adalah peristiwa, yang dimaksud adalah pandangan, pendapat dan penilaian dari para pengamat atau para pakar dalam penelitian kualitatif sering disebut check and balance, artinya untuk mengecek kembali kesahihan hasil penelitian tersebut.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Labschool Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dengan rentang waktu yang cukup panjang.

a. Alat Bantu Penelitian

Untuk mempermudah peneliti dalam mendapatkan data penelitian peneliti menggunakan alat bantu penelitian berupa:

1) lembar Pedoman wawancara dan serta lembar catatan wawancara atau fields notes; dan

2) media perekam: seperti kamera, rekaman, alat tulis dan buku catatan.

b. Dokumentasi

Langkah berikutnya adalah melakukan dokumentasi sebagai data primer berupa transkrip dan catatan lapangan, handphone perekam dan catatan lapangan, handphone dan catatan lapangan hasil wawancara mendalam terdapat pada beberapa lampiran dan dalam durasi waktu kurang lebih 1 jam. Tidak semua hasil


(37)

percakapan yang direkam, namun hanya pembicaraan yang berhubungan dengan penelitian saja.

E. Pengolahan Data

Setelah data diperoleh, kemudian peneliti melakukan langkah pengolahan data. Pengolahan data kualitatif dengan tahapan sebagai berikut.

1. Membandingkan (Comparehending)

Data yang sudah dikumpulkan diberik kode atau label kemudian menggunakan teori sebagai pembandingnya. Jadi pada tahap ini peneliti membuat data yang baru dan menarik yang masuk atau data yang sebelumnya sudah ada. Tahap comparehending ini dimulai dari:

a. Hasil perekaman maupun hasil catatan wawancara dan observasi b. Kegiatan selanjutnya peneliti melakukan pengkajian dan penelaahan

sambil mencermati hasil rekaman

c. Untuk mempermudah, peneliti juga memberikan pengkodean untuk mendapatkan kata kunci, kategori dan tema.

2. Sintesa (synthesizing)

Synthesizing merupakan bagian dari data yang dikumpulkan melalui analisis informasi atau perbandingan transkrip yang berasal dari beberapa informasi, kemudian dengan analisa kategori dipilih dari kata yang sering muncul, yang terdiri dari bagian transkrip atau catatan yang dikombinasikan dengan transkrip dari beberapa informan.


(38)

3. Teori (theorizing)

Pada tahapan ini, peneliti melakukan fase pemisahan untuk melakukan pencocokan data secara sistematik dari model-model yang sudah terpilih kedalam data.

4. Analisa

Alasan pemilihan metode analisa ini didasarkan pada kesesuaian dengan filosofi Hussserl, yaitu suatu penampakan fenomena hanya akan ada bila ada subjek yang mengalami fenomena (informan), sehingga sangat cocok untuk memahami arti dan makna suatu fenomena pengalaman stigma pada keluarga dengan gangguan jiwa di rumah.

Adapun langkah-langkah analisa sebagai berikut:

a. Membuat deskripsi informasi tentang fenomena dari informan dalam bentuk narasi yang bersumber dari hasil wawancara dan field note.

b. Membaca kembali secara keseluruhan deskripsi informasi dari informan untuk memperoleh perasaan yang sama seperti pengalaman informan. Peneliti melakukan 3 – 4 kali membaca transkrip untuk merasa hal yang sama seperti informan.

c. Mengidentifikasi kata kunci melalui penyaringan pernyataan informan yang signifikan dengan fenomena yang diteliti. Pernyataan-pernyataan yang merupakan pengulangan dan mengandung makna yang sama atau mirip maka pernyataan ini diabaikan.

d. Memformulasikan arti dari kata kunci dengan cara mengelompokkan kata kunci yang sesuai pertanyaan penelitian selanjutnyamengelompokkan lagi


(39)

kata kunci yang sejenis. Peneliti sangat berhatihati agar tidak membuat penyimpangan arti dari pernyataan informan dengan merujuk kembali pada pernyataan informan yang signifikan. Cara yang perlu dilakukan adalah menelaah kalimat satu dengan yang lainnya dan mencocokkan dengan field note.

e. Mengorganisasikan arti-arti yang telah teridentifikasi dalam beberapa kelompok tema. Setelah tema-tema terorganisir, peneliti memvalidasi kembali kelompok tema tersebut.

f. Mengintegrasikan semua hasil penelitian ke dalam suatu narasi yang menarik dan mendalam sesuai dengan topik penelitian.

g. Mengembalikan semua hasil penelitian pada masing-masing informan untuk divalidasi kembali oleh mereka setelah traskrib dibuat. Setiap ada informasi baru dari informan lalu diikutsertakan pada deskripsi hasil akhir penelitian.

