PEMURNIAN SIRUP GLUKOSA MENGGUNAKAN MEMBRAN ULTRAFITRASI DENGAN BERBAGAI TEKANAN DAN WAKTU OPERASI.

PEMURNIAN SIRUP GLUKOSA MENGGUNAKAN MEMBRAN
ULTRAFITRASI DENGAN BERBAGAI TEKANAN DAN WAKTU OPERASI

SKRIPSI

OLEH :
NUR FITRI ANDIRANI
0833010010

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
2012

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.


PEMURNIAN SIRUP GLUKOSA MENGGUNAKAN MEMBRAN
ULTRAFILTRASI DENGAN BERBAGAI TEKANAN DAN WAKTU OPERASI
Nur Fitri Andriani
0833010010
INTISARI
Permasalahan yang timbul pada pembuatan sirup glukosa pemurnian
konvensional adalah DE nya rendah, karena proses pemurniannya itu mungkin
belum sempurna sehingga komponen pengkotor masih ada. Proses pemurnian
konvensional melalui beberapa tahap yaitu mulai dari karbon aktif untuk
menghilangkan bau, warna, kotoran. Proses penukaran ion untuk memisahkan
ion-ion logam, dan proses penguapan untuk mendapatkan sirup glukosa dengan
kekentalan yang dikehendaki. Tetapi dengan proses oemurnian konvensional ini
hasilnya belum efektif. Oleh karena itu salah satu untuk mengatasi kendala
tersebut adalah dengan penerapan teknologi membran. Membran yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan membran ultrafiltrasi.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh berbagai tekanan
dan waktu operasi dengan membran ultrafiltrasi. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor dengan 2
kali ulangan, faktor I adalah tekanan operasi (2.34, 2,3 dan 2,44 bar) dan faktor
II adalah waktu operasi (60, 90 dan 120 menit).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada
perlakuan Tekanan operasi 2,44 bar dan waktu operasi 120 menit yang
menghasilkan nilai DE = 54.76%, kadar gula reduksi= 42.68%, viskositas
relatife=1.3872 cps, tingkat kecerahan = 31.7425%, kesukaan rasa=146,
kesukaan warna=172, kesukaan aroma = 138, dan fluks= 275.00. hasil analisis
finansial pada perlakuan terbaik menunjukkan nilai BEP sebesar 22.30% dari
total produksi, NPV sebesar Rp. 6.631.558 dan Payback Period 3.2 dengan
Benefit Cost Ratio sebesar 1.0043 dan IRR 23.618 % (dengan tingkat suku
bunga 20%).

ii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Skripsi

dengan judul “ Pemurnian Sirup Glukosa Menggunakan Membran


Utrafiltrasi Dengan Berbagai Tekanan dan Waktu Operasi “.
Tujuan dari penulisan Skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan
akademik dalam meraih gelar Sarjana Teknik (S1) jurusan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Industri Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran” Jawa
Timur.
Penulisan Laporan Skripsi ini dapat selesai atas bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada :
1. Bapak Ir. Sutiyono MS, selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Ibu Ir. Latifah, MS, selaku Ketua Jurusan Teknologi Pangan Fakultas
Teknologi Industri, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur dan Dosen Wali saya.
3. Ibu Ir. Sudaryati, Hp.Mp selaku Dosen Pembimbing Skripsi pada
Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri, Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, atas segala saran dan
petunjuk yang diberikan kepada penulis.
4. Ibu Ir. Murtiningsih selaku Dosen Pembimbing Skripsi pada Jurusan
Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur.
5. Bapak Ir Rudi Nurismanto atas segala saran dan petunjuk yang
diberikan kepada penulis.
6. Ibu Dra. Jariyah Mp, atas segala saran dan petunjuk yang diberikan
kepada penulis.
7. Bapak dan Ibu dosen di jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi
Industri UPN “Veteran” Jawa Timur, atas segala saran dan petunjuk yang
diberikan kepada penulis.
8. Kedua orang tua Bapak Khoirul Anam, Ibu Sugianti

dan saudara-

saudara saya Adekku Novi dan Tiara yang sangat saya sayangi yang

iii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

selalu memberikan doa, dukungan dan restunya guna terselesaikannya
Skripsi ini. Makasih

9. Buat papa mama mertua saya Drs Suharno dan Ning Sriyani yang
selalu memberikan doa, dukungan dan semangat guna terselesaikan
Skripsi ini.
10. Buat suamiku Haris Hariyanto, SE yang sudah menemaniku, dan selalu
memberikan support dikala aku terjatuh ataupun bangkit.
11. Teman-temanQ jurusan Teknologi Pangan khususnya mbak Vanda Sang
Peramal, mas Agus dosen pembimbing muda, Devi, Nuning, Fafa
Goendol, Depe, Lia TingTing, Mas Habibie juragan tempe, Fata,
Dhynar, mas Topik juru kunci Lab dan temanku yang lain yang telah
membantu dalam terselesaikannya Skripsi ini.
Penulis mengharapkan dengan adanya penulisan ini dapat menambah
wawasan dan cakrawala dalam berfikir untuk lebih maju dimasa yang akan
datang serta agar bermanfaat bagi yang berkepentingan. Disamping itu juga
penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga
mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Surabaya, Agustus 2012

Penulis


iv
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .........................................................................................

i

HALAMAN PERSETUJUAN ..........................................................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................

iii

ABSTRAK


..............................................................................................

iv

KATA PENGANTAR .......................................................................................

v

DAFTAR ISI

..............................................................................................

vi

PENDAHULUAN ............................................................................

1

A.


Latar Belakang.......................................................................

3

B.

Tujuan Penelitian ...................................................................

3

C.

Manfaat Penelitian .................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................

4


A.

Tinjauan Umum Tanaman Garut ...........................................

4

B.

Pati Garut .............................................................................

5

C.

Enzim ...................................................................................

7

D.


Aktivitas Enzim ...................................................................... 10

E.

Hidrolisis ............................................................................... 11

F.

Hidrolisis Pati Secara Enzimatis ........................................... 12

G.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hidrolisis ......................... 14

H.

Likuifikasi .............................................................................. 16

I.


Sakarifikasi ........................................................................... 16

J.

Sirup Glukosa ....................................................................... 17

K.

Pemurnian Sirup Glukosa Pati Garut Dengan Membrane

BAB I

BAB II

Ultrafitrasi .............................................................................. 21
L.

Analisa Kelayakan Finansial .................................................. 28

M.

Landasan Teori ...................................................................... 31

N.

Hipotesa ............................................................................... 32

v
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 33
A.

Tempat Dan Waktu Penelitian ............................................... 33

B.

Bahan Yang Digunakan ........................................................ 33

C.

Peralatan Yang Digunakan .................................................... 33

D.

