Mardijker dan Merdeka.

[(OMPAS
o
8
23

o

Kal7lis

9

10
24

OJun

12

11
25


OJu/

.

U

() Sabtu

JUl7lat

14

13

26

27

Ags


OSep

Minggu

28
OOkt

15
29

30

ONov

Mardijker dan Merdeka
Oleh

FADLY

RAHMAN


~

M

erdeka adalah persoalan
eksistensi. Salah satunya, eksistensi manusia
yang menyadari kediriannya sebagai bagian dari sebuah bangsa.
Lalu, apa hakikat bangsa Indonesia yang merdeka?
Kita mesti memafhumi jika melongok
sejarah bangsa ini sebagai yang pernah
terjajah selama lebih kurang 3,5 abad. Pada
masa panjang kolonialisme itu, selain memuat banyak kisah derita kemanusiaan,
embrio kita sebagai sebuah "bangsa" pun
turut dibangun. Kesadaran sebagai sebuah
bangsa, sebagaimana dibilang Benedict
Anderson dalam Imagined Communities,
hakikatnya adalah "sesuatu yang terbayang"; dus pengertian bangsa yang dimaksud pada masa kini jika dibenturkan
dengan realitas masa lampau boleh jadi
menjadi tumpukan (akumulasi) yang

"membayangi" masa kini.
Hal ini mengingatkan saya pada kaum
Mardijker. Mereka (mulanya) adalah kaum Moor dari India dan Afrika yang
datang dari Malaka, ikut bersama kapal-kapal Portugis ke Batavia. Selain Moor,
orang-orang pribumi dari Sulawesi, Bali,
dan Melayu pun kemudian digolongkan
sebagai Mardijker ini. Para Mardijker ini
pun dikonversi menjadi penganut Katolik,
agamanya orang Portugis. Mereka banyak
menetap di wilayah Batavia.
Seiring jatuhnya kekuasaan Portugis di
Malaka, Belanda mengambilalih kekuasaan hingga didirikannya maskapai dagang
VOC pada 1602. Lalu, bagaimana nasib
kaum Mardijker? Di bawah kuasa Belanda,
mereka
dimerdekakan,
dibebaskan.
"Merdeka" di sini adalah sebuah pengertian teologis ketika mereka diQebaskan
setelah dikonversi dari Katolik menjadi
Protestan.


Mardijker yang merdeka berarti juga
terbentuknya identitas. Dengan terbentuknya identitas, terbangun ikatan emosional sebagai kesatuan manusia Mardijker. Riwayatnya berkembang dengan
status yang dimerdekakan. Adakah sebenarnya mentalitas mereka ini sebagai
yang terjajah?

kebijakan passenstelsel (surat Jalan) terapan pemerintah Hindia Belanda, yang
mana di jalanan para Mardijker ini harns
mengangkat tangan sembari mengucap
kata "mardijker" sebagai penunjuk statusnya. Kekonyolan kolonialisme memaksakan kesadaran identitas semacam ini
sebetulnya sengaja membangun mental
"
" "
dan keberadaan diri para Mardijker seDla Ilenasl kan
bagai yang termarjinalSebuah kisah di Batavia tahun 1715.
kan dalam kehidupan soCornelis Chalstelijn, seorang tuan tanah di
sial.
Gambir, Jatinegara, dan Buitenzorg (Boltulah yang membuat
gor), menghibahkan tanahnya kepada para
I

para Mardijker hHang keI
percayaan diri, minder, deMardijker. Para Mardijker dikristenkan,
termasuk suku Jawa, Bali, Bugis, dan
#.
ngan identitas yang dilabelisasi
Kalimantan; para wanitanya dijadikan
sejalan dengan status mereka
'
sebagai yang dimerdekakan itu.
gundik. Tuan
Sebagai serdadu kerajaan Belanda,
Chalstelijn'menghimpun
.
KNIL, pada masa revolusi fiSl~
.
para budak dari
_
.:',
para keturunan Mardijker dicap 10berbagai latar bela:s.:.
yal kepada Belanda. Malah orang