F. Validitas Data

Untuk memeriksa keabsahan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai perbandingan terhadap data yang telah diperoleh dari responden (Moleong, 2006).

Triangulasi dengan sumber dalam penelitian ini dicapai dengan membandingkan data dengan teknik melakukan wawancara di tempat dan waktu yang berbeda dari pengumpulan data sebelumnya. Peneliti melakukan wawancara


(40)

ulang dengan pertanyaan yang sama untuk validasi data. Peneliti kemudian membuat transkrip baru berdasarkan data yang didapatkan dari wawancara ulang untuk dibandingkan dengan transkrip awal yang telah peneliti dapatkan sebelumnya. Hasil validasi tersebut di dapatkan data yang sama dengan data sebelumnya.

G. Etika penelitian

Etika dalam penelitian kualitatif diantaranya ada yang disebut dengan informed consent, anonimity, dan confidentiallity. Informed consent, maksudnya memberikan penjelasan kepada informan mengenai maksud dan tujuan penelitian serta memberikan lembar persetujuan menjadi informan dengan tujuan agar informan mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya. Bila informan bersedia, maka informan harus menandatangani lembar persetujuan dan jika informan menolak, maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati haknya. Anonymity adalah berusaha untuk menjaga kerahasiaan, artinya identitas responden tetap dijaga. Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan juga dijamin oleh peneliti dengan menyimpan hasil rekaman tersebut secara baik dan hanya dilaporkan pada saat penyajian hasil riset (confidentiality).


(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan Umum

Hasil pengkajian lapangan menunjukkan bahwa pengembangan pendidikan karakter telah menjadi bagian penting dari visi dan misi SMA Labschool Unsyiah, Banda Aceh. Pendidikan karakter telah menjadi “ruh” dari sekolah ini, dan telah dikembangkan secara terprogram serta alamiah dalam lingkup sekolah. Meskipun pihak pimpinan sekolah dan guru-guru masih relatif kurang memperoleh informasi dan pemahaman tentang kebijakan terbaru pendidikan nasional tentang pendidikan karakter, tetapi dimensi-dimensi substansial pendidikan karakter telah dikembangkan sejak sekolah mulai difungsikan. Adanya penekanan pendidikan pada sisi moral karakter, dapat dilihat pada suasana budaya sekolah yang tercermin dari kegiatan-kegiatan keseharian di sekolah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan pendidikan karakter di sekolah ini, disamping dilakukan melalui pengajaran mata pelajaran di dalam kelas, juga diperkaya dengan kegiatan-kegiatan di luar kelas, atau apa yang di sekolah ini disebut dengan “outdoor learning”. Sistem belajar sehari penuh, sejak pukul 07.45 sampai pukul 18.00 telah memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan karakter dalam budaya sekolah ini. Kegiatan-kegiatan tipikal di sekolah ini, seperti “active learning”, “system moving class”, ”ICT minded”, “ e-learning” studi-studi klub dan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler di dalam dan di


(42)

luar kelas, diasumsikan sebagai kegiatan yang kondusif untuk pendidikan karakter.

Pendidikan karakter di SMA Labschool Unsyiah dilaksanakan secara komprehensif, terintegrasi, sistemik dan dengan dukungan dari semua warga serta

komunitas sekolah. Hasil penelitian menemukan adanya “best practice

pendidikan karakter di Labschool Unsyiah, yaitu lingkungan sekolah yang kondusif, kultur sekolah yang mendidik, pendekatan belajar yang aktif dan menyenangkan, kegiatan ekstrakurikuler yang terarah, dukungan komunitas sekolah yang partisipatif, dan last but not least pemantapan karakter IMTAQ dan akhlak mulia melalui pendidikan agama yang diperkaya dengan habituasi aktivitas keagaamaan di sekolah dan di luar sekolah.

Selain nilaikarakter yang secara holistik dan terintegrasi diajarkan dan dikembangkan di Labschool Unsyiah, terdapat juga nilai-nilai inti yang mendapat perhatian khusus untuk pendidikan karakter. Nilai-nilai karakter itu antara lain; religius, disiplin, kejujuran, rasa hormat, kesantutan, persahabatan, kerjasama, rajin belajar, kreatif, inovatif, mandiri, visioner, peduli lingkungan dan bertanggung jawab. Nilai-nilai ini diajarkan dan dibudayakan di sekolah sehingga diharapkan menjadi tipikal sekolah yang muncul pada karakter siswa.