Metode Penelitian .................................................................. 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 39
A. Hasil Analisis Bahan Baku .............................................................. 39
B. Hasil Analisa produk Sirup Glukosa dengan Membran Ultrafiltrasi. . 39
C. Analisa Keputusan .......................................................................... 50
D. Analisa Finansial............................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA

vi
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sirup glukosa adalah produk pengolahan pati, dapat dihasilkan
dengan hidrolisa pati dengan enzim, asam atau gabungan antara enzim dan
asam (Tjokrodikoesoemo,1986). Sirup glukosa banyak digunakan pada
industri permen, biskuit, es krim dan industri farmasi (Mulcom, 1998).
Diindonesia produk sirup glukosa mempunyai pasaran yang terbatas dan
harga yang lebih tinggi dibanding sukrosa (Epriliati,2002).
Tahapan

pembuatan

sirup

glukosa

dengan

cara

hidrolisis

menggunakan enzim yang terdiri dari gelatinisasi, likuifikasi, sakarifikasi,
purifikasi, dan evaporasi. Tingkat mutu sirup glukosa yang dihasilkan
ditentukan oleh warna sirup, kadar air, dan tingkat konversi pati menjadi
komponen-komponen glukosa, maltosa dan dekstrin yang dihitung sebagai
nilai ekuivalen dekstrosa (DE).
Hasil penelitian Jariah (2002) menunjukan bahwa perlakuan terbaik
diperoleh konsentrasi pati garut (30%) waktu sakarifikasi 18 jam (sirup
maltosa). Pada tahap pemurniannya dilakukan dengan penambahan karbon
aktif kemudian disaring menggunakan penyaringan vakum selanjutnya
dimasukkan pada kolom penukar ion baik penukar anion maupun kation.
Pemurnian dengan metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan
biaya yang cukup mahal, sehingga perlu dilakukan alternatif lain untuk
pemurnian sirup glukosa yaitu dengan membran ultrafiltrasi.
Hasil penelitian hibah Jariyah (2011), diperoleh konsentrasi 30 %
dengan pH sakarifasi 6, konsentrasi glukoamilase 0,075 dengan waktu
sakarifasi 24 jam. Hasil penelitian ini belum dilakukan tahap pemurnian. Pada
penelitian ini akan dilanjutkan tahap pemurnian dengan membran ultrafiltrasi.
Menurut Vivien (2010), pemurnian sirup glukosa dengan menggunakan
membran ultrafiltrasi diperoleh perlakuan terbaik pada tekanan 1,02

bar

dalam waktu 180 menit.
Faktor yang mempengaruhi membran adalah tekanan dan waktu. Dari
hasil penelitian (Ariestasari,2001) menunjukan peranan tekanan operasi

1
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

dalam proses pemurnian nira tebu sendiri sangatlah besar. Semakin tinggi
tekanan operasi menyebabkan banyak TSS yang terdorong keluar dari
membran, sebaliknya semakin rendah tekanan maka TSS yang ikut keluar
aliran permeat cukup sedikit. Begitu pula peranan waktu operasi semakin
lama waktu operasi maka kandungan TSS dalam permeat akan semakin
sedikit sehingga kondisi optimum yang dicapai adalah pada tekanan operasi
0,37 bar dan waktu operasi 180 menit.
Penelitian ini akan melihat alternatif proses pemurnian dari sirup
glukosa dengan cara penyaringan menggunakan membran ultrafiltrasi.
Keuntungan dari pemurnian ini adalah proses dapat berlangsung dalam
kondisi ruang atau tidak menggunakan pemanasan. Dengan demikian,
diharapkan dapat meminimalkan masalah kualitas sirup glukosa. Penelitian
ini secara khusus melihat tingkat kemurnian yang diperoleh dari berbagai
perlakuan variabel yaitu tekanan dan waktu operasi.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh tekanan dan waktu operasi pemurnian
dengan membran ultrafiltrasi terhadap kualitas sirup glukosa.
2. Untuk memperoleh kemurnian sirup glukosa tertinggi dengan peubah
tekanan membran ultrafiltrasi dan waktu operasi
C. Manfaat Penelitian
1. Menambah pemanfaatan lain dari pati garut dan meningkatkan nilai
ekonomisnya.
2. Memberikan informasi tentang pemurnian sirup glukosa dengan membran
ultrafiltrasi.

2
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tanaman Garut
Tanaman garut (Maranta arudinaceae L.) kadang ditulis West
arrowroot untuk membedakan dengan tanaman lain misal Quessland
arrowroot (ganyong) dan Brazillian arrowroot (singkong). Tanaman garut
berasal dari Amerika Tropis dan sekarang telah tersebar ke negara-negar
tropis seperti Brazil, India, Ceylon, Indonesia dan Filipina ( Lingga, Sarwono,
dan Rahardi, 1992).
Di indonesia tanaman garut telah dikenal luas diseluruh wilayah
Nusantara, nama tanaman garut berbeda-beda tergantung daerahnya,
diantaranya ban-ban (Batak karo), sakundawa (Nias), sagu (Palembang),
sagu arut (Minangkabau), larut, patat, jelarut, garut, irut, angkrik, dan rarut
(Jawa) (Sofwani,2000).
Tanaman garut termasuk famili Marantaceae bentuk tanaman garut
seperti rumput-rumputan yang selalu bercabang dua dengan tinggi 60 sampai
180 cm. Daunnya memiliki bentuk meruncing pada bagian ujung, berbatang
lunak, dan bunganya berwarna putih (Anonium, 2001). Ciptadi dan Nasution
(1981), melaporkan bahwa di Brazil terdapat dua jenis tanaman garut yaitu
jenis Creolo dan jenis Banana. Perbedaan kedua jenis tersebut terletak pada
kedua bentuk akar, untuk Creolo bentuk akarnya kecil, tebal, dan menembus
jauh ke dalam tanah, sedangkan jenis Banana berakar pendek, tumbuh
bergerembol, dan tidak beserat (umbi yang teletak pada permukaan tanah
mengandung serat yang rendah). Hasil rimpang varietas Banana lebih tinggi,
sehingga lebih cocok ditanam dalam pola perkebunan besar (Villamanjor and
Jukema,1996).
Komposisi rimpang garut rata-rata mengandung 69-72% air ; 1-2,2%
protein; 0.1% lemak; 0.6-1.35% serat kasar, 1.3-1.4% abu dan 23.8%-27.1%
karbohidrat (Lingga, Sarwono, dan Rahardi, 1992).

2
3
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Tabel 1. Komposisi Pati Garut
Komposisi gizi
Kalori
Lemak
Protein
Karbohidrat
Zat kapur
Phospor
Zat besi
Thiamin
Air
Sumber : Anonium, 2000.

