Konflik vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka di aceh dengan pemerintahan pusat di Jakarta sejak Tahun 1976 Sampai 2005

(1)

KONFLIK VERTIKAL ANTARA GERAKAN ACEH MERDEKA DI ACEH DENGAN PEMERINTAHAN PUSAT DI JAKARTA SEJAK TAHUN 1976

SAMPAI 2005

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh Kurnia Jayanti NIM: 105022000841

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431H./2010 M.


(2)

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif HIdayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 31 Agustus 2010


(3)

KONFLIK VERTIKAL ANTARA GERAKAN ACEH MERDEKA DI ACEH DENGAN PEMERINTAHAN PUSAT DI JAKARTA SEJAK TAHUN 1976

SAMPAI 2005

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh Kurnia Jayanti NIM: 105022000841

Pembimbing

Dra. Hj. Tati Hartimah, MA NIP: 19550731 198903 2 001

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H./2010 M.


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “KONFLIK VERTIKAL ANTARA GERAKAN ACEH MERDEKA DI ACEH DENGAN PEMERINTAHAN PUSAT DI JAKARTA SEJAK TAHUN 1976 SAMPAI 2005”, telah di ujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Agustus 2010. Skripsi ini telah di terima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta, 20 Agustus 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA. Usep Abdul Matin S.Ag., MA., MA. NIP: 19591222 199103 1 003 NIP: 19680808 7199803 1 002

Anggota

Penguji Pembimbing

Usep Abdul Matin S. Ag., MA., MA. Dra. Hj. Tati Hartimah, MA. NIP: 19680808 7199803 1 002 NIP: 19550731 198903 2 001


(5)

ABSTRAK

Kurnia Jayanti

Konflik Vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintahan Pusat di Jakarta Sejak Tahun 1976 sampai 2005

Skripsi ini menganalisis konflik vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintahan pusat pada masa orde baru hingga masa reformasi (1976-2005). Skripsi ini menjawab beberapa pertanyaan berikut: bagaimana sejarah Gerakan Aceh Merdeka terbentuk? bagaimana perjalanan konflik Vertikal di Aceh yang di lalui GAM? faktor apa saja yang menyebabkan rakyat Aceh yang ingin melepaskan diri dari Indonesia? upaya apa yang di lakukan untuk penyelesaian konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Indonesia dalam meraih rancangan kesepakatan damai? Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, penulis melakukan penelitian kepustakaan. Adapun teknis penulisan skripsi ini termasuk tata cara membuat catatan kaki, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.1

       1

Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), (CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2007), h. 1-72.


(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillahirrabil’alamin sebagai rasa terima kasih dan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kemudahan karena berkat petunjuk, rahmat dan karunia-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam tak lupa penulis curahkan kepada panutan kita Nabi besar Muhammad Rasulullah SAW, beserta keluarganya dan para sahabatnya. Semoga kita dapat syafaat di akhirat kelak. sehingga penulis telah mampu menjalani dan menyelesaikan syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora Universitas UIN Syarif Hidayatullah. Berkat karunia-Nya juga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konflik Vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintahan Pusat di Jakarta sejak tahun 1976 sampai 2005” pada masa orde baru hingga masa reformasi dengan baik.

Terselesaikan skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak yang telah memberikan petunjuk serta motivas dalam penulisan skripsi ini. Karena itu penulis menyampaikan ucapan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada : kedua orang tua, DR. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Ibu Dra. Hj. Tati Hartimah, MA selaku dosen Penasehat Akademik dan Pembimbing skripsi, Drs. Ma’ruf Misbah, MA selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Usep Abdul Matin S.Ag., MA., MA selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam dan penguji, Segenap pengelola dan staf Perpustakaan Utama, perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI),


(7)

yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mengadakan studi kepustakaan, serta kawan-kawan SPI angkatan 2005 yang telah memberikan motivasi dan masukan-masukan kepada penulis terkait penulisan skripsi ini.

Jakarta, 31 Agustus 2010


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR SINGKATAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Definisi Operasional………...7

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah………....8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...9

E. Metode Penulisan……….10

F. Sistematika Penulisan………...12

BAB II SEJARAH GERAKAN ACEH MERDEKA A. Sejarah Terbentuk Gerakan Aceh Merdeka……….…...…….13

B. Tujuan Terbentuk Gerakan Aceh Merdeka………….…..……27

C. Para Pendukung Gerakan Aceh Merdeka………….…………29

BAB III KONFLIK VERTIKAL GERAKAN ACEH MERDEKA DENGAN PEMERINTAH PUSAT A. Sejarah Konflik Vertikal di Aceh...………..………..…..34


(9)

C. Reaksi Pemerintah Indonesia Terhadap Gerakan Aceh

Merdeka………50 D. Dampak Konflik Vertikal di Aceh Terhadap Kondisi

sosialnya……….……..55

BAB IV REKONSILIASI KONFLIK VERTIKAL DI ACEH

A. Upaya Penyelesaian antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Pusat Indonesia……….58 B. Proses Perundingan Helsinki dan Tercapainya Kesepakatan

Damai………...…69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….74

B. Saran………...76

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

I. Peta Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam.

II. Foto Hasan Tiro Wali Negara Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF)/ GAM.

III. MoU (Nota Kesepahaman) antara Pemerintahan Pusat dan Gerakan Aceh Merdeka.

IV. a. Komando Daerah Militer - I Iskandar Muda. b. Seruan Bangsa Aceh.


(10)

b. Declaration of Independence of Acheh, Sumatra. c. Amanat Bangsa Aceh.

VI. Negara Aceh Jawatan Infak. VII. a. State of Aceh Sumatra.

b. State of Aceh Departement of the Army.

c. Negara Aceh Sumatra Urusan Pajak Dalam Nanggroe. d. Komando Aceh Merdeka.

VIII. Surat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh.


(11)

DAFTAR SINGKATAN

ABRI Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ASNLF Aceh Sumatra National Liberation Front CMI Crisis Management Initiative

DI/TII Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia DOM Daerah Operasi Militer

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah FORKA Forum Kepedulian Aceh

GAM Gerakan Aceh Merdeka GPL Gerakan Pengacau Liar

GPLHT Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro GPK Gerakan Pengacau Keamanan HAM Hak Asasi Manusia

HDC Henry Dunant Center

ICGI International Crisis Group Indonesia IFA International For Aceh

LNG Liquefied Natural Gas

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat NAD Nanggroe Aceh Darussalam

NLFAS National Liberation Front of Acheh Sumatra NGO Non- Govermental Organization

NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa


(12)

RI Republik Indonesia

SIRA Sentra Informasi Referendum Aceh TIM Taman Iskandar Muda

TNI Tentara Nasional Indonesia


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh merupakan ketidakadilan: tidak sesuai antara kenyataan dengan pengharapan di berbagai bidang khususnya bidang pembangunan. Ini berdampak pada kemiskinan, kebodohan, dan tingkat keselamatan masyarakat yang rendah. Konflik ini muncul sejak diproklamirkan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976 di Pidie oleh GAM yang dipelopori oleh Muhammad Hasan Tiro. Karena itu GAM lahir karena nasionalisme etnis Aceh bangkit sebagai jawaban terhadap kebijakan pemerintah pusat yang sentralistik2

       2

Hasan Tiro adalah cucu dari pahlawan Perang Aceh Teungku Chik Di Tiro, Ia lahir pada tahun 1925, ayahnya bernama Luebe Muhammad dan ibunya Fatimah binti Mahidin. Lihat Nazaruddin Syamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 70. Menurut Zentgraaff dalam Aceh, (Jakarta: Depdikbud, 1983), h. 16. dikatakan bahwa ulama-ulama Tiro merupakan keturunan dari seorang haji dari Jawa, yang pada masa lampau merantau dan tinggal di Pidie dan menduduki tempat sebagai ulama disana. Putranya mendapat pendidikan agama dari seorang ulama terkenal di wilayah Tiro, dan semenjak itulah keturunannya melekatkan kata “di Tiro” di belakang nama mereka. Keluarga Hasan Tiro yang sangat kental dengan nuansa Islam menjadikan latar belakang pendidikannya di habiskan di sekolah-sekolah Islam, Beliau berguru pada El-Ibrahimy menantu Daud Beureuh, selama berguru dengannya Hasan Tiro banyak belajar tentang ekonomi, agama, dan politik. Pendidikan Hasan Tiro tergolong sangat baik, beliau pernah kuliah di Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta pada tahun 1950. Ketika masih kuliah di UII, beliau mendapat beasiswa untuk belajar ke University Columbia. Gelar Doctor dalam Ilmu Hukum di raih di University of Plano, Texas Amerika Serikat. Beliau mengaku juga lulusan University Columbia dan Fordam University di New York, sebagai ahli Ekonomi, Hukum Internasional dan Ilmu Pemerintahan. Ada empat titel yang di miliki oleh Hasan Tiro, yaitu BS. MA, Ph D dan LLD, dan


(14)

GAM dikenal dengan nama ASNLF (Aceh Sumatra National Liberation Front). ASNLF selalu digunakan bila berhubungan dengan dunia International. Pemerintah pusat menjalankan berbagai operasi baik secara politik maupun militeristik untuk menumpas gerakan ini.3

      

beliau juga mendirikan Acheh Institute di Amerika Serikat sebagai sarana untuk pengembangan pemikirannya tentang Aceh.

3

Tabloid Suara Islam Edisi 53, 24 Oktober-6 Nopember 2008 M/24 Syawwal-7 Dzulqa’idah 1429 H.


(15)

Secara geografis, Nanggroe Aceh Darussalam terdiri dari 9 kabupaten, 2 kotamadya, 3 kotip, 142 kecamatan, 591 mukim dan 5.463 desa. Luas wilayahnya adalah 57.365,57 km meliputi 119 pulau, 35 gunung, 73 sungai.4

Dahulu Aceh merupakan satu-satunya daerah di Sumatra yang memiliki nilai politis di mata orang-orang Barat sehingga daerah ini pantas menjadi subjek sejarah umum.5 Aceh dengan latar belakang budaya dan historis keagamaan namun atas dasar paham nasionalisme para pendiri bangsa, tuntutan rakyat Aceh tidak terkabulkan. Hal ini yang memunculkan rasa kekecewaan yang sangat mendalam bagi rakyat Aceh. Kekecewaan ini muncul karena ada alasan yang sangat fundamental, yaitu, dalam proses menuju kemerdekaan, peran rakyat Aceh sangatlah besar dengan berbagai pemberontakan menentang kedaulatan negara yang baru berdiri, yaitu dalam wadah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) oleh Daud Beureuh.6

       

Permasalahan yang di hadapi antara GAM dengan pemerintahan pusat sangat kompleks terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Hal ini dikarenakan kelanjutan dari DI/TII di Aceh yang belum usai, yang kemudian memunculkan permasalahan

  4

Riza Sihbudi dkk, Bara dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, ( Jakarta: Mizan, 2001), h. 31.

