ORISINALITAS TASAWUF DOKTRIN TASAWUF DAL

BAB III DOKTRIN-DOKTRIN DASAR TASAWUF

B patut dikemukakan sebagai jalan untuk melacak keberadaan

agian ini akan mengungkap sejumlah doktrin pokok tasawuf. Secara khusus, akan dikemukakan sejumlah gagasan dasar dalam dunia tasawuf mencakup tujuan, metode, serta konsep maqamat dan ahwal. Tema-tema ini

tema-tema tersebut dalam nomenklatur Islam, baik al-Qur`an maupun hadis.

A. Tasawuf sebagai Ilmu

Dalam tradisi Islam, semua ilmu berasal dari Allah SWT. Sebab, segala sesuatu berasal dari-Nya, dan Dia sendiri menye- but diri-Nya sebagai ‘Alim, Maha Mengetahui. Karenanya, se- bagai ‘Alim, Dia memiliki sifat ilmu (‘ilm) atau mengetahui. Da- lam filsafat Islam, semua nama atau sifat-Nya adalah hakikat dari eksistensi-Nya. Hakikat dari eksistensi-Nya adalah wujud itu sendiri. Sebagai salah satu sifat-Nya, maka ‘ilm (ilmu) ada-

lah eksistensi-Nya sendiri. 1 Pada hakikatnya, Allah SWT. ada- lah pemilik ilmu, objek ilmu, bahkan ilmu itu sendiri.

Ilmu Allah SWT. sangat luas sekali, tanpa ada batas. Se- bagai Maha Pemurah, Dia memberi manusia banyak penge- tahuan. Bisa saja Dia memberikan seluruh pengetahuan-Nya kepada manusia tanpa ada batas, tetapi karena manusia mem- iliki keterbatasan, maka manusia hanya mampu menyerap sedikit saja dari ilmu-Nya. Ibarat air laut ditumpahkan ke da- lam sebuah cangkir, tentu cangkir tidak akan mampu menam- pung air laut tersebut, karena keterbatasan kapasitas cangkir.

Jadi, sebagai pemilik ilmu, ilmu-Nya tidak terbatas. Sebab, ilmu adalah diri-Nya sendiri, sedangkan diri-Nya sendiri adalah tid- ak terbatas.

Kendati manusia memiliki banyak keterbatasan, tetapi Al- lah SWT. tiada pernah berhenti melimpahkan pengetahuan- Nya kepada setiap manusia. Karena alasan inilah, Dia memberi manusia dua kitab ilmu kepada manusia, yaitu kitab kecil dan kitab besar. Kedua kitab ini berisikan ayat-ayat-Nya. Kitab kecil berisikan ayat-ayat qauliyah. Kitab ini dikenal sebagai kitab suci, yang berisikan kalam Ilahi, kepada seorang nabi dan rasul. Se- dangkan kitab besar berisikan ayat-ayat kauniyah. Kitab ini

dikenal sebagai alam. 2 Dalam Islam, alam dibagi menjadi dua bagian yaitu alam besar (makro kosmos), yaitu alam semesta, dan alam kecil (mikro kosmos), yaitu manusia, dan kedua alam ini

diciptakan sebagai tanda-tanda (ayat) keberadaan Allah SWT. 3 Kedua alam ini bahkan memiliki dimensi lahir (fisik) dan di- mensi batin (non-fisik). 4 Setiap manusia diperintahkan Allah SWT. untuk menafsirkan kedua kitab ilmu ini secara baik dan benar, karena keduanya berisikan ayat-ayat Ilahi.

Dengan kata lain, sebagian ilmu telah diberikan Allah SWT. secara langsung kepada manusia, tetapi melalui lisan para nabi dan rasul, berupa wahyu. Wahyu Ilahi, seperti al- Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. berisikan banyak ilmu, dan wahyu Ilahi ini menjelaskan segala sesuatu (al-kitab tibyan li kul-

li syai’). 5 Dalam tradisi Islam, ayat-ayat al-Quran memiliki makna lahir sekaligus makna batin. 6 Allah SWT. menyeru manusia mempelajari kandungan ayat-ayat al- Qur’an 7 dan berupaya memahami ta’wilnya. 8 Manusia diperintahkan oleh Allah SWT. untuk menafsirkan dan menakwilkan kandungan teks dari ayat-ayat al- Qur’an, supaya mereka bisa memahami

seluruh realitas. 9 Sebagai teks suci, ayat-ayat al- Qur’an harus ditafsirkan dan ditakwilkan secara benar. Dalam epistemologi Islam, teks-teks wahyu bisa dipahami secara benar dengan dengan metode bayani, yaitu tafsir dan ta’wil. Metode tafsir san- seluruh realitas. 9 Sebagai teks suci, ayat-ayat al- Qur’an harus ditafsirkan dan ditakwilkan secara benar. Dalam epistemologi Islam, teks-teks wahyu bisa dipahami secara benar dengan dengan metode bayani, yaitu tafsir dan ta’wil. Metode tafsir san-

Ilmu juga diberikan oleh Allah SWT. secara tidak langsung kepada manusia. Dia menciptakan sebuah kitab besar bagi manusia, yaitu alam semesta. Alam dibagi menjadi dua bagian,

yaitu alam besar (makro kosmos) dan alam kecil (mikro kosmos). 10 Kedua alam ini memiliki dimensi gaib dan non-gaib. Jadi, kitab besar mengandung dua dimensi yaitu dimensi lahir dan di- mensi batin.

Al-Quran mengakui bahwa realitas itu bisa dibagi dua, yai- tu realitas gaib dan realitas syahadah (non-gaib). 11 Banyak sekali ayat membicarakan realitas gaib seperti Allah SWT., 12 malaikat, 13 ‘arsy, 14 setan, 15 iblis, 16 surga, 17 dan neraka. 18 Tidak sedikit juga ayat al-Quran yang membicarakan fenomena alam fisik seperti langit dan bumi, 19 matahari, 20 bulan, 21 gunung, 22 dan pohon. 23 Al- Qur’an sangat banyak memberikan contoh- contoh bahwa alam memiliki dua dimensi, dimensi lahir dan dimensi batin.

Sebagaimana kemestian untuk menafsirkan kitab kecil, Is- lam juga menyeru manusia menafsirkan kitab besar ini, karena kitab ini juga berisikan ayat-ayat (tanda-tanda) Ilahi. 24 Agar manusia mampu menafsirkan kitab ini, maka Allah SWT. men- ganugerahkan indera, akal dan hati. 25 Manusia akan berhasil menafsirkan kitab besar ini, bila mereka mampu mengaktuali- sasikan semua potensi epistemologinya itu secara sempurna.