Kandungan (per 100 gram)
355 kal
0.20 gr
0.70 gr
85.20 gr
8.00 mg
22.00 mg
1.50 mg
10.09 mg
13.60 mg

Wishteler, Bemiller and Paschall (1984), menambahkan bahwa hasil
utama garut adalah umbi yang mengandung pati sekitar 19%. Kegunaan
garut adalah untuk diambil patinya yang berwarna putih, kegunaan umbi
garut dalam kehidupan sehari-hari cukup banya, contohnya untuk bahan
makanan (Lingga dkk.1992). Umbi garut yang masih ada dan segar biasanya
dapat digunakan untuk makanan kecil dengan cara merebus, mengukus atau
membakarnya lebih dulu. Oleh sebab itu umbi yang sudah tua (umur 12
bulan) umumnya diambil patinya atau untuk membuat tepung garut,
sedangkan umur tanam 6-7 bulan banyak dimanfaatkan menjadi keripik garut
(Anonium,2001).
B. Pati Garut
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam
air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan
utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa
(sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Sumber pati utama di
Indonesia adalah beras disamping itu dijumpai bberapa sumber pati lainnya
yaitu jagung, kentang, tapioka, sagu, garut, dan lain-lain (Antarlina, 1997).

Pati garut merupakan salah satu bentuk karbohidrat alami yang
paling murni dan memiliki kekentalan yang tinggi. Kekentalan ini dapat
dipengaruhi oleh keasaman air yang digunakan dalam proses
pengolahan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pati garut memiliki sifat-sifat
sebagai berikut :
1. Mudah larut dan mudah dicerna
2. Berbentuk oval dengan diameter rata-rata 30 mikron .

4
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

(Antarlina, 1997).

Pati yang berasal dari varietas Banana memiliki lebih banyak
butiran berukuran besar dari pada varietas pada varietas Creolo, suhu
awal gelatinisasi

70 o C, untuk keperluan komersial harus memenuhi

syarat kadar air tidak boleh lebih dari 18%, pH 4.5-7, kandungan abu
dan serat rendah (Anonium,2001).
Ditinjau

dari

rumus

anhidromonosakarida

kimianya

dengan

rumus

pati
umum

merupakan

polimer

(C 6 H 12 O 6 )n.

Pati

mengandung dua komponen utama yaitu amilosa dan amilopektin.
Amilosa umumnya dikatakan sebagai linear dari pati, meskipun
sebenarnya jika dihidrolisis dengan α-amilase pada beberapa jenis pati
tidak

diperoleh

hasil

hidrolisis

yang

sempurna

.

α-amilase

menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan
memutuskan ikatan α-(1,4) (Banks,1973 dalam Muchtadi,1988).
Kadang-kadang pada amilosa juga terdapat percabangan
molekul tetapi jumlahnya sangat terbatas, percabangan akan timbul
setelah kurang lebih 500 unit glukosa membentuk rantai lurus.
Amilopektin merupakan fraksi kedua dari pati yang memiliki ikatan
percabangan ά-(1,6)-D-glukosa. Titik percabangan ini terdiri dari
beratus-ratus cabang dan berat molekulnya diperkirakan sekitar 1 juta.
Amilopektin juga dapat membentuk kompleks dengan iodin, walaupun
tidak sereaktif amilosa (Bennion,1980 ; Murwani,1989).
Perbandingan amilosa dan amilopektin pada pati yang berbedabeda untuk setiap jenis dan jaringan tanaman sumber pati, tetapi
perbandingan tersebut tetap untuk masing-masing jenis pati yaitu
berkisar pada 15-30% amilosa dan 70-80% amilopektin (Stephan,
1995).

5
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

C

CH2OH
O

O

H
OH

H

H

H

H

H
OH

O

H

OH

H

O
H

O
OH
H
C
H
CH2OH
CH2OH
H
H
H
H
H
H
O
O
O
H
H
H
OH H
OH H
OH H
O
O
HO
O
H OH
H OH
H OH
H
C
H
n = 22 - 28
H
O H
H
OH H
O
HO
H OH

Gambar 1. Unit Glukosa dalam Amilopektin (Stephan, 1995)
CH2O
H

O

CH2O
H
H

H

H
O

OH

H

O

H

H
H
O

OH

OH

H

H
O

CH2O
H
H
O H
H
OH H

OH

H

OH

O

CH2O
H
H
O H
H
OH H

n

H

H

O

OH

OH

Gambar 2. Unit Glukosa dalam Amilosa (Stephan, 1995)
C. Enzim
Enzim adalah sebuah protein yang mempunyai fungsi khusus. Enzim
berperan untuk mengkatalisis proses kimia (biokimia) dalam makhluk hidup
atau dalam sistem biologi. Tanpa adanya enzim biasanya reaksi kimia akan
berlangsung sangat lambat, bahkan mungkin tidak dapat terjadi. Enzim juga
dapat didefinisikan sebagai fermen yang bentuknya tidak teratur, yang dapat
bekerja tanpa adanya mikroba dan dapat bekerja diluar mikroba. Definisi ini
timbul

setelah

berbagai

teori

yang

lain

yang

lebih

tua

diajukan,

diperdebatkan, serta dibandingkan. Bila ragi dan khamir ditambahkan ke
dalam larutan glukosa atau gula anggur, ternyata gula diubah menjadi alkohol
dan karbondioksida (Winarno, 1995).
Kerja enzim sangat khusus dan spesifik. Artinya, satu enzim hanya
menjalankan satu fungsi saja. Kondisi yang mempengaruhi aktifitas enzim

6
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

diantaranya konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, pH, dan suhu
(judoamidjojo, 1992).
Pada umumnya terdapat hubungan optimum antara konsentrasi
enzim dan substrat bagi aktifitas maksimum. Penyimpanan dari keadaan
optimum mengakibatkan berkurangnya aktifitas enzim dengan nyata
keragaman pH yang ekstrim bahkan dapat merusak enzim, seperti halnya
juga

suhu

yang

tinggi,

pendidihan,

selama

beberapa

menit

akan

mendenaturasikan (menghancurkan) enzim, sedangkan suhu yang sangat
rendah dapat menghentikan aktifitas enzim tetapi tidak menghancurkannya
(Pelczar,1986).
1. Enzim ά-amilase
Enzim α-Amilase murni dapat diperoleh dari malt (barley), ludah
manusia, pankreas, dan isolasi Aspergillus oryzae dan Baccilus subtilis
(pada suhu 70°C-90°C dan pH 6) (Winarno, 1995). Enzim α-Amilase (α-4glukan-4-glukanohidrolase) adalah endoenzim yang kerjanya memutus
ikatan α-1,4 secara acak di bagian dalam molekul baik pada amilosa
maupun pada amilopektin. Karena pengaruh aktivitasnya, pati terputusputus menjadi dekstrin dengan rantai sepanjang 6-10 unit glukosa
(Tjokroadiekoesoemo,1986).