5

Marsden Wiliam, History of Sumatra (Sejarah Sumatra), Pengantar John Bastin, Terjemah Tim Komunitas Bambu, ( Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 365.

6

Darul Islam adalah sebuah gerakan perlawanan dengan ideologi Islam yang terbuka. Darul Islam muncul sebagai reaksi atas ketidakberpihakan Jakarta terhadap gagasan formalisasi Islam di Indonesia. Bagi Darul Islam, dasar dari perlawanan adalah Islam, sehingga tidak ada sentimen terhadap bangsa-bangsa lain, bahkan ideologi Islam adalah sebagai perekat dari perbedaan yang ada. Gagasan ini juga berkembang dalam gerakan Darul Islam di Aceh. Lihat Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, (Jakarta: LIPI), h. 10.


(16)

baru yaitu GAM. Salah satu yang belum selesai antara lain GAM yang ingin merdeka atau melepaskan wilayah Aceh dari Indonesia, Sentimen etnis dalam konflik (dikotomi Aceh dan Jawa). Selain itu pemerintahan pusat juga mengiginkan Aceh tetap dalam wilayah Indonesia.7

Munculnya GAM secara diam-diam dikarenakan ketidaksiapan pihak GAM untuk langsung berhadapan dengan pihak penguasa, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. GAM terungkap karena ada beberapa perusahaan besar yang beroperasi di Aceh dikirimi surat berisikan kewajiban mereka membayar pajak kepada GAM, akan tetapi perusahaan-perusahaan tersebut tidak memberikan dana seperti yang di inginkan GAM. Dengan demikian, keberadaan dan aktifitas gerakan ini mulai diketahui oleh pemerintah pusat bahwa ada gerakan bawah tanah yang memproklamasikan kemerdekaan di Aceh.8

Gagasan-gagasan Hasan Tiro semakin memuncak setelah pemerintahan Orde Baru yang mengeksploitasi gas alam dan minyak bumi di Aceh Utara sejak awal 1970-an. Hasan Tiro memunculkan dirinya sebagai “Duta Besar Republik Indonesia Islam Aceh”. Sejak saat itu, ia ikut berdiplomasi di luar negri, terutama di New York untuk memasukan agenda-agenda tentang Aceh dalam forum intenasional PBB. Salah satu puncaknya adalah ketika ia mencetuskan GAM pada tahun 1976.9

       7

Nazaruddin Syamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 70.

8

Ibid

9

Isma Sawitri, Amran Zamzami, dkk., (Panitia Peduli Aceh), Simak dan Selamatkan Aceh, (Jakarta : PT Bina Rena Perwira, 1998), h. 15.


(17)

GAM yang di pimpin Hasan Tiro di kenal oleh rakyat Aceh Sebagai Wali Negara Aceh Merdeka menyatakan, bahwa ideologi yang di pilihnya bukan Islam serta orientasi politiknya bukan pendirian negara Islam sebagaimana pendahulunya lakukan. GAM adalah simbolisasi dan institusionalisasi dari identitas politik ini. Akibatnya, Aceh yang tadinya hanya sekedar etnis dan kartografis telah bertansformasi menjadi identitas politik. Gerakan Aceh Merdeka didukung oleh tiga kelompok masyarakat Aceh, yaitu golongan intelektual dan golongan profesional, golongan ulama serta golongan rakyat biasa.10

Dalam perkembangannya kemudian GAM telah melalui tiga fase penting, yaitu fase pertama, 1976-1989, GAM merupakan organisasi kecil yang anggotanya di dominasi dari kaum terpelajar dan GAM menjadi gerakan bawah tanah. Fase kedua, 1989-1998, fase ini lebih di kenal oleh rakyat Aceh sebagai era Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) Operasi ini kemudian memuluskan jalan bagi operasi bersenjata di Aceh. Fase ketiga , pasca 1998, dalam fase ini, pemerintah pusat masih tetap menggunakan kekerasan, negara dalam menghadapi GAM maupun rakyat Aceh yang di dalam dirinya sudah mulai tumbuh semangat nasionalisme keAcehan.11

Dari operasi inilah kemudian muncul berbagai pelanggaran HAM berat dan menyisakan rasa sakit yang mendalam di negeri yang tidak pernah menuai rasa aman

       10

Golongan intelektual adalah semua orang yang kegiatannya pada intinya bukanlah mengejar tujuan-tujuan yang praktis, akan tetapi yang mencari kegembiraan dalam mengolah seni atau ilmu atau renungan. Sedangkan Profesional alah kaum intelektual yang masuk kedalam dunia praktis. Lihat Julien Benda, Pengkhianatan Kaum Intelektual, (Jakarta: Gramedia, 1997), h. 25-26.

11

Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik, (Jakarta : Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2008), h. 64.


(18)

itu. Dalam bidang politik, kebijakan pemerintah yang sentralistik tampak dalam penentuan gubernur atau bupati. Strategi ini diterapkan oleh pemerintah pusat untuk menjamin agar pemerintah Aceh, khususnya gubernur berada langsung di bawah kendali pusat. Kebijakan sentralistik yang tidak memperdulikan kultur lokal sangat di rasakan dalam pemberlakuan UU No.5/1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan daerah dan UU No. 5/1979 tentang pokok-pokok Pemerintahan Desa. Dengan kedua Undang-undang tersebut, kekhasan sosio-kultural Aceh tereliminasi dan Pemberlakuan Undang-undang tersebut telah menyebabkan rusaknya struktur pemerintahan tradisional dan sistem budaya Aceh. Pemberlakuan Undang-undang tersebut merekayasa lahirnya elit baru yaitu elit birokratis yang ternyata tidak berakar dalam masyarakat.12

Kondisi Aceh pada saat itu sangat dilematis yang di sebabkan oleh kompetisi yang memilukan antara GAM dan pemerintahan pusat. Posisi dilematis ini menunjukan dengan didudukannya posisi rakyat pada dua posisi yang harus di bayar mahal oleh rakyat. Disatu sisi rakyat harus membantu baik dari segi finansial maupun material serta fisikal kepada pihak GAM, namun disisi lain, jika rakyat berpihak kepada pemerintahan pusat, maka akan di jadikan sasaran pembunuhan dan penganiayaan. Oleh karena itu, di perlukan sebuah solusi yang terbaik dengan tidak mengorbankan rakyat Aceh untuk kesekian kalinya.13

       12

Tim kell, The Roots of Acehnese Rebellion 1989-1992, (New York: Cornell University Pers, 1995), h. 1.

13

Daniel Dhakidae, Akar Permasalahan dan Alternatif Proses penyelesaian Konflik Aceh Jakarta Papua, (Jakarta: YAPPIKA, 2001), h. 61.


(19)

Akibat konflik dari tahun ke tahun menyebabkan masyarakat yang beralih profesi dari petani menjadi pedagang, peternak atau penarik becak. Melihat kondisi yang seperti ini menyebabkan kekecewaan bagi masyarakat karena mereka harus beradaptasi dengan pekerjaan baru mereka. Dalam bekerja mereka selalu diawasi oleh milisi TNI yang menyebabkan warga tidak berani untuk berbicara dan ruang gerak mereka menjadi terbatas.14

Rekonsiliasi merupakan langkah alternatif yang diambil dalam menghadapi banyaknya pertikaian seperti di daerah Aceh ini. Dalam kerangka penyelesaian masalah Aceh di masa Orde Baru pemerintah pusat seringkali melakukan kebijakan militeristik yang represif, namun setelah masa reformasi pemerintah pusat mencoba menyelesaikan masalah ini dengan upaya dioalog yang membuahkan hasil pada masa Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan wakil Presiden dalam menangani konflik ini. Oleh karenanya kearifan dan kerendahan hati para pemimpin sebagaimana yang ditunjukkan oleh Muhammad Jusuf Kalla menjadi penting dan menentukan bagi terwujudnya proses perdamaian di Aceh.15

Untuk itu penulis berusaha mengkaji Konflik Vertikal di Aceh dan hanya terfokus kepada Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintahan Pusat. Dengan ini penulis mengajukannya sebagai karya ilmiah skripsi ini dengan judul “Konflik

       14

Daniel Dhakidae, Akar Permasalahan dan Alternatif Proses penyelesaian Konflik Aceh Jakarta Papua, h.62.

15

Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, (Jakarta: Kontras, 2006), h. 154.


(20)

Vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintahan Pusat di Jakarta Sejak Tahun 1976 sampai 2005”.

B. Definisi Operasional

Untuk menghindari kekacauan, perlu dijelaskan beberapa istilah kata yang sering digunakan dalam studi ini. Aceh seringkali disebut dalam ejaan lama “ATJEH”. Atjeh sebenarnya merupakan sebuah singkatan dari unsur osmosis suku bangsa yang menepati wilayahnya. Atjeh merupakan gabungan suku bangsa: “A” adalah Arab, “T” adalah Tionghoa, “J” adalah Jawa, “E” adalah Eropa, dan “H” adalah Hindustan. Namun dari segi historisnya, terutama sejak 400 SM, Atjeh sering di sebut dengan Lam Muri , oleh sejarah melayu di sebut Lambri (Lamiri), dan oleh Marco polo di sebut Lambri. Sesudah kedatangan Portugis dan Italia, mereka biasanya menyebut Lambri dengan istilah Achem (Atjeh), sementara orang Arab menyebutnya Asji, dan penulis-penulis perancis mengatakan: Achem, Ache, Achin, Acheh. Lama kelamaan sebutan itu akhirnya menjadi Acheh atau Aceh hingga sekarang.16

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Permasalahan pokok yang di bahas dalam skripsi ini, ialah konflik vertikal ntara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintahan Pusat pada masa orde baru hingga masa reformasi (1976-2005). Kajian difokuskan seperti karena bangkitnya nasionalisme etnis Aceh sebagai ekses dari kebijakan pemerintah pusat

       16

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 4.


(21)

yang sangat sentralistik terutama dalam bidang enonomi dan politik menyebabkan rakyat Aceh membentuk pemberontakan GAM dan dapat bertahan lama. Untuk itu penulis melakukan pelacakan atas peristiwa-peristiwa serta penjabaran secara komprehensif terhadap permasalahan tersebut, maka akan di pandu melalui beberapa pertanyaan berikut: Bagaimana sejarah terbentuknya Gerakan Aceh Merdeka? Bagaimana perjalanan konflik Vertikal di Aceh yang di lalui GAM? Faktor apa saja yang menyebabkan rakyat Aceh yang ingin melepaskan diri dari Indonesia? Upaya-upaya yang di lakukan untuk penyelesaian Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia dalam meraih rancangan kesepakatan damai?

