TASAWUF DAN HAKIKAT2

TASAUF DAN HAKIKAT
1. Pengertian"Hakikat" menurut bahasa artinya kebenaran atau sesuatu yang sebenarbenarnya atau asal segala sesuatu. Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala
sesuatu atau yang menjadi jiwa sesuatu. Karena itu dapat dikatakan hakikat syariat adalah
inti dan jiwa dari suatu syariat itu sendiri. Di kalangan tasawuf orang mencari hakikat diri
manusia yang sebenarnya. Karena itu muncul kata- kata 'diri mencari sebenar-benar diri',
mencari diri terperi, diri yang diberikan, diri yang sebenarnya diri dan diri terjali. Sama
dengan pengertian itu mencari hakikat jasad, hati, roh, nyawa dan rahasia. Jika diteruskan
pertanyaan akan timbul pertanyaan siapa yang mencari, siapa yang dicari dan bagaimana
cara mencarinya. Di sinilah letaknya ketinggian dan kehalusan Ilmu Tasawuf. Yang
bermain disini lebih banyak peran rasa. Para sufi yang telah 'arif billah menyebutnya
dengan istilah amrun zauqiyyun .
Dalam Ensiklopedi Islam jilid 2, diuraikan bahwa hakikat secara etimologis berarti
terang, yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat inti dari sesuatu, yang meskipun sifat-sifat
yang melekat padanya dapat berubah-rubah, namun inti tersebut tetap lestari. Sebagai
contoh, dalam filsafat Yunani terdapat nama Thales, yang memiliki pokok pikiran bahwa
hakikat segala sesuatu adalah air. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok, dan inti segalagalanya. Semua barang meskipun mempunyai sifat dan bentuk yang beraneka ragam,
namun intinya adalah satu, yaitu air. Segala sesuatu berasal dari air dan akan kembali
pada air. Mengingat bahwa hakikat segala sesuatu itu senantiasa ada, maka kalangan
filsuf Islam ada yang memandang bahwa alam ini adalah kekal. Yang berubah pada alam
ini hanyalah bentuk dan sifatnya, sedangkan intinya tetap lestari. Hakikat yang universal
seperti ini disebut oleh Al Kindi dengan haqiqah kulliyah atau bisa juga disebut mahiyah .

Disamping hakikat yang universal tersebut ada lagi hakikat yang terdapat pada masingmasing benda atau pada sesuatu yang ada. Hakikat yang demikian dinamakan haqiqah
juz'iyah atau bisa juga disebut aniyah . Bagi Ibnu Sina, hakikat dapat juga disebut sebagai
haqiqah kulliyah dan haqiqah juz'iyah itu /hanya ada dalam benak manusia, sedangkan
yang tampak pada kenyataan adalah wujud hakikat tersebut. Jadi yang paling berperan
bagi Ibnu Sina pada segala sesuatu adalah wujudnya. (Ensiklopedia Islam 2, 1994 : 6869). 2. Hubungan Tasawuf Dengan Hakikat:Istilah "hakikat" juga dipergunakan dalam
tasawuf sebagai imbangan kata syariat. Kata hakikat di sini identik dengan aspek
kerohanian dari ajaran Islam. Karena itu kajian tentang hakikat dimulai dengan aspek
moral yang dibarengi dengan aspek ibadat. Bila kedua aspek ini diamalkan dengan penuh
kesungguhan dan keihklasan, akan meningkatlah kondisi mental seseorang, dari satu
tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi secara bertahap. Suatu saat, ketika
kondisi mental seseorang telah sampai pada tingkat tertinggi, Tuhan akan menerangi hati
sanubari orang tersebut dengan nur-Nya, sehingga pada waktu itu dia betul-betul dekat
dengan Tuhan, dapat mengenal Tuhan, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatinya.
Orang yang telah sampai ke tingkat ini di kalangan sufi dinamai ahli hakikat.Lebih jauh
bila kata hakikat dipergunakan untuk Tuhan, maka artinya menurut kajian tasawuf ialah
sifat-sifat Allah SWT. Adapun zat Allah SWT sendiri disebut dengan Al-Haqq. Kajian
tentang hakikat dan Al Haqq ini pertama kali dikembangkan oleh Al-Hallaj, kemudian
disempurnakan oleh Ibnu Arabi.Bagi Al-Hallaj, antara manusia dan Tuhan terdapat jarak,
sehingga masing-masing mempunyai hakikat sendiri-sendiri. Tetapi antara dua hakikat itu
terdapat kesamaan. Dengan demikian bila kesamaan itu telah semakin mendekat, maka