Islam bahkan memerintahkan manusia menggunakan se- luruh potensi epistemologinya (indera, akal dan hati), agar mereka mampu memahami realitas. Allah SWT. akan memurkai, bahkan memberikan derajat yang lebih rendah dari derajat hewan ternak kepada manusia, apabila mereka enggan menggunakan indera, akal dan hati untuk memahami ayat-ayat

Ilahi. 26 Perintah Allah SWT. ini tidak lain adalah agar manusia mampu memahami tanda-tanda keberadaan Sang Ilahi. 27

Dalam epistemologi Islam, kitab besar akan bisa ditafsirkan secara benar apabila manusia menggunakan metode tajribi, burhani, dan ‘irfani. 28 Metode tajribi (eksperimen dan observasi) digunakan untuk memahami fenomena alam fisik, dan alam fisik bisa dipahami lewat indera. 29 Jadi, metode ini menggunakan indera untuk memahami alam fisik. Para saintis Muslim telah mengembangkan metode ini, dan hakikat metode ini adalah melakukan pengamatan indriawi terhadap objek- objek fisik dan percobaan-percobaan ilmiah terhadap mereka. Terkadang, pengamatan indriawi ini bisa dilakukan secara langsung tanpa alat bantu, namun terkadang membutuhkan alat bantu, misalnya, mikroskop untuk mengamati benda- benda paling kecil, dan teleskop untuk mengamati benda- benda paling jauh. Karena alam fisik mengandung realitas ter- dalam, dan alam fisik memiliki hakikat tersembunyi, maka alam fisik tidak bisa diketahui secara sempurna hanya dengan mengandalkan indera lahiriah semata. Karenanya, penalaran akal memainkan peran besar bagi upaya pengamatan makna

terdalam dari alam fisik ini. 30 Dengan demikian, alam fisik bisa dipahami lewat indera, dan kelemahan indera mengetahui hakikat terdalam dari alam fisik ditutupi oleh kemampuan penalaran akal.

Metode burhani digunakan oleh kalangan filosof dari berbagai aliran seperti Peripatetisme ( hikmah masysya’iyah), Il- luminasionisme, (hikmah isyraqiyah) dan Transendentalisme ( hikmah muta‘aliyah). Metode ini menggunakan akal sebagai alat meraih ilmu. Metode ini menggunakan argumentasi logika

(silogisme). 31 Selain membantu indera untuk memahami alam, akal memiliki peran besar mengenal karakteristik alam gaib (non-fisik). Indera tidak mampu mengenali alam gaib, se- bagaimana akal memiliki kemampuan ini. Tetapi, kelebihan akal sebagai alat mengenal objek-objek non-fisik tidak sekaligus (silogisme). 31 Selain membantu indera untuk memahami alam, akal memiliki peran besar mengenal karakteristik alam gaib (non-fisik). Indera tidak mampu mengenali alam gaib, se- bagaimana akal memiliki kemampuan ini. Tetapi, kelebihan akal sebagai alat mengenal objek-objek non-fisik tidak sekaligus

gaib menjadi akurat. 32 Akan tetapi, akal hanya mampu mengenal dan mengetahui karakteristik objek-objek non-fisik semata, tetapi tidak merasakan, mengalami, apalagi melihat objek-objek tersebut.

Kelemahan akal tersebut ditutupi oleh metode ‘irfani yang disebut juga sebagai tazkiyah al-nafs. 33 Metode ini sangat mengandalkan hati (qalb) manusia sebagai alat meraih ilmu. Menurut metode ini, ilmu bisa diperoleh dengan cara mem- bersihkan jiwa dan hati manusia dari segala dosa. Apabila hati manusia telah suci, maka Allah SWT. akan melimpahkan ilmu secara langsung ke dalam hati manusia. Ilmu ini disebut se- bagai ilmu hudhuri atau ilmu laduni. Dikatakan ilmu hudhuri adalah karena objek pengetahuan dicapai tanpa melalui peran- tara apapun, baik berupa simbol, konsep maupun representa-

si. 34 Metode ‘irfani ini digunakan oleh kalangan sufi, baik dari

mazhab Gnosisme, Illuminasionisme maupun Transendental- isme. Dalam tradisi Islam, tasawuf atau ‘irfan menjadi ilmu yang menggunakan metode ini. Keduanya kerap disebut mis- tisisme Islam. Melalui metode ini para sufi akan mampu me- rasakan dan melihat objek-objek non-fisik. Mereka bahkan akan mampu memasuki alam gaib, dan memperoleh berbagai ilmu dari alam gaib tersebut. Jika metode burhani hanya sebatas mengenal dan mengetahui objek-objek non-fisik (alam gaib), namun metode ‘irfani mampu mengalami, merasakan, bahkan melihat objek-objek gaib tersebut. Semua ini bisa dipahami dari kasus perjumpaan antara Ibn Sina, seorang filosof diskursif, dan Abu Sa’id, seorang sufi. Ketika mereka bertemu, Ibn Sina berkata “apa yang aku ketahui, ia telah melihatnya.” Se- mazhab Gnosisme, Illuminasionisme maupun Transendental- isme. Dalam tradisi Islam, tasawuf atau ‘irfan menjadi ilmu yang menggunakan metode ini. Keduanya kerap disebut mis- tisisme Islam. Melalui metode ini para sufi akan mampu me- rasakan dan melihat objek-objek non-fisik. Mereka bahkan akan mampu memasuki alam gaib, dan memperoleh berbagai ilmu dari alam gaib tersebut. Jika metode burhani hanya sebatas mengenal dan mengetahui objek-objek non-fisik (alam gaib), namun metode ‘irfani mampu mengalami, merasakan, bahkan melihat objek-objek gaib tersebut. Semua ini bisa dipahami dari kasus perjumpaan antara Ibn Sina, seorang filosof diskursif, dan Abu Sa’id, seorang sufi. Ketika mereka bertemu, Ibn Sina berkata “apa yang aku ketahui, ia telah melihatnya.” Se-

telah mengetahuinya.” 35

Contoh lain bisa disimak dari pertemuan antara Ibn Rusyd, seorang filosof diskursif dengan Ibn ‘Arabi, seorang sufi yang ketika itu masih berusia remaja. Ketika Ibn Rusyd bertemu dengan Ibn ‘Arabi, ia memandangnya dan bertanya “ya?,” lantas Ibn ‘Arabi menjawab “ya.” Ibn Rusyd bertanya sekali lagi “ya?,” tetapi Ibn ‘Arabi menjawab “tidak!.” Seketika wajah Ibn Rusyd pucat pasi. Peribncangan batin mereka sebenarnya seputar masalah cara paling ampuh menuju Allah SWT. Ibn Rusyd sangat meyakini bahwa jalan menuju-Nya hanya me- lalui peningkatan dan penyempurnaan pengetahuan rasional. Akan tetapi, bagi Ibn ‘Arabi bahwa cara menunju-Nya hanya melalui jalan latihan ruhani dan mengikuti ajaran para sufi

yang tidak belajar dari buku-buku filsafat seperti Ibn Rusyd. 36 Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa pengetahuan akal lebih tinggi kualitasnya dari pada pengetahuan inderawi, dan pengetahuan intuitif lebih tinggi kualitasnya dari pada penge- tahuan inderawi bahkan pengetahuan akal.