Dalam penelitian ini, peneliti berupaya untuk merekonsilisasi konflik yang terjadi di wilayah Aceh. Karena kompleksnya situasi yang di hadapi oleh GAM dan Pemerintah Pusat. Cakupan studi ini di batasi hanya pada dua wilayah saja yaitu: Nanggroe Aceh Darussalam, dan Jakarta.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian

Tujuan dari skripsi ini adalah mencoba untuk menggambarkan dan menjelaskan Peran GAM dalam memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Dalam skripsi ini penulis mengambil studi Konflik Vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintahan Pusat di Jakarta dari tahun 1976-2005. Bagaimana pemerintah Pusat dan Daerah mengatur hubungan tersebut baik dalam hal politik maupun


(22)

ekonomi yang orientasinya adalah terciptanya kestabilan dan integrasi politik dan ekonomi di Indonesia. Masa yang di ambil adalah sejak tahun 1976-2005 dimana merupakan akhir dari konflik ini. Selain itu tulisan ini ditujukan sebagai tugas Akhir Akademik Strata-1 (S1) Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.

Manfaat Penelitian 1. Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan berarti bagi wahana keilmuan, terutama dalam hal deskriptif analisis atau gambaran serta menjadi tambahan referensi tentang Konflik Vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintahan Pusat di Jakarta Sejak Tahun 1976 sampai 2005. Selain itu, merupakan suatu penelitian yang hasilnya dapat dijadikan sebagai pelengkap referensi untuk studi-studi selanjutnya.

2. Manfaat praktis

Data yang didapat dari penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat, dan memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan mengenai kajian di Aceh.


(23)

E. Metode Penelitian

Adapun metode yang di gunakan dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yang dalam hal ini penulis berusaha mendeskripsikan atau menggambarkan sejarah Konflik Vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintahan Pusat serta menganalisis data serta fakta guna mendapatkan implikasi atas berbagai macam tindakan atau usaha pertahanan kelompok GAM terhadap peristiwa yang menjadi objek kajian. Metode ini dapat di gunakan karena dapat di temukan sumber-sumber yang tertulis. Walaupun terdapat hambatan di dalam mengumpulkan data dan informasi baik primer maupun skunder.

Tekhnik pengumpulan data yang penulis pilih adalah Library Research (studi kepustakaan) yaitu dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari dan menelaah buku , jurnal, majalah, serta artikel yang berkaitan dengan Konflik Vertikal di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintahan Pusat 1976-2005). Data yang telah terhimpun di analisa melalui pendekatan sosial histories, yaitu pendekatan terhadap setiap gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan suatu komunitas atau kelompok yang mencakup aspek professional dan juga struktural sehingga dengan pendekatan ini akan di hasilkan data-data yang akurat mengenai Konflik Vertikal di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintahan Pusat 1976-2005).

Tekhnik penulisan pada skripsi ini merujuk pada buku: Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan buku-buku lainnya yang berhubungan dengan metodologi penelitian. Konsekwensi logis di dalam metode penelitian sejarah, bahwa sumber tersebut di uji keaslian dan


(24)

kesahihannya melalui kritik ekstern dan kritik intern. Setelah pengujian dan analisis data di lakukan maka fakta-fakta yang di peroleh dan di sintesiskan melalui eksplanasi sejarah. Penulisan sebagai tahap akhir dari prosedur penelitian sejarah ini di usahakan dengan selalu memperhatikan aspek kronologis. Sedangkan penyajiannya berdasarkan tema-tema penting dari setiap perkembangan objek penelitian.17

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan membagi kedalam lima pokok pembahasan yang mengandung isi sebagai berikut. Bab pertama adalah Pendahuluan, yang terdiri dari enam sub bab, yaitu latar belakang masalah, definisi operasional, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab kedua adalah, sejarah Gerakan Aceh Merdeka yang terdiri dari tiga sub bab, yaitu sejarah terbentuk Gerakan Aceh Merdeka, tujuan terbentuk Gerakan Aceh Merdeka, dan para pendukung Gerakan Aceh Merdeka. Bab ketiga adalah, konflik vertikal Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintahan pusat, yang terdiri dari empat sub bab, yaitu sejarah konflik vertikal di Aceh, faktor penyebab konflik vertikal di Aceh, reaksi pemerintah Indonesia terhadap Gerakan Aceh Merdeka, dan dampak konflik vertikal di Aceh terhadap kondisi sosialnya. Bab keempat adalah, rekonsiliasi konflik vertikal di Aceh, yang terdiri dari dua sub bab, yaitu upaya penyelesaian konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan

       17


(25)

pemerintahan pusat, proses perundingan Helsinki dan kesepakatan damai. Bab kelima adalah, penutup, bab ini merupakan kesimpulan dan saran mengenai semua yang telah di bahas.


(26)

BAB II

SEJARAH GERAKAN ACEH MERDEKA

A. Sejarah Terbentuk Gerakan Aceh Merdeka

Akumulasi dari berbagai permasalahan yang di hadapi oleh rakyat Aceh, sekelompok intelektual dan ulama di artikulasikan dengan membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Gerakan Aceh Merdeka pada mulanya merupakan sebuah gerakan yang tumbuh di sekitar lokasi industri, tepatnya di bukit Chokan Pidie, yang di pelopori oleh seorang intelektual Aceh yang lama tinggal di Amerika Serikat, yaitu Muhammad Hasan Tiro.18

Pada tahun 1950-an Hasan Tiro pernah bekerja pada kantor perwakilan Indonesia di perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat. Pada tahun 1954, beliau menggabungkan diri secara terang-terangan ke dalam Darul Islam atau disebut dengan DI/TII pimpinan Daud Beureueh. Beliau mengangkat dirinya sebagai duta besar DI/TII di PBB.19

Sekitar tahun 1974-1975, Hasan Tiro berada di Pidie untuk mulai mensosialisasikan idenya dan sekaligus menggalang kekuatan untuk berdirinya Gerakan Aceh Merdeka dan pada tahun 1976 Hasan Tiro semakin memantapkan

       18

Integrasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 70-71 dan Zentgraaff, Aceh, (Jakarta: Depdikbud, 1983), h. 16.

19


(27)

rencananya untuk membuat gerakan bagi kemerdekaan Aceh namun Hasan Tiro tidak lagi menempatkan ideologi Islam sebagai misi utama, akan tetapi beliau mengusung tema nasionalisme dan patriotisme Aceh. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, Hasan Tiro segera menghubungi para ulama dan intelektual lainnya untuk mendukung rencananya. Karena keterbatasan beliau mensosialisasikan rencananya terhadap para ulama dan intelektual Aceh lainnya, menyebabkan hanya sedikit para ulama dan intelektual Aceh yang dapat di tarik untuk bergabung dengan GAM.20

Pada tanggal 4 Desember 1976 tepatnya di bukit Chokan, pedalaman kecamatan Tiro, kabupaten Pidie, Hasan Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh dari Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai hari lahir GAM,21 Munculnya GAM adalah akibat kebijakan pemerintah pusat dengan ABRI/TNI sebagai penopang utama yang di anggap tidak adil terhadap rakyat Aceh dan gerakan ini dapat di pandang sebagai representasi kekecewaan dan kemarahan rakyat Aceh terhadap Indonesia pada masa Orde Baru. Pada mulanya gerakan ini lebih di kenal sebagai ASNLF (Aceh Sumatra National Liberation Front). Nama ini yang sering di gunakan dalam dokumen-dokumen resmi mereka, meskipun oleh TNI (pada waktu itu ABRI dan Pemerintah) mereka sering di sebut sebagai Gerakan Pengacau Liar (GPL).22

       20

Editor, No. 43/ Thn IV/ 13 Juli 1991.

21

Alasan Hasan Tiro memilih hari itu untuk memproklamasikan berdirinya Negara Aceh Sumatra karena ingin mengingat akan kebesaran kakeknya yaitu Teungku Chik Di Tiro yang gugur dalam pertempuran di Aleu Bhot, Tangse dalam perang Aceh-Belanda pada tanggal 3 Desember 1911. Lihat Hasan Muhammad di Tiro, The Price of Freedom the Unfinished diary of Teungku Hasan Tiro, National Liberation Front of Aceh Sumatera, 1984, h. 14.

22

ASNLF adalah singkatan dari Aceh Sumatra National Liberation Front nama GAM dalam bahasa Inggris, yang selalu digunakan di luar negri bila berhubungan dengan dunia International. Pada mulanya ASLNF menggunakan nama NLFAS (National Liberation Front of Acheh Sumatra), dan


(28)

Penggunaan nama ASNLF dan GAM ini, menurut keterangan dari Dr. Husaini Hasan tidak mengandung perbedaan, karena keduanya berintikan sama.23

Seperti yang sudah di jelaskan pada bab sebelumnya bahwa Hasan Tiro melalui ASLNF sejak awal sudah secara tegas menyatakan ingin mendirikan negara terpisah dari Republik Indonesia, berbeda dengan peristiwa DI/TII Daud Beureueh di masa 1953-1963 yang ingin bentuk negaranya adalah Islam, tetapi koridornya tetap Indonesia.24

Dalam doktrin pendirian GAM memiliki ideologi kemerdekaan nasional, yaitu: bertujuan membebaskan kontrol politik asing dari pemerintahan Indonesia. GAM merupakan pemberontakan orang Aceh jilid ke-dua yang memandang bahwa tergabungnya Aceh dalam NKRI merupakan tindakan ilegal25. Sesungguhnya faktor yang melatar belakangi mereka bergerak adalah karena posisi mereka terancam, baik dalam sektor ekonomi maupun politik, sebagai akibat kebijakan yang sentralistik pemerintah Republik Indonesia. Faktor pemicu utama adalah kelahiran birokrat dari Jawa yang menyingkirkan elit Aceh.26

      

sekarang berubah menjadi ASNLF yang lebih sering di gunakan. Lihat Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, (Jakarta : LIPI, 2003), h. 34.

23

Dr. Husaini Hasan adalah seorang Mentri Pendidikan (Minister of Education) dalam Kabinet Negara Aceh. Lihat Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 41.

24

Ibid, h. 35.

25

Mohammad Soleh Isre, ed., Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Departemen Agama RI Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2003), h. 104.

26

Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 142.


(29)

Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan, 4 Desember 1976, Hasan Tiro mengumumkan deklarasi GAM yang di tulis dalam Bahasa Inggris, atas keinginan Hasan Tiro sebagai pemimpin deklarasi, ditetapkan tanggal 4 Desember 1976, mundur sebagai hari lahir GAM. Adapun naskah proklamasi itu sebagai berikut :

DECLARATION OF INDEPENDENCE OF ACEH-SUMATRA Aceh, Sumatera, December 4, 1976

We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our rihgt of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the forign regime of Jakarta and the alien people of island of Java.