jadi kaburlah garis pemisah antara keduanya. Ketika itu terjadilah persatuan (hulul)
antara al-haqq dan manusia. Menurut Ibnu Arabi, segala sesuatu yang ada berasal dari
Tuhan. Oleh sebab itu dia bergabung pada wujud Tuhan. Jika wujud Tuhan tidak ada,
maka segala yang ada (mawjud) ini tidak pula akan ada. Karena itu ia menyimpulkan,
bahwa segala yang ada ini sebenarnya tidak mempunyai wujud tersendiri. Ia baru
berwujud setelah ada wujud lain yang menyebabkan adanya. Dengan demikian, wujud
sebenarnya ialah wujud yang ada dengan sendirinya, tanpa bergantung pada wujud lain.
Itulah wujud Tuhan.Wujud Tuhan inilah wujud yang hakiki atau hakikat dari segalagalanya, yang disebut oleh Ibnu Arabi dengan Al-Haqq atau Haqqul-Haqa'iq. Adapun
wujud-wujud yang lain hanya berupa pengejawantahan (tajali) dari wujud al-haqq
tersebut. Wujud al-haqq tersebut tidak dapat menampakkan diri-Nya pada alam empiris

yang serba terbatas ini, kecuali melalui penampakan sifat- sifat-Nya. Dengan sifat-sifat
serta asma-Nya itu dia bertajali dalam alam yang terbatas ini.Alam sebagai wadah dari
tajali Tuhan disebut dengan Al-Khalq (Makhluk) atau hakikat (realitas). Wadah tajli
Tuhan yang paling sempurna adalah pada Nabi Muhammad SAW, karena itu dia disebut
Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah (Hakikat Muhammad/Nur Muhammad). Yang dimaksud
dengan al-haqiqah al-muhammadiyah tersebut bukanlah diri Nabi Muhammad SAW yang
lahir dari Aminah dan kemudian meninggal dunia di Madinah, tetapi al-haqiqah almuhammadiyah itu adalah asal segala yang ada, yang bersifat kadim dan azali. Nur
tersebut berpindah dari satu generasi ke generasi sesudahnya dalam bentuk para Nabi,
wali, imam-imam Syiah, dan berakhir pada Khatim Al-Auliya (Penutup para Wali), yakni

Nabi Isa a.s. yang akan turun pada akhir zaman.Kata "hakikat" dipergunakan juga dalam
Ilmu Balagah, sebagai lawan dari majaz (metafora). yang dimaksud dengan hakikat
dalam Ilmu Balagah ialah lafal atau ungkapan yang dipergunakan sesuai dengan
pengertian aslinya. Misalnya kata "tangan" biasanya dipakai untuk tangan yang menjadi
salah satu anggota tubuh manusia, tetapi dapat pula diartikan dengan arti "kekuasaan",
seperti dalam ungkapan "raja itu bertangan besi". (Ensiklopedi Islam 2, 1994 : 68 - 70).
Syekh Amin Al Kurdi mengatakan ada tiga tingkat/macam hakikat : a. Terbukanya hijab
bagi hamba/salik dengan apa yang dia imani tentang zat Allah, sifat-Nya, keagungan-Nya
daAn kesempurnaan-Nya. Terbukanya hijab bagi hamba/salik tentang hakekat kenabian,
kesempurnaan para sahabatnya, lebih-lebih tentang keagungan junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW. Terbukanya hijab tentang apa yang disabdakan oleh Rasul mengenai
nikmat dan azab kubur, kiamat, dan keadaannya, neraka dengan segala azabnya, surga
dengan kenikmatannya dan lain-lain seolah-olah hamba menyaksikan itu semua dengan
mata kepalanya. b. Bersih dan kosongnya nafsu (hawa nafsu) si hamba/salik dari semua
akhlak yang tercela dan dihiasinya nafsu dengan segala sifat yang diridlai Allah dan
berakhlaknya seseorang itu dengan akhlak sunnah Rasul, yang itu semua dihayatinya
seperti telah menjadi darah daging baginya. c. Bagi hamba/salik menjadi mudah dan
gampang melaksanakan amal-amal saleh dan amal-amal kebaikan, sehingga dia tidak
merasakan padanya kesulitan dan keberatan, bahkan dirasakan sulit dan berat kalau dia
bermaksud meninggalkannya. Itulah orang yang telah dibukakan dadanya, untuk