~
pribumi seperti RAbdulkadir Widkang ras ini agar seagama dengannya. Walhasil,
jojoatmodjo, kolonel KNIL asal
terbentuklah keluarga Mardijker
~ Jawa,juga menjadi perwakilan
di Tanah Serengseng, Depok. Me\~
Belanda dalam pe rjanjian

~

reka beranak

a~~,
'

~~

pinak hingga me-

~,


THOMDEAN

lahirkan keturunan Mardijker, para "bule Depok".
Tuan Chalstelijn memang bijak. Namun, kaum Mardijker tetaplah berstatus
dimerdekakan. Diatur bagaimanapun, mereka sebenarnya dalam posisi terjajah.
Seperti halnya terlihat bagaimana VOC
memberdayakan keturunan Mardijker ini
sebagai serdadu. Pakaian harns seperti
orang Portugis dan diharnskan berbahasa
Kreol (campuran Portugis). Atribut ini
sengaja dicipta sebagai identitas mereka.
Atribut bentukan kolonialisme macam
ini .galibnya pembentuk mentalitas dan
kesadaran identitas sebagai "sekumpulan
manusia" yang dialienasikan, sehingga ruang geraknya terkungkung dalam kehilangan eksistensi identitasnya sebagai
yang berstatus dimerdekakan. Misalnya

Kliping


Humas

~

Unpad

Renville.

.

Pascapengakuan kedaulatan RI pada
1950, para Mardijker ini ditawarkan pilihan menjadi WNI atau bermukim di
Belanda. Namun, kecurigaan dan suasana
xenophobia masyarakat Indonesia kadung
tersemat:. Mardijker lebih loyal kepada
Belanda. ltulah kenapa sebagian dari mereka memilih menjadi warga negara Belanda karena khawatir dengan statusnya
jika memilih Indonesia. Mentalitas nyaman dan aman menjadi Belanda lebih
pada turunan konstruksi masa lalu: Mardijker yang dimerdekakan Belanda.
Kisah macam Mardijker itu ada dalam
kronik Indonesia merdeka. Minoritas seperti mereka sebenarnya adalah juga bagian dari Indonesia yang berhak memiijki

Indonesia. Namun, setelah kemerdekaan
Intlonesia, sebagian dari mereka seakan

2009--

-

kehilangan induk dan minder menyadari
posisinya dalam lingkungan masyarakat
Indonesia. Ikatan emosional yang tercerabut dari akarnya.
Ancaman disintegrasi
Akar ikatan emosional itu dicipta melalui kebinekaan produk kolonialisme. Kisah Tuan Chalstelijn yang berjasa menghimpun orang-orang pribumi dari beragam suku sekilas bagaikan konseptor
Bhinneka Tunggal Ika Seperti halnya kebinekaan ideal Indonesia yang sering diusik penyakit: krisis nasionalisme, rasa
memiliki Indonesia. Kita patut waspada.
Sebab, "Pancasila Sakti" kini sering kaIi
sakit oleh ancaman disintegrasi: kesukuan,
agama, partai politik....
Pemeo "Indonesia belum merdeka"
yang sering kali disuarakan mungkin sekilas seperti semunya kemerdekaan para
Mardijker. Semu, karena di balik pemerdekaan mereka itu, kekuasaan politik kolonial sebenarnya menjajah mereka. Namun, tentu saja, kemerdekaan Indonesia

janganlah disamakan dengan kaum Mardijker yang (di)merdeka(kan) itu.
Di balik kata "Mardijker" yang konon
derivasi kata "merdeka", semoga "mentalitas terjajahnya" tidak hidup pada bangsa ini. Tidak minder menjadi Indonesia,
seperti keminderan kaum Mardijker itu.
Tentunya tidak. Semoga saja.
FADLY RAHMAN
Pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah
Universitas Padjadjaran
JO___;:':;"~ .

-

-

---

-

---