Our fatherland, Acheh, Sumatera, had always been a free an independent sovereign State since the world begun. Holand was the first forign power to at attempt to colonize us when it declared war against the soverign state of Aceh, on March 26 1873, and on the same day invaded our territory,aided by Javanece mercenaries. The aftermath of this invasion was duly recorded on the front pages of contemporary news papers all over the world. The London, TIMES on April, 1873, wrote: "A remarkable incident in modern colonial history is reported from East Indian Archipelago. A considerable force of Europeans has been defeated and held in check by the army of native state...the State of Acheh. The Achehnese have gained a decisive victory. Their enemy is not only defeated, but compelled to withdraw. "THE NEW YORK TIMES”, on May 6th 1873, wrote: "A sanguinary battle has taken place in Aceh, a native Kingdom occupying the Northern portion of the island of Sumatra. The Dutch delivered a general assault and now we have details of the result. The attack was repulsed with great slaughter. The Dutch general was killed, and his army put to disastrous flight. It appears, indeed, to have been literally decimated." This event had attracted powerful world-wide attention. President Ulysses S.Grant of the United States issued his famous Proclamation of impartial Neutrality in this war between Holland and Acheh.


(30)

On Christmas day, 1873, the Dutch invaded Acheh for the second time, and thus begun what HARPER'S MAGAZINE had called "A Hundred Years War of Today", one of the bloodiest, and longest colonial war in human history, during which one-half of our people had laid down their lives defending our sovereign State. It was being fought right up to the beginning of world war II. Eight immediate forefathers of the signer of this Declaration died in the battlefields of that long war, defending our sovereign nation, all as successive rulers and supreme commanders of the forces of the sovereign and independent State of Acheh, Sumatra.

However, when, after World War II, the Dutch East Indies was supposed to have been liquidate, an empire is not liquidated if its territorial integrity is preserved, our fatherland, Acheh, Sumatra, was not returned to us. Instead, our fatherland was turned over by the Dutch to the Javanese their ex-mercenaries, by hasty flat of former colonial powers. The Javanese are alien and foreign people to us Achehnese Sumatrans. We have no historic, political, cultural, economic or geographic relationship with them. When the fruits of Dutch conquests are preserved, intact, and then bequeathed, as it were, to the Javanese, the result is inevitable that a Javanese colonial empire would be established in place of that of the Dutch over our fatherland, Acheh, Sumatra. But, colonialism, either by white, Dutch, Europeans or by brown Javanese, Asians, is not acceptable to the people of Acheh, Sumatra.

This illegal transfer of sovergnty over our fatherland by the old, Dutch, collonialisme, eather by white, Dutch colonialist to the new, Javanese colonialist, was done in the most appalling political fraud of the century. The ducth colonialist was supposed to have turned over sovereignty over our fatherland to a new nation called Indonesia. But Indonesia was a fraud : a cloak to cover up Javanese coloniaisme. Sincethe world begun, there never was a people, much less a nation, in our part pf the world by that name. No such people existed in the Malay archipelago by definition of ethnology, philology, cultural anthropology, sociology, or by any other scientific findings. “ Indonesia is merely a new lebel in a totally foreign nomenclauture, which has nothing to do with our own history, language, culture, or interest, it was a new label considered useful by the Ducth to replace the despicable” Dutch East Indies”, in an attempt to unite administration of their illgotten, far-flung colonies, and the Javanese neo colonialist knew its usefulness to gaint fraudulent recognition from the unsus pecting world, ignorant of the history of the malay archipelago. If Ducth colonialisme was wrong, the Javanese colonialis which was sequarely based on it cannot be right. The most


(31)

fundamental principle of international law states : Ex injuria just non oritur ( right cannot originate from wrong)!

The Javanese, nevertherless, are attempting to perpetuate colonialism which all the western colonial powers had abandoned and all the world had comemdem. During these last thirty years the people of Acheh, Sumatera, have withnessed how our fatherland has been exploited and driven into ruines condition by Javanese neo colonialis. They have stolen our properties; they have robbed us from our livehood; they have ebused the education of our children; they have exiled pour leaders; they have people in chains of tyranny, poverty, and neglect: the life expectancy of our people is 34 years and is increasing! Whilw Acheh, Sumatera has been producing a revenue of over 15 bilion US dollars for the Javanese neo colonialist, which they used totally for the benefit of Java and Javanese.

We the people of Acheh, Sumatra, would have not quarrel with the Javanese, if they had stayed in their own country, and if they had not tried to lord it over us. From now, we intend to be the masters in our own house: the only way life is wroth living; to make our laws: as we see fit: to became sovereign in our own fatherland!

Our cause is jut! Our land is endowed by the almighty with plenty and bounty. We covet no foreign territory. We intend to be a worthy contributor to human welfare the world over. We extend the hands of friendship to all people and to all governments from the corners of the earth.

In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra.

Tengku Hasan M. di Tiro

Chairman National Liberation Front of Acheh, Sumatra, and head of state.

Aceh, Sumatra, December 4 197627

       27

Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Mewujudkan Negara Islam, (Jakarta: Madani Press, 1999), h. 143. Lihat lampiran dalam skripsi ini.


(32)

Deklarasi Kemerdekaan Aceh-Sumatra Aceh, Sumatra, 4 Desember 1976

Kepada Rakyat Dunia

Kami, rakyat Aceh Sumatra menghikmatkan hak kebulatan hati kami dan menjaga daerah kekuasaan kami yang ulung kepada tanah air kami, dengan ini menyatakan kebebasan diri kami dan kemerdekaan dari semua kendali politik dari rezim asing di Jakarta dan rakyat asing di pulau Jawa. Tanah air kami Aceh, Sumarta selalu menjadi sebuah Negara berkuasa dan bebas merdeka semenjak dunia ini dimulai. Belanda adalah kekuatan asing pertama berusaha untuk menjajah kami ketika mereka memutuskan berperang melawan Negara kekuasaan Aceh, pada tanggal 26 maret 1873.

Dan pada hari yang sama menginvasi wilayah kami di Bantu oleh prajurit-prajurit Jawa. Akibat dari invasi ini sebagaimana tercatat pada halaman terdepan surat kabar saat itu di sebuah dunia, sebuah surat kabar London Times, pada tanggal 22 April 1873 menuliskan sebuah peristiwa luar biasa pada sejarah penjajahan modern di laporkan dari kepulauan Hindia sebelah timur setelah serangan yang dahsyat dari Eropa telah di kalahkan dan di kendalikan oleh tentara pribumi Negara Aceh. Masyarakat Aceh telah memperoleh kemenangan yang meyakinkan musuh mereka bukan hanya saja di kalahkan, tetapi memaksa musuh untuk menarik kembali pasukannya. Surat kabar New York Time pada tanggal 6 Mei 1873 menuliskan “sebuah peperangan yang penuh harapan terjadi di Aceh, sebuah kerajaan pribumi yang menempati sebelah utara pulau Sumatra. Pemerintah Belanda mengirimkan seorang Jenderal penyerangan dan sekarang kita mempunyai perincian dari hasilnya. Serangan itu terpukul mundur dengan pembantaian hebat. Jendral Belanda terbunuh dan pasukannnya melarikan diri secara


(33)

mengenaskan. Hal itu sungguh-sungguh memperlihatkan kejadian tersebut menghabiskan sebagian besar tentara Belanda tersebut. “Kejadian itu telah menarik seluruh perhatian dunia. Presiden USA, Ulyysess. S Grant mengeluarkan proklamasi yang sangat terkenal akan ketidakberpihakan yang bersifat netral antara Belanda dan Aceh.

Pada hari Natal 1873, Belanda menguasai Aceh untuk kedua kalinya. Dan kemudian dimulailah apa yang di sebut oleh majalah Harpers sebagai perang seratus tahun pada hari ini, salah satu dari kejadian berdarah, dan merupakan perang penjajahan paling lama di dalam sejarah manusia. Pada waktu dimana satu setengah rakyat kami mengorbankan hidupnya untuk mempertahankan bangsa kekuasaan kami, ini yang menjadi pertarungan yang menuju mulainya perang dunia kedua. Delapan nenek moyang yang menandatangani deklarasi itu telah mati pada pertempuran yang panjang itu. Mempertahankan bangsa kekuasaan kami, semuanya sebagai raja atau penguasa berturut-turut dan panglima tertinggi pada kekuatan atas kekuasaan dan kemerdekaan Negara Aceh Sumatra.

Bagaimanapun, ketika perang dunia kedua, Hindia Belanda telah memperkirakan Aceh menjadi musnah. Sebuah kerajaan tidaklah musnah jika keutuhan wilayahnya masih terjaga, tanah air kami, Aceh Sumatra tidak di kembalikan kapada kami, malah sebaliknya tanah air kami di kembalikan kepada orang Jawa bekas pasukan mereka, dengan cara yang sama sekali tergesa-gesa oleh bentukan kekuasaan kolonial. Masyarakat Jawa adalah orang asing dan masyarakat asing bagi kami, masyarakat Aceh Sumatra. Kami tidak mempunyai sejarah politik, ekonomi, budaya, geografi yang berhubungan dengan mereka, ketika hasil dari penaklukan Belanda terpelihara, utuh dan kemudian terwarisi seperti kepada masyarakat Jawa, hasilnya adalah tidak dapat di hindari lagi bahwa sebuah kerajaan kolonial Jawa akan berdiri di atas tanah air kami, Aceh Sumatra. Tetapi, kolonialisme


(34)

entah dari kulit putih Eropa atau kulit coklat Jawa, Asia, tidak dapat diterima oleh rakyat Aceh Sumatra.

Penyerah terimaan yang ilegal (tidak sah) pada kekuasaan di atas tanah air kami, oleh yang tua, Belanda, si kolonialis, kepada yang baru si kolonialis Jawa telah dilakukan dalam penipuan politik yang sangat menjijikan. Di abad ini kolonial Belanda mengira telah mengembalikan kekuasaan tanah air kami kepada sebuah bangsa yang baru yang di sebut Indonesia, tetapi Indonesia adalah sebuah penipuan, sebuah selubung yang menutupi kolonialisme Jawa. Semenjak dunia dimulai, tidak pernah ada masyarakat apalagi sebuah bangsa yang termasuk bagian kita di dunia dengan nama tersebut. Tidak ada orang yang hidup di kepulauan Malay yang secara definisi dari ilmu etnologi, filologi, anthropology, sosiologi, atau ilmu pengetahuan lain yang menemukannya. Indonesia adalah nama baru Belanda, pada seluruh tata nama asing yang tidak melakukan apapun kepada sejarah, bahasa, budaya, atau kepentingan lainnya yang kami miliki. Itu adalah nama baru yang di pertimbangkan dan di gunakan oleh Belanda untuk mengganti nama lama Hindia Belanda Timur. Didalam sebuah usaha untuk menyatukan pemerintahan haramnya. Koloni yang buas sekali, dan neokolonialis Jawa di ketahui ini sangat berguna untuk mendapatkan pengakuan secara curang dari dunia yang tak diduga. Tidak mengetahui sejarah dari kepulauan Malay jika kolonialisme Belanda salah, kemudian kolonialisme Jawa yang mana secara jujur berdasarkan kolonialis Belanda tidaklah bisa menjadi benar. Azas pokok internasional menyatakan : Ex injura just non oritur, yakni kebenaran tidak dapat di mulai dari kesalahan.