Enzim ά-amilase mempunyai berat molekul (B.M) sekitar
50.000 dan mengandung ion Ca 2 + sebanyak 1 gram ion tiap
molekul.

Ion

Ca 2 +

berperan

sebagai

penstabil,

ά-amilase

mengandung gugus aktif karboksil dan imidazol (Tarto et al.1997)
Menurut Reed (1975), enzim ini termasuk dalam kelompok
endoamilase karena enzim ini mampu menghidrolisis ikatan ά-1.4
glikosidik dari bagian dalam secara acak baik pada amilasa maupun
amilopektin. Endo-amilase ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
thermostabil (tahan panas) dan thermolabil (tidak tahan panas).
Yang tergolong thermostabil antara lain: B.licheniformis amilase dan
B.amyloliquefaciens amilase, sedangkan yang termasuk thermolabil
ádalah Fungal ά-amilase (A.oryzae) (Belits and Grosh,1987 ; Birch
and Parker,1981). Enzim amilase yang dihasilkan oleh bakteri

7
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

B.licheniformis dan Bacilus subtilis lebih banyak digunakan dalam
proses hidrolisis (likuifikasi) secara komersial karena tahan terhadap
pemanasan hingá suhu 90

o

C – 110

o

C, sedangkan endoamilase

yang berasal dari fungi (thermolabil) banyak digunakan untuk proses
sakarifikasi (Schrickx,1995;Gomes,Richard,and Ledward,1998).
Cara

kerja

α-amilase

pada

molekul

amilopktin

akan

menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin.
Jenis α-limit dekstrin yaitu oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih
residu glukosa yang semuanya menagnadung ikatan α-1,6. Aktivitas
α-amilase ditentuan dengan mengukur hasil degradasi pati,
biasanya diukur dari penurunan kadar pati yang larut atau dari kadar
amilosa bereaksi dengan iodium akan berwarna merah batu. Selain
itu keaktifan α-amilase dapat dinyatakan denga pengukuran
viskositas dan jumlah pereduksi yang terbentuk. Hidrolisis amilosa
akan lebih cepat dari pada hidrolisis rantai yang bercabang seperti
amilopektin atau glikogen. Laju hidrolisis akan meningkat bila tingkat
polimerisasi menurun, dan laju hidrolisis akan lebih cepat pada
rantai lurus (Winarno, 1995).
Menurut Forgati (1983) enzim ά-amilase pada umumnya
stabil pada kisaran pH 5.5–8.0. Aktivitas optimalnya secara normal
terjadi pada pH 4.8 – 6.5 (Menzi.et.al.1957 yang dikutip oleh
Forgaty,1983). Enzim ά-amilase yang berasal dari bakteri dapat
digunakan untuk mengkatalisasi proses hidrólisis pati pada suhu
yang tinggi, enzim tersebut lebih stabil dengan adanya ion Ca 2 + .
Sifat tersebut Sangat berguna pada proses liquifikasi yang
mempunyai suhu gelatinisasi yang tinggi (Berghmans, 1981).
Enzim ά-amilase akan lebih stabil dengan adanya ion Ca 2 +
yang berfungsi sebagai kofaktor. Dimana kalsium ini tidak berperan
langsung dalam pembentukan komplek enzim-substrat, tetapi
menjaga molekul

enzim pada konfirmasi yang optimum untuk

aktivitas dan stabilitas maksimum. Oleh karena itu diperlukan

8
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

kalsium yang cukup agar enzim mempunyai aktivitas yang penuh
(Whitaker, 1972). Mekanisme reaksi gugus fungsional karboksil dari
enzim ά-amilase pada pati dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Mekanisme reaksi gugus fungsional karboksil dari enzim ά-amilase
pada pati (Metzler,1977 dalam Kamrudin,2000).
2. Enzim Glukoamilase
Enzim

glukoamilase

(α-(1,4)-glukan-glukonohidrolase)

atau

amiloglukooksidase (AMG) merupakan jenis ekso-enzim yang akan
menghidrolisis oligosakarida pada ikatan α-(1,4), α-(1,6), atau α-(1,3) atau
disebut juga bersifat ekso-amilase karena dapat memutus rantai pati
menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian non reduksi dari molekul
tersebut. Enzim ini memutuskan rantai molekul maltosa menjadi molekulmolekul glukosa bebas (Fennema, 1996).
Enzim glukoamilase adalah suatu eksoenzim yang menghasilkan
β-D-glukosa dari rantai terminal non pereduksi pada amilosa, amilopektin
dan glikogen dengan menghidrolisis ikatan ά-1,4-glikosidik secara
berurutan (Prescot dan Dunn, 1982 ; Forgaty, 1983). Menurut Pazur et al.,
(1962), glukoamilase dengan kemurnian yang sangat tinggi menunjukan
aktivitas yang nyata pada rantai yang relatif panjang, serta menghidrolisis
ikatan ά- (1,6) dan ά-(1.3), meskipun lebih lambat dibanding hidrólisis.
Enzim glukoamilase juga disebut amiglukosidase (AMG), gammaamilase, serta ά-1,4-D-glukan glukohidrolase (Forgaty, 1983). Enzim
tersebut mengkatalisis pemotongan ikatan glukosida dari ujung non

9
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

pereduksi polimer pati. Sumber enzim AMG yang berasal dari mikroba
diperoleh dari Aspergillus niger, Rhizopus delemar, Cephalosporium
carticolalindau, Aspergillus oryzae, Aspergillus awamori, Lipomyces
kononenkoae, Mucor rouxianus, penecillium oxalicum, dan Aspergillus
saitoi (Forgaty, 1983).
Tabel 2. Perbandingan enzim komersil dan enzim non komersil
Kondisi
Liquifikasi
1. suhu
2. dosis
3. waktu
4. pH
Sakarifikasi
1. suhu
2. dosis
3. waktu
4. pH

Enzim komersil
(SORINI CORPORATION)
Liquozyme supra
105 -110 0 C
200 ml/ton
60 – 180 menit
5.1-5.6
Optimax 4060 UHP
60 0 C
0.36 – 0.72 lt/ton
48 jam
4.0-4.2

Enzim non komersil
(Judoamidjojo,1992)
ά-amilase
90 – 105 0 C
120 menit
4.8 – 6.5
Glukoamilae
60 0 C
1.5 lt/ton
40-100 jam
4.5 5.0