Kendati demikian, perbedaan kualitas ilmu tersebut tidak membuat para sarjana Muslim Klasik mendiskriminasikan salah satu dari ketiga metode ilmiah tersebut. Mereka menerima ketiga metode ilmiah tersebut sebagai metode yang valid untuk meraih ilmu. Mereka meyakini bahwa perbedaan tersebut lahir sebagai konsekuensi dari perbedaan objek kajian ketiga metode tersebut. Metode tajribi sangat ampuh meraih ilmu dari objek-objek fisik, tetapi tidak ampuh meraih ilmu dari objek-objek non-fisik. Sedangkan metode burhani sangat akurat menimba ilmu dari objek-objek non-fisik, kendati metode ini hanya mampu mengenali dan mengetahui karakteristik objek non-fisik tersebut. Kelemahan metode burhani ditutupi oleh metode ‘irfani, karena metode terakhir ini mampu merasakan, melihat bahkan memasuki dunia non-fisik, dan meraup hakikat dari dunia gaib tersebut. Dengan demikian, kevalidan ketiga Kendati demikian, perbedaan kualitas ilmu tersebut tidak membuat para sarjana Muslim Klasik mendiskriminasikan salah satu dari ketiga metode ilmiah tersebut. Mereka menerima ketiga metode ilmiah tersebut sebagai metode yang valid untuk meraih ilmu. Mereka meyakini bahwa perbedaan tersebut lahir sebagai konsekuensi dari perbedaan objek kajian ketiga metode tersebut. Metode tajribi sangat ampuh meraih ilmu dari objek-objek fisik, tetapi tidak ampuh meraih ilmu dari objek-objek non-fisik. Sedangkan metode burhani sangat akurat menimba ilmu dari objek-objek non-fisik, kendati metode ini hanya mampu mengenali dan mengetahui karakteristik objek non-fisik tersebut. Kelemahan metode burhani ditutupi oleh metode ‘irfani, karena metode terakhir ini mampu merasakan, melihat bahkan memasuki dunia non-fisik, dan meraup hakikat dari dunia gaib tersebut. Dengan demikian, kevalidan ketiga

Keempat metode ilmiah ini diakui oleh al- Qur’an sebagai cara tervalid memperoleh ilmu dari dua kitab suci Ilahi. Banyak ayat al- Qur’an menyeru manusia untuk memperhatikan fe-

nomena-fenomena alam fisik 37 dengan menggunakan potensi panca inderanya. 38 Inilah dasar bagi keabsahan penggunaan metode tajribi. Selain itu, al- Qur’an juga memerintahkan manu- sia agar menggunakan potensi akalnya untuk berpikir secara

benar, 39 agar mereka mampu memahami fenomena alam fisik dan alam gaib. 40 Allah SWT. bahkan sangat memurkai mereka yang tidak mau berpikir secara benar. 41 Inilah dasar bagi ke- absahan penggunaan metode burhani sebagai metode meraih ilmu. Kemudian, al- Qur’an juga memerintahkan setiap manusia mensucikan jiwanya, dan melarang mengotorinya, karena hati

yang suci akan mampu menerima ilham Ilahi, 42 dan orang- orang berhati bersih akan mendapatkan rahmat Ilahi berupa ilmu yang datang langsung dari sisi- Nya (‘ilm hudhuri). 43 Inilah salah satu argumen kuat tentang kevalidan metode ‘irfani menurut Islam. Tujuan semua perintah Allah SWT. ini adalah agar manusia bisa memperoleh pengetahuan tentang realitas secara benar, sehingga mereka bisa melihat tanda-tanda

kekuasaan Ilahi. 44 Jelas sekali bahwa al- Qur’an mengakui ke- absahan metode tajribi, metode burhani, dan metode ‘irfani se- bagai metode menafsirkan kitab besar.

Dari sini dipahami bahwa karena semua ilmu berasal dari Allah SWT., karena Dia menjadi sumber utama ilmu, dan Dia menciptakan dua kitab sebagai wadah penampung semua ilmu-Nya, maka pada dasarnya, tidak ada pertentangan antara kitab kecil dan kitab besar. Tidak mungkin ada pertentangan karena Allah SWT. adalah wujud sempurna dan sederhana, dan karena Dia tidak berasal dari unsur-unsur yang berbeda, apalagi bertentangan. Dia Maha Esa, dan karena Dia sebagai sumber ilmu, maka kebenaran ilmu menjadi esa pula. Idealnya Dari sini dipahami bahwa karena semua ilmu berasal dari Allah SWT., karena Dia menjadi sumber utama ilmu, dan Dia menciptakan dua kitab sebagai wadah penampung semua ilmu-Nya, maka pada dasarnya, tidak ada pertentangan antara kitab kecil dan kitab besar. Tidak mungkin ada pertentangan karena Allah SWT. adalah wujud sempurna dan sederhana, dan karena Dia tidak berasal dari unsur-unsur yang berbeda, apalagi bertentangan. Dia Maha Esa, dan karena Dia sebagai sumber ilmu, maka kebenaran ilmu menjadi esa pula. Idealnya

Karena itu, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu filosofis, keduanya sama-sama berasal dari Allah SWT. Atau, semua ilmu, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu rasional, be- rasal dari-Nya. Bedanya, ilmu-ilmu agama berasal dari wahyu yang berasal langsung dari Allah SWT., sedangkan ilmu-ilmu rasional berasal dari Allah SWT, tetapi tidak langsung, karena manusia berusaha keras mencarinya lewat indera, akal dan hati. Para nabi dan rasul menjadi aktor pemeroleh dan penye- bar wahyu Ilahi, sebagai pengetahuan langsung dari Allah SWT., sedangkan para pemikir semacam saintis, filosof dan sufi menjadi aktor pemeroleh dan penyebar pengetahuan tidak langsung dari Allah SWT tersebut. Pada dasarnya, sama sekali tidak ada kontradiksi antara kedua bentuk ilmu ini. Dalam tradisi intelektual Islam, para pemikir Muslim bahkan menjadi- kan wahyu sebagai sumber inspirasi. Bagi kehidupan manusia, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Bahkan, ilmu-ilmu non-agama lahir dari dorongan wahyu Ilahi. Semua pemikir Muslim mengembangkan beragam ilmu atas dasar seruan Ilahi sebagaimana disebutkan oleh berbagai ayat-ayat al- Qur’an. Semua ini mereka lakukan demi menemukan bukti-bukti dari keberadaan-Nya, agar keimanan mereka semakin teguh dan kokoh.