Dimensi pendidikan moral karakter di Labschool Unsyiah secara prinsip memiliki keserasian karakteristik dengan konsepsi pendidikan karakter yang dikembangkan dalam grand disain pendidikan karakter secara nasional. Keserasian karakteristik itu antara lain tercermin dari visi, misi, tujuan, substansi program maupun kegiatan-kegiatan keseharian di sekolah. Artinya, praktik


(43)

pendidikan karakter di labschool dilaksanakan secara holistik dan terintegrasi dalam keseluruhan program dan kegiatan di sekolah, yaitu melalui proses belajar mengajar di kelas, estrakurikuler, pembiasaan, penguatan dan pembudayaan di sekolah. Dengan kata lain, praktik pendidikan moral karakter telah menyentuh tiga ranah yaitu: moral knowing, moral feeling and moral acting. Pendidikan karakter yang dikembangkan di labschool ini memiliki empat dimensi proses psikososial seperti yang dikembangkan dalam grand disain pendidikan karakter, yaitu: olah pikir, olah hati, atau olah rasa dan karsa serta olah raga. Tentu saja bobot ketercapaian dari dimensi-dimensi itu adalah bersifat kualitatif dan masih sulit untuk diukur secara kuantitatif.

Meskipun belum saatnya untuk menilai keberhasilan pendidikan karakter di Labschool Unsyiah, tetapi terdapat indikator-indikator yang dapat diasumsikan sebagai hasil atau efek positif dari pendidikan karakter. Indikator itu antara lain, adanya pencapaian akademik yang membanggakan yang dapat dilihat dari tingginya hasil ujian nasional, tingkat kelulusan memasuki perguruan tinggi, dan daftar prestasi sekolah dalam berbagai bidang studi, olah raga, seni dan penguasaaan IT. Dari sisi moral-karakter, belum ada siswa sekolah labschool yang terlibat dalam kasus-kasus yang meresahkan.

Selain beberapa ”best practice” pendidikan karakter yang telah sukses dikembangkan di sekolah, masih ada juga sisi kekurangan dan tantangan yang berkaitan dengan pendidikan karakter di Labschool Unsyiah. Salah satu kekurangannya adalah belum adanya ”dokumen sekolah” yang komprehensif tentang perencanaan, proses dan hasil pendidikan karakter. Hasil pengamatan di


(44)

sekolah menunjukkan bahwa banyak praktik ”best practice” yang telah berjalan di sekolah justru tidak memiliki dasar konseptual yang terbukukan. Pada sisi lain, faktor kompetensi guru merupakan salah satu hal yang patut mendapat perhatian untuk perbaikan dan peningkatan.

B. Kesimpulan Khusus.

Dari kesimpulan umum yang telah diuraikan di atas, dirumuskan kesimpulan khusus sebagai tesis dari penelitian sebagai berikut:

1. Penerapan sistem fullday school memiliki landasan filosofis, sosiologis, psikologis dan akademis.

2. Sistem fullday meru[akan jawaban strategis sekolah terhadap dilema beban kurikulum versus keterbatasan waktu di sekolah, sehingga memungkinkan bobot kurikulum nasional dapat dicapai dengan baik dan memungkinkan pula kurikulum diperkaya dengan kurikulum plus.

3. Oleh karena fullday memperpanjang “visa anak tinggal di sekolah”, maka ia memberikan kesempatan yang lebih luas bagi sekolah di satu pihak, dan bagi siswa dan orang tua di pihak yang lain, untuk mengembangkan pilihan-pilhan sekolah yang memungkinkan dicapainya mutu akademik yang lebih baik, dan pengembangan aspek nilai karakter yang lebih baik pula.

4. Penerapan sistem fullday adalah “match” dengan kondisi psiko-sosio anak dan kebutuhan/tuntutan orang tua maupun juga sebagai respon inovatif sekolah terhadap perkembangan dunia serta tantangan hari depan.