D. Aktifitas Enzim
Enzim merupakan molekul

protein tak hidup yang dihasilkan oleh

setiap sel hidup. Enzim bekerja sebagai biokatalisator dengan efisiensi dan
selektifitas tinggi. Enzim tidak mengubah konstanta keseimbangan reaksi
kimia. Kecepatan reaksi enzim dipengaruhi oleh suhu 30ºC, pelarut dan
faktor-faktor lingkungan lainya (Suhartno,1989).
Aktifitas enzim dinyatakan dalam satuan enzim. Menurut komisi enzim
internasional, unit enzim (1) adalah jumlah enzim yang melakukan katalis,
sehingga terjadi perubahan 1 µ mol substrat menjadi produk per menit pada
kondisi standar. Kondisi standar adalah dimana enzim bekerja secara optimal
yaitu meliputi suhu, pH, konsentarsi substrat, kondisi kofaktor dan koenzim
(Chapin and Bucke,1990).
Suatu enzim dinyatakan pula sebagai katalisator dalam sistem SI
(Standart Internasional) yaitu mol substrat yang dipakai atau produksi yang
tebentuk perdetik (Price and Stevens,1989). Katalisator (symbol kat)
merupakan aktivitas katalik. Satuan ini diperoleh dari unit SI (Standart
Internasional) untuk menyatakan nilai kuantitas aktivitas katalik enzim dan

10
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

katalis lainnya. (anonymous,2006).Unit SI katal = 1 mol.S −1 pada akhirnya
diganti sistem unit IUB ” unit (enzim)”= 1 ά mol.min −1 ∞ 16.67 nkat
(Dybkaer.2001).
E. Hidrolisis
Hidrolisis adalah reaksi kimia yang memecah molekul air (H2O)
menjadi kation hidrogen (H+) melalui suatu proses kimia. Proses ini biasanya
digunakan untuk memecah polimer tertentu, terutama yang dibuat melalui
polimerisasi tumbuh bertahap (step-growth polimerization) (Anonim, 2003).
Menurut Winarno (1982), hidrolisis adalah proses pemecahan suatu substrat
menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dengan pertolongan air.
Istilah hidrolisis dapat digunakan untuk mendefinisikan penguraian
senyawa kimia yang disebabkan oleh reaksi dengan adanya air, biasanya
dengan pembentukan senyawa-senyawa baru oleh penambahan atom dari
air ke satu bagian dari senyawa yang terurai oleh penambahan atom yang
lain pada molekul air bagian lain .
Hidrolisis digunakan pada reaksi antara dua zat organik dan
anorganik dimana terjadi penguraian ganda karena pengaruh air dengan
senyawa lain, dimana hidrogen mengurai ke salah satu komponen yang
disebut gugus hidroksil.
Lima tipe reaksi hidrolisis, yaitu:
1. Hidrolisis murni dimana hanya menggunakan air
2. Hidrolisis dengan menggunakan asam, baik encer maupun pekat
3. Hidrolisis dengan menggunakan basa, baik encer maupun pekat
4. Alkali fusion dengan sedikit atau tanpa air pada temperatur tinggi
5. Hidrolisis dengan menggunakan enzim.
(Hawley,1994).
Reaksi hidrolisis berjalan sangat lambat, sehingga diperlukan bantuan
katalis untuk memperbesar keaktifan air. Hidrolisis pati dapat dilakukan
dengan cara hidrolisis dengan katalis asam, kombinasi asam dengan enzim,
serta kombinasi enzim dengan enzim (Judoamidjojo, 1992).
Proses hidrolisis pati yaitu pengubahan molekul pati menjadi
monomernya atau unit-unit penyusunnya seperti glukosa. Hidrolisis pati dapat
dilakukan dengan bantuan asam atau enzim pada suhu, pH, dan waktu

11
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

reaksi tertentu. Pemotongan rantai pati oleh enzim. Hasil pemotongan oleh
asam adalah campuran dekstrin, maltosa, dan glukosa, sementara enzim
bekerja secara spesifik sehingga hasil hidrolisis dapat dikendalikan
(Trifosa,2007). Hidrolisis pati menggunakan kombinasi enzim dengan enzim
menghasilkan sirup dengan nilai ekivalen dekstrosa (DE) sangat tinggi yaitu
lebih dari 95%. Disamping itu, penggunaan katalis enzim dapat mencegah
adanya reaksi samping karena sifat katalis enzim sangat spesifik, sehingga
dapat mempertahankan rasa, aroma, bahan dasar jika dibandingkan dengan
katalis asam, ataupun kombinasi asam dengan enzim yang hanya
menghasilkan DE 30-35 disamping itu pula diperlukan peralatan yang tahan
korosi, juga terjadi rekombinasi produk degadrasi yang dapat mempengaruhi
warna, rasa, bahkan menimbulkan masalah teknis (Muljono, 1992).
F. Hidrolisis Pati Secara Enzimatis

Hidrolisis pati secara enzimatis melibatkan dua proses likufikasi
dan sakarifikasi (Timotius dan Mirna, 1998). Likufikasi merupakan
proses pencairan gel pati dengan menggunakan enzim ά-amilase yang
menghidrolisis pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil dari
oligosakarida atau dekstrin. Dalam proses tersebut granula pati yang
semula tidak larut dipanaskan sampai mengembang dan rusak,
sehingga dapat tersebar dalam larutan. Beberapa faktor yang
mempengaruhi

proses

likufikasi

yaitu:

konsentrasi

substrat,

penggunaan enzim yang stabil pada suhu yang tinggi, pengaturan
suhu, pengaturan pH, serta pemanasan secara tepat dan kontinyu
(Arasatman.1994).
Proses hidrolisis pati secara enzimatis dapat terjadi sebagai
berikut: sebelum substrat dihidrolisis dengan enzim maka pati harus
digelatinisasi terlebih dahulu agar lebih rentan terhadap serangan
enzim (Muchtadi.1992). Proses gelatinisasi ini terjadi karena butir-butir
pati menyerap air dalam jumlah cukup banyak hingga membengkak
luar

biasa

yang

mengakibatkan

viskositas

larutan

meningkat.

Peningkatan viskositas larutan pati yang tergelatinisasi disebabkan air

12
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

yang tadinya berada diluar granula pati dan bebas bergerak sebelum
suspensi dipanaskan, kini berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat
bergerak bebas lagi. Pecahnya partekel-pertikel pati membengkak
pada saat suhu gelatinisasi tercapai mengakibatkan larutan menjadi
encer sehingga pengadukan pada proses likufikasi dapat dipenuhi
dengan

menggunakan

inkubator

dan

pengaduk

magneti

(Winarno,1993 ; Achdiyan et al., 1999).Gelatinisasi pati dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu: jenis dan konsentrasi pati, suhu, waktu dan
pH. Jenis pati yang berbeda menghendaki kondisi gelatinisasi yang
berbeda pula. Makin tinggi konsentrasi pati suhu gelatinisasi makin
lambat tercapai dan gel yang terbentuk semakin kurang kental.
Pembentukan gel yang optimal terjadi pada pH 4-7. Apabila pH
terlalu tinggi pembentukan gel cepat. Pemanasan diteruskan maka
viskositasnya turun kembali (Lii et al., 1995).
Gelatinisasi ini merupakan salah satu fakor yang harus
diperhatikan dalam proses likufikasi, dimana pelarutan pati harus
sempurna. Bila larutan pati terlalu pekat maka akan sulit tersuspensi
dengan baik sehingga selama proses gelatinisasi terjadi pengendapan
partikel-partikel pati. Oleh karena itu proses gelatinisasi ini dapat
dilakukan dengan membuat bubur pati dengan konsentrasi antara 25
sampai 40% padatan kering (Godfrey and West, 1996).
Norman