Ringkasnya, tradisi intelektual Islam mengakui kevalidan mistisisme sebagai ilmu. Islam mengakui hati (intuisi) sebagai sarana ilmiah meraih ilmu, dan bahkan alat epistemologi ini menjadi alat paling jitu menangkap hakikat realitas. Akan teta- pi, hanya hati manusia suci yang mampu meraih ilmu hakiki tersebut, karena manusia tersebut telah berhasil mensucikan hatinya (tazkiyah al-nafs), sehingga Allah SWT. secara otomatis melimpahkan ilmu ke dalam hati suci manusia tersebut. Dalam Ringkasnya, tradisi intelektual Islam mengakui kevalidan mistisisme sebagai ilmu. Islam mengakui hati (intuisi) sebagai sarana ilmiah meraih ilmu, dan bahkan alat epistemologi ini menjadi alat paling jitu menangkap hakikat realitas. Akan teta- pi, hanya hati manusia suci yang mampu meraih ilmu hakiki tersebut, karena manusia tersebut telah berhasil mensucikan hatinya (tazkiyah al-nafs), sehingga Allah SWT. secara otomatis melimpahkan ilmu ke dalam hati suci manusia tersebut. Dalam

B. Tujuan Tasawuf

Para sufi menekuni tasawuf dengan tujuan membersihkan jiwa dan hati agar mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah ). Tujuan ini bisa dilihat dari perkataan para sufi awal tentang hakikat dan tujuan tasawuf. Husain ibn ‘Ali berkata “tasawuf adalah kebaikan budi pekerti. Ia yang memiliki budi

pekerti yang lebih baik adala h sufi yang baik.” 45 Al-Syibli berkata bahwa “tasawuf adalah syirik, karena ia menjaga hati dari pandangan terhadap yang lain dan yang lain tidaklah

ada.” 46 Al- Syibli berkata juga “tasawuf adalah duduk bersama Allah tanpa merasa sedih sedikit pun.” 47 Ahmad al-Jariri berkata bahwa “tasawuf adalah memasuki dalam semua akhlak nabi dan keluar dari semua akhlak yang tidak terpuji.” 48 Ahmad al- Nuri berkata “tasawuf adalah akhlak, maka barang siapa yang bertambah akhlaknya, maka akan bertambah

mantap tasawufnya.” 49 Ahmad ibn Muhammad al-Ruzabari berkata bahwa “tasawuf adalah menetap di pintu kekasih (Allah), walaupun ia terusir (karena dosanya), dan kebersihan hati yang dekat kepada Allah adalah setelah jauh dari Allah

karena kotoran dosa.” 50 Dzun Nun al-Mishri berkata “para sufi adalah orang-orang yang mengutamakan Allah daripada lainnya, sehingga Allah lebih mengutamakan mereka daripada

lainnya.” 51 Al- Junaid berkata tasawuf adalah “memurnikan hati dari berhubungan dengan makhluk lain, meninggalkan sifat- sifat alamiah, menekan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani, mengambil pelbagai sifat ruh, mengikatkan diri kepada ilmu-ilmu hakikat, mengumpulkan segala sesuatu untuk masa yang kekal, sungguh-sungguh beriman kepada

Tuhan dan mengikuti syari’at Nabi Muhammad SAW.” 52 Sahl

Abd Allah al- Tustari berkata bahwa “para sufi adalah orang yang bersih dari ketidakmurnian dan selalu merenung, memu- tuskan hubungan dengan manusia lain demi mendekatkan diri

kepada Allah”. 53 Abu Yadzid al- Busthami berkata “para sufi adalah anak- anak yang duduk di pangkuan Tuhan.” 54 Ibn Sina berkata tasawuf adalah “memisahkan diri dari semua kesibukan kepada selain Allah SWT. sampai menjadi fana’ dan meleburkan diri bersama Ilahi, sehingga bisa berperilaku sesuai akhlak Ilahi dan mencapai hakikat tunggal, sehingga akhirnya

mencapai kesempurnaan”. 55 Nashir al-Din al-Thusi berkata “tasawuf adalah ilmu tentang Allah SWT. dari dimensi asma`, shifat dan tajalli- Nya…ilmu tentang usaha melepaskan diri dari segala keterikatan materi yang membelenggu seorang salik saat menyatu dengan Allah SWT., dan ilmu tentang berperilaku

sesuai dengan sifat-sifat- Nya”. 56

Berdasarkan pernyataan para sufi ini, para sarjana meru- muskan tujuan seorang sufi dalam menekuni tasawuf. Menurut Harun Nasution, tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Karena itu, intisari dari tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasing- kan diri (khalwah) dan berkontemplasi. Lalu, kesadaran ini

mengambil bentuk rasa dekat sekali dengan-Nya. 57 Men- dukung Harun, Mulyadhi Kertanegara menyatakan bahwa tujuan dari tasawuf adalah pendekatan dengan sumber dan

tujuan hidup manusia, yaitu Tuhan. 58 Sedangkan A. Rivay Siregar menyatakan bahwa tujuan dari tasawuf adalah agar be- rada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Secara khusus, ada tiga sasaran tasawuf, yaitu pembinaan aspek moral, untuk ma‘rifat Allah melalui penyingkapan langsung (al-kasyf al-hijab), dan untuk membahas sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah SWT. secara mistis filosofis dan pengkajian garis

hubungan antara Tuhan dengan makhluk. 59 Dengan demikian, hubungan antara Tuhan dengan makhluk. 59 Dengan demikian,

Dengan demikian, setidaknya ada empat tujuan tasawuf bagi seorang sufi. Pertama. Untuk membersihkan hati agar dapat mendekatkan diri kepada Allah. Kedua. Untuk membina akhlak mulia (akhlaq al-karimah). Ketiga. Untuk memperoleh ma’rifah (pengetahuan sejati tentang Tuhan). Keempat. Untuk memperoleh ilmu-ilmu hakikat ( ‘ilm al-ladunni). Karena tujuan- tujuan inilah, para sufi melakukan sejumlah praktik/perjalanan spiritual.

C. Metode Tasawuf

Kaum sufi menggunakan metode ‘irfani yang disebut juga sebagai tazkiyah al-nafs. 60 Metode ini mengandalkan hati (qalb) manusia sebagai alat meraih ilmu. Menurut metode ini, ilmu bisa diperoleh dengan cara membersihkan jiwa dan hati manusia dari segala dosa. Apabila hati manusia telah suci, maka Allah SWT. akan melimpahkan ilmu secara langsung ke dalam hati manusia. Ilmu ini disebut sebagai ilmu hudhuri atau ilmu laduni. Dikatakan ilmu hudhuri adalah karena objek penge- tahuan dicapai tanpa melalui perantara apapun baik berupa simbol, konsep maupun representasi.