(45)

C. Rekomendasi

Beberapa hal yang perlu di rekomendasikan berdasarkan hasil temuan penelitian ini yaitu:

1. Pengejawantahan pendidikan karakter pada Labschool Unsyiah Banda Aceh telah banyak yang memiki dimensi-dimensi positif dan selaras dengan harapan tujuan pendidikan nasional. Sementara itu, di sisi lain, masih banyak pula dimensi pendidikan karakter yang masih perlu dibenahi di sekolah ini. Salah satu yang paling penting dilakukan adalah pemantapan pemahaman dan kompetensi guru tentang pendidikan karakter, baik konseptual maupun metodologis. Oleh karena itu, kepada manajemen sekolah maupun jajaran Dinas Pendidikan terkait perlu merespon dengan baik masalah kompetensi guru ini.

2. Menurut pengamatan penulis di Labschool Unsyiah, deseminasi kebijakan nasional tentang gerakan pendidikan karakter dengan segala gagasan dan acuan operasionalnya dirasakan relatif masih kurang geliatnya. Mengingat sifat pentingnya dari kebijakan nasional itu, seyogyanya lebih banyak lagi upaya-upaya yang dilakukan oleh instansi terkait sebagaimana di atur dalam grand disain pendidikan karakter, khususnya tentang pedoman implementasi pendidikan karakter pada tataran sekolah.

3. Berdasarkan “best practice” pendidikan karakter yang telah ditunjukkan oleh Labschool Unsyiah, patut kiranya sekolah ini dijadikan sebagai salah satu “sekolah percontohan pendidikan karakter” di Aceh. Hal ini sejalan dengan nama sekolah ini sebagai sebuah “labschool”. Pengertian labschool sebagai


(46)

sekolah percontohan atau laboratorium pendidikan karakter maknanya bukanlah labschool ini sebagai sekolah yang telah “siap pakai” dengan keberhasilan pendidikan karakternya. Akan tetapi hendaknya sekolah ini dapat dijadikan sebagai “center of excellent” untuk merancang, mengujicoba dan mengembangkan konsep, model atau pendekatan pendidikan karakter yang inovati, efektif serta menjadi rujukan bagi sekolah lainnya. Selain itu, sebagai sebuah pusat pendidikan, sekolah ini juga menjadi tempat untuk deseminasi, sosialisasi, internalisasi maupun juga institusionalisasi pendidikan karakter dalam arti yang luas.

4. Kepada stakeholder Labschool Unsyiah disarankan agar lebih memberdayakan labschool dari dimensi pengembangan karakter. Misalnya, usulan program pendidikan karakter yang digagas oleh sekolah, guru-guru maupun oleh siswa seyogyanya perlu didukung secara moral maupun secara financial sehingga dapat dilaksanakan dengan baik bersamaan dengan sukses akademik yang telah dicapai oleh sekolah selama ini. Adapun stakeholder Labschool Unsyiah adalah rektorat, yayasan, komite sekolah, orang tua, donator dan pendiri labschool.

5. Kepada jajaran Kemendiknas di Aceh, khususnya Dinas Pendidikan Provinsi Aceh dan Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh, disarankan agar lebih banyak lagi memberi perhatian, dukungan manajerial dan financial untuk kemajuan Labschool Unsyiah di masa mendatang. Selain memberikan dukungan terhadap aspek akademik sebagaimana telah berjalan selama ini, dukungan


(47)

terhadap pengembangan pendidikan karakter di Labschool Unsyiah hendaknya menjadi prioritas, apalagi mengingat status sekolah ini sebagai sekolah swasta. 6. Kepada pimpinan yayasan, pimpinan sekolah dan juga guru-guru disarankan

agar lebih banyak mengadakan rapat-rapat sekolah untuk membahas dan mengevaluasi pendidikan karakter. Dengan demikian, diharapkan proses dan mutu pendidikan karakter di labschool ini semakin membaik dari waktu ke waktu. Salah satu kekurangan yang harus diperbaiki adalah belum adanya dokumen sekolah yang memadai tentang pendidikan karakter.

7. Kepada orang tua, masyarakat sekitar, maupun kepada semua siswa perlu dihimbau dan disosialisasikan pentingnya pendidikan karakter. Dengan demikian mereka lebih sadar akan upaya pendidikan karakter bagi anak mereka, baik di sekolah, di rumah, maupun dalam masyarakat luas.