et

al.,

(2001),

menambahkan

bahwa

likuifikasi

merupakan kombinasi dari dua proses, pertama yaitu hidrasi /
gelatinisasi dari polimer pati, untuk mempermudah serangan hidrolitik
yang kedua yaitu: dekstrinisasi sehingga dapat mencegah terjadinya
retrogradasi untuk tahap selanjutnya. Pada tahap likuifikasi ini terjadi
proses pemecahan pati menjadi dekstrin oleh enzim ά-amilase, yang
berfungsi memecah ikatan ά-1,4 glikosidik secara cepat adan acak
pada bagian dalam amilosa dan amilopektin. Terbentuknya dekstrin ini
ditunjukan dengan timbulnya warna coklat saat diuji dengan larutan
iodin (Muchtadi,1992).

13
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Sebelum proses gelatinisasi terlebih dahulu ditambahkan pula
enzim ά-amilase dan kofaktor ion Ca 2 + , kemudian dilakukan proses
likufikasi dengan nilai DE berkisar antara 12-15%. Dekstrosa ekuivalen
(DE) merupakan parameter kemurnian sirup glukosa atau maltosa,
yang didefenisikan sebagai presentase perbandingan antar gula
reduksi dengan kadar bahan kering sirup glukosa/ maltosa. Bila nilai
DE = 100%, maka dapat diartikan bahwa seluruh bahan kering pada
sirup merupakan gula reduksi. (McPherson and Seib, 1997 ; Harsini
dkk. 1998).
Sakarifikasi merupakan tahap hidrolis lanjutan dari tahap
likuifikasi, pada proses sakarifikasi ini dekstrin dipecah lagi secara
enzimatik dengan pengaturan berbagai pH (Mangunwidjaja dan Suryani,
1994), dimana larutan suspensi didinginkan sampai suhu kurang lebih
60ºC, dan pH diatur 4,0 – 6,0, hidrolis dilanjutkan dengan
menggunakan katalisator enzim Clarase L yang diisolasi dari sejenis
fungi (Aspergillus oryzae) dan dilakukan sakarifikasi selama 18 jam,
maka akan diperoleh sejenis sirup yang lebih kaya akan maltosa dari
pada sakarida-sakarida lainnya, sirup semacam ini dinamakan sirup
maltosa yang dapat digunakan untuk bahan baku produk lain
(Schwimmer, 1981). Untuk menentukan nilai %DE pada tahap ini ºbrix
yang diperoleh dikonversikan pada tabel hidrolisist maltosa sehingga
didapat nilai % DS (dry solid).
Adapun secara ringkas hidrolis pati dapat digambarkan sebagai
berikut : (Muchtadi, 1992) .
Pati
Pati
Pati

α-amilase
β-amilase
glukoamilase

Dekstrin + maltosa + maltoterosa + glukosa
Dekstrin + maltosa + maltotriosa + glukosa
Dekstrin + maltosa + maltotriosa + glukosa

Gambar 3. Hidrolisis pati dengan enzim yang berbeda

14
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Beberapa keuntungan hidropolis pati secara enzimatis antara
lain lebih spesifik, hasilnya dapat didistribusikan menjadi produk lain,
kondisi hidrolisisnya sangat lembut selain itu produk sampingnya lebih
sedikit, tahap pemurnian (menghilangkan abu) dan pembentukan
warna dapat ditekan seminim mungkin (Sardjoko, 1991).
G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hidrolisis
1. Pengaruh Suhu
Pada umumnya semakin suhu tinggi, semakin naik laju reaksi
kimia, baik yang tidak katalis maupun yang dikatalisis dengan enzim.
Pengaruh suhu terhadap enzim ternyata agak kompleks, misalnya suhu
yang terlalu tinggi dapat mempercepat pemecahan atau perusakan
enzim, sebaliknya menurut Muchtadi (1992), suhu liquifikasi yang tinggi,
akan mengakibatkan terjadinya kerusakan enzim, tetapi apabila terlalu
rendah akan mengakibatkan gelatinisasi tidak sempurna.
Perbedaan sumber atau asal enzim menyebabkan perbedaan
daya tahan panas. Enzim ά-amilase yang dihasilkan oleh bakteri lebih
tahan panas daripada enzim a-amilase yang berasal dari kapang
(Winarno,1986). Contohnya enzim ά-amilase yang diisolasi dari Bacillus
subtilis amat stabil pada suhu tinggi (Tjokroadikoemo,1986).
2. Pengaruh pH
Menurut Girinda (1988), pH sangat berpengaruh terhadap aktivitas
enzim, karena sifat ionik gugus karboksil dan asam amino mudah
dipengaruhi pH. Hal ini menyebabkan konformasi

enzim dan fungsi

katalitik enzim berubah, sehingga enzim bisa terdenaturasi dan
kehilangan aktivitasnya. Aktivitas enzim tertinggi
umumnya disebut pH optimum.

yang dapat dicapai

Menurut Muchtadi (1992), enzim α-

amilase pada umumnya stabil pada kisaran 5,5 – 8,0. Aktifitas optimalnya
secara normal terjadi antara pH 4,8 – 6,5. Pada tahap liquifikasi perlu
diperhatikan dalam pengaturan pH. pH suspensi diatur sekitar 6 – 6,5
(Tjokroadikoesoemo, 1986).

15
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

3. Konsentrasi Larutan Pati
Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), konsentrasi pati yang telah
mengalami hidrolisis pendahuluan dengan enzim ά-amilase yang
optimum adalah sekitar 30-35 % berat bahan kering. Pada tahap awal
pelarutan pati harus sempurna, karena pada tahap ini penyebaran
granula pati kedalam larutan yang diikuti dengan hidrolisis sebagian oleh
ά-amilse yang tahan panas. Dalam proses tersebut, granula pati yang
semula tidak larut dipanaskan sampai mengembang dan rusak sehingga
dapat tersebar kedalam larutan (Muchtadi.1992).
4. Pencampuran
Karena pati kurang larut dalam air, maka diperlukan pengadukan
untuk

menyempurnakan

campuran.