Jika para filosof menjadikan akal sebagai alat meraih ilmu dan para saintis menjadikan indera sebagai sarana pemeroleh ilmu, maka para sufi menggunakan jiwa dan hati sebagai sarana memperoleh ilmu langsung dari Allah SWT. Para sufi menyadari bahwa indera dan akal memang bisa membantu manusia mendapatkan kebenaran, namun keduanya memiliki kelemahan. Dari sini mereka mencari alat lain untuk mendapatkan kebenaran sejati, dan menyimpulkan bahwa mereka akan memperoleh kebenaran sejati melalui jiwa dan hati. Akan tetapi, mereka berpendapat bahwa tidak semua jiwa Jika para filosof menjadikan akal sebagai alat meraih ilmu dan para saintis menjadikan indera sebagai sarana pemeroleh ilmu, maka para sufi menggunakan jiwa dan hati sebagai sarana memperoleh ilmu langsung dari Allah SWT. Para sufi menyadari bahwa indera dan akal memang bisa membantu manusia mendapatkan kebenaran, namun keduanya memiliki kelemahan. Dari sini mereka mencari alat lain untuk mendapatkan kebenaran sejati, dan menyimpulkan bahwa mereka akan memperoleh kebenaran sejati melalui jiwa dan hati. Akan tetapi, mereka berpendapat bahwa tidak semua jiwa

Para sufi telah merumuskan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam hal ini, mereka hanya bertumpu kepada metode penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) semata, dan sama sekali menolak argumentasi dan demonstrasi rasional para

filosof Peripatetik. 61 Untuk bisa dekat diri kepada Allah SWT., kaum sufi melakukan perjalanan ruhani, sehingga mereka bisa mengetahui dan sampai kepada hakikat (Allah SWT). 62 Dengan kata lain, kaum sufi menggunakan metode intuitif. Bagi kaum sufi, pengetahuan dari hasil penyingkapan intuisi (hati) lebih unggul dari pengetahuan dari hasil silogisme akal. Karena itu- lah, pengetahuan para sufi lebih unggul dari pengetahuan para

filosof. 63 Meskipun setiap sufi menggunakan metode intuitif, tetapi tiap-tiap mereka merumuskan metode khas tersendiri sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan hal ini bisa dilihat dari rumusan-rumusan (amalan-amalan) milik para sufi dan berbagai tarekat tentang metode mendekatkan diri kepada-Nya.

Menurut al-Ghazali, ada beberapa metode agar seorang su- fi dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pertama. Ri- yadhah dan muraqabah. Riyadhah adalah latihan kejiwaan. Se- dangkan muraqabah adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua metode ini juga harus dilakukan

secara baik dan benar sesuai dengan syariat Islam. 64 Kedua. Ta- fakkur , yaitu berpikir tentang realitas alam semesta. Metode ta- fakkur ini harus dilakukan secara baik dan benar sesuai dengan syarat-syarat berpikir. Tafakkur sangat bermanfaat bagi seorang sufi untuk menjadi ulama sempurna, berakal, mendapatkan

ilham, dan ahli hujjah. 65 Ketiga. Tazkiyah al-Nafs, yaitu proses ilham, dan ahli hujjah. 65 Ketiga. Tazkiyah al-Nafs, yaitu proses

berupa karunia keis- timewaan/karamah dari Allah SWT. 66 Upaya penyucian jiwa ini penting dilakukan oleh seorang sufi karena Allah tidak akan bisa didekati oleh jiwa-jiwa kotor. Keempat. Zikir. Zikir kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi, setelah mereka ber- hasil menghilangkan rintangan jiwa dan membersihkan jiwa dari akhlak tercela. Ketika jiwa telah bersih dan kosong dari segala sesuatu selain Allah, para sufi menghiasi jiwa mereka dengan zikir. Zikir memiliki manfaat besar bagi seorang sufi, sebab zikir dapat menjadi sarana untuk membersihkan jiwa, membuka tabir alam malakut, mendatangkan ilham, dan men- dekati Allah SWT. Jadi, zikir sangat penting bagi seorang sufi, karena zikir dapat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Zikir mampu menyucikan dan mem- bersihkan hati seorang sufi, dan zikir menjadi santapan hati, ungkapan-ungkapan dialog kepada Tuhan, sekaligus menun-

kegiatannya

tersebut

jukkan keakraban manusia terhadap Tuhan. 67 Menurut al-Ghazali, zikir memiliki tiga kerja spiritual. Per-

tama. Zikir lahir dengan gerakan lidah. Zikir ini sangat dianjur- kan dalam bacaan dari beberapa bentuk ibadah. Kedua. Zikir sirr (rahasia). Kedudukan zikir ini lebih mulia dari ibadah dan sedekah. Ketiga. Zikir kalbu (qalb). Zikir kalbu muncul sebagai ketidakbutuhan terhadap makhluk dan kesibukan dengan Kha- lik. Apabila seorang sufi sudah sampai pada tahap ini, berarti sufi tersebut telah memasuki fana’ pertama. Dari fana’ pertama tama. Zikir lahir dengan gerakan lidah. Zikir ini sangat dianjur- kan dalam bacaan dari beberapa bentuk ibadah. Kedua. Zikir sirr (rahasia). Kedudukan zikir ini lebih mulia dari ibadah dan sedekah. Ketiga. Zikir kalbu (qalb). Zikir kalbu muncul sebagai ketidakbutuhan terhadap makhluk dan kesibukan dengan Kha- lik. Apabila seorang sufi sudah sampai pada tahap ini, berarti sufi tersebut telah memasuki fana’ pertama. Dari fana’ pertama

mati kepada Tuhan. 68

Dalam tarekat Kubrawiyah, menurut Syaikh Najm al-Din al-Kubra, ada dua jenis prinsip sebagai cara menuju Allah, yakni prinsip lahiriah dan prinsip batiniah. Prinsip-prinsip lahiriah berupa pengamalan aturan-aturan seperti memutuskan diri dari belenggu kepemilikan materi dan menjauhkan diri dari keterikatan duniawi, menyendiri dan menjauhkan diri dari orang banyak, melindungi tujuh organ tubuh dari segala yang dibenci Allah, melawan hasrat hawa nafsu dan keinginannya, mencari seorang syaikh sempurna dan bijaksana, menyibukkan diri dengan berbagai amalan seperti doa, zikir dan salat sunnah, senantiasa berpuasa, menjaga kebersihan tubuh, selalu bangun malam, dan berusaha keras memperoleh penghasilan dan pendapatan yang halal. Selanjutnya, menurut Syaikh Najm al-Din, prinsip-prinsip batiniah adalah berupa pengamalan aturan seperti memelihara dan menjaga diri, ekspresi kerendahhatian, kefakiran dan kehinaan di hadapan Allah, taubat (taubah) dan menyesal (inabah) di hadapan-Nya baik dalam keadaan sulit maupun senang, kepasrahan kepada perintah-Nya, kerelaan (ridha) yaitu menerima ketentuan-Nya tanpa mengemukakan pertanyaan sekalipun terasa pahit, kesedihan permanen (huzn), berprasangka baik (husn al-zhan), tidak menganggap diri tidak terjangkau oleh rencana-Nya, cinta (mahabbah), dan menyerahkan diri kepada kehendak ( masyi‘ah) dan kebebasan (ikhtiyar) seseorang serta Dalam tarekat Kubrawiyah, menurut Syaikh Najm al-Din al-Kubra, ada dua jenis prinsip sebagai cara menuju Allah, yakni prinsip lahiriah dan prinsip batiniah. Prinsip-prinsip lahiriah berupa pengamalan aturan-aturan seperti memutuskan diri dari belenggu kepemilikan materi dan menjauhkan diri dari keterikatan duniawi, menyendiri dan menjauhkan diri dari orang banyak, melindungi tujuh organ tubuh dari segala yang dibenci Allah, melawan hasrat hawa nafsu dan keinginannya, mencari seorang syaikh sempurna dan bijaksana, menyibukkan diri dengan berbagai amalan seperti doa, zikir dan salat sunnah, senantiasa berpuasa, menjaga kebersihan tubuh, selalu bangun malam, dan berusaha keras memperoleh penghasilan dan pendapatan yang halal. Selanjutnya, menurut Syaikh Najm al-Din, prinsip-prinsip batiniah adalah berupa pengamalan aturan seperti memelihara dan menjaga diri, ekspresi kerendahhatian, kefakiran dan kehinaan di hadapan Allah, taubat (taubah) dan menyesal (inabah) di hadapan-Nya baik dalam keadaan sulit maupun senang, kepasrahan kepada perintah-Nya, kerelaan (ridha) yaitu menerima ketentuan-Nya tanpa mengemukakan pertanyaan sekalipun terasa pahit, kesedihan permanen (huzn), berprasangka baik (husn al-zhan), tidak menganggap diri tidak terjangkau oleh rencana-Nya, cinta (mahabbah), dan menyerahkan diri kepada kehendak ( masyi‘ah) dan kebebasan (ikhtiyar) seseorang serta