menerima Islam ini secara utuh dan sempurna seolah-olah hamba/salik yang demikian
adalah malaikat yang berbentuk manusia.Hakikat itu adalah buah atau hasil tarikat.
Karena itu seorang hamba/salik untuk berhasil menuju akhirat mendapat ridla Allah SWT
harus melaksanakan ketiga-tiganya. Yaitu : Syariat, tarikat dan hakikat itu, harus
dilaksanakan sekaligus. Kata beliau "tarikat adalah jalan memperoleh hakikat, hakikat
tanpa syariat batal, dan syariat tanpa hakikat kosong." (Amin Al Kurdi 1994 : 364-365).
Menurut bahasa, kata ma'rifat berarti mengetahui atau mengenal. Pengertian tersebut bisa
diperluas lagi menjadi: cara mengetahui atau mengenal Allah melalui tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang berupa mahluq-mahluq ciptaan-Nya. Sebab dengan hanya
memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya kita bisa mengetahui akan keberadaan dan
kebesaran Alloh SWT. Kita tentu yakin dan faham betul, bahwa tidak ada satu mahluq
pun walau sekecil atau sebesar apapun, yang ada dengan sendirinya. Semuanya itu pasti
ada yang menciptakan. Dan siapa lagi yang menciptakan segala mahluq tersebut kalau
bukan Allah? Menurut bahasa, kata ma'rifat berarti mengetahui atau mengenal.
Pengertian tersebut bisa diperluas lagi menjadi: cara mengetahui atau mengenal Allah
melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berupa mahluq-mahluq ciptaan-Nya. Sebab
dengan hanya memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya kita bisa mengetahui akan
keberadaan dan kebesaran Alloh SWT. Kita tentu yakin dan faham betul, bahwa tidak ada
satu mahluq pun walau sekecil atau sebesar apapun, yang ada dengan sendirinya.
Semuanya itu pasti ada yang menciptakan. Dan siapa lagi yang menciptakan segala

mahluq tersebut kalau bukan Allah? Tanda-tanda tentang adanya Allah sudah jelas terlihat
di sekeliling kita. Setiap hari bisa melihat terbitnya matahari dari ufuk timur dan
kemudian tenggelam di ufuk barat. Satu sekalipun tidak pernah terbalik. Kita juga bisa
melihat betapa indahnya bulan dan begitu gemerlapnya bintang-bintang yang bertaburan
di malam hari. Semua itu yang menciptakan dan mengatur peredarannya adalah Allah.
Siapa yang tak mengenal Allah lewat tanda-tanda kekuasaan-Nya, ia adalah sebutabutanya manusia. Bukan buta matanya, akan tetapi buta hatinya. Adapun cara

memperhatikan tanda-tanda kekuasa Alloh yang berupa makhluq-makhluqNya tersebut
bukan sekedar dengan mengunakan penglihatan lahir saja. Tetapi harus pula ditunjang
dengan penglihatan mata batin(hati) yang jernih dari berbagai macam dosa. Perhatikan
sabda Rosululloh SAW kepada sahabat Abu Dzar: "Wahai Abu Dzar sembahlah Alloh
seakan-akan kamu melihatNya. Bila kamu tidak melihat Alloh, maka yakinkan (dalam
hatimu) bahwa Alloh melihat kamu". Pembaca, buta mata belum tentu membawa
bencana.Tetapi buta hati, sudah pasti akan mendatangkan siksa. Karena apabila manusia
sudah menderita penyakit buta hati, selama ia belum mendapatkan cahaya ilahi yang
berupa petunjuk-petunjuk kebenaran, maka selama itu pula ia akan tersesat jalanya.
Bukan jalan syurga yang ia tempuh,melainkan jalan ke neraka. Hal ini sesuai dengan
Firman Alloh dalam Al-Qur'an surat Al-Isro' ayat 72 yang artinya: "Dan barang siapa
yang buta (hati) di dunia ini, maka ia buta di akhirat nanti dan bahkan lebih sesat
jalannya". Setelah kita mengenal dan mengetahui akan keberadaan Allah, apakah lantas