8. Karakter dan pendidikan karakter memiliki spectrum makna yang luas sehingga sukar untuk dibatasi. Begitu pula halnya dengan pendidikan karakter di sekolah yang tidak mungkin dapat dikaji secara sempurna dalam waktu singkat oleh sebuah penelitian. Penelitian ini, dengan segala keterbatasannya, hanya mengkaji dimensi-dimensi pendidikan karakter secara deskriptif-fenomenologis dengan maksud untuk diperoleh suatu “profil” pendidikan karakter di satu sekolah di Aceh, yaitu di SMA Labschool Universitas Syiah Kuala. Tentu saja masih banyak dimensi yang belum terjamah oleh penelitian ini. Oleh karena itu, dihimbau adanya studi-studi lain yang mengkaji dimensi pendidikan karakter di sekolah. Misalnya, penting dikaji pendidikan karakter dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar di kelas. Aspek-aspek lain,


(48)

seperti model dan pendekatan pembelajaran, kompetensi guru, dukungan stakeholder, kedinasan, masyarakat sekitar terhadap pendidikan karakter merupakan hal yang sangat penting dikaji.

9. Sebagai hasil pendalaman dari temuan penelitian ini, telah disusun sebuah rumusan konseptual, yang secara khusus direkomendasikan kepada Labschool Unsyiah sebagai bahan untuk pengembangan pendidikan karakter di sekolah ini secara lebih baik lagi di masa depan. Rumusan rekomendasi itu ditempatkan pada Lampiran 1.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, S. (2012). Pembelajaran Nilai-Karakter. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Akbar, S. (1991). “Revitalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah”, pidato pengukuhan guru besar di Univ. Malang, 8 Juni 2011.

Akin, T at.al. (1995). Character Education in America’s Schools. Spring Valley, California: Innerschoice Publishing.

Alfian. (1980). Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Jakarta: LP3S. Allport, G W. (1979). The Nature of Prejudice, Garden City New York:

Doubleday.

Althof, W and Berkowitz, MW. (2006). “Moral Education and Character

Education: Teir Realtionship and Roles in Citizenship Education”. Journal of Moral Education. 35, (4), 495-518.

Aqib, Z dan Sujak. (2011). Panduan Aplikasi Pendidikan Karakter untuk SD/MI, SMP/Mts, SMA/MA,SMK/MAK. Bandung: Yrama Widya.

Asmani, J.M. (2011). Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogyakarta: Diva Press.

Atmadi dan Setyaningsih (Ed.). 2001. Transformasi Pendidikan MemasukiMillenium Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Baharuddin. (2008). “Analisis Tentang Fulday School: Antara Mutu Pendidikan dan Pelemahan Ekonomi”, artikel, Majalah Teknologi dan Manajemen Informatika, Vol. 6, Edisi Khusus Tahun 2008.

Bandura, A dan Walter, R.H. (1973). Social Learning Theory and Personality Development. New York: Holt Rinehart and Winston.

Banks dan Banks. (1995). Multicultural Education. Didownload pada tanggal 12 April 2010 dari http://www.ncrel.org/sdrs/pathwayg.thm

Barnawi dan M. Arifin. (2012). Strategi dan Kebijakan Pembelajaran pendidikan Karakter,.Yogyakarta: Az-ruzz Media.


(50)

Bloomfield, B. (2001). „In the right place at the right time‟, Sociological Review. Borba, M. (2008). Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama untuk

Membentuk Anak Bermoral Tinggi, alih bahasa Lina Yusuf. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Budimansyah, D dan Komalasari, K (Ed). (2011). Pendidikan Karakter: Nilai Inti Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Budimansyah, D. (2010). Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Budimansyah, D. at all (2010). Model Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Penguatan PKN, Layanan Bimbingan Konseling dan KKN Tematik Di Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: UPI.

Capra, F. (1999). Titik Balik Peradaban, Terjemahan Jakarta: Penerbit Bintang. Clark, I, (1997).Globalization and Fragmentation: International Relations in the

Twentieth Century. New York: Oxford University Press.

Covey, S.R. (2010) The Seven Habit of Highly Effective People, diterjemahkan oleh Lindon Saputra, Tangerang: Binarupa Aksara

Creswell, J.W. (1994). Research Design Qualitative & Quantitative Approach. London: Publication.

Cronbach, L.J. (1977). Educational Psychology, 3 edition. Harcourt Brace Javanovich, Inc.

Darmiyati, Z, dkk. (2010), Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif Terintegrasi dalam Perkuliahan dan Pengembangan Kultur Universitas, Yogyakarta: UNY Press.