Semakin

tinggi

kecepatan

pengadukan maka semakin sempurna larutan tersebut sehingga akan
mempercepat reaksi, karena pengadukan mempertinggi jumlah tumbukan
antara molekul-molekul pati dan air (Hawley, 1994).
5. Waktu Reaksi ( Lama Hidrolisis )
Lama hidrolisis adalah waktu reaksi yang dibutuhakn oleh suatu
enzim untuk merombak bahan menjadi lebih sederhana. Lama hidrolisis
dipengaruhi oleh konsentrasi substrat, enzim yang digunakan dan juga
suhu hidrolisis. Waktu yang diperlukan sekitar 48-96 jam. Konsentarsi
pati yang telah mengalami hidrolisis pendahuluan dengan enzim αamilase yang optimum adalah sekitar 30 – 35 % berat bahan kering
(Tjokroadikoesoemo, 1986).
Pada tahap awal pelarutan pati harus sempurna, karena pada
tahap ini penyebaran granula pati ke dalam larutan yang diikuti dengan
hidrolisis sebagian oleh α-amilase yang tahan panas. Dalam proses
tersebut, granula pati yang semula tidak larut dipanaskan sampai
mengembang dan rusak sehingga dapat tersebar ke dalam larutan
(Muchtadi, 1992).

16
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

6. Konsentrasi Enzim
Penambahan konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan
reaksi bila substrat tersedia secara berlebih. Kecepatan reaksi dalam
reaksi enzim sebanding dengan konsentrasi enzim, semakin tinggi
konsentrasi enzim maka kecepatan reaksi akan semakin tinggi, sehingga
padabatas konsentrasi tertentu dimana hasil hidrolisis akan konstan
dengan tinggi konsentrasi enzim yang disebabka penambahan enzim
sudah efektif (Martin, 1983). Menurut (Fitroyah, 2007) semakin banyak
jumlah enzim yang di tambahkan pada pati akan mempercepat reaksi
hidrolisis.
7. Likuifikasi
Likuifikasi adalah proses pencairan gel pati dengan menggunakan
enzim α-amilase. Tahap ini dilakukan sampai mencapai DE sebesar 10 –
20%, atau sampai cairan berwarna coklat kemerahan bila direaksikan
dengan larutan iodium. Tujuan proses ini adalah untuk melarutkan pati
secara sempurna, mencegah isomerisasi gugus pereduksi dari glukosa
dan mempermudah kerja enzim α-amilase untuk menghidrolisis pati
(Judoamidjojo, 1992). Enzim ά-amilase adalah endo-enzim yang
bekerjanya memutus α-1.4 secara acak dibagian dalam molekul baik
pada amilosa maupun amilopektin. Karena pengaruh aktivitasnya, pati
terputus-putus menjadi dekstrin dengan rantai sepanjang 6-10 unit
glukosa. Jika waktu reaksi diperpanjang, dekstrin tersebut dipotongpotong lagi menjadi campuran antara glukosa,maltosa, maltotriosa, dan
ikatan lain yang lebih panjang (Tjokroadiekoesoemo,1986).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses likuifikasi
adalah konsentrasi substrat, penggunaan enzim yang stabil pada suhu
tinggi, pengaturan suhu dan lamanya, serta penggunaan pH disesuaikan
berdasarkan enzim yang digunakan. Suhu likuifikasi yang terlampau
tinggi, akan mengakibatkan terjadinya kerusakan enzim, tetapi apabila
terlalu rendah akan mengakibatkan gelatinisasi

tidak sempurna

(Muchtadi, 1992).

17
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

pH diatur 5,8 – 6,2, kemudian ditambah dengan kofaktor enzim
yaitu CaCl2 (Jariyah, 2002). Fungsi CaCl2 selain sebagai kofaktor juga
sebagai penyedia kalsium guna menjaga aktivitas dan stabilitas enzim,
suhu liquifikasi berkisar 95 - 105ºC selama 90 menit (Judoamidjojo,
1992).
H. Sakarifikasi
Pada proses ini, dekstrin sebagai hasil tahap likuifikasi dihidrolisis
lebih lanjut menjadi glukosa dengan menggunakan, umumnya digunakan
enzim glukoamilase. Sebelum sakarifikasi dimulai, larutan dekstrin yang
dihasilkan pada proses likuifikasi didinginkan sampai 60oC, dan juga
dilakukan pengaturan pH dari 6,0 menjadi 4,5 dengan penambahan HCL 3%.
Penambahan enzim glukoamilase (AMG) adalah sebanyak 1,5 liter/ton pati
kering. Selanjutnya dibiarkan pada suhu 60 oC selama 40 – 100 jam,
tergantung dari dosis enzim yang diberikan. Sirup glukosa yang dihasilkan
dari tahap ini lalu diadakan penyaringan untuk menyisihkan partikel-partikel
kasar , serat, lemak dan protein yang menggumpal selama proses. Dilakukan
inaktifasi enzim dengan pemanasan pada suhu 80oC selama 15 menit
(Judoamidjojo, 1992).
Menurut Pazur et al., (1962), glukoamilase dengan kemurnian yang
sangat tinggi menunjukan aktivitas yang nyata pada rantai yang relatif
panjang, serta menghidrolisis ikatan ά- (1,6) dan ά-(1.3), meskipun lebih
lambat dibanding hidrolisis pada ikatan ά-(1.4). Oleh karena itu, enzim
tersebut mampu mengkonversi seluruh pati menjadi glukosa.
I.

Sirup Glukosa
Glukosa merupakan monosakarida yang ada di alam sebagai produk
fotosintesis. Dalam bentuk bebas, glukosa terdapat didalam buah-buahan,
sayur-sayuran, madu, darah dan cairan tubuh. Selain itu glukosa juga dapat
dihasilkan melalui hidrolisis polisakarida atau disakarida baik dengan asam,
enzim atau gabungan keduannya.
Sirup glukosa adalah sejenis larutan kental yang dihasilkan melalui
hidrolisis pati memakai katalisator enzim, asam atau gabungan antara enzim
dan asam atau gabungan antara enzim dengan enzim. Sirup glukosa