Jawa, meskipun begitu, berusaha mengabadikan kolonialisme yang mana semua kekuatan kolonial Barat telah di tinggalkan dan seluruh dunia mengutuknya. 30 tahun terakhir, masyarakat Aceh Sumatra menjadi sakit bagaimana tanah air kami di eksploitasi dan di kendalikan menuju kondisi hancur binasa yang di lakukan oleh kolonialis Jawa. Mereka telah mencuri


(35)

milik-milik kami. Mereka sudah merampok kami dari pencaharian kami. Mereka telah memperlakukan kasar terhadap pendidikan anak-anak kami mereka sudah menghasilkan para pemimpin kami. Mereka sudah menaruh masyarakat kami pada rantai tirani, kemiskinan, dan di sia-siakan. Harapan hidup masyarakat kami adalah tiga puluh empat tahun dan terus menurun. Bandingkan hal ini dengan standar dunia yaitu tujuh puluh tahun dan terus meningkat. Di saat Aceh, Sumatra, telah menghasilkan penghasilan di atas 15 milyar dolar US setiap tahun untuk neokolonialis Jawa dan masyarakatnya. Kami masyarakat Aceh, Sumatra tidak akan berselisih dengan orang Jawa jika mereka tinggal di daerah mereka, dan mereka tidak mencoba untuk berbuat seolah-olah mereka berkuasa atas kami. Dari keadaan di atas, kami memutuskan untuk menjadi tuan rumah kami sendiri. Satu-satunya jalan hidup yang paling berharga, membuat hukum kami sendiri. Saatnya jalan hidup yang paling berharga, membuat hukum kami sendiri. Sebagai keputusan kami untuk menjadi penjamin atas kebebasan dan kemerdekaan diri kami. Sebagaimana kami sanggup untuk menjadi setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia sebagai mana nenek moyang kami selalu lakukan. Dan waktu dekat, untuk menjadi penguasa di atas tanah air kami.

Semua ini di karenakan tanah kami adalah berkah dari yang maha kuasa yang berlimpah dan dirahmati. Kami tidak menginginkan wilayah kekuasaan asing, kami bertujuan menjadi kontributor yang berharga untuk kesejahteran manusia di dunia. Kami menawarkan persahabatan kepada semua masyarakat dan kepada semua pemerintahan dari semua penjuru dunia.


(36)

Atas nama kekuasaan orang Aceh-Sumatra Teuku Hasan M Tiro

Pemimpin Front National Kebebasan Aceh, Sumatra Aceh, Sumarta, 4 Desember 1976.28

Seperti yang sudah di jelaskan dalam teks proklamasi di atas, bahwa gagasan nasionalisme Aceh tertuang dalam teks proklamasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang mengangkat karakter khas Aceh yang dimilikinya untuk menjadi sebuah negara tersendiri yang terpisah dan berbeda dengan Indonesia.29

Terdapat dua hal yang di tegaskan oleh Hasan Tiro dari naskah proklamasi, yang pertama mengenai bangsa Aceh sampai Sumatra. Kedua mengenai daerah yang menjadi kekuasaan bangsa Aceh sampai Sumatra yang hanya bersifat pengumuman dan tidak mencantumkan secara detail tentang ideologi negara.30

Naskah ini menuai reaksi keras dari sebagian tokoh Gerakan Aceh Merdeka karena pada pembukaan dan akhir naskah proklamasi tidak di sertai ucapan Bismillah dan di akhiri dengan Takbir. Namun reaksi ini di tanggapi dingin oleh Hasan Tiro

       28

Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Mewujudkan Negara Islam, (Jakarta: Madani Press, 1999), h. 146. Lihat juga lampiran dalam skripsi ini.

29

Hasan Tiro, Demokrasi Untuk Indonesia, (Jakarta: Teplok Press, 1999), h. 42.

30

Neta S Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, Sousi, Harapan, dan Impian, (Jakarta: Grassindo, 2001), h. 35.


(37)

tanpa kemudian berinisiatif mengubah naskah tersebut yang dinilai tidak mencerminkan nilai keIslaman.31

Berbeda dengan proklamasi yang banyak di lakukan oleh kebanyakan kelompok untuk menyatakan sebuah sikap tertentu, yang di lakukan di depan umum dan menggunakan berbagai sarana komunikasi agar di ketahui oleh seluruh lapisan masyarakat, proklamasi GAM di lakukan secara diam-diam. Hal ini memang sengaja di lakukan karena ketidaksiapan pihak GAM untuk langsung berhadapan dengan pihak penguasa, baik lokal maupun pusat. Rencana awal gerakan ini bergerak secara diam-diam akhirnya berubah total, menjadi bergerak secara terang-terangan karena Rencana tersebut di ketahui oleh pemerintah sehubungan dengan sebuah peristiwa yang terbilang kecil oleh pihak pemerintah yang luas bagi GAM.32

Naskah proklamasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setidaknya menjadi pijakan utama menilai gagasan ideologi dan orientasi GAM. Dalam naskah tersebut tidak terdapat penegasan bahwa ideologi Islam menjadi pilihan masyarakat Aceh. Untuk keberlangsungan gerakan pelawanan dalam mengatasi masalah-masalah mendesak, setelah empat hari di proklamasikannya GAM maka di susunlah kabinet Negara Aceh Sumatra, Akan tetapi kabinet tersebut belum berfungsi hingga pertengahan 1977, persoalannya adalah karena para anggota kabinet pada umumnya

       31

Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, h. 146.

32


(38)

masih berbaur dengan masyarakat luas untuk kampanye dan persiapan perang gerilya.33

Kabinet Negara Aceh Sumatera baru dapat melaksanakan sidang pertamanya pada 15 Agustus 1977. Sedangkan upacara pelantikan dan pengumpulan anggota kabinet dilaksanakan pada 30 Oktober 1977 di camp Lhok Nilam pedalaman Tiro, Pidie dan kabinetnya sendiri pada waktu itu, hanyalah terdiri dari beberapa orang saja.34 Di bawah ini adalah susunan awal kabinet Negara Aceh Sumatra:

Kabinet Neugara Atjeh

Wali Neugara : DR. Teungku Hasan Di Tiro, LL.D

(Head of State)

Meuntroe Pertahanan : DR. Teungku Hasan Di Tiro, LL.D (Minister of Defence)

Meuntroe Luwa Nanggroe : DR. Teungku Hasan Di Tiro, LL.D (Minister of Foreign Affair)

Waki Meuntroe Luwa Nanggroe : DR. Mukhtar J. Hasbi, HD. DTMH (Deputy Minister of Foreign Affair)

Meuntroe Dalam Nanggroe : DR. Mukhtar J. Hasbi, HD. DTMH

       33

Ibid, h.147.

34

Asvi Warman Adam, “Konflik dan Penyelesaian Aceh: Dari Masa ke Masa” Aceh Baru: Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi, ed. M. Hamdan Basyar (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008), h. 1-23.


(39)

(Minister of Internal Affair)

Meuntroe Keuadilan : Teungku Hadji Ilyas Leubee (Minister of Justice)

Meuntroe Peundidikan : DR. Hasaini M. Hasan, MD (Minister of Education)

Meuntroe Kesehatan : DR. Zaini Abdullah, MD (Minister of Health)

Meuntroe Sosial : DR. Zubair Mahmud, MD

(Minister of Social Affair)

Meuntroe Pembangunan dan Buet Umum : Ir. Teungku Asnawi Ali, Dipl. Ingg (Minister of Development on Public Work)

Meuntroe Keuangan : Teungku Muhammad Usman (Minister of Finance)

Meuntroe Perhubungan : Mr. Amir Ishak (Minister of Communication)

Meuntroe Perdagangan : Mr. AR. Mahmud Minister of Trade

Meuntroe Neugara, Waki di PBB : Mr. AR. Mahmud (Minister of State, Respresentative at The United Nations35)

       35

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, (Jakarta : LIPI, 2003), h. 41.


(40)

Jumlah pengikut awal yang terlibat langsung dalam pemberontakan tersebut berjumlah kurang lebih dua ratus orang, yang mayoritas berasal dari Kabupaten Pidie tempat kelahiran Hasan Tiro. Sehingga tidak heran jika dalam keanggotaan GAM tersebut banyak terdapat hubungan keluarga. Setidaknya ada dua hal yang menjadi sebab bagi seseorang menjadi anggota atau membantu GAM, pertama adalah rasa kecewa terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang ada di Aceh. Kedua adalah karena tekanan-tekanan yang di berikan oleh para pemberontak.36

Sejalan dengan perjalanan waktu, GAM yang semula berbasis di Aceh Pidie kemudian meluas ke daerah Aceh Utara dan Aceh Timur dengan menggunakan pamflet-pamflet. Isi dari pamflet-pamflet tersebut adalah ringkasan Hasan Tiro tentang Aceh yang telah tersebar dalam bentuk buku ataupun buletin. Di kedua daerah tersebut GAM menemukan momentumnya untuk melakukan sebuah gerakan terencana sejalan dengan munculnya berbagai ketimpangan sosial ekonomi terutama antara penduduk setempat dengan pendatang.37

Selama GAM berdiri, telah berhasil merekrut banyak pemuda Aceh menjadi Anggota, bahkan GAM disinyalir telah mampu mempengaruhi gerakan mahasiswa. Selain itu GAM berhasil membentuk beberapa LSM yang turut mendukung

       36

Nazaruddin Syamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia. h.72.

37

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, (Jakarta : LIPI, 2003), h. 42.


(41)

pemisahan Aceh dari Indonesia, salah satunya adalah SIRA (Sentra Informasi Referendum Aceh).38

Perjuangan GAM sama halnya dengan SIRA, yang menanamkan visi kepada masyarakat agar setia dan berbagai lapisan sosial termotivasi berperan aktif dalam melakukan tindakan revolusioner. Perjuangan mereka mengangkat aspek historis dari kesenjangan sosial, ekonomi, dan ketidakstabilan yang di gunakan untuk melegitimasi gerakan yang dilakukan, di samping menimbulkan efek psikologis pada masyarakat untuk memberi dukungan terhadap perjuangan mereka. Karena Aceh tidak dapatkan imbalan seperti apa yang mereka inginkan dari pemerintahan pusat, maka perpecahanpun tidak dapat di hindari. Ada tiga startegi GAM dalam membangun kekuatan organisasinya. Pertama, memanfaatkan sikap represif pemerintah terhadap situasi Aceh. Kedua, melalui pembangunan jalur internasional. Dan yang ketiga, memanfaatkan perasaan takut dan khawatir para investor lokal maupun asing yang berdiam di Aceh.39

Bila hanya dilihat dari sisi pribadi Hasan Tiro, maka akan di temukan bahwa beliau melancarkan GAM setidaknya oleh tiga hal:

       38

Syamsul Hadi, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, h. 55.