Dempsey, Patricia Ann dan Dempsey, Arthur D. (2002) Riset Keperawatan : Buku Ajar dan Latihan (Alih Bahasa : Palupi Widyastuti). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Dewantara, K.H. (1962). Karja Ki Hadjar Dewanatara. Jogjakarta: Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Djahiri, A.K. (1966). Menelusur Dunia Afektif. Pendidikan Nilai dan Moral, Bandung: Lab Pengajaran PMP IKIP.


(51)

Djahiri, A.K. (1990). Menelusur Dunia Afektif. Pendidikan Nilai dan Moral, Bandung: Lab Pengajaran PMP IKIP.

Dyke, Vernon Van (1960) “Political Science: A Philosophical Analysis” (Stanford California: Stanford University Press.

Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai . Bandung : Alfabeta. Elias, J. L. 1989. Moral education: secular and religious, Florida: Robert E.

Krieger Publishing Co., Inc.

Falk, R. (1999). Hans Kung’s Crusade: Framing a Global Ethic, International Journal of Politics, Culture and Society, 13(1):63-81.

Fitri, A.Z (2012). Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Jogyakarta: Arruz Media.

Fraenkel, J.R. (1977). How to Teach About Values: An Analytik Approach Enflewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Fraenkel, J.R and Norman E.W. (2008). How to Design and Evaluate Research in Education, NewnYork: McGraw-Hill Companies Inc.

Freire, P. (1994). Pedagogy of Hope, reliving Pedagogy of the Opressed with notes by Anna Maria Araujo Freire. translated by Robert. R. Barr. Continuum, New York.

Frondizi, R. (2001). Filsafat Nilai, Terjemahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Giddens, A. (2000). Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives.

London: Routledge.

Gray, T. (2009). Character Education in Schools, ESSAI: Vol. 7, Article 21. Griffin, K. (1996). Studies in Globalization and Economic Transitions. London:

ICS,

Gunawan, H. (2012). Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.

Hermawan. (2010). Problematika Penyelenggaraan Fullday School. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (Online). Tersedia, http://etd.eprints.ums.ac.id/12407/ 1/


(1)

Djahiri, A.K. (1990). Menelusur Dunia Afektif. Pendidikan Nilai dan Moral, Bandung: Lab Pengajaran PMP IKIP.

Dyke, Vernon Van (1960) “Political Science: A Philosophical Analysis” (Stanford California: Stanford University Press.

Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai . Bandung : Alfabeta. Elias, J. L. 1989. Moral education: secular and religious, Florida: Robert E.

Krieger Publishing Co., Inc.

Falk, R. (1999). Hans Kung’s Crusade: Framing a Global Ethic, International Journal of Politics, Culture and Society, 13(1):63-81.

Fitri, A.Z (2012). Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Jogyakarta: Arruz Media.

Fraenkel, J.R. (1977). How to Teach About Values: An Analytik Approach Enflewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Fraenkel, J.R and Norman E.W. (2008). How to Design and Evaluate Research in Education, NewnYork: McGraw-Hill Companies Inc.

Freire, P. (1994). Pedagogy of Hope, reliving Pedagogy of the Opressed with notes by Anna Maria Araujo Freire. translated by Robert. R. Barr. Continuum, New York.

Frondizi, R. (2001). Filsafat Nilai, Terjemahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Giddens, A. (2000). Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives.

London: Routledge.

Gray, T. (2009). Character Education in Schools, ESSAI: Vol. 7, Article 21. Griffin, K. (1996). Studies in Globalization and Economic Transitions. London:

ICS,

Gunawan, H. (2012). Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.

Hermawan. (2010). Problematika Penyelenggaraan Fullday School. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (Online). Tersedia, http://etd.eprints.ums.ac.id/12407/ 1/


(2)

Hill,T.A., (2005). Character First! Kimray Inc.,

http://www.charactercities.org/downloads/publications/Whatischaracter.pdf. Li, L., 2005. Education for 1.3 Billion. Pearson Education

http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2011/11/pendidikan-karakter.pdf http://etd.eprints.ums.ac.id/18324/1/HALAMAN_DEPAN.pdf

http://school.elps.k12.mi.us/kindergarten-study/Full-Half_U_of_M_study V_Lee_et_al.pdf)

Husen, A, Japar, M dan Kardiman,Y. (2010). Model Pendidikan Karakter Bangsa Sebuah Pendekatan Monolitik di Universitas Negeri Jakarta: Jakarta: Kemdiknas.

Kalidjernih, F.K. (2010). Kamus Studi Kewarganegaraan Perspektif Sosiologikal Dan Politikal. Bandung: Widya Aksara Press.