18
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

berfungsi untuk mencegah terbentuknya kristal sukrosa. Ada beberapa
macam proses pembuatan sirup glukosa salah satunya dengan hidrolisis
secara enzimatis. Hidrolisis secara enzimatis lebih efektif karena kerja enzim
sangat spesifik (Tjokroadikoesoemo, 1986).
Keuntungan dengan menggunakan enzim antara lain hasilnya (kadar
glukosa)

lebih

tinggi

(mencapai

73,18%),

praktis

dan

lebih

murni

(Rusdiansyah, 2001).
Sirup glukosa yang dibuat dengan hidrolisis enzimatis meliputi proses
likuifikasi, sakarifikasi, penjernihan dan penetralan, kemudian diakhiri dengan
evaporasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses liquifikasi
adalah konsentrasi substrat, penggunaan enzim yang labil pada suhu tinggi,
pengaturan

suhu

dan

lamanya,

serta

penggunaan

pH

disesuaikan

berdasarkan enzim yang digunakan. Suhu liquifikasi yang terlampau tinggi,
akan mengakibatkan terjadinya kerusakan enzim tetapi apabila terlalu rendah
akan mengakibatkan gelatinisasi tidak sempurna (Norman,1981 dan
Muchtadi,1992). Fungsi Ca

selain sebagai kofaktor juga sebagai

penyedia kalsium guna menjaga aktivitas dan stabilitas enzim, suhu liquifikasi
berkisar 95-105 0 C selama 90 menit (Judomidjojo,1992).
Sifat fisik dan kimia produk hidrolisis yang ditentukan berdasarkan
kelarutan, kemanisan, berat molekul dan sifat-sifat dalam fermetasi
(Tjokroadikoesoemo,1986). Jika glukosa dibandingkan dengan sukrosa,
maka pada suhu 60°C kedua senyawa ini memiliki kelarutan yang sama,
namun pada suhu diatas 60°C, glukosa akan lebih mudah larut. Dibawah
suhu tersebut glukosa akan stabil dalam bentuk monohidratnya, sedangkan
diatas suhu tersebut, lebih stabil pada bentuk anhidridanya. Kelarutan
hidrolisis yang rendah tersebut berarti bahwa hidrolisist-hidrolisist pati dengan
kandungan bahan kering yang umum diperdagangkanyaitu sekitar 76-82%
berat kering, harus disimpan pada suhu agak tinggi agar glukosa yang
dikandungnya tidak epat mengkristal. Sedangkan kemanisa relatif terhadap
sukrosa dari berbagai kualitas sirup glukosa menigkat sehubungan dengan
meningkatnya konsentras larutan. Karena pengaruh sinergisme itulah sirup
glukosa akan terasa jauh lebih manis

dari pada kemanisan komponen

masing-masing. Sifat yang ketiga adalah berat molekul. Semakin tinggi DE
yang terkandung pada sirup glukosa, maka semakin kecil berat molekulnya.

19
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Selain sifat diatas, glukosa dapat difermentasi dengan mudah memakai ragi
yang umum digunakan. Sirup glukosa biasanya digunakan dalam industri
makanan dan minuman, terutama dalam industri permen, selai, dan buah
kaleng. Penggunaannya tergantung pada kadar glukosa dan kemurnian
sirupnya (Tjokroadikoesoemo,1986).
Tingkat hidrolisis asam pada pati diukur dengan kemampuan
mereduksi tembaga (Cu) dan dinyatakan dalam ”dextrosa ekuivalen” atau
sering disingkat dengan DE. DE mengukur tingkat pemecahan pati ( 0 DE =
100% pati ; 100 DE = 100% dekstrosa. Secara komersial DE merupakan
kandungan gula pereduksi yang dinyatakan sebagai persen dekstrosa
terhadap total bahan kering (Kiser,1979 dalam Muchtadi,1992). DE tidak
menyatakan kandungan gula pereduksi dari semua jenis gula yang terdapat
dalam produk (Maiden,1970 dalam Muchtadi,1992).
Penggunaan

katalis

enzim

dapat

mencegah

adanya

reaksi

sampingan kerena sifat katalis enzim sangat spesifik, sehingga dapat
mempertahankan flavour dan aroma bahan dasar (Juadmidjojo,1992).
Likuifikasi

dengan

menggunakan

enzim

lebih

disukai

karena

menghasilkan sirup dengan kandungan glukosa rendah dan maltosa tinggi.
Menurut Godfrey and West (1996), dari metode hidrolisis gabungan tersebut
dapat dihasilkan sirup dengan komposisi sakarida seperti yang disajikan
pada Tabel 5. Dengan menggunakan α-amilase dari bakteri dihasilkan kadar
glukosa 4%, maltosa 10%, maltotriosa 18% dan dekstrim 68%.
Sakarifikasi merupakan tahap hidrolis lanjutan dari tahap likuifikasi,
pada proses sakarifikasi ini dekstrin dipecah lagi secara enzimatik
menggunakan enzim Glukoamilase dengan pengaturan berbagai pH
(Mangunwidjaja dan Suryani, 1994), dimana larutan suspensi didinginkan
sampai suhu kurang lebih 60ºC, dan pH diatur 4.5 – 5.0, hidrolis dilanjutkan
dengan menggunakan katalisator enzim glukoamilase yang diisolasi dari
sejenis fungi (Aspergillus dan Rhizopus) dan dilakukan sakarifikasi selama 18
jam, maka akan diperoleh sejenis sirup yang lebih kaya akan glukosa dari
pada sakarida-sakarida lainnya, sirup semacam ini dinamakan sirup glukosa
yang dapat digunakan untuk bahan baku produk lain (Schwimmer, 1981).
Menurut De Mann (1997), sirup glukosa adalah cairan gula yang
diperoleh dari pati dan mempunyai nilai DE (Dextrosa Equivalen) sebesar

20
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

20% atau lebih. Jika produk yang dihasilkan kurang dari 20% disebut
maltodekstrin. DE adalah jumlah gula pereduksi yang dinyatakan sebagai
dekstrosa dan dihitung sebagai prosentase bahan kering.
Tabel 3. Tingkat kemanisan beberapa jenis gula
Karbohidrat

Tingkat Kemanisan ( % )
100
75-80
175
32
40
20
90
40
60
100

Sukrosa
Glukosa
Fruktosa
Galaktosa
Maltosa
Laktosa
Maltitol
Manitol
Sorbitol
Xylitol
Sumber : Clarke (1997).

Penggunaan α-amilase dari fungi dapat diperoleh kandungan
glukosanya sedikit lebih turun yaitu 3% dibandingkan dengan α-amilase dari
bakteri, akan tetapi maltosanya lebih tinggi sekitar 50%, untuk maltotriosa
sebanyak 26%, dan dekstrim 21%. Bila hidrolisis saat sakarifikasi digunakan
enzim

amiloglukosidase

maka

dihasilkan

sirup

dengan

kandungan

glukosanya lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sakarida lainnya, yaitu
sekitar 83%. (Anonim, 1998). Perhatikan tabel 4 dibawah ini :
Tabel 4. Ratio komposisi gula pada sirup glukosa dengan enzim yang berbeda
Jenis sakarida

ά-amilase
ά-amilase
(bakteri)
(fungi)
(%)
(%)
Glukosa
4
3
Maltosa
10
50
Maltotriosa
18
26
Dekstrin
68
21
Sumber : Godfrey and West (1996)

Amiloglukosidase
(%)
83
7
3
3

Tabel 5. Syarat Mutu Sirup SNI 01-3544-1994
No
1
1.1
1.2
2
3

Kriteria Uji
Satuan
Keadaan
Aroma
Rasa
Gula jumlah (dihitung sebaga