pengenalan dan pengetahuan kita tersebut berhenti sampai di situ saja?.Tentu saja tidak.
Akan tetapi lebih daripada itu, kita sebagai hamba-Nya dan sebagai salah satu makhluq
ciptaan-Nya, maka sudah sepatutnya apabila kita senantiasa mengabdikan diri secara
bulat dan utuh semata-mata demi mengharapkan keridloan-Nya.
Salah satu tanda bagi orang yang berma'rifat kepada Alloh adalah ia senantiasa bersandar
dan berserah diri kepada Alloh semata. Apapun yang telah dan akan terjadi pada dirinya,
selalu diterima dengan baik. Apabila ia mendapatkan kenikmatan,ia bersyukur sedang
apabila mendapatkan musibah, ia terima cobaan itu dengan sabar.Orang yang demikian
ini percaya, bahwa semua itu datangnya dari Alloh untuk kebaikan dirinya.
Sebab tidak ada sesuatupun yang terjadi di dunia ini, kecuali ada manfaat atau hikmah di
balik peristiwa tersebut. Selain itu, orang yang berma'rifat kepada Allah tidak pernah
menyombongkan diri. Sebagai makhluq yang lemah dan tanpa daya, manusia tidak bisa
berbuat apa-apa kecuali atas pertolongan dan izin dari Alloh Yang Maha Perkasa. Karena
itu ia pun selalu mencari jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya guna
mendapatkan pertolongan, perlindungan dan karunia dari-Nya Sedang apapun yang dapat
menghalangi jalannya untuk bertaqorrob kepada Alloh SWT ia singkirkan jauh-jauh dari
lubuk hatinya, seperti sifat serakah kepada dunia, kikir, sombong, riya', dan berbagai sifat
tercela lainnya.
Menurut seorang ahli ma'rifat terkenal Al-Junaid, bahwa seorang belum bisa disebut
sebagai ahli ma'rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat:

a. Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara
langsung dengan-Nya.
b. Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Rosululloh SAW (AlHadits).
c. Berserah diri kepada Allah dalam hal mengendalikan hawa nafsunya.
d. Merasa bahwa dirinya adalah kepunyaan Alloh dan kelak pasti akan kembali kepadaNya.
Adapun menurut Imam Al-Ghozali sebagaimana yang ditulis dalam kitab Ihya
'Ulumudin, disitu disebutkan bahwa ada empat hal yang harus dikenal dan dipelajari oleh
seseorang yang berma'rifat kepada Allah. Keempat hal tersebut adalah:
1. Mengenal siapa dirinya.
2. Mengenal siapa Tuhannya.
3. Mengenal Dunianya.
4. Mengenal Akheratnya.
MA’RIFAT
Ma'rifat adalah tingkat penyerahan diri kepada Allah secara berjenjang, secara tingkat
demi setingkat sehingga sampai kepada tingkat keyakinan yang kuat. Orang yang
memiliki ilmu ma'rifat dianggap sebagai orang yang 'arif', karena ia bisa memikirkan
dalam-dalam tentang segala macam liku-liku kehidupan di dunia ini.

Oleh karena itu jika kita bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu ma'rifat, maka
akan meraih suatu karomah. Karomah adalah keistimewaan yang tidak dimiliki orang

awam. Bentuk karomah tersebut adalah mata hati kita menjadi awas dan indra keenam
kita menjadi tajam. Jika indra keenam menjadi tajam, kita akan dapat mengetahui sesuatu
yang tersembunyi di balik peristiwa.
Orang yang mata hatinya dan indra keenamnya tajam, maka ia dapat masuk ke dalam halhal yang dianggap gaib (tersembunyi). Orang yang arif (memiliki ilmu ma'rifat), suka
memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah dengan mata kepalanya, kemudian ia
merenungkan dengan mata hatinya.
Orang ma'rifat jika melakukan sesuatu atau memutuskan sesuatu menggunakan
muraninya daripada hawa nafsunya. Ia tahu betul, apakah hawa nafsu yang
mempengaruhi dirinya atau nuraninya yang berkata. Oleh karena itu, orang yang sudah
menduduki tingkat ini, selalu tajam indera keenamnya. Ia tahu sesuatu yang merugikan
bagi dirinya meskipun tampak seakan-akan menguntungkan. Ia pun tau apa yang
menguntungkan, meskipun seakan-akan tampak seperti merugikan.
Maka, jangan heran, kadang-kadang orang awam memandang sesuatu itu baik dan
menguntungkan, namun bagi orang ma'rifat (orang yang tajam indera keenamnya),
dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan.
Melihat kebaikan dan keburukan dengan mata kepala saja tidak akan dapat mengetahui
keadaan yang sebenarnya. Sesuatu yang elok dipandang mata kadang-kadang hanyalah
tipuan belaka. Sesuatu yang buruk dipandang mata, kadang-kadang tersimpan sesuatu
yang menguntungkan. Maka betapa pentingnya jika kita berlatih untuk mempertajam
mata hati dan indera keenam.