39

Syarifuddin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, (Jakarta: Cidencindo Pustaka, 2000), h. 70.


(42)

1. Keinginan untuk menunjukan eksistensi diri sebagai seorang yang menyandang gelar Tiro untuk menoreh namanya dalam sejarah seperti yang dilakukan oleh nenek moyangnya.

2. Karena ambisinya untuk menjadi pemimpin Aceh.

3. Karena rasa simpatinya melihat penderitaan rakyat Aceh. Selain karena alasan pribadi Hasan Tiro ada sebagian pihak yang menyebutkan bahwa GAM periode pertama disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini. Pertama, akibat penyelesaian masalah Darul Islam yang tidak tuntas. Kedua, akibat kekecewaan politik atas marginalisasi masyarakat Aceh dalam proses pembangunan di daerah industri minyak dan gas bumi di mana rakyat Aceh tidak di ikut sertakan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada mulanya persoalannya adalah masalahnya ekonomi dan politik, terutama perebutan sumber daya lokal. Namun, setelah itu baru persoalan ini digiring ke ideologi sehingga muncullah gerakan etnoregional dalam bentuk Gerakan Aceh Merdeka.40

B. Tujuan Terbentuk Gerakan Aceh Merdeka

Jika di lihat yang terdapat dalam situs resminya tujuan GAM adalah untuk menjamin keberlangsungan Aceh sebagai sebuah bangsa, termasuk keberlangsungan dalam bidang politik, sosial, budaya dan warisan agama. Jika mengacu pada teks proklamasi Aceh Merdeka, baik berbahasa Inggris maupun berbahasa Aceh yang

       40

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 48.


(43)

sudah di artikan ke dalam bahasa Indonesia yang berhasil di peroleh, cukup jelas menyatakan bahwa tujuan dari gerakan tersebut adalah untuk memerdekakan Aceh dari penjajahan bangsa Jawa.41

Merdeka disini mengandung dua makna, bagi para tokoh ulama GAM dan para pendukung aktif GAM, merdeka diartikan berdirinya Aceh sebagai sebuah negara yang terpisah dari pemerintah Indonesia. Sementara itu, bagi masyarakat desa yang menjadi pendukung GAM, bahwa bangsa Jawa di anggap sebagai penjajah karena di anggap telah mengambil hak mereka, baik hak ekonomi, politik, maupun sosial. Mereka ingin mengusir Jawa karena menganggap tidak di perlukan secara adil di tanahnya sendiri.42

Kemudian bila kita menelaah strukur organisasi pemerintah dan wilayah yang di klaim oleh GAM sebagai wilayah dari negara Aceh Sumatra, tampaknya GAM juga bertujuan untuk mengembalikan struktur lama yang pernah ada sebelumnya dan GAM ingin mempertahankan hak rakyat Aceh yang ingin di perlakukan secara Adil. Proklamasi yang mereka lakukan merupakan pernyataan ulang keberadaan Aceh sebagai bangsa dan negara. Dasar sandaran mereka adalah bahwa negara Aceh Sumatra yang mereka bangun merupakan kelanjutan dari negara yang pernah ada dulu. Ini memperlihatkan bahwa gerakan tersebut merupakan reactive collective

       41

Kristen E. Schulze, The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of A Separatist Organizations, (East West Center: Wasington,2004), h. 1.

42


(44)

action, karena ingin mengembalikan tatanan lama yang sudah pernah ada sebelumnya.43

C. Para Pendukung Gerakan Aceh Merdeka

Gerakan Aceh Merdeka ini setidaknya di dukung oleh tiga kelompok masyarakat Aceh, yaitu golongan intelektual dan golongan profesional, golongan ulama serta golongan rakyat biasa. Kelompok yang pertama merupakan pendukung utama dari gerakan ini, mereka memberontak karena sadar akan perlakuan yang tidak wajar terhadap Aceh dan menuntut keadilan. Menurut kelompok ini Aceh telah di rugikan dalam pembagian porsi keuntungan ekonomi oleh pemerintah pusat, golongan ini umumnya merupakan hasil dari pendidikan sekuler tahun 1960-an.44

Kaum intelektual dan profesional yang bergabung dengan GAM merupakan kelompok yang tidak berhasil di kooptasi oleh pemerintah Orde Baru untuk masuk ke dalam sistem pemerintah atau di jinakan oleh pemerintah untuk menjadi tekhnokrat kelompok ini terkonsentrasi di area kampus dan kota-kota besar di Aceh. Mereka mendukung GAM karena kecewa melihat keadaan Aceh, sehingga membangkitkan semangat nasionalisme mereka.45

       43

Ibid

44

Julien Benda, Pengkhianatan Kaum Intelektual, (Jakarta: Gramedia, 1997), h. 25.

45


(45)

Sementara kelompok ulama mendukung GAM karena di motivasi oleh tujuan yang bersifat religius, yaitu ingin mendirikan negara Islam Aceh. Mereka sebenarnya telah terlibat dalam pemberontakan DI/TII dan pada masa akhir Orde Lama telah duduk pada posisi-posisi strategis di Aceh. Kelompok ini merasa di tipu mentah-mentah oleh pemerintahan pusat karena status otonomi yang di berikan kepada Aceh tidak pernah bermakna.46

Padahal sesungguhnya pemberian status otonomi yang di berikan kepada Aceh tidak pernah bermakna dan sesungguhnya pemberian status sebagai daerah istimewa dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan adat sebagai solusi atau kopensasi agar mereka menghentikan perlawanan senjata pada tahun 1950-an berat untuk mereka terima, karena tujuan mereka ingin agar Indonesia menjadi negara Islam Indonesia menjadi negara Islam di mana Aceh menjadi negara bagiannya. Namun akhirnya pada waktu itu mereka menerima penyelesaian secara kompromi demi kebaikan dan keselamatan Aceh, maka dapat di bayangkan betapa kecewanya mereka mendapati bahwa ternyata janji itu pun di langgar oleh pemerintah.47

Kelompok pendukung yang ketiga adalah rakyat kebanyakan. Mereka adalah rakyat yang tinggal di perkampungan di sekitar “markas” para pemberontak yang tersebar di kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur dan mereka biasanya di rekrut oleh tokoh-tokoh GAM pada waktu melakukan ceramah/penerangan di

       46

Daniel Dhakidae, Akar Permasalahan dan Alternatif Proses penyelesaian Konflik Aceh Jakarta Papua, h. 59.

47


(46)

kampung-kampung. Dukungan yang di berikan biasanya berupa logistik, menyembunyikan para anggota GAM dan memberikan informasi tentang gerakan musuh, dan mereka memang bukan pendukung aktif karena mereka mengikuti tokoh-tokoh utama GAM bergerilya, namun peranannya cukup penting yaitu sebagai basis GAM dalam bergerilya.48

Dari tiga pendukung GAM tersebut jika di tela’ah secara umum, direkrut melalui jalur keluarga, persahabatan dan Masyarakat. Tak jarang mereka termotivasi untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan GAM bukan karena mereka yakin akan kebenaran GAM tetapi lebih di sebabkan karena ingin membantu keluarga dan sahabat. Selain kelompok tersebut masih ada kelompok yang berperan dalam konflik di Aceh yaitu kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik yang berada di Aceh, Jakarta maupun yang berasal dari luar negri.49

Dari beberapa kalangan dan tokoh masyarakat Aceh menilai munculnya berbagai LSM di Aceh hanya memperkeruh situasi, dan tidak akan menyelesaikan masalah menurut mereka. Demikian pula di Jakarta telah tumbuh berbagai kegiatan dan gerakan yang peduli terhadap penderitaan yang di alami masyarakat Aceh. Salah satu organisasi yang berusaha bersikap kritis terhadap upaya penyelesaian masalah Aceh adalah Forum Kepedulian Aceh (FORKA). penderitaan yang dialami masyarakat. Selain itu, ada pula organisasi Taman Iskandar Muda (TIM) yang

       48

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 75.

49

Riza Sihbudi, dkk., Bara dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, h. 63.


(47)

merupakan wadah masyarakat Aceh di Jakarta yang juga telah melakukan berbagai kegiatan, termasuk mengunjungi beberapa pejabat pemerintah yang di anggap mempunyai kepedulian terhadap Aceh.50

Selain itu ada pula LSM yang berdomisili di New York, Amerika Serikat yang bernama International For Aceh (IFA). Kelompok ini di pimpin oleh seorang putra Aceh yang bernama M. Jaffar Siddik. IFA merupakan sebuah LSM yang secara aktif mensosialisasikan pentingnya masalah Aceh agar di selesaikan melalui dunia internasional. Solusi yang di tawarkan oleh IFA dalam penyelesaian masalah Aceh adalah tidak jauh berbeda dengan SIRA dan GAM, yaitu merdeka.51

LSM yang berskala internasional yang sangat perhatian terhadap masalah Aceh adalah International Crisis Group Indonesia (ICGI) di bawah pimpinan Sidney Jones. ICGI secara aktif menghimbau agar menghentikan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di Aceh, karena semua itu tidak akan dapat menyelesaikan masalah Aceh secara tuntas dan damai. Sidney Jones, direktur ICGI, dalam berbagai kesempatan selalu melakukan mengemukakan pendapatnya bahwa seyogyanya pemerintah menyadari kesalahannya di masa lalu dimana pemberlaku DOM ternyata tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah Aceh. ICGI juga banyak melakukan kolaborasi

       50

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 99.

51

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 99.


(48)

dengan beberapa tokoh LSM Aceh di Jakarta yang saat ini tidak berani pulang ke Aceh.52

Sementara itu, dalam konflik yang yang terjadi di Aceh, peran ulama atau organisasi keagamaan di bawahnya, belum cukup kelihatan. Ada dugaan bahwa ulama dan intelektual di Aceh juga terlibat dalam konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung karena keberadaan ulama dayah di Aceh memang belum begitu kelihatan peranannya untuk menyelesaikan konflik antara GAM dengan pemerintahan pusat.53

       52

Ibid, h. 100.