Kemdiknas. (2010a). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan Pelatihan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemdiknas, Puskur.

Kemdiknas. (2010b). Kerangka Acuan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemdiknas, Dirjen Dikti, Direktorat Ketenagaan.

Kemdiknas. (2010c). Grand Disain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemdiknas. Kemdiknas. (2010d). Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah

Pertama. Jakarta: Kemdiknas, Dirjen Dikdas, Dir. Pembinaan SMP.

Kemdiknas. (2010e). Pokok – Pokok Pikiran Tentang Pendidikan Karakter Bangsa Menjawab Permasalahan Persatuan Bangsa (2). Tersedia[online]: http://www.balitbang.depdiknas.go.id/?p=252 diakses tanggal 14 Nopember 2010.

Kemdiknas. (2011). Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter: Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan. Jakarta: Kemdiknas, Balitbang Pusat Kurikulum dan Perbukuan.

Koentjaraningrat. (2004). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Koesoema, D. (2007). Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.


(3)

Kohlberg, L. (1983). Moral Stage: A Current Formulation and Response to Critics, New York: Kluger.

Kohlberg, L. (1996). Tahap-Tahap Perkembangan Moral, Terjemahan, Yogyakarta: Kanisius.

Koesoema, D. (2009). Pendidik Karakter di Zaman Keblinger. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Komalasari, K. (2012)., The Effect Of Contextual Learning In Civic Education On Students' Character Development. Civic Education Department of Social Studies Education Faculty. Indonesia University of Education. Universiti Sains Malaysia, Asia Pacific Journal of Educators and Education, Vol. 27, 87–103, 2012

Kung, H. (2000). Global Ethic: A Response to My Critics, International Journal of Politics, Culture and Society,14(2):421-428.

Kuswarno, E, (2009), Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi Konsepsi Pedoman dan Contoh Penelitiannya, Bandung: Widya Padjajaran.

Kurtus, R, Definition of Character, Diakses pada tanggal 1 Januari maret 2010 dari http://www.school-for-champions.com/character/definition.htm. Peters, R.S. (1981). Moral Development and Moral Education, London: Goerge

Allen & Unwin Ltd.

Winecoff, H.L. (1998). Values Education, Conceps and Models. Terjemahan, Malang: IKIP Malang.

Lee and T Burkham. (2005). Full-Day vs. Half-Day Kindergarten: In Which Program Do Children Learn More? (online). Tersedia: http://school.elps.k12.mi.us/kindergarten-study/

Lickona, T. (1992). Educating for Character: How our Schools can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Book.

Lickona, T. (2003), My Though About Character. London: Cornell Univ. Press. Lickona, T. (2004). Character Matters. New York: Simon & Schuster.

Marzuki. (2012). Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 1, Februari 2012, hal 33-44.


(4)

Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter, Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. BP Migas: Star Energy.

Micklethwait, John and Adrian Wooldridge. (2000). A Future Perfect: The Challenge and Hidden Promise of Globalization. Times Books.

Mittelman, J.H. (2000). The Globalization Syndrome: Transformation and Resistance. Princeton: Princeton University Press.

Mulyana, R, et. all. (1999). Cakrawala Pendidikan Umum Suatu Upaya Mempertegas Body Of Knowledge. Bandung: IMA-PU PPS IKIP.

Mulyana, R. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Mulyasa, H E. (2011). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Bumi

Aksara.

Mustakim, B. (2011), Pendidikan Karakter: Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat, Jakarta :Samudera Biru.

Poerwadarminta, W.J.S. (2007). Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Phenix, P.H (1960). Realms of Meaning. McGraw-Hill Book Company. New York San Francisco: Toronto London.

Purwasasmita, M. (2010). “Memaknai Konsep Alam Cerdas dan Kearifan Nilai Budaya Lokal (Cekungan Bandung, Tatar Sunda, Nusantara, dan Dunia) Peran Local Genius Dalam Pendidikan Krakter”. Prosiding Seminar Aktualisasi Pendidikan Karakter Bangsa. 1, 12-27. Diterbitkan atas kerjasama Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan Penerbit Widya Aksara Press.

Q-Anees, Bambang dan Adang Hambali. (2008). Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Raka, G, dkk. (2011). Pendidikan Karakter di Sekolah: Dari Gagasan ke Tindakan. Jakarta: PT. Gramedia.

Robertson, R. (1992). Globalization: Social Theory and Global Culture. London: Sage.