Dalam tradisi Syi’ah, menurut Muthahhari, ‘irfan dibagi menjadi dua yaitu ‘irfan teoritis dan ‘irfan praktis. Ajaran ‘irfan didukung oleh referensi al-Qur`an, sunnah Nabi Muhammad

SAW. dan para Imam, serta praktik para sahabat yang utama. 70 Pernyataan Imam sebagai referensi irfan menjadi pembeda an- tara tasawuf dengan ‘irfan. ‘Irfan teoritis berusaha memahami eksistensi. ‘Irfan teoritis berupaya mendefinisikan subjek, prin- sip-prinsip dan problematika- problematika wujud. ‘Irfan be- rusaha menafsirkan wujud, baik tuhan, alam maupun manusia. ‘Irfan teoritis mendasarkan deduksinya kepada prinsip-prinsip yang ditemukan melalui pengalaman mistis, dan kemudian diubah menjadi bahasa akal untuk menjelaskan pengalaman mistis tersebut. Dalam konteks ini, ‘irfan tidak menggunakan akal sebagai alat utama dalam meraih pengetahuan sejati. ‘Irfan teoritis menggunakan hati, usaha rohani, penyucian, disiplin diri dan dinamisme batin sebagai sarana utama mencapai inti eksistensi yaitu Tuhan, dan terhubungkan dengan-Nya, bahkan

menyaksikan-Nya. 71

M enurut Muthahhari, ‘irfan praktis ingin menguraikan relasi dan tanggungjawab manusia kepada dirinya, alam dan Allah SWT. Dari sini ‘irfan memiliki kesamaan arti dengan eti- ka. Ajaran ‘irfan praktis disebut rencana perjalanan rohani (sayr wa suluk ). ‘Irfan praktis berbicara tentang sebuah titik keber- angkatan, tempat tujuan, tahapan-tahapan, dan stasiun-stasiun yang benar. Dalam konteks ini, ‘irfan praktis ingin memperoleh tauhid sejati, yakni selain Allah tidak ada, dan untuk seorang musafir rohani (disebut salik) diberi penjelasan tentang titik awal keberangkatan, tahap-tahap yang dianjurkan, stasiun- stasiun yang harus dilewati dan kondisi-kondisi yang akan di- alami. Semua ini harus dilewati dengan bimbingan seorang M enurut Muthahhari, ‘irfan praktis ingin menguraikan relasi dan tanggungjawab manusia kepada dirinya, alam dan Allah SWT. Dari sini ‘irfan memiliki kesamaan arti dengan eti- ka. Ajaran ‘irfan praktis disebut rencana perjalanan rohani (sayr wa suluk ). ‘Irfan praktis berbicara tentang sebuah titik keber- angkatan, tempat tujuan, tahapan-tahapan, dan stasiun-stasiun yang benar. Dalam konteks ini, ‘irfan praktis ingin memperoleh tauhid sejati, yakni selain Allah tidak ada, dan untuk seorang musafir rohani (disebut salik) diberi penjelasan tentang titik awal keberangkatan, tahap-tahap yang dianjurkan, stasiun- stasiun yang harus dilewati dan kondisi-kondisi yang akan di- alami. Semua ini harus dilewati dengan bimbingan seorang

siplinan diri. ‘Irfan praktis berusaha mengubah manusia. 72 Dalam konteks ini, mistisisme Syi‘ah banyak dipengaruhi oleh metode Ibn ‘Arabi, Suhrawardi al-Maqtul dan Mulla Shadra. Karenanya, metode tasawuf Syi’ah bisa dilihat dari epistemologi ketiga sufi tersebut.

Sufi seperti Ibn Arabi hanya bertumpu kepada metode penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) semata, dan tidak bertumpu kepada argumentasi dan demonstrasi rasional seperti kaum

Peripatetik. 73 Ia melakukan perjalanan ruhani guna men- dekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga mereka bisa menge- tahui, bahkan sampai kepada hakikat. 74 Ia menolak penggunaan argumentasi rasional, sembari meyakini bahwa kaki kaum rasionalis sebagai terbuat dari kayu rapuh. 75 Menurutnya, pengetahuan sebagai hasil penyingkapan intuisi lebih unggul daripada pengetahuan sebagai hasil olah akal, se- hingga pengetahuan para sufi sebagai hasil dari penyingkapan yang dicapai mereka lebih unggul dari pengetahuan filsuf se-

bagai hasil dari silogisme akal. 76

Dalam kitab Hikmat al-Isyraq, Suhrawardi telah menjelas- kan metode filsafat Illuminasi. Menurut Muthahhari, metode filsafat Illuminasi hanya bertumpu kepada argumentasi rasion- al, demonstrasi rasional, serta berjuang secara keras melawan hawa nafsu dan menyucikan jiwa. Metode ini bertujuan untuk menyingkap hakikat. Mazhab filsafat Illuminasi meyakini bah- wa seorang sufi tidak akan bisa menyingkap hakikat, apabila sufi tersebut hanya mengandalkan argumentasi rasional sema-

ta, tanpa upaya menyucikan jiwanya. 77 Dalam konteks ini, metode sufistik Suhrawardi al-Maqtul bisa dilacak dari metode filsafat Illuminasi tersebut. Berikut ini adalah epistemologi fil- safat Illuminasi.