53


(49)

BAB III

KONFLIK VERTIKAL GERAKAN ACEH MERDEKA DENGAN PEMERINTAH PUSAT

A. Sejarah Konflik Vertikal di Aceh

Konflik yang terjadi di Aceh mempunyai akar sejarah yang panjang. Akar konflik tersebut berkaitan erat dengan relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh. Dari segi his toris, akar permasalahan konflik Aceh mengarah pada kekecewaan rakyat Aceh terhadap Republik Indonesia, dalam hal kesenjangan persamaan, keadilan, penegakan hukum, dan kepemimpinan nasional, konflik ini timbul terutama karena ada rasa ketidakadilan.54

Peristiwa ini di anggap sebagai bentuk diskriminasi sehingga terjadi kecemburuan sosial yang sangat mendalam bagi rakyat Aceh yang menyebabkan terjadinya perubahan serta gejolak sosial yang sangat meluas. Selain masalah kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik di Aceh juga muncul akibat peminggiran identitas kultural masyarakat Aceh.55

Sebagai sebuah komunitas Aceh telah punya konsep yang mapan tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa kerajaan Samudera Pasai. Identifikasi kultural masyarakat Aceh yang dilekatkan pada agama

       54

Kompas, 26 Agustus 2003.

55


(50)

Islam ini kemudian mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam. Selanjutnya, konflik Aceh juga terlihat mewakili proses dan pembentukan nasionalisme Indonesia yang belum selesai.56

Sejarah Aceh merupakan contoh dari kenyataan pahit yang mengetahui dekade-dekade awal Republik Indonesia hingga orde baru dan ketika subtansi sebenarnya harus di berikan kepada struktur negara baru ini. Ketika hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah harus di beri definisi dan ketika aturan main dalam bidang politik dan agama negri ini yang tidak dapat di elakkan, karena pada masa Orde Baru, Pemerintah Pusat menganggap GAM adalah warga yang mengganggu stabilitas keamanan nasional.57

Hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah pusat menjadi sebab dari rentetan konflik di Aceh. Mulai dari Presiden Soekarno Hingga Soeharto, tidak pernah sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi rakyat Aceh. Kekecewaan yang mengakibatkan ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah itu akhirnya membuahkan perlawanan yang terkordinir dan mengakibatkan lahirnya gerakan perlawanan, maka munculah GAM.58

       56

Rusdji Ali Muhammad; editor: Hasan Basri, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Jakarta: Logos, 2003), h. xxiii

57

Dewi Fortuna Anwar, dkk., ed., Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 223.

58


(51)

Mengenai hal ini seperti yang dilukiskan oleh Nazaruddin Syamsuddin yang mencatat tujuh tahap perkembangan peradaban Aceh yang mengarah pada “Penghancuran Kebudayaan”. Setelah merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI yang di jalani secara monumental oleh masyarakat Aceh tahun 1945, kemudian disusul oleh Perang Cumbok tahun 1946 tatkala konflik fisik dan revolusi sosial berlangsung antara kaum Uleebalang (bangsawan) dan ulama. Disusul kemudian dengan peristiwa DI/TII sejak tahun 1953 sampai tahun 1963. Kemudian terjadi PKI dalam Gerakan 30 September 1965, Demikianlah tahap pertama.59 Tiga tahap selanjutnya justru terjadi pada masa Orde Baru mengenai hal ini:

“Penghancuran peradaban Aceh berlangsung secara bertubi-tubi dalam dua puluh tahun terakhir ini dan dengan dampak pelanggaran hak asasi manusia dalam skala yang luar biasa. Hal ini di awali oleh lahirnya GAM yang membawa akibat terjadinya penghancuran peradaban yang ketujuh. Ini diikuti oleh penghancuran peradaban yang kedelapan yang dipicu oleh pemberlakuan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM), yakni sebagai tanggapan keras pemerintah pusat atas aksi GAM. Masih dalam rangkaian ini terjadi proses penghancuran peradaban yang kesembilan, yaitu setelah berakhirnya pemberlakuan DOM. Proses yang terakhir ini antara lain di tandai oleh terjadinya pembunuhan-pembunuhan terhadap kaum intelektual, politisi dan para ulama Aceh.”60

Keterlibatan dunia internasional juga dapat di lihat ketika beberapa pihak dan negara lain di tuding terlibat dengan aktivitas GAM. Seperti negara Malaysia dan Singapura menjadi tempat pelarian bagi para pemimpin GAM, dan Kamboja di sinyalir sebagai negara penyuplai senjata bagi GAM. Tumbuhnya GAM dalam

       59

Rusdji Ali Muhammad; editor: Hasab Basri, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Jakarta: Logos, 2003), h. xi.

60


(52)

konflik di Aceh tidak lahir dalam konteks yang kosong, akan tetapi ada konteks sosial dan politik yang memicunya. Membesarnya GAM sebagai faktor utama konflik di Aceh, salah satu penyebabnya adalah cara penanganan di masa 1976 yang tidak pernah tuntas dan kesalahan penanganan di masa DOM yang telah menimbulkan dendam kesumat yang sulit diukur dan tidak berujung.61

Dalam perkembangannya kemudian GAM telah melalui tiga fase penting, yaitu fase pertama, 1976-1989, GAM merupakan organisasi kecil yang anggotanya di dominasi dari kaum terpelajar, operasi yang dilakukan untuk melawan GAM adalah didominasi oleh TNI-AD di bawah Kodam I/Bukit Barisan. Mereka yang di jadikan sebagai objek kejahatan kemanusiaan oleh negara, yakni mereka yang menyatakan dirinya sebagai pendukung GAM, dan pada akhir tahun 1979 pemerintah Indonesia berhasil menumpas gerakan ini. Sehingga, GAM menjadi gerakan bawah tanah.62

Meskipun, bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan itu polanya tetap sepanjang aksi kekerasan negara terus di langsungkan. Pada fase ini, operasi militer masih belum mendekontruksi kesadaran berbangsa orang Aceh, namun mulai menciptakan embrio gerakan yang lebih radikal dan matang. Sehingga Pada kurun waktu 1976 sampai dengan 1989 untuk mendukung kampanye anti pemberontakan, tentara Indonesia melakukan pengejaran dan serangan bersenjata serta pencarian (sweeping)

       61

Syamsul Hadi, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, h. 77.

62

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 24.


(53)

dari rumah ke rumah terhadap anggota Gerakan Aceh Merdeka, di daerah yang diduga sebagai basis GAM.63

Fase Kedua, 1989-1998. Fase yang lebih di kenal oleh rakyat Aceh sebagai era Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM), dimulai ketika pada tahun 1989 kaum gerilyawan GAM yang telah melalui pendidikan militer di Libya sejak tahun 1986 kemudian muncul kembali di Aceh dan di susul pula oleh konsolidasi struktur komando GAM di Aceh. Pemerintah Indonesia pada tahun 1990-an kemudian juga mengambil kebijakan yang sangat militeristik dengan menggelar operasi Jaring Merah dan memberikan status Daerah Operasi Militer (DOM).64

Pada masa DOM , pasukan yang di tugaskan ke wilayah Aceh yang bergolak adalah pasukan satuan organik sebanyak 12 kompi dari pangdam Bukit Barisan yang di bantu oleh satgas Inteligen (Kopassus). Pasukan yang di kirim untuk mengamankan wilayah yang bergolak tersebut, dalam perkembangannya mengalami penyimpangan dari apa yang seharusnya mereka lakukan dan pemberlakuan Daerah Operasi Militer untuk mengatasi GAM yang telah menelan banyak korban dan di warnai dengan banyak tindak kekerasan terhadap rakyat Aceh karena dalam menjalankan operasinya di Aceh. ternyata pasukan TNI bukan berusaha mencari simpati hati rakyat Aceh, sebaliknya mereka mempertontonkan berbagai arogansinya

       63

Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik, h. 63.

64

Kristen E. Schulze, The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of A Separatist Organizations, h. 4.


(54)

yang sangat menyakiti hati rakyat Aceh, seperti pengusiran penduduk dari desanya, pemukulan, pembunuhan hingga pemerkosaan.65

Salah satunya yaitu Petrus (pembunuhan misterius), merupakan salah satu modus kejahatan kemanusiaan negara yang sangat terkenal pada masa Orde Baru, metode petrus ini merupakan salah satu bentuk operasi militer TNI di Aceh pada masa awal DOM yang di kenal sebagai shock theraphy yang ditujukan untuk menciptakan rasa takut pada masyarakat dan menarik dukungan mereka terhadap GAM.66

Tiga wilayah yang bergolak, yaitu Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur yang merupakan wilayah yang paling menderita akibat kekerasan militer dan pelanggaran HAM. Kekerasan oleh TNI/ ABRI ini semakin memperumit permasalahan dan memicu kemarahan rakyat Aceh, ketidakmampuan aparat keamanan untuk membedakan antara rakyat biasa, GPK, dan GAM dan tindakan yang sewenang-wenang, tanpa memperhatikan prosedur hukum dan perundang-undangan menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat Aceh.67

       65

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 25.

66

Metode Shock Therapy ini bukanlah hal baru dilakukan oleh pemerintah Soeharto, sepanjang tahun 1983-1985 tercatat di 10 propinsi di Indonesia terjadi Penembakan Misterius (Petrus) terhadap para preman, dan residivis yang mengakibatkan jatuhnya korban tidak kurang dari 700 orang lebih. Tindakan di akui oleh Soeharto dalam buku Rhamadhan K.H., Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, cet.1, (Jakarta, 1989).

67

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 26.


(55)

Pada periode DOM memang betul-betul merupakan pengalaman paling buruk yang dialami oleh rakyat Aceh, mereka mengalami tindak kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh militer.68 Selama Aceh di jadikan Daerah Operasi Militer, ada dua pos satuan taktis yang paling terkenal sebagai tempat penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan kuburan massal, yaitu Rumoh Geudong di Pidie dan Rancong di Aceh Utara.69

Akibat DOM tersebut, ribuan anak menjadi yatim piatu, banyak rumah rusak atau di bakar, banyak istri yang menjadi janda, banyak orang cacat karena penganiayaan, dan korban jiwa pun sulit untuk di perkirakan jumlah pastinya. Di perkirakan jumlahnya mencapai 3800 sampai 35.000 jiwa. DOM juga menyebabkan pula perekonomian Aceh mengalami stagnasi, sehingga kondisi kehidupan rakyat Aceh sangat memprihatinkan.70

Dalam perkembangannya, para korban baik laki-laki maupun perempuan, mereka generasi yang sudah tidak mempunyai harapan besar terhadap NKRI akibat tindak kekerasan, kemudian mereka bergabung dengan GAM. Hal ini terlihat dari adanya pasukan Srikandi yang merupakan pasukan perempuan GAM korban-korban DOM baik korban perkosaan maupun janda.71

       68

Riza Sihbudi, dkk., Bara dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, h. 39.

69

Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik, h. 15.