Saptono. (2011). Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter: Wawasan, Strategi dan Langkah Praktis. Jakarta: Erlangga.


(5)

Sastrapadja,M. (1997). Kamus istilah pendidikan dan umum. Surabaya: Usaha Nasional.

Schiller, P. & Bryant, T. (2002). Values Book for Children, 16 Moral Dasar Bagi Anak: disertai kegiatan yang bisa diolakukan orang tua bersama anak, Jakarta: PT Elex Mesia Komputindo, kelompok Gramedia

Somad, A. (2007), Pengembangan Model Nilai-nilai Keimanan dan Ketaqwaan Siswa di Sekolah (Studi Kasus di SMAN 2 Bandung)., Disertasi pada Program PU SPs UPI. Tidak diterbitkan.

Sauri, S. (2010). Membangun Bangsa Berkarakter Nilai Iman dan Taqwa Dalam Pembelajaran, Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Nilai-Karakter, Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, 28 Juli 2010.

Sauri, S dan Herlan Firmansyah. (2010). Meretas Pendidikan Nilai, Bandung: CV. Afrino Raya.

Sauri, S. (2006). Pendidikan Berbahasa Santun. Bandung: Genesindo.

Soedarsono, S. (2010). Karakter Mengantar Bangsa: Dari Gelap Menuju Terang. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Stein, R, M.; Post, S, S. and Rinden, A, L. (2000). Reconciling Context and Contact Effects on Racial Attitudes, Political Research Quarterly, 53(2):285-303.

Sudarsono. (1995). Kenakalan Remaja. Jakarta; Rineka Cipta.

Sumaatmadja, N. (2010), Bahan Kuliah Kajian Nilai Moral Indonesia: Etika Global (soft Copy). Bandung: Pascasarjana UPI.

Sumantri, E. (2003), Resume Perkuliahan Filsafat Nilai dan Moral. Bandung: Pascasarjana UPI.

Supriadi, D. (2001). Budi Pekerti dalam Kurilulum 1947-1994. Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung, 12 Juni 2001.

Susanto, E. (2012). Dampak Full Day School Terhadap Perkembangan Sosial Anak Di Sekolah. Skripsi, Univ. Muhammadiyah Surakarta. (online). Tersedia : http://etd.eprints.ums.ac.id/18324/1/HALAMAN_DEPAN.pdf

Suyanto (Dirjen Dikdas). (2011). Pendidikan Karakter untuk Membangun Karakter Bangsa, dalam majalah Plicy Brief, Edisi 4 Juli, 2011.


(6)

Suyanto. (2010). Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: Kemdiknas.

Utari, N. (2009). Studi Fenomenologis Tentang Proses Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja Pada Pemerintah Kabupaten Temanggung. Program Studi Magister Akuntansi. Program Pasca Sarjana UniversitasDiponegoro Tahun 2009

Tafsir, A. (2007). Kembali Kepada Akhlak. Pikiran Rakyat (22 Oktober 2007). Tersedia: http://himcyoo.files.wordpress.com/2012/03/4-buku-pendidikan-karakter.pdf

Tim Penyusun Kamus. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ulwan, N.A. (2007). Mengembangkan Kepribadian Anak, Bandung: Rosdakarya Umar, N.H. (2007). Manajemen Kurikulum Sistem Full Day School (Studi Kasus

Di Mts Negeri Malang), Skripsi, Universitas Negeri Malang.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.

Wahjudin S, (1996), Orientasi Pendidikan Politik dalam Membina Nilai-nilai. Moral, Mimbar Pendidikan No. 4 Th. XV, University Press IKIP Bandung . Wening, S (2012), Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Nilai, Artikel,

dalam Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, No.1. UNY.

Wiramihardja, A.S. (2006). Pengantar Filsafat, .Bandung. PT.Refika Aditama Wiyani, NA. (2012). Manajemen Pendidikan Karakter: Konsep dan Aplikasinya.

Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani.

Wynne, E. (1989). Transmitting traditional values in contemporary schools. In L. Nucci, Moral development and character education: A dialogue (pp. 19-36). Berkeley, CA: McCutchan.

Yaumi, M (2010) Pengembangan Pendidikan Budaya Dan Karakterbangsa Melalui Transdisiplinaritas, Makasar, UIN Allaudin.

Yuona, S. Lincoln and Cuba. (1977). Naturalistic Inquiry, London: Sage Publication.

Zuchdi, D. (2008). Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi, Jakarta: Bumi Aksara.