Pertama. Seseorang harus menguasai filsafat diskursif secara sempurna sampai ia bisa menjadi filsuf diskursif. Suhrawardi menyatakan “jangan menguji karya ini kecuali oleh ahlinya, yaitu orang-orang yang telah meneladani metode

kaum Peripatetik”. 78

Kedua. Filsuf diskursif tersebut harus mulai melatih diri secara spiritual dan melakukan kontemplasi. 79 Filsuf tersebut mesti melakukan sejumlah praktik-praktik esketik dan mistik seperti dikatakan Suhrawardi “…hendaknya ia berkhalwat selama empat puluh hari, meninggalkan makanan berdaging, menyedikitkan makan, dan merenungkan cahaya Allah SWT. dan apa yang diperintahkan oleh pemegang amanat wahyu

[Nabi Muhammad SAW.)”. 80 Ia menambahkan “[filsuf tersebut harus] mendekatkan diri kepada Allah SWT., terjaga di malam hari, bersikap pasrah...memperhalus rahasia batin, ikhlas menghadapi Cahaya Maha Cahaya...membiasakan jiwa mengingat-Nya...melantunkan bacaan atas mushaf-mushaf sebagaimana diwahyukan [kepada Nabi Muhammad SAW.] dan segera kembali kepada Zat pemegang segala urusan, kesemuanya adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi

seseorang”. 81 Ketiga. Filsuf diskursif tersebut memasuki tahap Iluminasi,

yakni ketika ia memperoleh pancaran cahaya (al-Nur al-sanih) dari Nur al-Anwar. Cahaya ini memberikan sang filsuf pengetahuan sejati. Suhrawardi berkata “[jika telah dilakukan semua itu] barangkali kelak akan muncul seberkas sinar dari alam jabarut (alam cahaya), dan ia pun akan melihat alam

malakut (alam mitsal )”. 82 Maksudnya, jiwa sang filsuf akan memperoleh iluminasi dari cahaya tertinggi (yakni al-Nur al- sanih ), 83 sehingga ia akan mampu melihat alam cahaya. Sinar cahaya (al-Nur al-sanih) dari alam tertinggi ini adalah pengetahuan, dan cahaya ini membawa pengetahuan sejati itu

menuju jiwa suci sang filsuf. 84 Sang filsuf akan memperoleh beraneka macam iluminasi cahaya. 85 Karena ia memperoleh menuju jiwa suci sang filsuf. 84 Sang filsuf akan memperoleh beraneka macam iluminasi cahaya. 85 Karena ia memperoleh

ide-ide otonom (mutsul qayyimah) 86 pengetahuan tentang hal-hal gaib, 87 kemampuan melihat alam cahaya, 88 ketundukan alam semesta, 89 dan segala jiwa kepadanya. 90 Demikianlah, sang filsuf memperoleh iluminasi dari alam cahaya, sehingga ia memperoleh pengetahuan dan keutamaan.

Keempat. Filsuf diskursif itu mengkonstruksi pengetahuan perolehan dari cahaya Ilahi tersebut dengan menggunakan analisis diskursif. Pengetahuan itu diuji oleh sang filsuf secara demonstrasi. Ia berkata “ilmu-ilmu hakiki (al-‘ulum al-haqiqiyah) tidak bisa dielakkan lagi (harus dibuktikan) dengan menggunakan demonstrasi, yakni silogisme yang disusun dari

premis- premis meyakinkan [tidak diragukan kebenarannya]”. 91 Sistem pembuktian Posterior Analytics Aristoteles harus dijadikan sebagai sistem pembuktian bagi ilmu-ilmu hakiki itu. Jadi, sang filsuf mesti membuktikan pengalaman intuitifnya secara akliah.

Kelima. Filsuf tersebut mendokumentasikan hasil konstruksi tersebut secara tulisan. Jadi, filsuf tersebut memindahkan pengetahuan sejati itu setelah pengetahuan itu diuji secara demonstrasi Aristotelian, dari pikirannya ke bahasa tulisan. Suhrawardi sendiri telah melakukan hal ini. Setelah ia melewati masa khalwat dan kontemplasi, ia memperoleh pengalaman intuitif, lalu ia menguji pengalaman itu secara diskursif, lantas menuliskannya, sehingga jadilah kitab Hikmat

al-Isyraq. 92 Kendati Suhrawardi dikenal sebagai seorang filosof, namun ia memadukan metode tasawuf dan filsafat dalam meraih kebenaran. Metode tasawuf menurut tokoh ini bisa dilihat pada poin kedua di atas.

Dapat dilihat bahwa metode filsafat Illuminasi Suhrawardi memuat metode tasawuf. Agar bisa mendekatkan diri kepada

Allah, seorang sufi harus berkhalwat selama 40 hari, meninggalkan makanan berdaging, menyedikitkan makan, dan merenungkan cahaya Allah SWT. dan apa yang diperintahkan oleh pemegang amanat wahyu (Nabi Muhammad SAW.), mendekatkan diri kepada Allah SWT., terjaga di malam hari, bersikap pasrah, memperhalus rahasia batin, ikhlas menghadapi Cahaya Maha Cahaya, membiasakan jiwa mengingat-Nya, melantunkan bacaan atas mushaf-mushaf sebagaimana diwahyukan [kepada Nabi Muhammad SAW.] dan segera kembali kepada Zat pemegang segala urusan. Akan tetapi, metode ini adalah bagian awal dari metode filsafat Illuminasi. Dalam filsafat Illuminasi, seorang sufi harus menguasai filsafat diskursif terlebih dahulu, sebelum melakukan praktik sufistik. Karena, sebuah pengalaman ruhani harus bisa dibuktikan secara rasional.

Sementara itu, metode tasawuf Mulla Shadra bisa dilacak dari epistemologi filsafat Hikmah Muta’aliyah. Filsafat hikmah ini memiliki prinsip-prinsip khas, sebagai pembeda antara ali- ran ini dengan pelbagai aliran lain seperti Peripatetisme, Illu- minasionisme, Gnosis dan Kalam. Prinsip Hikmah Muta’aliyah ini terlihat jelas dalam kata- kata Mulla Shadra sendiri “penge- tahuan Hikmah Muta’aliyah haruslah didasarkan pada argumen- tasi rasional dan pandangan rohani serta sesuai dengan

syari’at”. “adalah mustahil hukum-hukum syari’at yang benar berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti (pengetahuan intuitif), dan celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya

tidak selaras dengan al- Qur’an dan sunnah”. 93 Berdasarkan pernyataan Mulla Shadra tersebut, jelas bahwa Hikmah Mu- ta’aliyah memiliki tiga prinsip yakni argumentasi demonstratif, pembuktian intuitif, dan dukungan syari’at, baik al-Quran, hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. maupun hadis-hadis keduabelas Imam Syi’ah. Berdasarkan prinsip ini, maka ke- bijaksanaan (wisdom) harus diperoleh lewat pencerahan spiritu- al (zawq), disajikan secara deduktif-silogistik (burhan), dan tidak selaras dengan al- Qur’an dan sunnah”. 93 Berdasarkan pernyataan Mulla Shadra tersebut, jelas bahwa Hikmah Mu- ta’aliyah memiliki tiga prinsip yakni argumentasi demonstratif, pembuktian intuitif, dan dukungan syari’at, baik al-Quran, hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. maupun hadis-hadis keduabelas Imam Syi’ah. Berdasarkan prinsip ini, maka ke- bijaksanaan (wisdom) harus diperoleh lewat pencerahan spiritu- al (zawq), disajikan secara deduktif-silogistik (burhan), dan