Buta mata belum tentu membahayakan bagi kehidupan kita. Karena banyak orang yang
buta matanya, tetapi masih mampu melakukan sesuatu yang terbaik bagi dirinya. Bahkan
ia mempunyai keistimewaan, yakni lebih awas daripada kita yang memiliki mata normal.
Namun jika mata hati telah buta, maka pertanda hancurlah kehidupan kita, baik
kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.
Orang yang buta hatinya, seringkali merasa kecewa dalam menghadapi liku-liku
kehidupannya, karena ia sering gagal dalam mengambil keputusan. Keputusannya lebih
banyak meleset. Sebab, yang digunakan untuk mengambil keputusan lebih didasarkan
pada penglihatan mata dan akal yang dipenuhi hawa nafsu. Jadinya, ia kurang cermat dan
kurang hati-hati. Ia mudah terkecoh dengan fatamorgana serta khayalan-khayalannya
sendiri.
"Dan barang siapa yang buta mata hatinya di dunia ini, maka buta pula di akhirat, jauh
tersesat jalannya."
"Sesungguhnya, bukan matanya yang buta, tetapi mata hatinyalah yang buta, yang berada
di rongga dadanya."
Oleh karena itu, betapa pentingnya kita mempelajari ilmu ma'rifat. Dengan ilmu ma'rifat,
hati dan alam bawah sadar kita terhindar dari 'kebutaan'. Hati kita menjadi jernih
sehingga setiap apa yang kita pikirkan dan kita lakukan akan mendatangkan hasil yang
menguntungkan.
Orang yang ma'rifat, selalu berprasangka baik kepada siapapun. Ia juga selalu

berprasangka baik kepada Allah swt. TIdak pernah berkeluh kesah dalam hidupnya. Ia
selalu merasa dekat kepada Allah. Selalu merasa cinta, penuh harapan dan hatinya terasa
senantiasa tenteram.

Ilmu ma'rifat mengantarkan kita kepada suasana hati ikhlas dalam berbuat apa saja, lebihlebih beribadah kepada Allah. Ibadahnya dilakukan tanpa pamrih dan tanpa keinginan
dipuji orang lain.
Orang-orang ma'rifat menganggap jika perbuatan dilakukan tidak dengan ikhlas, tetapi
dengan pamrih, maka akan mengotori jiwanya. Jika jiwa kotor, hati akan berdebu. Bila
hati berdebu berarti mata batin dan indera keenam telah buta.
Golongan orang-orang ini selalu menjaga hatinya dan alam bawah sadarnya agar tidak
tercemar oleh debu-debu yang dapat membutakan. Karena itu, suasana hati orang-orang
ma'rifat selalu tenteram karena selalu berprasangka baik kepada siapa pun, tidak
membenci, tidak dendam, tidak iri hati, tidak sombong dan tidak riya'.
Sebab, sederetan penyakit semisal sombong, benci, dendam, iri hati dan sebagainya
merupakan letupan emosi, bukan nurani yang berbicara, melainkan nafsu keserakahan.
Jika kita telah mendalami ilmu ma'rifat dengan bersungguh-sungguh, maka akan dapat
melihat betapa diri kita menjadi orang yang luar biasa. Mungkin kita akan terheran-heran.
Karena jika ilmu ma'rifat telah dikuasai, maka seseorang akan dapat mengenal Allah,
sehingga antara dirinya dan Allah seakan-akan tidak ada batas/perantara, sehingga
seakan-akan mampu berhubungan langsung.

Disamping itu, kita akan dapat dengan mudah menyerahkan hawa nafsu menurut
kehendak Allah. Kita merasa tidak punya hak untuk memiliki, sekalipun pada diri sendiri.
Karena menyadari segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah milik Allah, termasuk
nyawa kita.