70

Gazali Abbas Adan, Win Win Solution dalam Musni Umar (ed), h. 4.

71

Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, (Jakarta: Kontras, 2006), h. 70.


(56)

Jumlah Kasus Selama Masa DOM di Aceh

No Jenis Kasus Jumlah

1 Tewas/ Terbunuh 1.321 Kasus

2 Hilang 1.958 Kasus

3 Penyiksaan 3.430 Kasus

4 Pemerkosaan 128 Kasus

5 Pembakaran 597 Kasus

Sumber: Forum Peduli HAM Aceh, 1999

Rakyat Aceh yang tidak lagi percaya kepada pemerintahan pusat, karena adanya upaya untuk menyelesaikan persoalan Aceh secara sungguh-sungguh dan banyak yang lebih berpihak kepada GAM. Meskipun pada tahun 1991 Pemerintah telah berhasil menekan gerakan separatis ini, namun puncak kepemimpinan yang ada di luar negeri telah menjamin keberlangsungan gerakan ini.72

Kesalahan pemerintah dalam membuat kebijakan yang penuh dengan kekerasan pada masa DOM dan tidak di tanganinya dengan baik tuntutan rasa keadilan masyarakat Aceh terhadap HAM setelah jatuhnya pemerintahan presiden Soeharto pada tahun 1998, kemudian status DOM di Aceh di cabut pada tanggal 8

       72

Riza Sihbudi, dkk., Bara dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, h. 42.


(57)

Agustus 1998 terlebih lagi para masyarakat Aceh yang telah menjadi korban atas penerapan status operasi militer. Tentunya dengan harapan bahwa berbagai kejadian tindak kekerasan yang pernah menimpa mereka atau keluarganya tidak terulang lagi dan mereka dapat kembali menjalani hidup yang normal.73

Kebijakan pemerintah RI saat itu juga diikuti dengan penarikan sejumlah pasukan non organik dari Aceh di sertai pernyataan Panglima ABRI / Mentri Pertahanan dan Keamanan, TNI Jenderal Wiranto di Masjid Baiturrahman Lhokseumawe pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Pada saat DOM di cabut bertepatan dengan bergulirnya reformasi di Indonesia.74

Kemudian menandai fase ketiga, pasca 1998. Dalam fase ini, negara masih tetap menggunakan kekerasan, negara dalam menghadapi GAM maupun rakyat Aceh yang di dalam dirinya sudah mulai tumbuh semangat nasionalisme ke-Acehan, dimana popularitas GAM di mata rakyat Aceh meningkat, karena hampir semua keluarga di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur menderita akibat DOM dan akhirnya Status DOM di cabut. Hal ini terbukti karena bahwa selama masa DOM berlangsung, telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran di Aceh.75

Gerakan di Aceh pasca DOM di motori oleh mahasiswa dengan salah satu agendanya yaitu menuntut kemerdekaan. Tuntutan merdeka yang mereka ajukan ini

       73

Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, h. 71.

74

Ibid

75


(1)

b. The Achehnese Army should hover always in the enemy's neighborhood, ambushing him, preventing him from gaining any permanent base, becoming an illusive but powerful shadow on the horizon, diminishing the "glamor" of the Javanese colonial troops. c. Time and surprise are the two most vital elements:

understand all lines of expectations and lines of surprises. No attack without surprise!

d. Engagements must be executed at the place and at the time of our choosing, despite enemy provocations.

e. When enemy advances we retreat and harass him when he returns.

f. Engagement with the enemy should only be done when we are sure of winning, that is, of having superior force at the point of engagement.

g. Our present objectives are to cripple the enemy's

communications and economy and to destroy his foreign backers' confidence.

h. Our safety lies in the secrecy of our movement at all time and in the mobility of our forces. The enemy should never know where our forces are.

i. Our strategy is defensive; our tactic is swift offensive against the enemy whenever an opportunity presents itself. This strategy and tactics will immunize us from military defeat. (May 16, 1977)

Beginning this month we noticed that the enemy was stepping up his psychological warfare attacks against the National Liberation Front and its leaders. Public meetings were organized all over the country to denounce us. To assure the attendance at such meetings the regime ordered all its functionaries--on pain of losing their jobs if absent--to attend, and at least 10 men from every village must come.... The regime had prepared in advance thousands of posters denouncing us. These posters were made in the Javanese regime's offices for months in advance and then


(2)

forced upon the people to carry them in the parade and then the paraders are photographed with posters in hands. These photographs are for international consumption as "proof" of the people's supposed opposition against the NLFAS.... At the same time the regime engaged in all sorts of nonsensical defamation attempts against every one of the NLF leaders, to distract the people's attention from the real political and economic issues involved in this conflict between the Javanese Indonesian colonialists and the people of Acheh Sumatra. (June 7, 1977)

The whole world knows that our country has been laid bare by the Javanese colonialists at the feet of multinationals to be raped. Our mineral and forest resources have been put up to the world markets for clearance sale for quick cash for the Javanese generals and their foreign backers. (June 15, 1977)

The enemy begins to make large scale arrests of those he suspected to be members of the NLF or even sympathizers. Thousands of men and women, even children, were arrested arbitrarily and put in jails without due process of law. When all the prisons have been filled up concentration camps are

established in every place where the enemy garrisons his troops. Most of the prisoners are tortured or treated inhumanly. A regime that had seized power by murdering 2 million people in 1965 can be expected to be expert in repression.... The leadership and the active members of the NLF cannot be arrested by the Javanese because they are in the liberated territory. So the regime is taking revenge on the people at large. The result, however, was the contrary to the Javanese objectives. The people are now become convinced of the beastly and barbaric nature of the Javanese Indonesian colonialist regime. Even the Dutch had never been that brutal. (June 22, 1977)


(3)

calamitous day that has caused the temporary loss of our legitimate right to independence, because it was on that day the so-called "indonesia" was declared "independent" by the Javanese in 1945, and was approved by the Dutch on December 27, 1949. It was a joint-stock company of the old colonialism with the

neo-colonialism, a joint venture of the two to fabricate the artificial and make-believe nation of "indonesia." ...

Everything about Indonesia is absurd, The declaration of

independence of indonesia is easily the most stupid declaration of independence in the annals of all nations. It was devoid of any ideas, of any political philosophy, or of any thought

whatsoever....

If the concept of "decolonization a la indonesia" would have been applied to all other colonial territories in the world, there would have been only 7 (seven)-- instead of 51 (fifty-one) new states established in Africa after World War II, namely, one for each of the foreign colonies of Britain, France, Portugal, Belgium, Italy, Spain, and Germany....

Decolonization requires liquidation of all colonial empires with specific steps and procedures, but indonesia exists on the principle of total territorial integity of the colonial empire; and an empire is not liquidated if its territorial integrity is preserved. Thus indonesia is still an un-liquidated and

un-declonized colonial empire with Java-men replacing Dutchmen as colonialists. (August 17, 1977)

Take an old map of Sumatra from some reliable Western map-makers dated before Dutch colonialism arrived in Sumatra. You will find

out that the whole island of Suamtra was part of the Kingdom of Acheh, properly a Sumatran power. At that time Acheh was the


(4)

political name, and Sumatra a geographic name of the same island. And the name of Sumatra itself was also of Achehnese origin, denoting the Samudra District in East Acheh. If you investigated a little further, you will also find out that Malaya, West Borneo, and Banten region of West Java were also under Achehnese sovereignty for a long time....

Take a look at the map of Sumatra at the time of the Dutch declaration of war against Acheh, on March 26, 1873. You will see that the territory of the State of Acheh or Kingdom of Acheh in Sumatra at that time still covered half of Sumatra until Djambi

and the Riau Archipelago. Please see the map published by GRAPHIC of London in 1883, in this book. This, therefore, constitutes the

minimum legal claim by the present State of Acheh Sumatra on December 4, 1976: a simple return to the status quo ante bellum, to March 26, 1873. In addition, the State of Acheh Sumatra claims back from the Dutch--therefore also from Indonesia--all of Sumatra and surrounding islands as our legitimate historic national

territory. (August 20, 1977)

Today we begin the inaugural lectures of the University of Acheh at the Mount Alimon Campus. The lectures are attended by about 50 participants.... Since we have no textbooks available at the

Mount Alimon campus, I have to rely solely on my memory. (September 20, 1977)

Today I received a distressing news from Pase Province about an incident that will have an unfortunate international repercussion. An American worker was reportedly killed and another one wounded by stray bullets in the fighting between our forces and the

indonesian colonialist forces. This was the sort of thing that we have been trying to avoid for months.... The immediate cause of this incident--which took place yesterday--was the betrayal by the local manager of Mobil Oil Company in Lhok Seumawe, Pase Province


(5)

of Aceh Suamtra. He was invited by the local commander of the NLFAS for a confidential meeting in a designated place in the area to discuss ways and means to protect the LNG (Liquefied Natural Gas) plant in Aron (Arun), Lhok Seumawe, from possible damage from the raging guerrilla warfare around it. He was advised not to

inform the indonesian colonialist authorities about the meeting. Unfortunately, however, that was what he exactly did. Not only did he leak the meeting, but he participated in laying ambush against our troops with the indonesian colonialist forces in the area....

There are thousands of Americans and other foreign nationals who are making their opulent living on our troubled soil. Under the present situation our people themselves--the legitimate owners of this land--have no protection from sudden death at the hands of the Javanese-indonesian invaders. How can we protect these foreigners amidst us? How can we be responsible for their safety? The best we can do is to advise them to leave our country for a while until we have liberated ourselves from our oppressors. (December 6, 1977)

The people of Acheh think that the U.S. government is our friend because I had lived in America for 25 years as an exile.... Today, our people must prepare to accept the reality that the U.S. government is not pro-Acheh Sumatra as in the old time, but pro-Javanese-indonesian colonialist regime in Java. And the U.S. policy is to ensure that Javanese colonialist regime stays in power even against our just interest, so that American company like Mobil Oil Corporation can buy and sell us in international market place as you already knew about Aron gas field and our other oil fields.... President Ulysses S. Grant refused to

recognize Dutch claim of sovereignty over Acheh, and issued instead a Proclamation of Impartial Neutrality in the war between Holland and Acheh, which was tantamount to the American


(6)

re-affirmation of recognition of Achehnese independence. (May 1, 1978)

The only thing we need to do now is arming our people, and the Javanese will have to run away from Acheh Sumatra. Essentially we are working for that moment to come now. (July 22, 1978)

This morning I have a leave-taking ceremony with my wonderful comrades-in- arms.... Few of them knew me personally before I come back from America. They knew me only by reputation. They knew whose son I was. That is saying a great deal in Acheh Sumatra.... To have survived means to have been given another opportunity to finish the job with more assurance of success.... Only crazy and stupid men will believe that I will not come back. (March 28, 1979)