Jadi, filsafat Hi kmah Muta’aliyah berusaha mengkombinasi- kan antara disiplin intelektual dengan pengalaman spiritual. 95 Mulla Shadra menciptakan suatu harmonisasi sempurna antara kutub rasionalisme dan persepsi mistik. Ia membuat sintesis antara tiga jalan besar menuju kebenaran bagi manusia, yaitu wahyu, akal dan intuisi, dan hasil sintesis ini dinamakan Hikmah Muta’aliyah. Ia menyelaraskan secara utuh antara ar-

gumentasi rasional, kesadaran spiritual, dan wahyu. 96 Secara khusus, menurut Hasan Bakti, aliran ini melakukan

tiga cara utama. Pertama, dimulai dari pengalaman rohani, lalu digambarkan secara diskursif, dan kemudian dicari dukungan

syari’at. Metode ini seperti kata Mulla Shadra “kajian kami tid- ak hanya didasari kepada mukasyafah dan zawqi …tanpa didasarkan kepada dalil (hujjah) dan argumentasi (burhan) serta tata aturan logika”. Kedua, dimulai dari kajian diskursif, lalu dihayati dengan pengalaman rohani dalam bentuk mukasyafah dan musyahadah, dan kemudian dicari dukungan syari’at. Metode ini seperti dikatakan Mulla Sha dra “kajian kami tidak cukup didasarkan kepada…taklid dalam bidang syari’at, tanpa didasarkan kepada dalil dan argumentasi serta tata aturan

logika.” Ketiga, dimulai dari pernyataan-pernyataan syari’at, lalu dicari dukungan rasio, atau digambarkan secara diskursif, kemudian dipertajam dengan pengalaman rohani. Metode ini seperti dikatakan Mulla Shadra “kajian kami tidak hanya didasarkan kepada mukasyafah dan zawqi, atau berpegang kepada syari’at, tanpa didasarkan kepada dalil, argumentasi dan tata aturan logika. Pembenaran hanya atas dasar mukasya- fah tidaklah memadai tanpa didukung oleh argumentasi (burhan), seperti halnya pembenaran argumentasi burhani tanpa didukung mukasyafah, merupakan kekurangan yang sangat

tinggi.” 97

Senada dengan uraian tersebut, Musa Kazhim menuliskan bahwa ada beberapa langkah Mulla Shadra dalam merumus- kan proyek filsafat hikmah. Pertama. Meletakkan sistem filsafat hikmah di atas sejumlah dasar pengetahuan hudhuri, sembari menegaskan bahwa semua dasar itu bersifat swabukti (self evi- dent ). Kedua. Menurunkan sejumlah prinsip rasional-filosofis untuk mendukung bangunan filsafatnya dari prinsip-prinsip swabukti yang telah diketahui manusia secara hudhuri tersebut. Ketiga. Menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis yang bersumber kepada prinsip-prinsip swabukti dengan sejumlah mukasyafah (penyingkapan batin) para mistikus. Keempat. Me- nyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis dan mukasyafah dengan teks-teks suci dalam rangka memperteguh dan mem- perluas bangunan filsafat hikmah. Kelima. Mengajukan metod- ologi sistematis untuk mencapai kebenaran utuh sebagaimana

tersebut di atas secara teoritis dan praktis. 98 Dari metode ini, Mulla Shadra menghendaki bahwa kebenaran suatu ilmu harus ditopang oleh syari’at, akal, dan intuisi. Dengan kata lain, ilmu itu harus tidak bertentangan dengan ajaran syari’at, hukum akal, dan pengalaman ruhani. Atau, sebuah ilmu harus sesuai dengan ajaran Islam, bisa dirasionalkan, dan tidak berten- tangan dengan pengalaman spiritual.

Melalui Hikmah Muta’aliyah, Mulla Shadra berusaha men- jelaskan filsafat, sebagai pelajaran penalaran, secara sistematis seperti kaum ‘arif menjelaskan masalah perjalanan ruhani (hati). Kaum ‘arif meyakini bahwa seorang penempuh jalan spiritual (salik) harus menempuh empat perjalanan ruhani. Per- tama. Perjalanan dari makhluk menuju Allah (sayr min al-khalq ila al-Haq ). Pada tahap ini, salik berusaha keras melewati (meninggalkan) alam realitas (fisik) dan sebagian alam meta- fisika, sehingga salik mampu menemui al-Haq dan tidak ada lagi tirai pembatas antara keduanya, salik dan al-Haq. Kedua. Perjal- anan dengan al-Haq dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi al-Haq). Pada tahap ini, salik mengadakan perjalanan dalam berbagai kesem- Melalui Hikmah Muta’aliyah, Mulla Shadra berusaha men- jelaskan filsafat, sebagai pelajaran penalaran, secara sistematis seperti kaum ‘arif menjelaskan masalah perjalanan ruhani (hati). Kaum ‘arif meyakini bahwa seorang penempuh jalan spiritual (salik) harus menempuh empat perjalanan ruhani. Per- tama. Perjalanan dari makhluk menuju Allah (sayr min al-khalq ila al-Haq ). Pada tahap ini, salik berusaha keras melewati (meninggalkan) alam realitas (fisik) dan sebagian alam meta- fisika, sehingga salik mampu menemui al-Haq dan tidak ada lagi tirai pembatas antara keduanya, salik dan al-Haq. Kedua. Perjal- anan dengan al-Haq dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi al-Haq). Pada tahap ini, salik mengadakan perjalanan dalam berbagai kesem-

ing mereka kepada al-Haq. 99

Berdasarkan empat perjalanan ruhani itu, Mulla Shadra te- lah menyusun berbagai masalah filsafatnya yang bersifat men- tal (akliah) menjadi empat bentuk perjalanan. Pertama. Perjal- anan dari makhluk menuju Allah (sayr min al-khalq ila al-Haq). Pada tahap ini, Shadra membahas dasar dan landasan tauhid. Dalam tahap ini, topik-topik umum filsafat (metafisika umum) dibahas secara rinci. Pembahasan ini disebut sebagai kajian on- tologi. Pada hakikatnya, pembahasan ini mengindikasikan per- jalanan pemikiran seorang filsuf dari makhluk menuju al-Haq. Kedua. Perjalanan dengan al-Haq dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi al-Haq ). Pada tahap ini, Shadra membahas masalah tauhid dan pengenalan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Dalam tahap ini, fil- safat alam (kosmologi) dibahas secara rinci. Karenanya, pem- bahasan ini disebut sebagai kajian kosmologi (natural philoso- phy ). Ketiga. Perjalanan dari al-Haq menuju makhluk dengan al- Haq (sayr min al-Haq ila al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, Shadra membahas masalah berbagai perbuatan Allah dan berbagai hi- erarki alam eksistensi. Tahap ini disebut juga sebagai pembaha- san teologi. Keempat. Perjalanan dalam makhluk dengan al-Haq (sayr fi al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, Shadra membahas ma- salah jiwa dan tempat kembali jiwa. Dalam tahap ini, konsep psikologi/antropologi dan eskatologi dibahas secara rinci. 100 Lewat empat bentuk perjalanan ini, sebenarnya Shadra juga mengajarkan metode mendekatkan diri kepada Allah SWT.